Share

Bab 4: Deg-degan

Author: Andri Lestari
last update Last Updated: 2022-11-25 01:09:12

"Hanum, maaf. Mas capek. Lapar. Kita masih punya banyak waktu untuk melakukan hal ini. Jangan sekarang, ya. Mas mohon."

"Tapi  ... aku sudah siap-siap gini, Mas." Aku mengajukan protes.

Perasaan malu karena ditolak menari-nari dalam pikiran. Aku menundukkan wajah, sama sekali tidak melihat ke atas Mas Bagas. 

"Kami, sih, Mas pulang kerja bukannya suguhin makan dulu, malah minta yang aneh-aneh." Mas Bagas terkekeh. 

Sempat-sempatnya dia tertawa? Mas Bagas mengejekku? Lalu apa tadi itu katanya? Aneh-aneh? Memangnya aku meminta sesuatu yang aneh? Apakah menggauli istri sendiri termasuk hal aneh bagi Mas Bagas? Selama satu tahun belakangan sudah banyak hal yang terasa tak masuk akal. Diam-diam aku sering memperhatikannya. Lelaki mana, sih, yang enggan menyentuh hidangan yang telah dipersiapkan di depan mata? Sudah lama juga aku ingin mencari tahu apa penyebabnya, akan tetapi lelaki itu selalu saja bisa kembali meyakinkan jika dia memang sedang tidak bisa diganggu dengan pekerjaan-pekerjaannya. 

"Mas kerja keras begini, ya, demi kamu, Sayang. Demi keluarga kita," ucap Mas Bagas suatu hari saat aku kembali mengajukan protes dengan sikapnya.

"Keluarga mana yang kamu maksud, Mas? Hanya ada aku dan kamu. Uang gajimu sekarang pun lebih dari cukup." Aku menjawab dengan perasaan kesal saat itu. 

"Mempersiapkan tabungan untuk anak kita kelak."

"Apa Mas ngga lelah selalu aja buat alasan demi alasan untuk menolakku?" Suaraku tercekat di antara geraham yang saling beradu. 

Begitulah Mas Bagas. Akhirnya hari demi hari sudah biasa kulewati dengan penolakan-penolakan yang muncul darinya. Hingga aku benar-benar lelah untuk memulai lagi. Aku lelah mencari tahu dan berakhir dengan "ya, sudahlah!"

Hingga beberapa minggu lalu, aku bertemu Sarah, sahabatku sejak kami masih kecil hingga saat ini. Dulu dia adalah tetanggaku. Kami tumbuh bersama dari waktu ke waktu. Banyak hal yang telah kulalui bersama Sarah, lalu aku dan dia memutuskan untuk berhijrah bersama. 

Beberapa tahun setelah proses kami berhijrah, Sarah akhirnya dilamar oleh seorang ustadz pemilik pesantren tempat di mana ia bekerja. Ya, Sarah dulunya adalah tenaga pendidik di pesantren tersebut. 

Tak bisa dielak, aku menceritakan semuanya pada Sarah. Meminta pendapatnya barangkali kesalahan memang bermula dari diriku. Namun, Sarah tak bisa menerima aku diperlakukan seperti itu oleh Mas Bagas. Dia memintaku untuk tak henti mencoba hingga Mas Bagas mau menyentuhku.

Dan inilah hasilnya, beberapa kali aku menjalankan ide yang Sarah berikan, akan tetapi hasilnya masih zonk! Mas Bagas sama sekali tak peduli. Dia tidak tergiur sedikit pun. Malah terkekeh karena tingkahku. 

"Dek, buruan. Nasi. Mas lapar."

Suara panggilan Mas Bagas membuyarkan lamunanku. Aku bangkit dari pinggir ranjang hendak mengganti baju. Namun, Mas Bagas melarangku. Sebelah tangannya menarik lenganku ke arah pintu. 

"Mas, aku ganti baju dulu." 

"Udah, gini aja. Mas udah ngga tahan lagi,"  Mas Bagas masih memegang tanganku.

"Lho, masak duduk di meja makan pakai baju begini. Sebentar aja. Ngga lama, kok." Aku berusaha melepaskan diri. 

"Nanti aja. Mas mau lihat kamu pakai baju gini. Ini kan baju yang Mas beli tempo hari, ya, kan? Cocok di kamu. Cantik."

Terpaksa aku mengikuti ajakannya. Bukannya berduaan di kamar, malah meladeni Mas Bagas di dapur. Kulirik Mas Bagas yang telah duduk di bangku meja makan, dia sedang sibuk dengan ponsel di tangan. Lelaki itu tampak serius, sesekali ia meraup wajah dengan kasar. 

