Home / Rumah Tangga / SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU / Bab 1. Semangkuk Nasi Jatah Bertiga

Share

SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU
SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU
Author: Aisyah Ais

Bab 1. Semangkuk Nasi Jatah Bertiga

Author: Aisyah Ais
last update Last Updated: 2024-07-16 17:21:42

"Loh, kenapa Fajar dibiarkan menangis, Bu?"

"Biarkan saja! Dia minta nenen terus dari tadi!"

Kulepas tas sekolah yang berada di punggung. Dengan masih memakai seragam sekolah, aku mengambil alih adik bungsuku yang masih menangis di samping Ibu, sedangkan dia duduk berselonjor dengan santai di depan televisi.

Meski perjalanan dari sekolah begitu melelahkan, aku tidak tega melihat adikku menangis begitu kencangnya tanpa ada yang menenangkan. Aku berusaha menenangkannya, tetapi tidak juga berhenti menangis. "Kenapa tidak Ibu susui?"

"Dia itu mau Ibu sapih, Vin. Sudahlah, bawa adikmu main atau ajak beli jajan sana!" titah Ibu. Akhir-akhir ini, aku sering melihat Ibu agak berbeda. Sering marah dan tidak mau mengurusi Fajar.

Sejak tinggal bersama suami barunya, Ibu jadi sering bersikap kasar pada kami anak-anaknya, tetapi menjadi lembut dan baik pada anak tiri yang begitu mereka manjakan. Sebagai anak kandung, jujur aku merasa tersisihkan, begitupun adik-adikku. Aku kasihan pada mereka.

Setelah perceraian Ayah dan Ibu, kami tinggal bersama Ibu di sebuah rumah kontrakan. Tetapi tidak berselang lama, Ibu menikah lagi dengan Papa Erik yang saat ini menjadi suaminya. Setelah menikah, Ibu mengajak kami tinggal di rumah Papa Erik. Sedangkan Ayah, kudengar dia juga sudah memiliki istri lagi dan sudah memiliki anak kembar dari istri barunya.

Kehidupan di rumah suami baru Ibu, tidak membuat kami bahagia. Karena Papa Erik terlihat tidak begitu menyukai kami, anak-anak Ibu. Ia hanya memikirkan anak kandungnya sendiri. Tapi Ibu juga tidak memedulikan kami. Hanya Alena yang mereka pikirkan.

Bahkan saat makan saja, kami harus menunggu di belakang sampai Alena, Papa Erik dan Ibu selesai makan. Baru setelah itu, kami boleh makan makanan sisa mereka. Karena Papa Erik pun tidak suka dan tidak berselera makan jika ada kami. Meskipun begitu, aku tetap bersyukur karena terkadang Ibu masih menyisihkan lauk yang lain untuk kami.

"Tapi Fajar kan belum genap dua tahun, Bu. Dulu, Andi dan Lani juga Ibu susui sampai hampir tiga tahun, 'kan? Kenapa Fajar mau disapih sedini ini? Kasihan, Bu."

"Sudahlah, Vin. Kamu mana ngerti, sih! Kamu itu masih bau kencur, nggak usah nasehatin Ibu. Ibu tahu mana yang terbaik. Lagi pula, dia harus bisa segera Ibu sapih, agar nanti mudah kalau pisah sama Ibu," jawab ibu, yang membuatku bertanya-tanya.

"Maksud Ibu pisah gimana? Apa Ibu mau pergi kerja?" Aku masih berusaha menenangkan adikku yang masih saja menangis.

"Ya pisah saat nanti kalian ikut tinggal di rumah Ayah kalian," jawab Ibu.

Jadi, Ibu akan memindahkan kami ke rumah Ayah. "Ibu ingin kita tinggal bareng Ayah?" tanyaku.

"Iya! Sudahlah, sana bawa adikmu pergi! Ini buat beliin jajan!" Ibu memberikan uang sepuluh ribu padaku. Aku mematung mencerna ucapan ibu barusan. Sampai bentakan ibu membuat aku bergegas membawa Fajar ke warung yang ada di seberang jalan.

Apa maksud Ibu. Kenapa dia ingin berpisah dari kami. Apakah ini juga keinginan suami barunya? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam kepalaku. Kalau iya, betapa teganya dia memisahkan kami dengan ibu kandung kami sendiri. Dan Ibu, kenapa lebih rela mendengarkan suami barunya itu tanpa memikirkan perasaan kami.

