Aku membuka mata ketika indera pendengaranku menangkap suara seperti pintuterbuka. Begitu mataku terbuka, aku baru sadar kalau ternyata aku tertidur diatas kasur di dalam kamar Om Do. Lalu begitu saja ada wangi menguar yang akucium, sepertinya ini wangi sabun.Segera aku bangkit mengambil posisi duduk. Tapi itu tidak berlangsung lama,karena mataku menangkap pemandangan yang menurutku sangat tabu saat ini."Aaaaa .... Om ngapain sih?!" Aku berteriak sambil menutup wajahkudengan kedua tangan. Baru saja aku melihat pria itu berdiri di depan lemariyang pintunya terbuka dengan hanya menggunakan handuk yang menutupi bagianbawah tubuhnya. Sementara dari pinggang ke atas tampak punggung lebarnya tanpatertutup apapun. Jelas saja ini adalah pemandangan aneh bagiku."Kenapa kamu bikin aku kaget saja, sih, La? Aku sedang mencari bajuku didalamnya kamarku sendiri, apa salah?""Yang bikin kaget itu Om, tiba-tiba ada di depanku dengan penampilanseperti itu." Aku berteriak dengan posisi yan
Selesai membersihkan badan aku keluar dan mendapatkan pria itu tengah duduk disofa."Bereskan baju-bajumu, buka saja pintu lemari yang paling kanan!"teriak Om Do sementara matanya masih fokus ke layar televisi. Tanpa menjawabaku menurut apa yang baru saja dia katakan, ternyata lemari paling kanan itumemang kosong."Sudah?" Seperti biasa, tiba-tiba dia sudah berada di pintu."Sudah," jawabku tanpa menoleh lalu menutup pintu lemari."Sebentar lagi maghrib, sebelum makan kita salat berjamaah dulu.""Salat?" tanyaku heran, pasalnya di rumah, aku hampir tidak pernahmelaksanakan salat."Iya salat, kamu muslim 'kan?" tanya Om Do sambil menautkan keduaalisnya."Eum ... iya, aku muslim, tapi...aku tidak membawa...mukena," jawabkuragu."Apa? Kamu pindah ke sini tidak membawa mukena? Lalu kamu salat memakaiapa? Atau ... jangan-jangan ....""Aku.... "Aku aku tak bisa meneruskan ucapanku karena memang benar di rumahku yangmenjalankan salat hanya bibi saja. Aku dan Mama nyaris tidak perna
"Perhatikan aku dulu!" Pria itu membungkuk di depan kran, lalu setelah air mengalir dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dan menampung air dengan kedua telapak tangan yang disatukan."Setelah tangan kamu bersih berkumurlah sebanyak 3 kali, seperti ini," lanjutnya kemudian.Selanjutnya ia mempraktekkan tata cara berwudhu sambil terus berbicara dan aku memperhatikannya dengan teliti."Sekarang ayo giliran kamu." Pria itu berdiri dan menunjuk keran supaya aku mendekati kran tersebut."Tapi aku lupa lagi." Aku berucap sembari menggaruk-garuk kepala. Karena jarang melakukannya aku jadi lupa urutannya."Iya, makanya dipraktekkan. Ayo dimulai dari membasuh telapak tangan lalu berkumur sebanyak tiga kali, aku akan memberi instruksi di setiap gerakan."Ragu aku mendekati kran dan mulai membasuh telapak tangan lalu berkumur seperti yang dibilang oleh Om Do tadi. Selanjutnya pria itu memberikan instruksi apa yang harus aku lakukan lengkap dengan bacaan niat sehingga sampailah pada akh
"Aku bercanda, biarkan itu kita pikirkan nantisaja." Seru Om Do yang melanjutkan pemikirannya tentang perutku yang akanmembesar. Selanjutnya kami sibuk dengan ponsel masing-masing,aku sibuk dengan teman-temanku dan Om Do pun entah sibuk dengan siapa.Sebenarnya aku penasaran, di usianya yang sudah mapan dan seharusnya sudahmenikah, kenapa Om Do belum juga berkeluarga. Tapi bisa saja, dia diam-diamsudah punya calon istri atau pacar. Lalu bagaimana ya, sikap calon istrinyaatau kekasihnya ketika tahu Om Do sudah menikahiku. Masa bodoh, kenapa aku jadimemikirkannya, itu urusan Om Do dengan pacarnya.Aku merasa bosan di waktu seperti ini berada di rumah, berdua dengan seorangpria yang sama sekali tidak aku inginkan. Meskipun aku sudah sedikit mengenal OmDo, tapi tetap saja aku belum terbiasa berdekatan dengannya.Biasanya jam segini aku berada di luar bersama teman-temanku. Sekedar nongkrongdi cafe atau jalan ke mall. Aktivitasku memang masih terbilang wajar untukseorang anak g