"Ponsel aja 24 jam dielus, Mas. Lha aku, sudah dandan gini pun tetap diabaikan. Jangan-jangan kamu punya selingkuhan, ya, Mas?"

Hening  .... 

Aku membawa dua piring beserta nasi yang telah kupindahkan ke dalam wadah kemudian meletakkannya di atas meja. 

"Mas. Denger ngga, sih?" Emosiku kembali meluap. Apalagi saat mengingat bagaimana perjuangan lanjangku untuk menyambutnya sore ini. 

"Iya, gimana, Dek?"

Mas Bagas meletakkan ponselnya. Layar ponsel sudah gelap tak berwarna. 

"Mas selingkuh, ya? Ayo jujur! Sudah cukup setahun ini Mas bohongin aku terus. Mentang-mentang aku diam aja, eh, kamunya malah keenakan. Aku ini istri kamu, Mas. Bukan pajangan di lemari kaca. Aku juga butuh perhatian kamu. Aku  ... aku  ...."

Suaraku tertahan paksa. Tangis yang ingin merebak kutahan sekuat tenaga. Katanya cinta, tapi mana buktinya? Satu tahun sudah cukup membuktikan jika kata-kata itu hanya kamuflase semata. 

"Kamu ngomong apa, sih, Dek? Selingkuh sama siapa coba? Kamu, kan tau, cuma kamu yang mau sama Mas sejak dulu. Kamu juga cinta pertama Mas."

Lelaki kalau sudah disudutkan selalu saja pintar bersilat lidah. Padahal rumah tangga kami memang termasuk rumah tangga yang adem dan cenderung jarang diliputi permasalahan. Dari segi ekonomi kami tidak kekurangan. Mas Bagas sudah memboyongku ke rumah sendiri sejak awal kami menikah. Namun, seiring berjalan waktu, Tuhan menguji kesabaranku dalam hal lain. Sampai kapan aku harus bersabar? 

"Selesai makan, ya, Mas. Aku tunggu di kamar. Awas kalau nolak lagi. Aku pulang ke rumah Ibu." Aku mengancamnya dan berlalu pergi. 

"Dek, temeni Mas makan dulu," ucap Mas Bagas setengah berteriak. 

Aku tidak peduli. Kukeraskan hati dan terus saja berjalan meninggalkan Mas Bagas di ruang makan. Di kamar aku semakin bingung dan ragu akan cinta lelaki itu padaku. Hatiku berbisik jika Mas Bagas tak benar-benar mencintaiku. Ada hal lain yang terjadi. Pasti! 

"Jika apa yang sejauh ini kamu lakukan, tapi tidak berhasil juga, kalian harus bicara empat mata. Tanyakan padanya apa yang terjadi. Pasti ada sesuatu yang salah."

Ucapan Sarah terngiang kembali di telinga. Sarah benar, pasti ada sesuatu yang salah dengan Mas Bagas. Kucing mana yang tidak kegirangan ketika disuguhi ikan? Kucing yang sedang sakit pun pasti akan mencicipinya meski pun sedikit. Setidaknya tangannya akan terjulur untuk mencolek ikan yang ada di depannya, bukan berlalu pergi begitu saja. 

"Kalau Mas Bagas tetap nolak, aku harus gimana, ya Tuhan?"

Aku menunggu di kamar dengan perasaan tak menentu. Hati dan pikiran tak bisa menyatu. Kukuatkan hati jika selama ini Mas Bagas hanya disibukkan oleh pekerjaan sehingga tak punya waktu untuk fokusku. Sementara di lain sisi akal sehatku memberontak, mengatakan jika ini tidak baik-baik saja. Ada sesuatu yang sedang terjadi dan harus segera dipecahkan. 

"Dek, kamu sedang ngapain. Bolak-balik seperti sedang mikirin sesuatu?"

Aku kaget begitu mendengar suara Mas Bagas. Sejak kapan dia berdiri di ambang pintu kamar? Bukannya menjawab pertanyaan lelaki bertubuh atletis itu, aku memilih duduk di tepi ranjang. Menekuk wajah kesal. 

"Beberapa hari ini Mas perhatikan kamu sering sekali ngambek. Uring-uringan. Mas minta maaf, Mas banyak sekali salah sama kamu."

Aku memajukan bibir tak suka. Kupalingkan wajah ke arah berbeda. 

