Share

Bab 2. Ibu Tidak Adil

Author: Aisyah Ais
last update Last Updated: 2024-07-16 17:24:45

Teriakan Papa Erik membuatku menghentikan aktifitas mencuci piring dan mengelap tangan dengan baju yang kupakai. Pasti Fajar yang dimaksud olehnya. Bergegas aku melihat apa yang terjadi dan mengintip di balik gorden. Benar saja, Ibu membawa tubuh mungil Fajar keluar dari kamarnya, lalu membawanya ke kamar kami.

Di rumah ini hanya ada tiga kamar. Kamar depan dipakai Papa Erik dan Ibu, kamar kedua ditempati Alena, putri satu-satunya Papa Erik yang begitu mereka manjakan. Dan kamar yang belakang, aku dan kedua adikku yang menempatinya. Tapi sepertinya kali ini akan ketambahan Fajar juga karena tadi Papa Erik menyuruh Ibu membawa Fajar untuk tidur di kamar lain. Entah bagaimana nanti saat malam hari karena biasanya Fajar hanya bisa tidur jika dikelonin Ibu.

"Kak!" Andi mengagetkanku.

"Ada apa, Ndi? Bikin kaget aja, kamu!"

"He he he, maaf, Kak. Aku mau main ke rumah Rafa."

"Iya, hati-hati dan ashar harus sudah pulang, ya!" Andi mengangguk lalu keluar dari rumah. Ia juga membawa serta Lani bersamanya.

Sudah terbiasa kedua adikku itu bermain berdua tanpa ada yang mendampingi. Mau bagaimana lagi, aku sendiri memiliki tugas mengerjakan pekerjaan rumah yang begitu banyak. Sedangkan Ibu, tidak mau peduli jika suaminya itu sudah pulang. Mereka akan menghabiskan waktu berdua di dalam kamar.

"Ah, Lebih baik melanjutkan pekerjaan rumah, biar bisa istirahat setelah ini."

"Mulai malam ini, Fajar akan tidur bersama kamu, biar dia terbiasa tidak bergantung pada Ibu."

Aku menoleh saat ibu mendekat. "Tapi gimana kalau dia rewel, Bu? Dia tidak bisa jauh dari Ibu."

"Ibu sudah siapkan susu formula, kamu bawa aja ke kamar, biar nanti kalau dia bangun bisa langsung kamu berikan." Ibu kembali masuk ke dalam kamarnya.

Ya Allah, apa aku bisa menjaga Fajar saat malam hari, sementara selama ini dia selalu mencari Ibu saat bangun tidur. Semoga saja Fajar tidak rewel.

Aku melanjutkan mencuci piring sekaligus akan menyapu dan mengepel lantai. Sudah menjadi tugasku mengerjakan semua pekerjaan rumah. Jangan ditanya soal Alena. Gadis kesayangan itu sudah pasti sedang berdiam diri di kamar, dan akan keluar saat makan malam sudah tersedia.

"Ma, cuacanya panas sekali, aku mau es kacang hijau Pak Kadir dong," ucap Alena dengan manja. Cuaca akhir-akhir ini memang sangat panas. Dan pasti es kacang hijau Pak Kadir sangat pas kalau disruput panas-panas begini. Ah, kenapa aku jadi ikut membayangkannya.

"Sebentar ya, Sayang." Terdengar suara langkah kaki mendekat ke arahku yang berada di teras belakang karena mengembalikan alat pel. "Vin, tolong belikan es kacang hijau gih! Alena pengen es kacang hijaunya Pak Kadir," perintah ibuku.

Sebenarnya aku benci karena semua harus aku. Bukankah Alena juga punya kaki, kenapa tidak pergi sendiri dengan menaiki motornya? Ia selalu ke mana-mana menggunakan motor miliknya, sementara aku ke mana-mana selalu jalan kaki. Tapi aku tidak iri, karena motor itu Papa Erik yang membelikan. Sedangkan aku hanya anak tirinya, tidak mungkin juga dibelikan. Hanya saja ....

"Kenapa dia tidak pergi sendiri saja, Bu? Aku capek karena baru selesai ngepel," keluhku.

