Aku lelah! Sungguh. Cobaan apa lagi yang Tuhan berikan untukku? Bertubi-tubi tanpa henti. Rasanya belum sempat aku menarik napas akibat kecurigaanku pada Mas Bagas tempo hari. Hari ini, aku duduk di sini dalam keadaan yang menyedihkan. Kondisiku sekarang tentu akan menyusahkan banyak orang, terutama keluargaku sendiri. Aku memerlukan mereka. Mereka adalah pengganti penglihatanku. Terutama Ibu, wanita kuat yang menjadi tongkatku saat aku terpuruk. Ibu tak lelah membantu saat aku tertatih menghadapi kenyataan pahit yang kuterima. Ibu selalu ada dalam suka dan duka. Menghapus setiap tetes air mata yang tak henti mengalir. Hari bergulir begitu cepat. Aku sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Meskipun terkadang masih sering menangisi diri sendiri, akan tetapi aku sudah bisa lebih mandiri. Ibu mengutarakan jika ia ingin pulang. "Kasihan Bapak. Nggak ada temennya." Begitu alasan Ibu saat aku melarangnya. Aku meminta Ibu untuk bertahan beberapa minggu lagi, akan tetapi ia menolak dengan l
"Mas, kita sudah menikah selama satu tahun, sampai kapan aku harus bersabar?"Hanum akhirnya memberanikan diri untuk bersuara. Ia menepis rasa malu di depan sang suami. Wanita yang sudah dinikahi satu tahun lamanya oleh Bagas, akan tetapi kondisinya masih tersegel. Sang suami belum menyentuhnya sama sekali. "Sabar, Dek. Mas akhir-akhir ini terlalu sibuk di kantor. Kerjaan Mas numpuk. Ngga selesai-selesai. Kamu ngertikan posisi, Mas?"Bagas membingkai wajah istri dengan kedua tangannya. Ia memperlihatkan raut wajah memelas dan berharap pengertian yang besar dari Hanum. "Tapi sampai kapan, Mas? Masa satu tahun kamu sibuk terus? Aku juga pengen ...,"Kalimat Hanum terhenti. Ada sesak yang menyeruak dalam sanubarinya. "Beri Mas waktu, ya. Setelah semuanya selesai, kita akan bulan madu."Lagi-lagi Hanum hanya bisa mengangguk pasrah. Dia tidak berani memberontak, meskipun keinginannya sebagai seorang istri terus mendesak. Hanum mencoba untuk kembali bersabar dengan alasan sang suami.Se
"Mas!"Jantungku berdetak lebih cepat saat berjalan mendekati Mas Bagas. Setiap kali keinginan itu muncul, tingkahku menjadi beberapa tingkat lebih agresif dari biasanya. Semoga malam ini dia tidak menolakku lagi seperti yang sudah-sudah. "Iya, Dek." Lelaki itu menjawab pelan. Matanya masih fokus ke layar laptop. "Malam ini, ya." Aku berbisik di telinganya. Kedua tangan kurangkulkan di leher suamiku. Mas Bagas sedikit menggeliat. Barangkali ia merasa geli karena aku menyentuh tengkuknya. "Mas masih sibuk, Dek. Besok ada presentasi." Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop. "Sebentar aja, Mas. Aku sudah siap-siap." Aku masih berusaha merayunya. "Jangan sekarang, ya. Plis. Bos bisa marah kalau ini nggak selesai."Oke! Aku sadar diri. Dia menolakku lagi. Perlahan kulonggarkan rangkulan dari lehernya. Lalu aku berbalik badan menjauh dari Mas Bagas. "Mas minta maaf, ya. Kamu ngga kenapa-kenapa, kan?" Pertanyaan lelaki itu menghentikan langkahku. "Ngga pada, Mas.
