"Hanum, maaf. Mas capek. Lapar. Kita masih punya banyak waktu untuk melakukan hal ini. Jangan sekarang, ya. Mas mohon.""Tapi ... aku sudah siap-siap gini, Mas." Aku mengajukan protes.Perasaan malu karena ditolak menari-nari dalam pikiran. Aku menundukkan wajah, sama sekali tidak melihat ke atas Mas Bagas. "Kami, sih, Mas pulang kerja bukannya suguhin makan dulu, malah minta yang aneh-aneh." Mas Bagas terkekeh. Sempat-sempatnya dia tertawa? Mas Bagas mengejekku? Lalu apa tadi itu katanya? Aneh-aneh? Memangnya aku meminta sesuatu yang aneh? Apakah menggauli istri sendiri termasuk hal aneh bagi Mas Bagas? Selama satu tahun belakangan sudah banyak hal yang terasa tak masuk akal. Diam-diam aku sering memperhatikannya. Lelaki mana, sih, yang enggan menyentuh hidangan yang telah dipersiapkan di depan mata? Sudah lama juga aku ingin mencari tahu apa penyebabnya, akan tetapi lelaki itu selalu saja bisa kembali meyakinkan jika dia memang sedang tidak bisa diganggu dengan pekerjaan-pekerjaa
"Mas pergi, ya. Assalamu'alaikum."Pagi ini aku melepaskan kepergian Mas Bagas ke tempat kerja seperti biasa. Setelah semalaman aku merasa teramat jengkel dengan sikapnya, akan tetapi aku tak mau berlarut-larut. Selepas shalat Magrib kemarin, aku memilih membaca buku di tempat tidur. Tak lupa kutanggalkan terlebih dahulu baju tidur pemberian Mas Bagas yang memuakkan. Melihatku memperlihatkan sikap dingin dan tak menggubris sama sekali, lelaki itu pun memiliki duduk di meja kerjanya. Menghadapi komputer serta berkas-berkas kantor yang lebih sering dielus dari pada aku istrinya. "Dek, jadi?" tanyanya pelan. "Apaan?" Aku balik bertanya tanpa menoleh sedikit pun. "Yang tadi," ucapnya lagi. "Yang mana?" Aku berpura-pura belum mengerti. "Hmmm ... ya sudah. Mas lanjut kerja, ya"Kulirik Mas Bagas dengan ujung mata. Di saat yang sama, ternyata dia juga tengah melihat ke arahku. Namun, cepat-cepat dia berputar arah, kembali menghadap ke komputer. Aku terus memperhatikan lelaki itu. Gelag
Tiga hari berlalu setelah pertemuanku dengan Sarah. Tak ada yang berubah dari Mas Bagas. Hanya janji dan janji saja yang terus ia berikan. Aku pun sudah tak lagi merayu bahkan memancingnya. Kami sibuk dengan aktivitas masing-masing. Mas Bagas dengan pekerjaannya, sementara aku mengurus butik yang beberapa minggu terakhir jarang kukunjungi. "Mas, aku mau ke butik. Aku ikut bareng kamu, ya," ucapku sembari membenarkan letak jilbab di depan sebuah cermin berukuran lebar di dalam kamar. "Lho, Mas pakai motor, Dik.""Nggak pa-pa. Lagian jalannya juga searah. Aku sedang malas nyetir." Aku membuat alasan. "Nanti kamu pulangnya gimana? Mas mana bisa antar pulang." Mas Bagas masih menolak. "Aku tunggu Mas pulang sore nanti.""Wah, hari ini Mas agak telat pulangnya. Ada ketemu klien."Aku melirik Mas Bagas. Dia sedang memasukkan laptop ke dalam tas kerja. Mas Bagas memang jarang mengendarai mobilnya ke kantor. Dia lebih senang memakai motor dengan alasan kalau terjebak macet, enak menyelip
Aku tak kalah kaget melihat kondisi lelaki yang sedang berdiri tepat di depanku itu. Selain hanya mengenakan selembar handak dan bertelanjang dada, Mas Bagas juga memegang selembar handuk kecil berwarna putih sembari mengeringkan rambutnya yang tampak basah. "Lho, kamu kenapa di sini?" Raut wajah Mas Bagas terlihat tidak biasa. "Mas yang ngapain di sini?" tanyaku dengan suara memburu. "Mas ... Mas mau ketemu klien." Mas Bagas tampak gugup. "Siapa kliennya? Terus itu Mas baru siap mandi? Keramas?""Eh! Ini, hmmm ... Mas gerah."Aku menangkap kilatan lain dari matanya. Ada yng tak beres. Mas Bagas sedang berbohong. Aku melongokkan kepala ke dalam. Mas Bagas belum menyuruhku masuk sejak tadi. "Siapa di dalam?" tanyaku sambil menerobos masuk. "Tunggu, Dek. Nggak ada siapa-siapa. Mas sendirian. Tunggu!"Sama sekali tak kudengar perintah Mas Bagas. Aku masuk ke kamar secara paksa. Dadaku bergemuruh. Emosiku meledak-ledak di dalam dada. Apa yang Mas Bagas lakukan di penginapan ini? A
