Share

7. Kamar Satu-satunya

"Lagian aku juga gak bakalan ngapa-ngapain kamu, kok. Memangnya aku mau mencampur benih ponakanku sendiri? Di dalam Islam sendiri tidak diperbolehkan menumpuk benih di dalam rahim."

"Oh, jadi Om juga meledekku?" Aku tidak terima Om Do merendahkan aku.

"Memang seperti itu kenyataannya. Bukankah wanita yang aku nikahi ini hamil anak ponakanku sendiri. Aku tak menyangka jika nasibku akan seperti ini, menikahi pacar ponakan yang sedang hamil dan manja." Setelah berkata seperti itu Om Do menarik dua buah koperku dan membawanya ke kamar.

"Pokoknya aku tidak mau tidur satu kamar sama Om. Kalau Om tidak mau tidur di luar, biar aku saja yang di luar!" Aku berteriak supaya pria itu mengurungkan niatnya membawa koper-koper itu ke kamar.

Di ruangan ini terdapat satu sofa panjang yang berhadapan langsung dengan televisi. Mungkin ini bisa aku gunakan untuk merebahkan diri atau aku bisa tidur di atas karpet yang terbentang di antara televisi dan sofa ini, begitu pikirku.

Pria itu tidak mendengarkan apa yang aku katakan, dia terus masuk sambil membawa dua buah koperku hingga terpaksa aku harus mengikutinya.

"Om dengar enggak? Aku enggak mau tidur satu kamar sama Om, lebih baik aku tidur di luar saja. Tidak apa-apa kalaupun harus di sofa ataupun di atas karpet." Aku berkata dengan suara tinggi.

"Terus kalau kamu tidur di luar apakah koper-koper ini akan dibiarkan berantakan disana? Mengganggu pemandangan saja," jawabnya sambil melepaskan kedua koperku membiarkannya tergeletak di dekat ranjang.

Pria itu lalu keluar berjalan melewatiku karena aku berdiri tepat di depan pintu. Mau tidak mau tubuh pria itu hampir saja bertabrakan dengan tubuhku. Ketika dia berpapasan denganku, aroma maskulin begitu saja memenuhi indra penciumanku. Rupanya pria ini berselera tinggi dalam urusan parfum, aku tahu tidak sembarangan orang memakai parfum ini.

Setelah Om Do menghilang dari balik pintu, aku baru sadar kalau aku tengah berada di dalam kamarnya. Kamar yang cukup luas dengan tempat tidur king size dan sepertinya nyaman. Satu buah lemari yang cukup lebar juga terdapat di ujung kamar. Sementara sebuah jendela dengan tirai putih berada di samping kanan tempat tidur. Aku baru ingat kalau ruko Om Do ini terletak paling ujung hingga dari dalam sini tidak tertutup karena tidak punya tetangga di sebelahnya.

Kamar yang cukup rapi untuk ukuran kamar seorang pria. Tak sadar aku melangkah mendekati ranjang ukuran besar itu kemudian duduk di pinggirnya. Penampakan kamar ini tidak seperti berada di sebuah ruko. Ini lebih mirip dengan kamarku di rumah Mama, hanya pemilihan warna saja yang lebih maskulin dan ukurannya lebih kecil sedikit.

"Kamarnya cukup nyaman juga." Aku bergumam sambil mengusap kasur lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Entah dorongan dari mana tubuhku seperti terkena magnet yang berasal dari tempat tidur ini. Tiba-tiba aku merebahkan diri. Jujur saja aku seharian ini merasa sanga lelah. Kenyataan kalau aku gagal nikah dengan Rendy dan terpaksa harus menikah dengan Om-nya Rendy sangat menguras pikiranku. Lalu tiba-tiba tanpa pernah terpikirkan sebelumnya, hari ini juga aku pindah ke sini, ke sebuah ruko kecil milik suami dadakanku. Entah bagaimana kehidupan besok yang harus aku jalani bersama Om Do, pria yang umurnya kutaksir terpaut 10 tahun lebih tua dariku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
effy
ada juga perempuan x sedar diri...hamil dgn jantan lain... tp x bersyukur ada kelaki yg mahu selamatkan ppuan hamil dr aibnya... gilaaa...masih berani berteriak gitu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status