Share

Bab.5: Gejala Baby Blues Syndrome

Kondisi tubuhku semakin menurun pada hari ketiga pasca melahirkan. Bukan hanya rasa sakit pada area perut, namun aku merasa kelelahan karena harus begadang setiap malam. Asiku belum kunjung keluar, mungkin itu sebabnya si bayi selalu rewel dan tidak nyenyak tidurnya. Aku merasa menjadi ibu yang tidak berguna, karena tidak dapat memberinya asi. Sementara Mas Gunawan tidak peduli kepada anaknya, meskipun beberapa kali aku telah meminta membelikannya susu formula.

Aku menangis tersedu dikamar, meluapkan semua kesedihanku. Bukan kali ini saja aku menangis. Namun akhir-akhir ini, entah mengapa aku sering menangis tanpa sebab yang jelas. Aku merasa suasana hati gampang berubah-ubah pasca melahirkan. Terkadang aku merasa sedih, namun tiba-tiba merasa kesal bercampur emosi. Bukan karena sikap Mas Gunawan, tetapi aku sendiri tidak tahu penyebab sering menangis tanpa alasan yang jelas.

Tiba-tiba perutku terasa mulas, sepertinya aku ingin buang hajat. Aku melangkah perlahan dan berhati-hati menuju toilet. Aku hanya bisa merasakan sakit dibagian bokong, saat tidak bisa membuang hajat dengan lancar. Padahal perutku terasa sangat mulas dan ingin mengeluarkan semua isinya, tetapi rasanya sulit sekali.

Saat aku berusaha memaksanya keluar, rasa sakitnya semakin menjadi. Akhirnya memutuskan untuk menyudahi aktifitasku. Sepertinya aku kekurangan serat, karena selama berada di rumah sakit dan di rumah tidak pernah memakan buah-buahan, walaupun merasa sudah banyak makan sayuran.

“Mas, hari ini jadwal kontrolku ke rumah sakit. Kamu bisa antar aku, kan? Sekalian mau menanyakan penyebab susah BAB dan kini bokongku terasa sangat sakit." Aku mengadu pada laki-laki yang bergelar suami itu.

“Nggak usah pakai acara kontrol segala, buang waktu dan uang saja. Obat dari rumah sakit masih ada, kan?” tolak Mas Gunawan mentah-mentah.

“Obat memang masih ada Mas, tetapi kata dokter tetap harus kontrol supaya diperiksa luka bekas caesarnya dan sekalian ganti plester.”

“Aku nggak ada waktu buat antar kamu. Bisa kena marah lagi aku sama Qyahmu kalau nggak masuk bengkel!” Mas Gunawan tetap kukuh menolak permintaanku.

“Kamu izin dulu sama Ayah, pasti diperbolehkan. Aku nggak tahan rasa sakitnya, Mas,” ratapku.

“Sudahlah Hanum, jadi istri itu jangan manja. Ini semua karena salahmu, kenapa melahirkan secara caesar? Anak yang dilahirkan pun bukan laki-laki!” bentaknya tanpa rasa belas kasihan.

Aku tidak membantah perkataannya lagi, karena tidak mau urusannya menjadi panjang. Lagi-lagi Mas Gunawan mempermasalahkan jenis kelamin bayinya.

Mas Gunawan dengan santainya berangkat bekerja menggunakan motor dan meninggalkanku yang merintih kesakitan.

“Bu, Bibik pamit pulang dulu, ya. Semua pekerjaan sudah beres. Non Hana dan Hani sudah Bibik mandikan dan disuapi. Sekarang mereka tidur lagi di ruang tv,” pamit Bik Inah asisten rumah tanggaku.

“Iya, nggak apa-apa, Bik. Terimakasih!" jawabku.

Aku melangkah menuju ruang televisi, untuk melihat anak-anak. Sementara si bayi, sedang tidur di kamar. Hana dan Hani sedang tidur menghadap televisi yang menayangkan kartu kesukaan mereka. Tiba-tiba airmataku jatuh menetes melihat wajah polos mereka yang sedang terlelap. Usia mereka terpaut 2 tahun.

Hana berusia tiga tahun, sementara Hani adiknya berusia satu tahun. Pasca melahirkan Hana, Mas Adnan memintaku untuk kembali hamil untuk bisa memiliki anak laki-laki. Namun diam-diam aku meminum pil KB, agar tidak hamil. Usia Hana yang masih terlalu kecil menjadi pertimbanganku untuk memberikan adik untuknya. Aku khawatir jika mempunyai adik, semua perhatian dan kasih sayangku berkurang kepadanya.

Namun akhirnya Mas Gunawan mengetahui karena lupa menyembunyikan pil KB yang aku minum. Dia marah besar dan mengancam akan meninggalkanku jika tidak mempunyai anak lagi. Akhirnya aku mengalah dan berhenti minum pil KB. Alasanku mengalah bukan karena takut kehilangan Mas Gunawan, namun aku sangat mengkhawatirkan keadaan ayah jika berpisah dengan Mas Gunawan. Dia adalah laki-laki pilihan ayah, aku tidak mau mengecewakan beliau dan membuatnya jatuh sakit. Ayah memiliki riwayat penyakit jantung.