"Dek, jangan gitu, dong. Mas hargai usahamu. Mas suka, beneran. Mas suka lihat kamu selalu berusaha menyenangkan hati Mas. Dan sekarang kamu pakai baju yang Mas belikan, padahal kamu ngga suka warnanya. Mas bersyukur sekali memiliki istri sepertimu."

Huh! Bullshit. Itu adalah kalimat sejak zaman kapan? Tak lelah kah terus saja diulang-ulang? Ya, meskipun ada beberapa kalimat yang ditambahi, akan tetapi, kan, narasinya tetap sama. 

"Yuk. Sekarang." Ajak Mas Bagas sembari memelukku. 

"Ngga ah! Sudah ngga mood!"

"Lho, ngga mood gimana? Mas sudah siap ni."

Hatiku berdetak kencang. Apa aku tak salah dengar? Benarkah Mas Bagas mengajakku untuk melakukan sunnah suami istri?

"Beneran?"

"Iya."

"Tapi sudah mau Magrib."

"Ya, kita wudhu dulu, trus jama'ah."

Aku mengernyitkan kening. Masih mencoba memahami arah pembicaraan Mas Bagas. 

"Maksud Mas kita mau ngapain?"

"Ya ampun, Sayang. Shalat Magrib lah. Ke mana lagi?"

***

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SETAHUN TAK DISENTUH SUAMI   Bab 21: Tetangga Toxic

    Aku lelah! Sungguh. Cobaan apa lagi yang Tuhan berikan untukku? Bertubi-tubi tanpa henti. Rasanya belum sempat aku menarik napas akibat kecurigaanku pada Mas Bagas tempo hari. Hari ini, aku duduk di sini dalam keadaan yang menyedihkan. Kondisiku sekarang tentu akan menyusahkan banyak orang, terutama keluargaku sendiri. Aku memerlukan mereka. Mereka adalah pengganti penglihatanku. Terutama Ibu, wanita kuat yang menjadi tongkatku saat aku terpuruk. Ibu tak lelah membantu saat aku tertatih menghadapi kenyataan pahit yang kuterima. Ibu selalu ada dalam suka dan duka. Menghapus setiap tetes air mata yang tak henti mengalir. Hari bergulir begitu cepat. Aku sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Meskipun terkadang masih sering menangisi diri sendiri, akan tetapi aku sudah bisa lebih mandiri. Ibu mengutarakan jika ia ingin pulang. "Kasihan Bapak. Nggak ada temennya." Begitu alasan Ibu saat aku melarangnya. Aku meminta Ibu untuk bertahan beberapa minggu lagi, akan tetapi ia menolak dengan l

  • SETAHUN TAK DISENTUH SUAMI   Bab 20: (POV BAGAS) Rahasia Bagas

    Dua minggu kemudian. Di dalam kamar, aku sedang menenangkan Hanum. Sejak satu jam lalu dia tak henti menangis. Hanum belum bisa menerima kondisinya saat ini. Meski dokter telah menjelaskan jika kebutaan yang dialami hanya sementara, akan tetapi Hanum tetap histeris. Sejak sadarkan diri satu minggu lalu, aku kewalahan menenangkan istriku. Untung saja Ibu mau diajak tinggal untuk sementara waktu bersama kami. Menemani Hanum selama aku bekerja. Sementara Bapak harus pulang, dan akan kembali jika urusan peternakannya sudah selesai. Ya, Bapak mempunyai beberapa perternakan sapi di daerahnya."Sudah, Sayang, jangan nangis terus. Nanti kepalamu sakit." Aku mencoba menenangkan kembali. Hanum masih terisak di sampingku. Matanya terbuka dan sesekali berkedip. Namun, penglihatannya sama sekali tak bisa berfungsi. Penyebab kebutaan Hanum adalah karena benturan yang terjadi saat kecelakaan. Terdapat peradangan dan pembengkakan di dalam mata sehingga menekan saraf-saraf penglihatan. Ada dua opsi

