Share

Mengkondisikan Anak-anak

Sampai di rumah, aku masih beraktifitas seperti biasa. Tidak ingin memperlihatkan bahwa sedang bergerilya mencari kebenaran. Mas Haris juga berusaha memanjakanku, dia bahkan mengajakku berhubungan padahal selama ini dia tidak segila ini memperlakukanku. Sudah lama tepatnya, entah kenapa gairahnya berbeda.

Dan akhirnya aku tahu alasannya begitu hangat hari ini. Dia sudah tak sabar kembali ke aktifitas normalnya dulu. Aku tak menunjukkan perasaan tak enakku dan seolah semua berjalan seperti biasa. Aku tahu, dia juga pasti sangat terganggu dengan protesku selama ini.

“Abi pergi dulu, ya Mi.” Pria itu mengusap rambutku perlahan. Sudah lama sekali dia tak seperti ini. Apa harus protes dulu, baru dia ingat istrinya ini minta diperhatikan?

Ini kesempatan yang tak boleh kusiakan. Mencari tahu segala hal yang selama ini tertunda. Mas Haris pikir, aku pasti memilih menurut padanya dan tak lagi mempermasalahkan. Mana bisa? Aku juga seorang wanita biasa. Tidak akan diam saja ketika hal mencurigakan terjadi, walau kali ini harus menggadaikan ketaatanku sebagai seorang istri. Sesuatu yang kujaga mati –matian selama ini, bahkan ketika kami belum mengenal hijrah.

Langkah pertama yang harus kulakukan adalah mengkondisikan anak –anak. Ketika nanti meninggalkan mereka. Yah, setidaknya aku bisa tenang kalau mereka juga akan baik –baik saja.

“Hania!” panggilku pada si sulung yang tengah membereskan lemari adiknya.

Sejak kecil aku sudah mendidiknya sangat keras, bagaimana tanggung jawab seorang kakak sekaligus anak perempuan. Suatu saat Hania akan pergi dan berpisah dengan kami terutama aku ibunya, dia harus mandiri dan bisa mengerjakan segala sesuatunya sendiri.

Mungkin kalau Hania mendapat suami yang sangat pengertian, itu tak akan jadi masalah. Bagaimana jika suaminya tidak mau tahu urusan dan menuntut rumahnya terus rapi dan bersih? Itu juga salah satu yang membuat RT kami awet sampai belasan tahun. Aku selalu berusaha sesulit apa pun itu untuk membuat segala sesuatunya beres di rumah ketika Mas Haris datang.

Diakui atau tidak, lelaki akan senang dan lega, kalau istri bisa memanjakan mulut dan perut dengan menyajikan makanan yang dia suka juga rumah yang tidak berantakan. Para pria lelah, entah apa saja yang mereka hadapi di luar sana, percik –percik kemarahan akan muncul ketika pulang dalam kondisi rumah yang sangat berantakan.

Barang kali tidak akan jadi masalah, saat kelak Hania bisa mandiri secara finansial. Dia bisa mendiskusikan dengan mudah untuk meminta pengertian suaminya mengenai urusan rumah. Walau uang bukan segalanya, tapi segalanya perlu uang, dan bahkan untuk urusan rumah tangga sekali pun.

“Hania!”

“Ya, Ummi.” Gadis belia yang izin pulang dari pondok tersebut mendekat. Yah, karena alasan meninggal kakeknya, dan sekarang bisa kumanfaatkan untuk menjaga adik –adiknya.

Hemh, aku tak bisa mengerti, kenapa Hania yang tidak selalu berada di rumah tersebut, dijadikan alasan Mas Haris agar dia bisa jarang pulang sebab ada yang membantu. Di mana pikirannya? Apakah sesuatu telah membutakannya? Ini yang terus aku pikirkan belakangan.

“Ehm, Umi akan pergi,” ucapku sembari menyiapkan sesuatu yang akan kubawa dalam tas. Hape, dompet, dan jaga –jaga KTP jika diperlukan.

“Pergi?” Dahi Hania mengerut. “Malam –malam begini Bu? Ke mana? Kok sepertinya perginya jauh?” tebaknya. Mungkin karena melihat barang –barang yang kubawa.

Lagi pula, mana mungkin aku bisa pergi jika tidak malam hari? Ada si bungsu yang rewel ketika belum tidur. Kalau anak –anak yang kecil sudah tidur

Aku mengangguk. Lalu mendekatinya. Mengusap lembut rambut hitam Hania yang tergerai sebahu.

“Iya, mungkin tidak pulang juga Nak. Karena ke luar kota.” Aku mengucap sambil tersenyum seolah tidak apa –apa.

Aku tidak yakin Mas Haris pasti ada di alamat ini. Tapi setidaknya aku akan tenang setelah mengetahui segala hal tentang alamat tersebut.

Hania terlihat keberatan. Dia pasti takut, sebab ini pertama kalinya ditinggal dengan adik –adiknya dan dia harus bertanggung jawab dengan mereka.

“Nanti bawa oleh –oleh Bu?” Agni adiknya berlonjak memeluk tanganku. Ke dua tangannya basah, dia baru selesai mencuci piring bekas makan malam tadi.

“Hiss dasar kamu ini!” Hania mendelik ke arah adiknya.

Aku tersenyum melihatnya. Semoga kehangatan ini bukan yang terakhir, semoga apa yang kutemukan nanti tidak akan membuat rumah tangga ini dan melebur senyum anak –anakku.

Akhirnya, jam sembilan aku berangkat dengan taksi online yang kusewa. Beresiko memang. Tapi mau bagaimana lagi? Untungnya ada driver perempuan sebagai pilihan.

Jantungku berdebar tak menentu, bahkan ketika sudah lebih satu jam berada di dalam mobil. Jauh sekali alamat ini.

Akhirnya mobil memasuki perumahan yang lumayan bisa dikata mewah, sebab bangunan per rumahnya dipagar tinggi. Aneh. Kenapa Mas Haris memilih kantor cabang di tempat begini? Bukannya dia bilang kemarin di jalan besar? Apa dia benar –benar berbohong padaku?

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
PiMary
jeng jeng jeng...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status