Aku mencium kening kedua anakku satu persatu. Tak lupa berdoa dalam hati agar aku bisa menjaga dan merawat mereka hingga dewasa kelak. Tiba-tiba perutku kembali bergejolak, meminta dikeluarkan isinya. Aku kembali melangkah perlahan menuju toilet. Namun lagi-lagi aku tidak dapat mengeluarkan kotoran yang mengganjal di perut.

Akhirnya dengan sekuat tenaga aku memaksanya keluar walaupun dengan rasa sakit yang luar biasa. Aku bisa mengeluarkan kotoran yang mengganjal meski harus bermandikan keringat dan…darah menggenang di dalam closet. Seketika aku merasa panik dan menangis sejadi-jadinya. Namun rasanya percuma saja karena tidak akan ada yang akan menolong.

Saat mencoba beranjak dari closet, rasa sakit luar biasa tidak hanya di area bagian perut, tetapi juga di area bokongku. Rasanya panas seperti terbakar. Aku sampai tidak bisa berdiri dan akhirnya hanya bisa merangkak seperti bayi. Tujuanku adalah kamar untuk mengambil ponsel dan menghubungi Mas Gunawan.

Dengan bersusah payah, akhirnya aku tiba di kamar dan segera meraih ponsel yang diletakkan diatas nakas. Segera mencari kontak Mas Gunawan, namun saat akan menghubunginya ternyata paket kuota ponselku habis. Aku kembali menangis tersedu dan tidak tahu harus berbuat apa. Sementara rasa sakit kini semakin mendera di bagian perut.

Saat aku merabanya, terasa sedikit basah. Aku tersentak saat menyingkap pakaian yang dikenakan, ada rembesan darah dari plester yang menutup luka caesar di bagian perut. Kepalaku tiba-tiba pusing dan semuanya terlihat gelap.

“Hanum, bangun sayang. Ada Kakak dan Ayah disini,” sayup terdengar suara kak Lala ditelingaku.

Aku menggeliat dan membuka mata secara perlahan. Aku menyipitkan mata saat cahaya yang begitu terang menerpa penglihatan. Aku mengerjapkan kedua mata dan melihat kesekeliling, semua serba putih.

"Dimanakah aku? Apa mungkin aku sudah meninggal?” tanyaku dalam hati.

“Hanum, kamu sudah sadar?” kini terdengar suara ayah begitu jelas ditelingaku. Aku menoleh ke arah suara, nampak wajah ayah yang sangat aku kenal menyunggingkan senyum. Itu artinya aku masih hidup.

Aku berusaha untuk bangkit dari pembaringan, namun kak Lala menahanku.

“Kamu jangan dulu banyak bergerak, Num. Jahitan operasi caesarmu sedikit terbuka, tetapi kamu tenang saja dokter sudah memperbaikinya!” ucap kak Lala memberitahuku.

“Dokter? Berarti sekarang aku berada di rumah sakit, Kak?” tanyaku seolah tidak percaya.

“Iya, di rumah sakit. Kakak yang membawamu karena pingsan di kamar!’ jawabnya.

Aku beristigfar dalam hati. Ternyata yang memberikan pertolongan adalah keluargaku, sementara Mas Gunawan tidak berada diruangan ini.

“Lalu anak-anak sama siapa, Kak?” tanyaku mengkhawatirkan anak-anak.

“Kakak sudah meminta bantuan tetangga terdekat untuk memberitahukan asisten rumah tanggamu untuk menjaga mereka.” Aku menghela nafas lega.

“Lalu, kemana Mas Gunawan?” tanyaku lagi.

“Dia belum kami beritahu. Biarkan saja dia panik mencarimu. Dasar suami tidak berguna, istri sedang sakit malah ditinggal sendiri. Padahal bukannya hari ini adalah jadwal kontrol ke rumah sakit?” jawab kak Lala dengan sorot mata kebencian saat mendengar nama Mas Gunawan disebut.

“Hanum, bagaimana bisa kamu tidak sadarkan diri dikamarmu? Memangnya Gunawan tidak tahu kalau kamu sakit?”

Aku terhenyak mendengar pertanyaan ayah. Apa yang harus aku katakan kepada beliau? Apakah aku harus mengatakan yang sebenarnya?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nor Hairiah Abu Hani
eh di katakan bapa orang kaya, mesti dari kecil sudah punya tabungan yang banyak sebab anak cuma 2 orang... bodoh amat jadi istri related diperlakukan begitu oleh suami
goodnovel comment avatar
Ketut Mardiyani
ada ya orang bodoh kayak hanum tu? bukan bodoh tp terkesan tolol thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status