"Susu kotak empat ribu, sama biskuit dua ribu." Aku menyerahkan selembar pecahan sepuluh ribu yang tadi diberikan Ibu dan menyimpan kembali uang empat ribu kembaliannya.

Untunglah Fajar sudah berhenti menangis setelah mendapatkan susu kotak. Kasihan sekali adikku ini, usianya baru dua puluh bulan, tapi sudah disapih oleh ibu, sementara ibu tidak pergi bekerja. Padahal dulu Andi dan Lani masih ibu susui sampai hampir berumur tiga tahun, meski ibu juga harus bekerja di pabrik.

"Kamu sudah pulang, Ndi? Mana Lani?"

"Iya, Kak, baru sampai. Lani lagi ganti baju di kamar." Andi menaruh sepatunya di rak sepatu. Kulihat, sepatu itu sudah sangat usang dan ada sobek bagian belakangnya. Kata Ibu, Ibu tidak bisa membelikan sepatu karena Papa Eriklah yang bekerja, sementara Papa Erik sudah menanggung biaya makan dan sekolah kami berempat.

Padahal di sekolah kami, tidak ada biaya SPP karena digratiskan oleh pemerintah. Hanya wajib membeli buku pelajaran saja. Dan untuk makan, kami berempat tidaklah seberapa karena kami makan dari sisa mereka.

"Kak, aku lapar," lirih Andi. Aku menengok ke belakang, tidak ada Ibu.

"Tapi belum waktunya makan, Ndi. Papa Erik dan Alena juga belum pulang," ucapku lirih.

Kita tidak boleh makan sebelum mereka selesai makan. Karena itulah, kami sering menahan rasa lapar itu meski ada makanan yang tersedia di meja makan. "Oh, ya, ini beli roti, nanti dibagi sama Lani."

Aku menyerahkan uang dua ribu, kembalian dari warung tadi. Yang dua ribu masih aku simpan lagi, buat jaga-jaga kalau nanti Fajar minta jajan lagi. Kalau minta sama Ibu disaat ada Papa Erik, tentu aku tidak berani. Karena sudah pasti Ibu tidak akan memberikan. Terlebih, aku akan melihat kilatan am4rah dari sorot mata Papa Erik.

Dia sangat tidak suka kalau aku meminta uang meski untuk sekedar beli jajan untuk adikku. Tinggal bersamanya selama tiga bulan, membuatku hafal bagaimana sifatnya.

Andi kembali setelah mendapatkan roti seharga dua ribu. Lani pun keluar dari kamar setelah aku panggil. Mereka berdua membagi rotinya menjadi tiga bagian dan memberikannya padaku satu potong. "Buat kalian berdua aja, Kakak belum lapar," ujarku.

Padahal aku juga merasa lapar karena harus berjalan kaki dari sekolah sampai ke rumah. Tapi tak sampai hati aku ikut memakan roti yang tak seberapa itu. Adik-adikku lebih membutuhkannya. Seharusnya dalam masa pertumbuhan, mereka mendapatkan asupan gizi yang layak.

"Kak Vina nggak usah bohong sama kita. Aku tahu Kakak juga lapar. Ini, Kak!" Andi tetap memberikan potongan roti yang tak seberapa itu padaku. Dia pun tahu kalau aku merasakan lapar seperti dirinya. Setiap pagi, kami hanya makan sedikit, dan tidak membawa uang saku. Sampai rumah pun, tidak boleh makan sebelum mereka selesai makan.

Terpaksa aku menerima potongan roti itu dari adik keduaku. Dia memang masih kecil, tapi sudah seperti orang dewasa. Kalau punya apa-apa, akan ia bagi sama rata dengan kami saudara-saudaranya. Usia kami hanya terpaut tiga tahun. Aku lima belas tahun, dan dia dua belas tahun. Sedangkan Lani, adik ketigaku, dia baru berusia delapan tahun.

"Gimana? Sudah disapih?"

"Sudah, Mas. Meski masih rewel-rewel gitulah, namanya juga baru hari pertama. Nanti juga terbiasa," jawab Ibu.

"Ya sudah, nggak apa-apa. Tapi kamu harus ingat sama janji kamu karena mereka itu tanggung jawab ayahnya, bukan tanggung jawabku! Dan kamu pun tahu, aku menjadikanmu istri agar Alena dapat merasakan kasih sayang seorang ibu, agar dia tidak merasa menjadi anak broken home. Bukan untuk menghidupi anak-anak mantan suamimu! Kalau kamu tidak bisa memenuhi keiinginanku dan merasa keberatan, aku tidak memaksamu. Aku akan mencarikan ibu baru untuk Alena!"

