"Mas, aku tidak pernah melarang niatmu untuk membahagiakan keluargamu. Tapi tolong, jangan abaikan kami, Mas!" Aku berkata jujur dari lubuk hati yang paling dalam."Jadi kamu anggap aku abai? Mir, jangan jadi istri yang tidak pandai bersyukur! Kamu lihat sendiri, setiap hari kalian masih bisa makan dengan kenyang! Kalian belum pernah merasakan kekurangan. Kamu tahu itu! Aku mencukupi semuanya dengan tanpa kurang suatu apapun. Tapi sekarang kamu malah menganggapku abai. Apa maksudmu?" ujar Mas Habib."Iya aku tahu kami tidak pernah kelaparan! Tapi apa yang kami dapatkan memang sungguh benar-benar sekedar makan, tanpa memikirkan apa kandungan gizi yang kami makan. Tapi, Mas, hidup ini bukan hanya tentang bisa makan! Bahkan yang dimakanpun lseharusnya dipikirkan kelayakannya.""Jadi kamu pikir makan kalian tidak layak?" Mata Mas Habib melotot.Aku mengucapkan istighfar dalam benak ini. Sepertinya perselisihan tidak akan mudah selesai meski berdebat seharian."Sebenarnya aku hanya ingin M
Aku sedang membereskan dapur sebelum berangkat ke rumah Bu Sarah. Kulihat mas Habib sedang memperhatikanku. Entahlah apa yang dia pikirkan."Mir!" ujarnya."Ya, Mas,""Kenapa sekarang aku lihat kamu semakin kusam saja! Penampilan semakin kucel, apa kamu tidak pernah mandi? Tidak pernah wudhu? Rambutmu juga terlihat sangat kering dan berketombe begitu!" Aku tertawa lirih mendengar perkataannya. Tapi ini bukan tawa bahagia. Ini tawa yang mewakili kesedihan."Apa aku akan jadi cantik dan glowing hanya dengan mandi dan wudhu, Mas?" Tanyaku datar."Dan rambut ini kering dan berketombe karena tak cocok dengan shampo yang kamu beli, Mas! Tak ada pelembab rambut atau apa. Jadi maklum jadi kusam begini." Ketika membeli sesuatu, Mas Habib tidak pernah memberikan pilihan padaku, termasuk shampo, dia akan membeli yang termurah dan dapat lebih banyak. Tak peduli rambutku cocok atau tidak. Untuk protes, itu tidak berguna. Aku sudah mencoba, tapi dia hanya akan mengatakan aku terlalu banyak menunt
"Mbak Mir, ibu minta tolong sama mbak buat bantu-bantu." Elia berujar."Bantu-bantu rumah?""Iya, Mbak.""Maaf, El. Bukannya mbak tidak mau, tapi Mbak sibuk. Kamu saja yang bantu-bantu ibu ya, kan libur sekolah," ucapku.Seketika Elia mendelik."Aku?" ucapnya."Ya, kamu," jawabku."Apa mbak tidak tahu kalau aku belum terbiasa dengan seabrek pekerjaan rumah?" ucapannya seperti kurang suka demgan ucapanku tadi."Makanya harus dibiasakan, El. Kamu sudah cukup besar untuk bisa mengerjakan hal semacam itu. Kamu sudah Kelas dua SMA, sepertinya bukan anak kecil, kan?" Elia semakin tak suka. Tatapan matanya begitu tak bersahabat. "Ibuku saja tidak pernah bicara seperti itu, Mbak! Tapi baiklah, manti aku bilang ibu kalau Mbak tidak mau membantunya," Setelah selesai berbicara demikian, Elia langsung meninggalkanku dengan mulut mencibir. Anak itu memang terlalu dimanja. Aku tidak bisa terus-terusan menuruti keinginan mereka. Selain itu aku juga sibuk. Aku harus pergi ke rumah Bu Sarah. Beker
"Beruntung sekali kamu, Mir, ditakdirkan mendapatkan suami seperti Habib. Laki-laki penyayang, yang taat juga beribadah," celetuk Bu Rina, salah satu pelanggan Bu Sarah. Aku refleks terkejut dengan penuturan itu.Sore ini aku pulang bersamaan dengan Bu rina yang baru saja memesan kue pada Bu Sarah. Kue-kue itu akan kami buat keesokan harinya. Karena jarak rumah kami dan rumah Bu Sarah tidak terlalu jauh, maka aku biasa pulang dengan jalan kaki."Aku sering kali berpapasan dengan Habib yang sedang menuju pesantren Arrahmah." ujar Bu Rina lagi."Pesantren Arrahmah?" Aku mengulang nama itu. Sejak kapan Mas Habib sering ke sana?"Iya. Suamimu kan setiap bulan memberikan sumbangsih ke sana. Bahkan Pak Haji Hasbullah juga sudah terbilang dekat sana Habib."Aku mengernyitkan dahi."Dari mana Ibu tahu itu, Bu Rin?" tanyaku."Sudah bukan hal aneh lagi, Mir. Sudah lama juga orang-orang pada tahu. Suamimu kan rajin sekali ibadah di masjid milik Arrahmah. Memangnya kamu kemana saja sampai-sampai
