Share

Bab 5

"Mas, kalau kita benar-benar hidup bersama, bagaimana dengan istrimu, si Amira?" Dengan nada datar Laila bertanya.

Hmm, aku sedikit gelagapan. Bukankah tadi Laila sudah bilang jika dia berkenan menjadi istriku? Mengapa sekarang malah bertanya tentang Amira? Apakah sebenarnya dia mengharapkan aku menceraikan Amira? Sebenarnya aku tak keberatan jika harus menceraikan wanita itu. Tapi yang aku takutkan adalah prosedurnya yang lama bisa menghambat prosesi pernikahanku dengan Laila nantinya.

"Aku sudah tak tahan hidup bersama dengan Amira, Dik Laila. Tapi untuk menceraikannya aku rasa itu butuh proses yang akan memakan waktu, sedangkan pernikahan kita tidak akan lama lagi, bukan? Aku tidak ingin semuanya tertunda hanya karena mengurus hal-hal yang tidak perlu."

"Tapi kamu tidak perlu khawatir, kalau kamu menginginkannya aku bisa segera menceraikan Amira," ucap Habib.

"Jangan, Mas! Tolong jangan ceraikan dia sekarang! Dia istrimu yang sedang sakit. Aku tidak setuju apabila kamu menceraikan dia. Sebagai sesama wanita aku akan ikut merasakan bagaimana pahitnya bila diceraikan suami dalam keadaan terbaring di rumah sakit. Di samping itu, aku juga tidak ingin membuat rumah tangga kalian rusak."

Kata-kata Laila mampu membuat hati ini semakin kagum padanya.

Dia tidak ingin merusak rumah tanggaku? Dia tidak ingin jika aku menceraikan Amira, karena dia tahu Amira sedang kesakitan? Betapa mulianya hati yang dimiliki oleh seorang Laila. Sudah sepatutnya Amira bersyukur mendapatkan adik madu sebaik Laila.

Kurang apalagi sosok Laila, rupa cantik menawan, tubuh tinggi semampai, hidungnya bangir dan kulitnya cerah bersih. Sikapnya juga halus dan berbobot. Sudah begitu baik hati pula. Memang sosok yang sempurna sudah bagiku. Laila adalah berkah Tuhan.

"Satu lagi hal yang aku pikirkan, Mas, aku tahu Amira wanita yang tidak bekerja, jadi jika sampai kamu menceraikannya maka darimana dia bisa memenuhi kebutuhannya?"

Dugh!

Ya Tuhan, tidak salah aku menilai Laila, dia memang wanita luar biasa. Pemikirannnya jauh hingga ke sana. Terimakasih ya Tuhan, Engkau telah mengaruniai wanita baik hati ini padaku.

"Kalau begitu aku akan menemui Amira dan bicara terus terang padanya jika aku akan menikahimu minggu depan. Terlepas dari dia setuju atau tidak, itu bukan masalah, pernikahan akan tetap dilaksanakan." ujarku.

"Aku akan ikut menemanimu, Mas," tanggap Laila.

"Tidak, Dik! Aku tidak ingin kamu menjadi sasaran kemarahannya. Seperti yang biasa aku lihat, dia bisa mengamuk dan marah mendengar perkataanku nanti."

Laila tertawa ringan.

"Mas, dia tidak bisa apa-apa selain berbaring, kan? Kakinya sudah tidak bisa berfungsi lagi. Tidak akan bisa dia mengamuk." ucap Laila.

"Ah iya, tapi dia masih bisa bicara."

"Hanya berbicara, tidak akan menyakiti, Mas."

"Baiklah. Tapi di sana ada Yoona, yang meski masih remaja, sifat Amira menurun padanya. Aku khawatir Dik Laila akan menjadi sasaran kemarahan anak keras kepala itu. Dia anak yang sangat amburadul cara bicaranya."

Tentu aku tak ingin Laila kenapa-kenapa karena Yoona. Soalnya sangatlah berbahaya Yoona yang dilahirkan dan dididik oleh wanita yang berasal dari keluarga dari kampung. Dan seperti yang kuasumsikan, orang-orang kampung biasanya bersikap brutal dan mudah terbakar emosi.

"Mas, aku tidak takut dengan amukan Yoona. Bukankah ada kamu yang akan melindungiku dari serangan anak itu jika nanti ternyata dia mengamuk?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status