"Iya, Mas. Aku ngerti kok. Aku akan usahakan agar mereka terbiasa tanpa aku, jadi nanti mudah untuk melepas mereka."

Samar-samar, kudengar percakapan Ibu dan Papa Erik. Namun, belum sempat aku mencerna ucapan Ibu, Andi sudah mengagetkanku. "Kak, ayo kita makan! Ibu sudah memanggil," ajak Andi.

Aku membuka mukena dan melipatnya kembali, lalu bergegas menuju meja makan. Di sana masih ada Ibu yang tengah membereskan piring dan sisa makanan. Alena dan Papa Erik sudah tidak terlihat. Mungkin mereka di kamar atau di mana, entahlah.

Ibu menaruh semangkuk nasi dan telur dadar di piring. Terlihat telur itu sudah dipotong, entah menggunakan sendok atau pisau. Kami makan dengan cepat karena aku harus membersihkan piring-piring kotor setelah ini.

Tidak ada perkataan apa pun yang keluar dari mulut ibuku. Ia hanya membawa Fajar yang sudah tertidur dan membawanya ke kamar. Sementara aku dan kedua adikku menyelesaikan makan siang kami yang tidak seberapa itu.

Semangkuk nasi dan telur dadar yang sudah bekurang, untuk makan kami bertiga. Tentulah tidak begitu kenyang, tapi tentu saja, kami harus selalu bersyukur.

"Sudah aku bilang, jangan bawa anak itu ke kamarku! Aku tidak leluasa jika dia di sini! Aku itu butuh istirahat karena capek bekerja, seharusnya kamu bawa dia tidur di kamar lain!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 115

    Aku berdiri menghampiri Lani. Kak Arya memandangku sekilas, lalu duduk di tempat yang tadi kutempati. "Ayo kita pulang, Kak. Sebentar lagi buka puasa. Tadi Fajar bilang, Ibu punya tamu," ucap Lani."Tamu? Siapa?""Aku juga nggak tahu, Fajar hanya kirim pesan dan bilang di rumah ada tamunya Ibu.""Apa nggak buka di sini saja, Lan?" Kak Arya berkata dengan lembut, aku pun menoleh, begitu juga Lani."Lain kali aja deh, Kak Arya, nanti kita cari waktu lagi buat buka puasa bareng. Nggak apa-apa, kan?""Ya sudah, santai aja. Masih ada banyak waktu, kan?" Kak Arya tetap tersenyum ramah meski mungkin tadi mendengar percakapanku dengan Mbak Fika."Aku pamit ya, Mbak, Kak Arya." Aku tetap menghormatinya, Kak Arya pun mengangguk.Aku dan Lani segera menaiki motor dan bergegas pulang."Kok kamu ngajak pulang, Lan? Kupikir tadi kamu mau buka puasa di sana," ujarku saat Lani sudah mengendarai motor. "Tadinya sih, gitu! Tapi setelah dengar ucapan Kak Vina sama Mbak Fika ... aku jadi nggak enak sama

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 114

    Kucari sumber suara itu berasal. Dari samping, laki-laki itu berjalan ke arahku dengan pelan. Sudah lama aku tidak melihatnya, sepertinya dia baru pulang dari rantau."Kak Arya. Kapan pulang?" tanyaku basa basi."Baru tadi pagi, Vin. Ini anaknya Mbak Fika, kan? Yang waktu bayi aku ikut nengok ke rumah sakit?" Kak Arya memandangi Nuri yang ada dalam gendonganku."Iya, ini Nuri, anaknya Mbak Fika dan Kak Nur.""Cantik ya, Vin. Kalau kita punya anak, pasti juga secantik Nuri." Kak Arya senyum-senyum sendiri."Kita?" "Eh, maksudku ... kalau kita punya anak. Iya. Eh, maksudnya ... aku punya anak, kamu juga punya anak. Gitu deh maksudnya. Bingung gimana jelasinnya." Kak Arya malah garuk-garuk kepala. Aku merasa aneh dengan sikap Kak Arya itu."Tadi katanya mau naik bianglala, kan? Ayo aku temani. Kebetulan itu yang punya adalah temenku. Nanti kita minta diskon," ujar Kak Arya pelan sambil tersenyum."Tapi aku nggak biasa naik bianglala, takut tinggi," sahutku. "Nanti aja deh, nungguin Lani

