Share

Bab 3: Memancing Suami

Apakah Mas Bagas selingkuh? Rasanya tidak mungkin. Toh, selama ini dia masih sangat perhatian. Lalu, apakah ada hal lain yang selama ini aku tidak tahu sama sekali? Atau ada yang salah denganku? Dengan tubuhku atau sifat dan tingkahku? Apakah selama ini ada yang tidak dia sukai dariku, tapi dia enggan untuk mengatakannya? Apakah aku kurang menarik? Atau jangan-jangan selama ini aku bau? Ah! Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Seharusnya aku lebih peka. Kasihan sekali suamiku harus menahan perasaan tak enak hanya karena takut aku akan tersinggung. Padahal jika saja ia berterus terang, tentu tidak akan terjadi seperti ini. 

Mas Bagas memang tipe suami yang tidak enak hati. Aku yakin dia tidak mau menyakiti perasaanku. Sekarang akulah yang harus pintar dan mengambil inisiatif sendiri, anggap saja sebagai sebuah kejutan bagi Mas Bagas. Dia pasti merasa senang. Baiklah, Mas. Aku akan kembali gencar merawat diri hanya untukmu. 

Lega rasanya ketika menemukan jawaban atas kekacauan yang setahun terakhir ini terjadi. Mas  ... mas, kenapa tidak jujur saja, sih? 

Sambil bersenandung kecil, aku mulai membersihkan diri. Rencana demi rencana telah kurancang di dalam kepala demi sang suami tercinta. Aku harus lebih giat merawat diri agar Mas Bagas senang. Rencana awalku adalah pergi ke salon kecantikan. 

***

Beberapa jam kemudian aku telah menyelasaikan beberapa pelayanan di salon yang kukunjungi. Puas sekali rasanya. Tak lagi berniat ke mana-mana, aku pun segera pulang bersiap-siap menyambut Mas Bagas pulang. Ini pasti akan menyenangkan pikirku. 

Setiba di rumah, jam telah menunjukkan pukul empat sore. Sebentar lagi Mas Bagas datang. Dadaku pun ikut berdebar hebat tak kalah cepat seperti detak jarum jam di dinding. 

"Cepat cepat cepat!"

Aku bergumam agak panik sendiri sambil memilah pakaian di lemari. 

"Ini? Bukan. Atau ini? Jangan, ah! Uhm! Ini aja, deh!"

Kuraih selembar baju tidur tipis berwarna lylac, berukuran anjang selutut serta leher rendah berbentuk huruf v pemberian Mas Bagas beberapa bulan lalu. Sama sekali belum pernah kupakai karena bukan warna favoritku. Namun, tak apa jika kucoba memakainya saat ini, lagi dan lagi niatku hanya ingin membuat suamiku senang. 

Aku berdiri di depan cermin. Pantulan tubuhku samar-samar terlihat. Begitu juga bagian depan tubuh yang agak terbuka. Pipiku terasa hangat, aku merasa malu sendiri. 

"Duh, apa Mas Bagas nanti suka?"

Aku sedikit ragu dan ingin melepaskan baju tidur yang telah kukenakan. Namun, di sisi lain hatiku berkata kalau Mas Bagas tidak suka, kenapa juga dia memberikan baju tidur ini untukku? Itu artinya dia ingin melihatku mengenakannya. Niat untuk menanggalkan baju tidur pun urung kulakukan. 

Rambut sebahu kugelung ke atas. Sengaja aku mengekspos bagian leher yang terlihat jenjang, barangkali Mas Bagas suka. Sedikit polesan make up kusapukan ke wajah, begitu juga dengan pewarna bibir berwarna nude tak lupa kuoles di bibir tipisku. Parfum beraroma lembut yang sengaja kupesan khusus beberapa kali kusemprotkan ke beberapa bagian tubuh. Aku benar-benar siap menyambutnya. Tak ada agenda masak memasak hari ini, makanan untuk makan malam pun telah kupesan online sejak tadi. 

Satu jam berlalu. Aku masih berdiri di depan cermin. Sesekali membenarkan beberapa helai anak rambut yang berantakan. Lalu memeriksa lipstik serta perona pipi yang membuat penampilanku semakin sempurna. 

"Huft!"