"Sudahlah, belikan saja! Nanti beli sekalian buat kamu!" Ibu memberikan uang padaku. Terpaksa aku menerima dan tidak mau membantah lagi. Rasanya aku juga ingin es kacang hijau itu. Nanti aku makan bersama saat Andi dan Lani pulang, mereka pasti senang.

"Aku bawa motor ya, Bu. Biar cepet," pintaku.

"Motor nggak ada bensinnya, belum diisi!" Alena menyahut dari dalam kamarnya. Rumah ini tidak terlalu besar, jadi obrolanku dengan ibu, bisa terdengar dari dalam kamar Alena.

"Sudah, jalan kaki saja, biasanya juga jalan kaki."

Terpaksa aku berjalan kaki menuju tempat Pak Kadir, yang berjarak sekitar dua ratus meter dari rumah. Cuaca sangat terik, aku berjalan di pinggir dan sesekali berhenti di bawah pohon untuk sekedar berteduh.

Setelah berpanas-panasan, akhirnya aku sampai di warung kacang hijaunya Pak Kadir. "Es kacang hijaunya dua, Pak."

"Eh, iya neng. Tunggu ya!"

Sambil duduk di kursi yamg disediakan, aku menunggu pesanan. "Ini, Neng."

"Makasih, Pak." Segera kubayar es kacang hijau itu, lalu berjalan pulang. Meski harus berpanas-panasan, sebentar lagi akan terbayarkan dengan es kacang hijau yang segar.

Sampai di rumah, Alena langsung merebut plastik yang kubawa. "Siniin!"

Ia membuka plastik itu dan mengambil satu, menaruh di mangkuk lalu membawanya ke dalam kamar. Tidak ada rasa terima kasih sama sekali. "Dasar Anak Papi!" gerutuku.

Aku mengambil es kacang hijau yang satunya dan menaruhnya di kulkas, karena menunggu adik-adikku pulang untuk memakannya bersama-bersama. Sambil menunggu mereka kembali, aku berbaring di depan televisi, sampai ketiduran.

Aku terbangun saat Andi membangunkanku. "Kalian sudah pulang? Sini, Kakak punya es kacang hijau."

Aku mengajak Andi dan Lani ke dapur untuk menikmati es kacang hijau yang tadi siang kubeli. Namun saat sampai di dapur ....

"Loh! Ini, 'kan punyaku! Kenapa kamu makan lagi, Len?"

"Salah sendiri nggak buru-buru di makan. Aku lapar, jadi jangan salahkan aku! Salahmu sendiri menaruhnya di kulkasku!"

Geram. Sangat geram. Dengan santainya, Alena memakan kacang hijau milikku.

"Tapi itu milikku, Len! Kamu sudah memakannya tadi, kenapa mengambilnya lagi?" Tega sekali dia, aku yang panas-panasan berharap bisa menikmatinya bersama adik-adikku, malah dia yang memakannya lagi. Aku menatap kedua adikku yang sama kecewanya.

"Ya suka-suka akulah! Ini, 'kan belinya pakai uang Papa aku. Lagian sadar diri dong, numpang aja belagu! Masih bagus ditampung sama Papa!" Dengan entengnya Alena berucap.

"Kamu pikir aku suka ditampung sama papamu? Aku lebih suka tinggal di kontrakan daripada di sini. Kami lebih suka Ibu kami tidak menikah lagi. Agar kami tidak harus berbagi Ibu denganmu!"

"Ada apa, sih, ribut-ribut! Nanti Papa kalian bangun," ujar Ibu yang menghampiri kami.

Alena mendekati Ibu, "Ma, Vina marah-marah padaku," rengeknya. "Pakai bilang soal Papa lagi, dia juga nggak mau Mama menjadi mamaku." Pintar sekali dia membual.

"Kamu tuh apa-apaan sih, Vin! Kamu lupa kalau kita di sini hidup dari Papa Erik, papanya Alena? Tidak seharusnya kamu marah-marah sama Alena!" Ibu melotot ke arahku sambil menenangkan Alena yang memperlihatkan wajah melasnya di depan Ibu.

"Alena memakan es milikku, Bu. Dia--"

"Sudahlah, barang es aja diributin! Nih, beli lagi sana!" Ibu menyodorkan uang padaku. Aku hanya menatap lembaran berwarna ungu itu. Sementara Alena, ia melenggang dan berlalu dengan membawa es dalam mangkuk itu ke kamarnya.