  • SETAHUN TAK DISENTUH SUAMI   Bab 19: (Pov Bagas) Berita Duka

    Tuhan ... Apa yang kulakukan? Aku telah mencelakai Hanum. Dia terluka. Kenapa aku bisa sampai lengah dan menuruti amarah? Berulang kali Hanum melarang, akan tetapi sama sekali tak kuindahkan. Sayang, maafkan aku. Mas salah. Semua terjadi karena kelalaianku. Kupandangi istriku yang terbaring di ruang ICU. Dia belum sadarkan diri sejak kemarin. Kondisinya buruk dan sedang ditangani dengan serius oleh dokter. Rasa bersalahku terus membuncah, apalagi saat melihat air mata ibu mertua yang tumpah ruah. Di sisi kanan kamar ICU ada Sarah serta suaminya. Mereka baru saja tiba. Sarah tak henti menenangkan ibu mertuaku. Wanita paruh baya itu tampak lemah dan terpukul. "Bagas, sebaiknya kamu istirahat dulu. Biar kami yang jaga di sini." Irfan suami Sarah menegurku. Entah kapan dia mendekatiku, padahal baru saja aku melihatnya duduk di dekat Sarah. "Iya. Tapi aku ngga bisa istirahat. Pikiranku tak tenang, Fan," ucapku seraya menekan kesedihan yang terus menggedor rongga jiwa. "Kamu juga terl

  • SETAHUN TAK DISENTUH SUAMI   Bab 18: Bertemu Pelakor

    Aku setuju untuk bertemu dengan Anita. Seperti kata Sarah, setiap permasalahan harus diselesaikan, bukan dibiarkan berlarut-larut tanpa kepastian. Aku sudah menguatkan hati, apa pun yang aku dengar nantinya, setidaknya aku sudah menyiapkan diri untuk kuat. Kami menunggu Anita di sebuah kafe tak jauh dari apartemen yang kutempati sementara. Mas Bagas duduk di sampingku. Dia tampak sibuk dengan smartphone-nya. Aku juga tak banyak bicara, sesekali kusedot minuman, kemudian mengaduk-aduk kembali menggunakan sedotan. "Ngobrol, dong. Jangan diem aja." Mas Bagas membuka percakapan. Aku melirik sekilas, lalu kembali asik dengan gelas berisi jus jeruk dingin kesukaanku. "Mau ngobrol apa? Mas aja asik sendiri dengan HP." Aku berkata jutek. Mas Bagas meletakkan ponselnya di atas meja. Sesekali layar ponsel menyala kemudian padam dengan sendirinya. "Itu dia," ujar Mas Bagas. Aku melihat ke arah pintu masuk. Seorang wanita yang memiliki postur tinggi semampai datang menghampiri kami. Dia ada

  • SETAHUN TAK DISENTUH SUAMI   BAB 17: (POV BAGAS) PILIH SIAPA?

    "Ngapain ke sini?" tanya Hanum sinis. Aku memberikan isyarat gerakan pada Mira agar ia seger pergi meninggalkan aku dan Hanum. "Mas mau ngobrol. Kita ngga bisa berlama-lama begini," ujarku pelan. "Aku belum mau membahas apa pun, Mas. Aku masih mau sendiri. Kami pulang aja!" Hanum bersikeras. "Mana bisa begitu? Mas ngga bisa pulang kalau kamu nggak ikut sekalian. Besok Ibu dan Bapak mau berkunjung. Mas harus jawab apa kalau kamu nggak ada di rumah?" "Bilang aja sedang ada kerja di luar kota. Simpel kan?" Hanum mengelak. "Nggak bisa, Sayang. Mas ngga bisa bohongin Ibu sama Bapak."Hanum berbalik badan. Mata kami saling beradu. Dia menatapku tajam sambil menyunggingkan senyum sinis. Hanum yang manis terlihat amat berbeda. "Kenapa kamu ngga bisa bohongi orang tuaku? Sementara aku aja bisa kamu bohongi, konon lagi mereka."Aku menelan ludah. Sorotan matanya menusuk tajam menghujam jantungku. ***Sebelum bertemu Hanum. Hanum tidak di rumah orang tuanya? Ke mana dia? Aku tahu dia pun

  • SETAHUN TAK DISENTUH SUAMI   Bab 15: Tercyduk

    SETAHUN TAK DISENTUH SUAMIBAB 15***Puluhan panggilan dari Mas Bagas tertera di layar ponsel. Aku mengabaikannya. Setiba di rumah, segera kuraih koper dan memasukkan baju-baju yang bergantungan di lemari. Emosi dan rasa sakit hati yang masih memeluk jiwa membuatku susah untuk mengendalikan diri. Aku mengacak-acak isi lemari dan mengempaskan semua ke lantai. Tangisanku pecah kembali. Mengingat perlakuan Mas Bagas selama ini. Sungguh lelaki yang tak layak untuk dipertahankan. "Hanum. Astaghfirullah. Tenang. Kendalikan dirimu!"Seseorang memelukku dari belakang. Itu Mas Bagas. Aku tahu sekali. Dia memelukku erat. Menahan tubuhku melakukan hal yang semakin brutal. "Sayang. Istighfar. Dengarkan Mas. Mas di sini, Sayang."Aku menyikut perutnya menggunakan siku. Mas Bagas mengaduh. Tak sudi rasanya tubuhku disentuh oleh lelaki itu lagi. Untuk apa dia melarangku? Memangnya dia peduli? "Minggir. Jangan sentuh aku!" Teriakanku semakin menjadi. "Hanum, tenang dulu! Kita bicarakan baik-baik