Aku mengembuskan napas kasar. Menunggu adalah hal yang paling menjengkelkan. Apalagi dalam kondisi seperti sekarang, dada berdebar tak keruan. AC di ruangan telah kuaktifkan sejak tadi, akan tetapi perasaan gerah masih melanda. Gugup dan salah tingkah melebur menjadi satu. 

Kulirik jam dinding berulang kali. Beberapa menit lagi Mas Bagas akan tiba. Pikiranku semakin tak menentu. Rasa was-was bercampur malu menjadi satu. 

Aku mengintip lewat jendela depan, pintu pagar masih tertutup rapat. Saat hendak berbalik badan, aku mendengar deru sepeda motor di luar sana. Aku bisa melihat Mas Bagas turun dari sepeda motornya menuju pintu pagar. Ya, pagar kami hanya setinggi pinggang orang dewasa. Siapa pun yang lewat di jalan kompleks perumahan kami, bisa terlihat dengan jelas. 

Aku bergegas menuju ke arah pintu. Telapak tangan terasa dingin dengan perasaan gugup kian bertalu. Untuk menetralisirkan suasana, aku pun mencoba menghitung mundur. 

5

4

3

2

1

"Assalamu'alaikum."

Salam yang Mas Bagas ucapkan di depan pintu rumah membuat jantungku seakan copot dari tempatnya. 

"Dek. Hanum. Mas pulang."

Bukannya menjawab, di balik pintu aku sibuk menarik napas dan mengembuskannya kuat. 

"Tenang. Jangan panik. Tarik napas!" Aku berusaha menenangkan diri. 

"Dek. Kamu di dalam?" Kali ini Mas Bagas menekan hendel pintu. 

Perlahan, aku memutar kunci. 

Klek! 

Pintu pun terbuka. 

"Dek. Kamu di mana?"

Mas Bagas menerobos masuk. Bukannya berlari menyambut kedatangan lelaki itu, aku malah berdiam diri di balik pintu. Saat ini, bukan hanya pipiku memanas, akan tetapi seluruh tubuh ikut gemetar gugup. 

"Dek, di mana, sih?" 

Mas Bagas masih memanggil. Suaranya terdengar dari arah kamar. Aku berjalan perlahan tanpa suara. Tak kuhiraukan lagi bagaimana reaksi Mas Bagas setelah melihatku nanti. Aku harus mencoba, jika tidak semuanya akan sia-sia. 

"Mas!" Aku memanggil lirih begitu tiba di ambang pintu kamar. 

"Lha, malah di sini. Mas cari-cari dari tadi."

Mas Bagas mendekatiku. Aku tersenyum. Ya, aku berusaha memberikan senyuman termanis padanya. 

"Kamu habis dari mana?" tanyanya saat jarak kami hanya terpaut beberapa langkah saja. 

"Ehm  ... uhmm dari situ!" setuju terbata. 

"Mas lapar, tadi siang sengaja ngga makan di kantor, mau makan bareng kamu."

Dia sama sekali tak memberi respon mengenai penampilanku. Mas Bagas malah berbalik badan sambil melepaskan kancing kemejanya satu persatu. 

"Mas  ... aku sudah siap." Aku berujar sambil menunduk. Pelan sekali. 

"Iya. Mas tau kamu sudah masak. Makanya Mas mau makan bareng kamu aja di rumah. Sebentar, ya. Mas cuci muka dulu."

"Bukan itu, Mas. Tapi aku sudah siap untuk  ..., hmm anu, aku sudah dandan gini. Aku tunggu, ya." Aku memberanikan diri dengan memberi kode padanya.

Kulihat Mas Bagas menarik napas panjang. Lelaki itu meraup wajah menggunakan kedua telapak tangannya. Tak lama dia berjalan mendekatiku. 

Aku menunduk. Apakah ini saatnya? Sesuatu yang telah lama kutunggu-tunggu akan segera terjadi? Amboi, tidak sia-sia semua yang telah kupersiapkan sejak pagi tadi. Rencanaku berjalan mulus. Aku akan menjadi seorang istri yang utuh untuk suamiku. 

Dalam diam aku memejamkan mata. Menunggu apa yang pertama kali akan dilakukan oleh Mas Bagas. Apakah meraih daguku agar terangkat ke atas, atau menyentuh ubun-ubunku sambil merapal doa? 

Aku menunggu  ... 

***

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status