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 113

    Tidak terasa Ramadan sudah berjalan selama dua minggu. Selama itu pula, aku bersama adik-adikku menginap di rumah Ayah. Saat siang, kami pulang dan melakukan aktifitas di rumah lalu malamnya kembali ke rumah itu. Aku sudah meminta Andi agar tidur di rumah, tetapi dia tidak mau dan ingin tidur dalam satu atap bersama Ayah dan Ibu. Saat aku ingin tidur di rumah, Fajar melarangku, begitupun Lani. Padahal aku merasa sayang kalau rumah kami tidak ada yang menempati saat malam hari.Lalu Fajar dan Lani, keduanya juga tidak mau tidur di rumah karena ingin menjaga Ayah dan Ibu, katanya. Sungguh, saat ini kami bagaikan satu keluarga utuh yang bahagia. Apalagi ada Pak Mardi yang menambah hangatnya keluarga kami.Akhirnya dari pada tidak ada yang menempati, Mbak Indarlah yang kuminta tidur di rumah itu, dan dia memilih tidur di ruang tengah, katanya agar bisa sambil nonton televisi.Sejak Andi memutuskan untuk tidur di sini, aku membelikan kasur berukuran besar untuknya agar ditempati bersama F

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 112

    Kami bertiga mendekat dan tersenyum pada Ibu, saat Ibu mulai membuka matanya. Dengan tangannya, dia menyentuh wajah kami satu per satu. Diusapnya dengan lembut, seolah mendapatkan sesuatu yang sangat berharga."Ini seperti mimpi. Kalian benar-benar ada dan bisa kusentuh. Terima kasih, Ya Allah. Terima kasih telah mendekatkan mereka padaku." Ibu menengadahkan kedua tangannya, lalu mengusapkannya ke wajah.Kami bertiga memeluknya, Ibu mengusap kepala kami. "Ibu sangat senang, akhirnya bisa melihat senyum kalian yang dulu. Maafkan Ibu, dulu membuat kalian susah dan sakit hati. Ibu baru menyadari semuanya setelah kalian tidak ada. Tidak ada yang menyayangi Ibu seperti kalian. Entah harus berapa kali harus meminta maaf. Kukira tak akan cukup meski aku mengatakannya setiap saat."Kupandangi Andi dan Lani, juga Fajar yang masih tidur di kasur lipat. Kemudian, aku memandang Ibu. "Kita akan mulai lembaran yang baru, kita lupakan masa lalu. Hari ini, hari pertama di bulan ramadhan, kita bersat

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 111

    Dinginnya malam membuatku merapatkan tubuh pada selimut tebalku. Tubuhku terasa lelah dengan aktifitas yang kulakukan seharian ini. Mataku mulai sembab, tapi tak lagi kupedulikan. Yang ingin kulakukan hanyalah tidur, untuk menghilangkan penat di tubuh dan pikiran."Kak, ayo bangun! Sudah waktunya sahur." Terdengar suara Lani membangunkanku, tapi rasanya aku masih enggan membuka mata. Mata ini terasa lengket, pedas, dan terkatup rapat. Otakku masih merespons, tapi mataku belum bisa diajak bekerja sama."Vina, bangun, Nak, ayo sahur. Kalau nggak cepat bangun, nanti keburu imsak." Dengan sekali perintah, aku langsung membuka mata.Wanita cantik dengan daster kusam itu adalah ibuku. Dia tersenyum mengusap rambutku, kemudian menuntunku dari tempat tidur.Kutatap sekeliling, aku berada di rumah masa kecilku. Rumah berdinding kayu yang menjadi tempat aku tumbuh dan bermain. Suasananya sangat hangat, "Ayo, sini, Ibu sudah membuat telur dadar dan

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 110

    Lani memanggil Ayah, kemudian menarik tangan Andi agar segera masuk ke rumah. Andi patuh, lalu duduk di kursi setelah Lani menyuruhnya. Aku pun ikut duduk di samping Andi sambil tersenyum.Ayah datang bersamaan dengan Fajar yang membawa toples berisi camilan. "Kalian kemari, ada apa, Nak?" tanyanya setelah duduk."Andi ngajak aku ke sini untuk tidur di sini, soalnya dia nggak mau sahur tanpa adik-adiknya," tuturku.Ayah menatap Andi dengan senyuman khasnya, sementara Andi terlihat cuek."Beneran, Kak?" Fajar bertanya dengan mulut penuh makanan."Kalau makan jangan sambil ngomong, kalau ngomong jangan sambil makan, Jar." Andi mengingatkan."He he he, iya, Kak." Fajar memasukkan camilan lagi ke dalam mulutnya, tidak lagi bertanya.Sementara itu, Ibu yang berada tak jauh dari tempatku berada, seperti ingin mendekat, tapi tidak berani. Mungkin saja khawatir akan membuat Andi marah seperti kemarin.Aku berdiri, melangkah menuju tempat Ibu berada. "Ayo, Bu, kita ke sana," ajakku. "Jangan,

