Share

Bab 4: Deg-degan

"Hanum, maaf. Mas capek. Lapar. Kita masih punya banyak waktu untuk melakukan hal ini. Jangan sekarang, ya. Mas mohon."

"Tapi  ... aku sudah siap-siap gini, Mas." Aku mengajukan protes.

Perasaan malu karena ditolak menari-nari dalam pikiran. Aku menundukkan wajah, sama sekali tidak melihat ke atas Mas Bagas. 

"Kami, sih, Mas pulang kerja bukannya suguhin makan dulu, malah minta yang aneh-aneh." Mas Bagas terkekeh. 

Sempat-sempatnya dia tertawa? Mas Bagas mengejekku? Lalu apa tadi itu katanya? Aneh-aneh? Memangnya aku meminta sesuatu yang aneh? Apakah menggauli istri sendiri termasuk hal aneh bagi Mas Bagas? Selama satu tahun belakangan sudah banyak hal yang terasa tak masuk akal. Diam-diam aku sering memperhatikannya. Lelaki mana, sih, yang enggan menyentuh hidangan yang telah dipersiapkan di depan mata? Sudah lama juga aku ingin mencari tahu apa penyebabnya, akan tetapi lelaki itu selalu saja bisa kembali meyakinkan jika dia memang sedang tidak bisa diganggu dengan pekerjaan-pekerjaannya. 

"Mas kerja keras begini, ya, demi kamu, Sayang. Demi keluarga kita," ucap Mas Bagas suatu hari saat aku kembali mengajukan protes dengan sikapnya.

"Keluarga mana yang kamu maksud, Mas? Hanya ada aku dan kamu. Uang gajimu sekarang pun lebih dari cukup." Aku menjawab dengan perasaan kesal saat itu. 

"Mempersiapkan tabungan untuk anak kita kelak."

"Apa Mas ngga lelah selalu aja buat alasan demi alasan untuk menolakku?" Suaraku tercekat di antara geraham yang saling beradu. 

Begitulah Mas Bagas. Akhirnya hari demi hari sudah biasa kulewati dengan penolakan-penolakan yang muncul darinya. Hingga aku benar-benar lelah untuk memulai lagi. Aku lelah mencari tahu dan berakhir dengan "ya, sudahlah!"

Hingga beberapa minggu lalu, aku bertemu Sarah, sahabatku sejak kami masih kecil hingga saat ini. Dulu dia adalah tetanggaku. Kami tumbuh bersama dari waktu ke waktu. Banyak hal yang telah kulalui bersama Sarah, lalu aku dan dia memutuskan untuk berhijrah bersama. 

Beberapa tahun setelah proses kami berhijrah, Sarah akhirnya dilamar oleh seorang ustadz pemilik pesantren tempat di mana ia bekerja. Ya, Sarah dulunya adalah tenaga pendidik di pesantren tersebut. 

Tak bisa dielak, aku menceritakan semuanya pada Sarah. Meminta pendapatnya barangkali kesalahan memang bermula dari diriku. Namun, Sarah tak bisa menerima aku diperlakukan seperti itu oleh Mas Bagas. Dia memintaku untuk tak henti mencoba hingga Mas Bagas mau menyentuhku.

Dan inilah hasilnya, beberapa kali aku menjalankan ide yang Sarah berikan, akan tetapi hasilnya masih zonk! Mas Bagas sama sekali tak peduli. Dia tidak tergiur sedikit pun. Malah terkekeh karena tingkahku. 

"Dek, buruan. Nasi. Mas lapar."

Suara panggilan Mas Bagas membuyarkan lamunanku. Aku bangkit dari pinggir ranjang hendak mengganti baju. Namun, Mas Bagas melarangku. Sebelah tangannya menarik lenganku ke arah pintu. 

"Mas, aku ganti baju dulu." 

"Udah, gini aja. Mas udah ngga tahan lagi,"  Mas Bagas masih memegang tanganku.

"Lho, masak duduk di meja makan pakai baju begini. Sebentar aja. Ngga lama, kok." Aku berusaha melepaskan diri. 

"Nanti aja. Mas mau lihat kamu pakai baju gini. Ini kan baju yang Mas beli tempo hari, ya, kan? Cocok di kamu. Cantik."

Terpaksa aku mengikuti ajakannya. Bukannya berduaan di kamar, malah meladeni Mas Bagas di dapur. Kulirik Mas Bagas yang telah duduk di bangku meja makan, dia sedang sibuk dengan ponsel di tangan. Lelaki itu tampak serius, sesekali ia meraup wajah dengan kasar. 

"Ponsel aja 24 jam dielus, Mas. Lha aku, sudah dandan gini pun tetap diabaikan. Jangan-jangan kamu punya selingkuhan, ya, Mas?"

Hening  .... 

Aku membawa dua piring beserta nasi yang telah kupindahkan ke dalam wadah kemudian meletakkannya di atas meja. 

"Mas. Denger ngga, sih?" Emosiku kembali meluap. Apalagi saat mengingat bagaimana perjuangan lanjangku untuk menyambutnya sore ini. 

"Iya, gimana, Dek?"