  • SETAHUN TAK DISENTUH SUAMI   Bab 14: Runtuhlah Kepercayaan

    SETAHUN TAK DISENTUH SUAMIBAB 14***Paginya, Mas Bagas telah berangkat kerja. Aku juga bergegas masuk ke mobil. Bukan hendak ke butik, melainkan mengikuti Mas Bagas. Hari ini dia pergi menggunakan mobil. Alasannya ada temu klien seperti biasa. Urusan butik kuserahkan pada Mira, asisten kepercayaanku selama ini. Mobil Mas Bagas terlihat memasuki kawasan tempat ia bekerja. Aku mengikuti mobil lelaki itu. Pusat parkiran ada di lantai dasar gedung. Aku sudah terbiasa dan sudah hapal setiap lokasi di kantor Mas Bagas. Karena biasanya hampir setiap siang aku menyusul Mas Bagas ke tempat ia bekerja. Menjemput lelaki itu untuk makan siang bersama. Kulihat Mas Bagas keluar dari mobilnya. Dia berjalan ke arah pintu keluar menuju gedung. Aku mencari tempat kosong untuk memarkirkan mobil. Menunggu hingga lelaki itu keluar lagi. Karena menurut Mas Bagas, dia akan menemui klien sekitar pukul sepuluh nanti. Aku harus menunggu sekitar dua jam lagi di dalam gedung. Tak apa menunggu agak lama, asal

  • SETAHUN TAK DISENTUH SUAMI   Bab 13: Mengintai

    SETAHUN TAK DISENTUH SUAMIBAB 13***"Mas, tehnya!" seruku saat Mas Bagas memasukkan ponselnya ke dalam saku celana yang ia kenakan. "Oh iya. Bapak sama Ibu mana?" "Ke belakang. Siapa yang nelpon?""Hmm, itu, klien. Bahas masalah kerjaan.""Kan lagi cuti?""Iya, tetap aja gangguin." Mas Bagas meneguk tehnya. Aku mencoba mencari jejak dusta di wajahnya. Aku menangkap ada sekelumit tanda resah bertengger di balik senyum yang selalu ia sunggingkan. "Oke! Jam berapa kita jalan pulang? Aku mau beresin pakaian dulu.""Iya, agak siangan aja. Ngga enak sama Bapak dan Ibu kalau langsung pergi."Aku mengangguk dan berusaha bersikap sewajarnya. Mas Bagas sedikit pun tak boleh curiga. Kali ini aku harus bisa menarik ke atas rahasia yang sedang ia simpan. Di rumah orang tuaku, Mas Bagas memang terlihat sangat antusias. Dia tak duduk bersama dengan keduanya. Saling bertukar cerita dan sesekali diiringi dengan derai tawa. Bapak pun tak mau kalah, matanya berbinar menyiratkan kebahagiaan saat d

  • SETAHUN TAK DISENTUH SUAMI   Bab 12: Menyusun Siasat

    Aku masih memilih bertahan di rumah orang tuaku. Bukan menjadi lebih tenang, akan tetapi pikiran ini tak henti tertuju pada Mas Bagas. Untung saja Ibu dan Bapak percaya dengan karangan ceritaku jika Mas Bagas sedang sibuk berkerja belakangan ini. Apakah dia juga sedang memikirkanku? Atau barangkali sedang merayakan kesendiriannya? Setelah sarapan, aku kembali ke kamar. Mengambil ponsel dan berselancar di dunia maya. Memantau Mas Bagas dari setiap postingannya di sosial media. Tidak ada yang aneh. Postingan-postingannya masih wajar seperti biasa. Postingannya terakhir kali di Facebook beberapa hari yang lalu. Hanya foto kami berdua disertai caption emoticon hati. Bertaburan komentar positif di postingan tersebut. Wajar, karena kami memang terlihat bahagia. Kebanyakan orang juga mengira jika aku dan Mas Bagas adalah pasangan muda yang tidak memiliki masalah rumah tangga apa-apa. Awalnya begitu, akan tetapi mataku telah terbuka sekarang. Mas Bagas sudah tak bisa lagi dipercaya. Ponsel

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status