"Kenapa Ibu bersikap tidak adil pada kami? Bukankah kami juga anakmu, Bu? Kenapa hanya dia yang Ibu sayang? Kenapa?" Aku menangis di depan Ibu. Rasanya sudah tidak tahan dengan semua perlakuan berbeda ini. Kami anak kandungnya, tapi diperlakukan seperti anak tiri. Sementara Alena, diperlakukan seperti Ratu.

"Sudah cukup, Vina! Nggak usah bikin masalah! Kamu tidak akan mengerti keadaan Ibu! Jangan menambah beban Ibu lagi!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 117

    "Saya terima nikah dan kawinnya, Ratih Setyawati binti Almarhum Zakariya dengan mas kawin emas seberat 10 gram dan uang dua puluh juta, dibayar tunai!""Bagaimana para saksi?" "SAH!" Teriakan kata "Sah" menggema memenuhi ruangan tempat mengucap ijab kabul dilaksanakan. Rumah ini, menjadi saksi bersatunya kembali ikatan antara kedua orang tua kami yang sempat terputus bertahun-tahun.Kututup mata sejenak, menghirup udara sekitarku dengan lembut. Perlahan-lahan, kubuka mata dan menghembuskannya dengan pelan. Rasanya seperti mimpi bisa menghadiri pernikahan orang tua kandungku.Rupanya Ayah sudah memberitahukan niatnya itu kepada Bu Romlah, jauh sebelum memberi tahu kami. Alhasil, Bu Romlah mengkode para tetangga untuk membuatkan dekorasi dari janur dan dipadukan dengan kain batik sebagai background sejak kemarin. Lalu pagi tadi setelah kedatangan Ayah, Bu Romlah datang dan membawa semua perlengkapan dekorasi.Untuk kursinya sendiri, Bu Romlah menggunakan kursi kayu jati dengan ukiran

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 116

    Suara takbir berkumandang, semua orang bersuka cita. Setelah sebulan penuh menahan lapar dan dahaga di siang hari, hari kemenangan pun tiba. Rasanya hari ini sangat bahagia bisa merasakan lebaran pertama bersama Ayah dan Ibu, setelah sekian tahun kami berlebaran di tempat terpisah.Meskipun lebaran tahun lalu sudah ada Ayah, tetapi beliau berlebaran di rumahnya dan kami pun di rumah kami. Namun, kali ini berbeda. Mereka berdua ada untuk kami.Karena selama bulan puasa kami berada di rumah Ayah, malam ini kami pulang ke rumah. Tentu saja menyiapkan segala keperluan untuk esok pagi yang dinanti. Bersih-bersih rumah, juga membuat hidangan untuk tamu.Lani begitu bersemangat membersihkan rumah, karena Ibu dan Ayah akan ke sini besok pagi. Aku sudah bilang agar mereka tidak usah ke sini, dan kami saja yang ke sana. Namun, Ayah bilang akan ada kejutan untuk kami."Capek nggak? Sini, istirahat dan makan ini dulu." Kutaruh nampan berisi risoles dan piscok, serta teh hangat di meja. "Tapi cuci

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 115

    Aku berdiri menghampiri Lani. Kak Arya memandangku sekilas, lalu duduk di tempat yang tadi kutempati. "Ayo kita pulang, Kak. Sebentar lagi buka puasa. Tadi Fajar bilang, Ibu punya tamu," ucap Lani."Tamu? Siapa?""Aku juga nggak tahu, Fajar hanya kirim pesan dan bilang di rumah ada tamunya Ibu.""Apa nggak buka di sini saja, Lan?" Kak Arya berkata dengan lembut, aku pun menoleh, begitu juga Lani."Lain kali aja deh, Kak Arya, nanti kita cari waktu lagi buat buka puasa bareng. Nggak apa-apa, kan?""Ya sudah, santai aja. Masih ada banyak waktu, kan?" Kak Arya tetap tersenyum ramah meski mungkin tadi mendengar percakapanku dengan Mbak Fika."Aku pamit ya, Mbak, Kak Arya." Aku tetap menghormatinya, Kak Arya pun mengangguk.Aku dan Lani segera menaiki motor dan bergegas pulang."Kok kamu ngajak pulang, Lan? Kupikir tadi kamu mau buka puasa di sana," ujarku saat Lani sudah mengendarai motor. "Tadinya sih, gitu! Tapi setelah dengar ucapan Kak Vina sama Mbak Fika ... aku jadi nggak enak sama