"Dek, Mas berangkat, ya."Rasanya malas sekali membuka mata. Mengingat kejadian semalam, aku merasa dihina berkali-kali lipat oleh suamiku sendiri. Bukan sekali dua kali aku berhias untuk menyenangkan hatinya, akan tetapi lagi dan lagi penolakan yang kuterima. Mas Bagas memang tidak menolakku secara terang-terangan, tapi dengan berbagai macam alasan menghindar yang ia lemparkan saat aku sedang haus belaian, itu jauh lebih menyakitkan. "Dek, kamu marah karena kejadian semalam?"Kali ini kurasakan rasa hangat belaian tangannya menyentuh pipiku. "Mas minta maaf, ya."Selalu begitu. Sejak dulu hingga detik ini hanya itu yang menjadi kalimat pamungkasnya. Meminta maaf dan memperlihatkan wajah menyesal sehingga aku luluh dan tak lagi mempermasalahkan. "Dek, Mas minta maaf." Ulang lelaki yang posisinya tak jauh dariku. Walau masih memejamkan mata, akan tetapi aku bisa merasakan kehadirannya di sampingku. Hanya sebuah anggukan kecil kuberikan. Setidaknya itu sudah lebih dari cukup untuk s
Apakah Mas Bagas selingkuh? Rasanya tidak mungkin. Toh, selama ini dia masih sangat perhatian. Lalu, apakah ada hal lain yang selama ini aku tidak tahu sama sekali? Atau ada yang salah denganku? Dengan tubuhku atau sifat dan tingkahku? Apakah selama ini ada yang tidak dia sukai dariku, tapi dia enggan untuk mengatakannya? Apakah aku kurang menarik? Atau jangan-jangan selama ini aku bau? Ah! Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Seharusnya aku lebih peka. Kasihan sekali suamiku harus menahan perasaan tak enak hanya karena takut aku akan tersinggung. Padahal jika saja ia berterus terang, tentu tidak akan terjadi seperti ini. Mas Bagas memang tipe suami yang tidak enak hati. Aku yakin dia tidak mau menyakiti perasaanku. Sekarang akulah yang harus pintar dan mengambil inisiatif sendiri, anggap saja sebagai sebuah kejutan bagi Mas Bagas. Dia pasti merasa senang. Baiklah, Mas. Aku akan kembali gencar merawat diri hanya untukmu. Lega rasanya ketika menemukan jawaban atas kekacauan yang se
"Hanum, maaf. Mas capek. Lapar. Kita masih punya banyak waktu untuk melakukan hal ini. Jangan sekarang, ya. Mas mohon.""Tapi ... aku sudah siap-siap gini, Mas." Aku mengajukan protes.Perasaan malu karena ditolak menari-nari dalam pikiran. Aku menundukkan wajah, sama sekali tidak melihat ke atas Mas Bagas. "Kami, sih, Mas pulang kerja bukannya suguhin makan dulu, malah minta yang aneh-aneh." Mas Bagas terkekeh. Sempat-sempatnya dia tertawa? Mas Bagas mengejekku? Lalu apa tadi itu katanya? Aneh-aneh? Memangnya aku meminta sesuatu yang aneh? Apakah menggauli istri sendiri termasuk hal aneh bagi Mas Bagas? Selama satu tahun belakangan sudah banyak hal yang terasa tak masuk akal. Diam-diam aku sering memperhatikannya. Lelaki mana, sih, yang enggan menyentuh hidangan yang telah dipersiapkan di depan mata? Sudah lama juga aku ingin mencari tahu apa penyebabnya, akan tetapi lelaki itu selalu saja bisa kembali meyakinkan jika dia memang sedang tidak bisa diganggu dengan pekerjaan-pekerjaa
"Mas pergi, ya. Assalamu'alaikum."Pagi ini aku melepaskan kepergian Mas Bagas ke tempat kerja seperti biasa. Setelah semalaman aku merasa teramat jengkel dengan sikapnya, akan tetapi aku tak mau berlarut-larut. Selepas shalat Magrib kemarin, aku memilih membaca buku di tempat tidur. Tak lupa kutanggalkan terlebih dahulu baju tidur pemberian Mas Bagas yang memuakkan. Melihatku memperlihatkan sikap dingin dan tak menggubris sama sekali, lelaki itu pun memiliki duduk di meja kerjanya. Menghadapi komputer serta berkas-berkas kantor yang lebih sering dielus dari pada aku istrinya. "Dek, jadi?" tanyanya pelan. "Apaan?" Aku balik bertanya tanpa menoleh sedikit pun. "Yang tadi," ucapnya lagi. "Yang mana?" Aku berpura-pura belum mengerti. "Hmmm ... ya sudah. Mas lanjut kerja, ya"Kulirik Mas Bagas dengan ujung mata. Di saat yang sama, ternyata dia juga tengah melihat ke arahku. Namun, cepat-cepat dia berputar arah, kembali menghadap ke komputer. Aku terus memperhatikan lelaki itu. Gelag
Tiga hari berlalu setelah pertemuanku dengan Sarah. Tak ada yang berubah dari Mas Bagas. Hanya janji dan janji saja yang terus ia berikan. Aku pun sudah tak lagi merayu bahkan memancingnya. Kami sibuk dengan aktivitas masing-masing. Mas Bagas dengan pekerjaannya, sementara aku mengurus butik yang beberapa minggu terakhir jarang kukunjungi. "Mas, aku mau ke butik. Aku ikut bareng kamu, ya," ucapku sembari membenarkan letak jilbab di depan sebuah cermin berukuran lebar di dalam kamar. "Lho, Mas pakai motor, Dik.""Nggak pa-pa. Lagian jalannya juga searah. Aku sedang malas nyetir." Aku membuat alasan. "Nanti kamu pulangnya gimana? Mas mana bisa antar pulang." Mas Bagas masih menolak. "Aku tunggu Mas pulang sore nanti.""Wah, hari ini Mas agak telat pulangnya. Ada ketemu klien."Aku melirik Mas Bagas. Dia sedang memasukkan laptop ke dalam tas kerja. Mas Bagas memang jarang mengendarai mobilnya ke kantor. Dia lebih senang memakai motor dengan alasan kalau terjebak macet, enak menyelip