Mas Bagas meletakkan ponselnya. Layar ponsel sudah gelap tak berwarna. 

"Mas selingkuh, ya? Ayo jujur! Sudah cukup setahun ini Mas bohongin aku terus. Mentang-mentang aku diam aja, eh, kamunya malah keenakan. Aku ini istri kamu, Mas. Bukan pajangan di lemari kaca. Aku juga butuh perhatian kamu. Aku  ... aku  ...."

Suaraku tertahan paksa. Tangis yang ingin merebak kutahan sekuat tenaga. Katanya cinta, tapi mana buktinya? Satu tahun sudah cukup membuktikan jika kata-kata itu hanya kamuflase semata. 

"Kamu ngomong apa, sih, Dek? Selingkuh sama siapa coba? Kamu, kan tau, cuma kamu yang mau sama Mas sejak dulu. Kamu juga cinta pertama Mas."

Lelaki kalau sudah disudutkan selalu saja pintar bersilat lidah. Padahal rumah tangga kami memang termasuk rumah tangga yang adem dan cenderung jarang diliputi permasalahan. Dari segi ekonomi kami tidak kekurangan. Mas Bagas sudah memboyongku ke rumah sendiri sejak awal kami menikah. Namun, seiring berjalan waktu, Tuhan menguji kesabaranku dalam hal lain. Sampai kapan aku harus bersabar? 

"Selesai makan, ya, Mas. Aku tunggu di kamar. Awas kalau nolak lagi. Aku pulang ke rumah Ibu." Aku mengancamnya dan berlalu pergi. 

"Dek, temeni Mas makan dulu," ucap Mas Bagas setengah berteriak. 

Aku tidak peduli. Kukeraskan hati dan terus saja berjalan meninggalkan Mas Bagas di ruang makan. Di kamar aku semakin bingung dan ragu akan cinta lelaki itu padaku. Hatiku berbisik jika Mas Bagas tak benar-benar mencintaiku. Ada hal lain yang terjadi. Pasti! 

"Jika apa yang sejauh ini kamu lakukan, tapi tidak berhasil juga, kalian harus bicara empat mata. Tanyakan padanya apa yang terjadi. Pasti ada sesuatu yang salah."

Ucapan Sarah terngiang kembali di telinga. Sarah benar, pasti ada sesuatu yang salah dengan Mas Bagas. Kucing mana yang tidak kegirangan ketika disuguhi ikan? Kucing yang sedang sakit pun pasti akan mencicipinya meski pun sedikit. Setidaknya tangannya akan terjulur untuk mencolek ikan yang ada di depannya, bukan berlalu pergi begitu saja. 

"Kalau Mas Bagas tetap nolak, aku harus gimana, ya Tuhan?"

Aku menunggu di kamar dengan perasaan tak menentu. Hati dan pikiran tak bisa menyatu. Kukuatkan hati jika selama ini Mas Bagas hanya disibukkan oleh pekerjaan sehingga tak punya waktu untuk fokusku. Sementara di lain sisi akal sehatku memberontak, mengatakan jika ini tidak baik-baik saja. Ada sesuatu yang sedang terjadi dan harus segera dipecahkan. 

"Dek, kamu sedang ngapain. Bolak-balik seperti sedang mikirin sesuatu?"

Aku kaget begitu mendengar suara Mas Bagas. Sejak kapan dia berdiri di ambang pintu kamar? Bukannya menjawab pertanyaan lelaki bertubuh atletis itu, aku memilih duduk di tepi ranjang. Menekuk wajah kesal. 

"Beberapa hari ini Mas perhatikan kamu sering sekali ngambek. Uring-uringan. Mas minta maaf, Mas banyak sekali salah sama kamu."

Aku memajukan bibir tak suka. Kupalingkan wajah ke arah berbeda. 

"Dek, jangan gitu, dong. Mas hargai usahamu. Mas suka, beneran. Mas suka lihat kamu selalu berusaha menyenangkan hati Mas. Dan sekarang kamu pakai baju yang Mas belikan, padahal kamu ngga suka warnanya. Mas bersyukur sekali memiliki istri sepertimu."

Huh! Bullshit. Itu adalah kalimat sejak zaman kapan? Tak lelah kah terus saja diulang-ulang? Ya, meskipun ada beberapa kalimat yang ditambahi, akan tetapi, kan, narasinya tetap sama. 

"Yuk. Sekarang." Ajak Mas Bagas sembari memelukku. 

"Ngga ah! Sudah ngga mood!"

"Lho, ngga mood gimana? Mas sudah siap ni."

Hatiku berdetak kencang. Apa aku tak salah dengar? Benarkah Mas Bagas mengajakku untuk melakukan sunnah suami istri?

"Beneran?"

"Iya."

"Tapi sudah mau Magrib."

"Ya, kita wudhu dulu, trus jama'ah."

Aku mengernyitkan kening. Masih mencoba memahami arah pembicaraan Mas Bagas. 

"Maksud Mas kita mau ngapain?"

"Ya ampun, Sayang. Shalat Magrib lah. Ke mana lagi?"

***

Bersambung

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status