Sengaja aku mengucapkannya dengan suara keras supaya Om Do mendengarnya. "Oh, jadi kamu anak kesepian di rumahmu sendiri? Pantesan kamu mencari perhatian pada ponakanku. Hidup itu tidak ada yang enak Nona, tinggal bagaimana kamu memilih mau menjalani yang mana. Kesepian di rumah besarmu atau tinggal di sini penuh perhatian dan kehangatan."Ternyata dia mendengar juga, buktinya Om-om itu menjawab. Aku menyesal juga telah mengatakan aku kesepian di rumah Mama.Sok tahu dia, perhatian macam apa yang diberikan padaku. Itu sih bukan perhatian, tapi perintah atau lebih tepatnya kebijakan yang merugikan salah satu pihak. Seenaknya dia main perintah pada anak orang, harus inilah harus itulah, jangan ini jangan itu. Memang tidak ada yang enak hidup bersama Mama ataupun bersama Om Do. Ini karena dari awal yang kuinginkan adalah hidup bersama Rendy dan menjalani hari-hari penuh cinta.Akhirnya aku masuk ke kamar dan menutup pintu dengan sedikit keras."Hati-hati jangan sampai pintu kamarku rusa
Setelah bernegosiasi, akhirnya aku tidak jadi mengenakan setelan gamis yang panjang. Tapi kata Om Do, ini untuk sementara karena harus bertahap. Huft!Tidak apa-apa untuk saat ini. Yang penting hari ini aku tidak memakai gamis, bisa-bisa aku ditertawakan oleh Ghea dan Mitha.Om Do memperbolehkan aku memakai celana jeans dengan catatan harus memakai baju panjang alias tunik. Atasan yang menjuntai hingga ke betis. Meskipun ini tidak begitu berbeda dengan gamis yang tadi disarankan oleh Om Do, tapi minimal ujung baju ini tidak menyentuh tanah. Jadi aku tidak akan begitu kerepotan berjalan. Satu lagi yang membuatku merasa kerepotan adalah aku harus menggunakan kerudung. Aku memilih menggunakan pashmina yang kedua ujungnya aku simpulkan ke belakang kepala, ini pun sangat membuatku kegerahan.Oh ya, baju-baju itu sudah ada di sofa depan televisi. Tadi pagi ketika aku bangun tidur Om Do sudah mempersiapkannya. Entah kapan dan bagaimana dia mendapatkan baju-baju itu. Yang jelas dia bilang ak
Sejenak aku terbelalak melihat lembaran merah yang ia letakkan di atas sofa itu, setelah aku hitung jumlahnya ada lima lembar.Apa nggak salah ini? Untuk ongkos taksi aja dia memberiku lima ratus ribu. Memangnya jarak dari sini ke kampus berapa ratus kilometer? Ah ya jangan-jangan ini untuk ongkos taksi satu bulan. Bisa saja bukan, memangnya berapa penghasilan dia dari toko seperti itu? Ah sudahlah, aku dapat uang jajan gede hari ini, tapi aku nggak boleh boros. Bagaimana kalau benar uang ini untuk satu bulan, besok aku jalan kaki dong ke kampus.Aku pun bergegas turun dan tak lupa mengunci pintu. Ketika melewati area toko aku melirik untuk memastikan pria itu ada di sana. Tapi aku tidak melihat Om Do berada di toko, hanya ada Ilham dan Danang di sana."Selamat pagi, Mbak Lala. Mau pergi kuliah, ya," sapa Ilham ketika melihatku lewat."Ah, ya, Mas Ilham. Mari ... permisi ... ""Mari Mbak Lala, hati-hati dijalan. Kenapa tidak bareng sama Mas Faldo berangkatnya?" "Aku nanti naik taksi
"Lalu nasib perut buncit Lo nanti gimana?""Itu urusan gue!""Jadi Lo siap dibully karena perut buncit tanpa ketahuan nikah daripada Lo dibully ketahuan nikah sama Om Do?"Aku diam, susah juga menjelaskan pada mereka pasalnya aku juga belum mau jujur pada kedua sahabatku ini kalau sebenarnya aku tidak hamil."Nanti gue pikirkan lagi. Yang jelas sekarang tidak boleh ada yang tahu kalau gue nikah sama Om Do.""Oke, oke kalau itu mau Lo. Terus benar kan kalau penampilan Lo ini atas perintah laki Lo?" Ghea menyelidik.Aku mengangguk lemah."Dari semenjak kemarin sampai di rumahnya, dia seperti menguasai hidup Gue. Dia banyak ngatur, harus ini harus itu, jangan ini jangan itu.""Namanya suami, ya seperti itu. Bukankah dulu Lo yang pengen cepat nikah sama Rendy?""Gue pengen nikah sama Rendy bukan sama Om-nya. Sama Rendy itu kita saling mencintai jadi enggak bakalan bersikap otoriter kayak gitu.""Belum tentu juga, justru kalau menurut Gue nih, Om-nya itu lebih dewasa. Jadi dia bisa momong,