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 114

    Kucari sumber suara itu berasal. Dari samping, laki-laki itu berjalan ke arahku dengan pelan. Sudah lama aku tidak melihatnya, sepertinya dia baru pulang dari rantau."Kak Arya. Kapan pulang?" tanyaku basa basi."Baru tadi pagi, Vin. Ini anaknya Mbak Fika, kan? Yang waktu bayi aku ikut nengok ke rumah sakit?" Kak Arya memandangi Nuri yang ada dalam gendonganku."Iya, ini Nuri, anaknya Mbak Fika dan Kak Nur.""Cantik ya, Vin. Kalau kita punya anak, pasti juga secantik Nuri." Kak Arya senyum-senyum sendiri."Kita?" "Eh, maksudku ... kalau kita punya anak. Iya. Eh, maksudnya ... aku punya anak, kamu juga punya anak. Gitu deh maksudnya. Bingung gimana jelasinnya." Kak Arya malah garuk-garuk kepala. Aku merasa aneh dengan sikap Kak Arya itu."Tadi katanya mau naik bianglala, kan? Ayo aku temani. Kebetulan itu yang punya adalah temenku. Nanti kita minta diskon," ujar Kak Arya pelan sambil tersenyum."Tapi aku nggak biasa naik bianglala, takut tinggi," sahutku. "Nanti aja deh, nungguin Lani

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 113

    Tidak terasa Ramadan sudah berjalan selama dua minggu. Selama itu pula, aku bersama adik-adikku menginap di rumah Ayah. Saat siang, kami pulang dan melakukan aktifitas di rumah lalu malamnya kembali ke rumah itu. Aku sudah meminta Andi agar tidur di rumah, tetapi dia tidak mau dan ingin tidur dalam satu atap bersama Ayah dan Ibu. Saat aku ingin tidur di rumah, Fajar melarangku, begitupun Lani. Padahal aku merasa sayang kalau rumah kami tidak ada yang menempati saat malam hari.Lalu Fajar dan Lani, keduanya juga tidak mau tidur di rumah karena ingin menjaga Ayah dan Ibu, katanya. Sungguh, saat ini kami bagaikan satu keluarga utuh yang bahagia. Apalagi ada Pak Mardi yang menambah hangatnya keluarga kami.Akhirnya dari pada tidak ada yang menempati, Mbak Indarlah yang kuminta tidur di rumah itu, dan dia memilih tidur di ruang tengah, katanya agar bisa sambil nonton televisi.Sejak Andi memutuskan untuk tidur di sini, aku membelikan kasur berukuran besar untuknya agar ditempati bersama F

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 112

    Kami bertiga mendekat dan tersenyum pada Ibu, saat Ibu mulai membuka matanya. Dengan tangannya, dia menyentuh wajah kami satu per satu. Diusapnya dengan lembut, seolah mendapatkan sesuatu yang sangat berharga."Ini seperti mimpi. Kalian benar-benar ada dan bisa kusentuh. Terima kasih, Ya Allah. Terima kasih telah mendekatkan mereka padaku." Ibu menengadahkan kedua tangannya, lalu mengusapkannya ke wajah.Kami bertiga memeluknya, Ibu mengusap kepala kami. "Ibu sangat senang, akhirnya bisa melihat senyum kalian yang dulu. Maafkan Ibu, dulu membuat kalian susah dan sakit hati. Ibu baru menyadari semuanya setelah kalian tidak ada. Tidak ada yang menyayangi Ibu seperti kalian. Entah harus berapa kali harus meminta maaf. Kukira tak akan cukup meski aku mengatakannya setiap saat."Kupandangi Andi dan Lani, juga Fajar yang masih tidur di kasur lipat. Kemudian, aku memandang Ibu. "Kita akan mulai lembaran yang baru, kita lupakan masa lalu. Hari ini, hari pertama di bulan ramadhan, kita bersat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status