Amira"Bu, aku akan belajar sungguh-sungguh! Nanti kalau sudah besar aku ingin punya bisnis sendiri!" celetuk Yoona tiba-tiba.Dia berkata cukup serius. Terlihat dari raut wajahnya. "Ibu doakan semoga cita-citamu tercapai, Nak."Sebenarnya, perhatianku bukan hanya tertuju pada ucapannya. Tapi raut mukanya lah yang membuatku bertanya-tanya ada apa dengannya?"Ibu akan berusaha agar kamu bisa meraih impianmu,""Aku juga akan berusaha untuk belajar yang baik, Bu. Agar bisa terus mendapatkan beasiswa. Kemarin aku melihat foto wisuda Tante Rissa anaknya Bu Sarah di ponsel temanku. Tante Rissa nampak keren sekali dengan toga-nya. Nanti aku ingin seperti itu juga, Bu."Aku bahagia sekaligus terharu mendengar penuturannya yang menggebu-gebu. Anakku mempunyai mimpi yang besar. Sebagai orang tua aku memiliki keinginan kuat untuk mendukungnya.Sejak aku bekerja pada Bu Sarah, aku selalu menyisihkan uang sedikit demi sedikit. Uang itu kusimpan tanpa sepengetahuan Mas Habib. Aku hanya mengeluarka
Dan sekarang, masa-masa itu sudah berlalu. Sekarang Amira berbaring di rumah sakit dengan penyakit yang tengah menggerogotinya. Harapannya untuk sembuh begitu besar. Yoona adalah pemicu semangat terbesar dalam hidupnya. Dia harus sembuh, demi Yoona.Batin Ibu dan anak itu memang sungguh terikat satu sama lain. Terutama Yoona, anak tersebut tumbuh dengan cinta yang begitu besar pada ibunya. Cinta yang telah membuatnya berani bertindak durhaka pada ayah sendiri. Semata-mata karena ia tak rela sebab sang ayah sudah bertindak terlalu jauh menyakiti sang ibu. Sedangkan Amira, wanita beranak satu tersebut mempunyai keteguhan sekuat baja. Setelah sebelumnya bersusah payah mengumpulkan uang sedikit demi sedikit demi masa depan sang buah hati, demi keputusan yang sudah ia persiapkan sebelumnya, tapi pada akhirnya uang-uang itu harus dihabiskan untuk biaya berobat sendiri. Kenyataan yang membuat hatinya lebih sakit dibandingkan dengan pengkhianatan suaminya sendiri. Khusus untuk penghianatan
YoonaAku masuk dan tak sabar rasanya ingin memotong bualan ayah. Awalnya aku ingin mengatakan di depan muka ayah jika Dokter Albert lah yang membiayai ibu di sini, biar saja dia malu sendiri dengan ucapannya. Agar dia bisa tahu bagaimana akibatnya bila membual di hadapanku.Tapi mata ibu mengatakan agar aku tak melakukannya. Aku terpaksa menahan diri. Nasehat ibu benar-benar membekas di benakku. Aku menarik nafas perlahan, sekarang akal sehatku mulai berjalan lebih baik, daripada aku terus-terusan menyerang Ayah dengan kata-kata kasar lalu bertengkar, lebih baik sekarang aku lebih mawas diri. Mengurus ibu dengan baik adalah hal yang lebih penting untuk dilakukan daripada berselisih paham dengan ayah. Karena walaupun aku terus menerus mengungkapkan kebencianku padanya, toh ayah akan tetap memilih Laila juga dan akan tetap membenci kami. Hati yang mati menang akan sulit untuk di hidupkan kembali. Dan ketika aku datang, Ayah memang terdiam. Aku tak mengerti mengapa dokter Albert dia
HabibDengan membawa rasa malu yang teramat besar akhirnya aku harus angkat kaki dari rumah sakit tersebut. Akan tetapi di samping rasa malu ini, ada sebuah dugaan yang justru membuatku lebih sedikit lagi.Dokter Albert, Aku curiga pada pria itu. Dia orang asing, akan tetapi mengapa dia yang bersedia membiayai pengobatan istriku? Kuingat-ingat kembali muka dokter Albert yang terlihat mencerminkan pria berpendidikan, lengkap dengan jas dokternya, membuat rasa cemburuku semakin menjadi-jadi. Aku tak ikhlas bila Amira ada hubungan dengan pria tersebut.Memang aku sudah tidak mencintai Amira lagi, tapi bukan berarti aku akan membiarkannya bebas dengan pria lain. Statusnya masih sah sebagai istriku, jadi seharusnya dia bisa mematuhi sebagai seorang yang sudah mempunyai suami. Seharusnya dia jangan bersikap lancang menduai suami. Padahal dia tahu, seorang wanita yang nyata-nyata berkhianat tidak akan mencium wanginya surga. Apa dia tidak takut dengan ancaman Tuhan tersebut? Kalau benar, al