Inggit tersentak mendengar ucapan pembawa berita. Berbeda dengan Karim yang kelelahan sejak semalam. Dia bahkan tidak tidur karena mencari solusi atas masalah yang menimpa pernikahan anaknya. Sampai akhirnya sekarang tidak bisa lagi menahan matanya dan tidur di perjalanan.Ketika melihat ke arah sang Bapak, pria tua itu rupanya tidur. Padahal dia ingin Bapaknya itu tahu, dan menimbang ulang rencananya bertemu tabib. Inggit seolah sedang melihat masa depannya nanti, kala Haris tahu semuanya. Tapi bahkan, dia sendiri sudah mengkhianati suaminya dengan bertemu pria lain, walau tidak sampai melakukan hubungan suami istri, pria bernama Albi itu sudah menyentuh semua miliknya. Mau bagaimana lagi, itu cara satu –satunya memuaskan diri sebagai seorang perempuan yang jarang dibelai suami.Sering kali kerinduannya membuncah. Namun, bahkan Haris tak mau datang dan menuntaskan keinginannya sebagai seorang istri. ‘Salah siapa? Dia yang sudah mengajari aku semuanya, tapi malah lebih lama dengan wan
Haris pun berinisiatif membisiki orang yang sedang bicara dengan mertuanya, untuk bertanya tabib siapa yang dihubungi?“Pak, tanyakan di tabib mana?” Haris mengucap dengan hati –hati agar tidak terdengar oleh orang di ujung telepon.Dia juga tidak mau kalau sampai Pak Karim tahu dia mencarinya, sebelum dia sendiri tahu ke mana perginya orang itu? Yang lebih membuatnya kepikiran, kenapa mereka harus pergi bertiga. Kenapa tidak dengan ibunya saja? Lagi pula apa Inggit tidak merasakan apa pun saat berpisah dengannya semalam? Apa cuma Haris yang merasakan itu?Pemilik kost mengerti. Dengan nada suara dan ekspresi Haris, pria itu tampaknya tidak mau diketahui mertuanya sedang di sini dan sangat ingin tahu keberadaannya tanpa disadari mereka. Entah, apa sebabnya? Yang jelas, setelah yang terjadi tadi malam, pria itu mengerti situasi keluarga mereka tidak sedang baik –baik saja.“Halo?” Pak Karim memanggil, karena suara induk semangnya terjeda. Dia sampai berpikir kalau panggilan telah berak
Sementara itu ....Di lereng gunug Lembang Batu, ritual akan segera dimulai.Inggit menarik napas panjang dengan dua kelopak mata yang melebar. Terkejut melihat sosok pria yang harus dilayani di tempat tidur nanti.Gadis itu pun melayangkan protes pada Bapaknya, dengan menarik pria itu ke luar. Inggit terlalu memaksa hingga Karim tak ada pilihan lain selain mengikutinya.“Pak ikut aku!” ucapnya di kala lengannya sudah berhasil mengamit lengan Pak Karim.Melihat itu Mbah Wono yang berada di seberang meja dengan berbagai sesajen yang telah disiapkan asisten, menatap dengan kesal. Gadis yang akan memberikan mahar, berlaku tak sopan padanya. Pria yang selama ini dimulyakan oleh masyarakat. Baru kali ini ia dipandang rendah oleh anak ingusan tepat di hadapan.“Inggit! Apa yang kamu lakukan?” Karim bertanya dengan menahan emosi dalam dadanya. “Kamu bisa kualat,” tekannya dengan menarik tangannya menjauh dari anaknya itu.“Ayok kita kembali ke dalam!” Kini Pak Karim bergantian menarik lengan
“Hanya ini?” tanya Inggit keheranan. Membayangkan hanya memakai sehelai kain menutup tubuh.“Tutup mulutmu dan pakailah!” Karim mengucap gemas.Dengan terpaksa Inggit pun berjalan masuk membawa sarung tersebut untuk dikenakan, lalu menemui Mbah Wono, menyerahkan tubuhnya sebagai mahar syir yang mengikat hati Haris sepenuhnya.Inggit sudah mengenakan pakaian yang diminta sang dukun. Seorang perempuan dengan mengenakan kebaya lalu menuntunnya untuk melakukan sesuatu.“Jangan membawa benda berharga apa pun,” ucap wanita berkebaya merah sembari melepaskan anting, kalung, cincin dan gelang yang melekat di tubuh Inggit.Inggit pun hanya pasrah. Tetap melakukannya meski ada kecemasan, kalau –kalau di tengah ritual dia ikut kesurupan dan mati.“Mbak. Benar Cuma tidur saja kan? Gak sampai dijadikan tumbal?” tanya Inggit memastikan. Setidaknya dia perlu tenang agar berani melangkah lebih jauh lagi.Asisten tabib mengangguk. Wajahnya pucatnya tak sekali pun tersenyum, hingga membuat Inggit meras