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 109

    Andi menatap dan menanyaiku, sepertinya dia khawatir aku mendengar semua curhatannya pada Yusuf."Barusan. Ada apa memangnya?" jawabku."Nggak apa-apa, kupikir sudah dari tadi.""Memang kenapa kalau Kakak udah pulang dari tadi?""Ya nggak apa-apa. Mana Lani dan Fajar?" Andi melihat sekeliling."Mereka nggak pulang malam ini, tidur di rumah Ayah dan Ibu." Jawabanku membuat Andi menyernyit."Maksud Kakak, mereka tinggal serumah? Di rumah yang ditinggali Ayah itu?" Aku tersenyum mendengar Andi mengucapkan kata "Ayah"."Iya. Nggak ada pilihan, Ibu butuh tempat tinggal dan teman ngobrol. Kupikir Ayah dan Pak Mardi bisa menjadi temannya karena mereka sudah sama-sama tua, nggak kayak di rumah ini yang semua isinya anak muda.""Tapi mereka sudah berpisah, Kak, nanti bisa jadi fitnah!" Andi terlihat kesal."Ya nggak apa-apa, kan ada Farla, Lani dan Fajar juga tidur di sana, kan? Tadi Mas Aan kusuruh bawain kasur lipat agar mereka bisa tidur dengan nyaman," debatku."Tapi, Kak!""Kamu kenapa si

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 108

    Ibu menyeka air matanya dengan cepat, sementara Ayah melambaikan tangannya agar kami mendekat. Kami pun menghampiri Ayah dan Ibu."Kenapa hanya di sana? Tidak ada yang kami sembunyikan dari kalian, Nak. Kalian berhak tahu apa yang terjadi pada kami," tutur Ayah."Maaf, Yah, kami nggak mau mengganggu kalian," ujarku."Tidak, Nak, kalian tidak mengganggu. Kami senang karena kalian telah mempertemukan kami. Di depan kalian, Ibu ingin meminta maaf pada ayah kalian. Sebab Ibu punya banyak salah padanya. Gara-gara Ibu, hidup kita berantakan dan keluarga kita terpecah belah," papar Ibu yang menangkupkan kedua tangannya."Aku sudah melupakannya, bahkan tidak pernah menyimpan benci padamu, Tih. Justru aku yang minta maaf karena tidak bisa menjadi kepala rumah tangga yang berguna. Maafkanlah aku," ujar Ayah yang juga menangkupkan kedua tangannya.Kami terharu. Ayah dan Ibu sudah saling memaafkan, rasanya begitu lega melihat mereka berdua akur. Sebagai seorang anak, aku sangat bahagia. Kebahagia

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 107

    Aku masih mendengarkan percakapan Ayah dan Ibu. Dari pertanyaan Ibu itu, aku juga ingin mendapatkan jawabannya. Selama ini Ayah tidak pernah bercerita tentang anak kembarnya yang merupakan adikku. Juga tentang istrinya, dan tentang Ayah yang akhirnya tinggal di jalanan."Tidak ada yang bisa menggantikan kamu, Ratih. Bahkan saat aku menikah lagi, aku merasa sangat kesulitan menghadapi istri yang akhirnya memberikanku anak kembar. Aku tahu, lagi-lagi semua itu terjadi karena aku yang miskin ini, tapi kehidupanku bersamanya lebih buruk dari sebelumnya." Aku dan Lani masih mendengarkan Ayah bercerita, tepatnya menguping pembicaraan mereka."Iya, kamu benar, Mas. Pernikahan kedua memang terasa berbeda. Aku sendiri mengalaminya. Beradaptasi dengan orang baru itu sangat susah, dan kita mencoba untuk bisa mengimbanginya. Setelah hidup bersama lebih dari sepuluh tahun denganmu yang sudah sama-sama tahu sifat dan kepribadiannya, lalu harus menghadapi orang baru dengan kepribadian baru, itu sung

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status