Hampir saja!Kenapa Hanum bisa tahu aku sedang di penginapan? Padahal jarak antara penginapan Melati dengan butik miliknya lumayan jauh. Apakah dia jujur jika sedang mengintaiku? Ck! Aku memang salah. Sama sekali belum bisa membahagiakan istriku, akan tetapi aku memang tidak bisa. Hanum sama sekali tidak menarik di mataku. Lalu, apakah aku mencintainya? Jawabannya adalah iya. Aku mencintainya, karena dia adalah seorang istri yang baik. Aku tidak akan membiarkan Hanum pergi dari hidupku. Egois memang. Namun, kurasa wajar saja. Toh, Hanum juga mencintaiku. Perkara dia masih tersegel hingga satu tahun usia pernikahan kami, itu bukanlah masalah. Selama dia masih mau mendengar setiap alasan yang kubuat. Alasan yang kubuat-buat tepatnya. Namun, sekarang tampaknya dia sudah pintar. Istriku itu sudah beberapa kali memberontak. Dia menagih nafkah batin dariku. Berbagai macam cara ia lakukan untuk menggodaku, akan tetapi aku sama sekali tidak menggubrisnya. Kenapa aku bisa tahan? Ya, karena
"Kamu kenapa, Sayang? Belakangan ini Mas perhatikan sering uring-uringan. Selalu cari-cari kesalahan Mas. Hal kecil pun menjadi besar dan dipermasalahkan."Mas Bagas berdiri tepat di depanku. Aku menggubrisnya. Jemariku sibuk kuketukkan di atas meja makan. "Hanum, Mas lagi ngomong. Kamu jangan begini terus, dong!" Lelaki beralis lebat itu kembali mengajukan protes. Aku hanya melirik sekilas, lalu meraih ponsel dan menyibukkan diri dengan benda pipih tersebut. "Astaghfirullah, Sayang. Tolong, dong jangan uji kesabaran Mas. Kamu yang Mas kenal nggak begini. Kamu kesambet?" Mas Bagas masih saja cerewet. "Aku mau sendiri dulu, Mas. Jangan ganggu," ujarku agak katus. "Lho, Mas dari tadi cuma berdiri di sini, kok. Ngga mengganggu sama sekali.""Ya, tapi Mas jangan berdiri di situ. Entah ke mana gitu!"Kutangkap raut keheranan di wajah Mas Bagas. Barangkali dia heran melihat tingkahku. Selama ini aku selalu menurut padanya. Mendengarkan segala ucapnya. Dan sebenarnya aku bukanlah tipe wa
Aku merasa bersalah pada Hanum. Sangat bersalah. Terlebih setelah kejadian tadi malam. Aku tahu dia terluka. Aku telah menyakiti orang yang kucintai berulang kali. Luka lama belum kering, kembali kutorehkan luka baru di tempat semula. Bukan hanya sekadar luka, bahkan aku tega menabur garam serta jeruk nipis di atasnya. Pagi tadi, saat aku merabai Hanum di sisiku, hanya tempat tidur kosong yang kudapatkan. Kukira dia sedang di dapur menyiapkan sarapan, atau di halamaan belakang sedang menyiram bunga-bunga kesayangannya, akan tetapi tidak kutemukan Hanum di sudut mana pun di dalam rumah. Aku kalut dan panik tentunya. Aku memang bangun agak kesiangan pagi tadi, berhubung hari libur. Padahal ada agenda yang harus segera kutuntaskan, tetapi aku membatalkannya tadi malam. Aku telah menyusun rencana, hari ini akan kuhabiskan bersama Hanum. Alih-alih sebagai caraku meminta maaf padanya setelah apa yang kulakukan tadi malam. Meninggalkannya di saat kami hendak mereguk surga dunia. Aku kembal
"Cari siapa, Mba?" Wanita itu berbalik badan dan terlihat kaget. Sepertinya dia sama sekali tidak mengetahui kehadiranku di belakangnya. "Pak Bagas? Saya Anita, sekretaris yang diutus Pak Sofyan untuk mengambil surat pemberkasan dari bapak." Wanita bernama Anita itu tersenyum ramah."Oh, iya sebentar. Silakan masuk."Ternyata benar. Anita adalah orang kiriman Pak Sofyan. Dia adalah salah seorang klienku. Pak Sofyan memang menghubungi beberapa saat yang lalu. Awalnya aku membatalkan rencana pertemuan kami hari ini. Ada beberapa poin yang membuat pilihan kerja sama dengan perusahaan milik Pak Sofyan melemah. Namun, lelaki paruh baya itu tak tinggal diam. Dia merayuku dengan segala janji yang ia utarakan. Anita mengangguk. Aku meninggalkannya menuju kamar. Berkas yang diminta ada di meja kerjaku. Agak sedikit tak enak hati sebenarnya saat menyuruh wanita itu masuk, pakaian yang ia kenakan tergolong seksi dan agak terbuka. Apakah seorang sekretaris harus berpakaian seperti itu? Atas per