Ustaz Fawwas menatap ke arah Ibu Inggit yang tampak gelisah. Wanita itu tengah sibuk menghubungi orang melalui ponsel yang digenggam. Namun, sepertinya tidak juga mendapat jawaban sampai raut wajahnya kesal begitu.“Bu, nggak pulang?!” tanya Ustaz Fawwas.“Ah, ya. Ini Ustaz. Saya menunggu Wawan. Ke mana dia pergi? Saya hubungi berkali –kali tapi tidak juga diangkat.” Ibu Inggit mengeluh. Sesekali ia melihat ke arah ponsel. Siapa tahu tiba tiba ada panggilan atau pesan dari adiknya yang menghilang entah ke mana itu?“Oh ya benar .... ke mana perginya Pak Wawan?” Ustaz Fawwas celingukan mencari –cari sosok Wawan yang seharusnya tidak jauh –jauh dari area majlis. “Beliau seperti ditelan bumi saja.” Ustaz Fawwas geleng –geleng.Ustaz muda itu tersenyum, karena tahu apa yang membuat pria paruh baya itu menghilang dalam sekejap mata. Apa dia baru sadar sekarang bahwa emak –emak itu sebenarnya menakutkan. Itu kenapa harusnya dia berpikir ketika akan mencari gara –gara.“Bi!” panggil Ameena y
Mendengar suara mobil Ustaz Fawwas meninggalkan area Majlis, Wawan akhirnya ke luar. Ia celingukan memastikan bahwa ustaz muda dan istrinya benar –benar sudah pulang.“Wawan!” teriak Ibu Inggit mendekat. Wanita itu langsung memukuli tubuh adiknya dengan tas karena merasa kesal. Dia tak juga muncul di saat –saat dibutuhkan.“Auh, Mbak sabar. Maaf.” Pria itu mengaduh. “Aku bisa jelaskan.”“Heleh, mau jelaskan apa kamu? Dasar!”“Mbak, maaf tadi perutku tiba –tiba ndak enak. Jadi aku berjaga di toilet. Takut cepirit. Mau ajak pulang Mbak kan juga nggak mungkin.” Wawan mencari –cari alasan, walau alasannya itu konyol. Setidaknya dia tidak berdusta bahwa perutnya dari semalam memang bermasalah.“O ya, Mbak apa kata Ustaz tadi? Lalu apa istrinya Mas Haris ada menyebut namaku?” tanya Wawan penasaran.“Nah, itu aku heran. Kenapa mereka tidak menyebut namamu.” Ibu Inggit menjawab dengan dahi mengerut memikirkannya.“Alhamdulillah. Allah tahu niatku dari awal baik, Mbak. Jadi ....” Ucapan itu me
Inggit dan Bapaknya akhirnya pulang. Setelah berusaha keras inilah hasilnya. Tetap saja Karim harus merelakan harta senilai lebih dari 30 juta pada Mbah Wono. Hal yang tak diinginkan lain pun muncul. Pria itu semakin geram saja dibuatnya.“Haiss, apa lagi ini?” gumamnya ketika melihat sang sopir babak belur. Pria tua itu menghela napas berat lagi dan lagi.Pemuda yang menunggu mereka itu meringis menahan sakit. Albi masih beruntung karena dua algojo itu tidak mematahkan ke dua lengan dan kakinya, sehingga mereka masih bisa pulang dengan selamat. Karena tak ada orang lain yang bisa menyetir selain pemuda itu.Karim masuk mobil begitu saja. Dia tak habis pikir kenapa sopir taksi itu terlalu penasaran dan ingin tahu urusan orang lain. Sekarang dia harus menanggung sendiri akibatnya. Namun, melihat itu, Karim juga jadi berpikir, mungkin kalau tadi dia menahan emas di tangan Inggit, bisa jadi mereka bertiga bernasib lebih buruk dari sopir taksi itu.“Kamu baik –baik aja, kan?” Inggit mengh
Dua tangan Salma tertaut dan saling menekan satu sama lain. Ia berusaha keras mengendalikan perasaannya yang belakangnan memang sulit dikendalikan.Mendengar pengakuan Haris yang mengatakan jatuh cinta pada pandangan pertama, Salma tak yakin soal itu. Karena di saat bertemu, pasti belum ada interaksi antara Inggit dan Haris, yang bisa menjadi media sihir untuk menghubungkan.Atau jangan –jangan bukan karena sihir? Haris bisa jadi memang jatuh cinta pada Inggit, dan semakin tak bisa mnegendalikan keinginannya setelah Pak Karim menempelkan sihir. Salma menghela napas berat. Malang sekali nasibnya, suaminya bisa jatuh cinta pada gadis lain pada pandangan pertama. Bahkan dulu, cinta yang tumbuh antara Salma dan Haris berproses, bukan pada pertemuan pertama.“Ehm, pandangan pertama? Apa Abi yakin?” Salma ingin mendengarkan jawaban lain. Diangkat dua tangan yang sedari tadi dimainkan di pangkuan ke atas meja. Ia ingin tampak lebih tenang.“Mi, Abi ....”“Pasti Abi sangat menikmati tidur den