Share

6. Ruko

Selesai mengemasi barang-barang yang hanya dua koper, aku turun bersama Mama. Tidak banyak baju yang aku bawa, hanya beberapa baju untuk kuliah, piyama juga buku-buku yang nantinya aku perlukan selama kuliah. Aku tak yakin akan betah tinggal bersama pria asing itu makanya seperti saran Mama aku hanya membawa sebagian kecil baju.

"Ingat pesan Mama, ya, La. Kamu harus merubah sikap, jangan manja lagi, harus mandiri dan bisa mengurus suami kamu," pesan mama sekali lagi ketika mengantarkan ke depan.

Sudah ada taksi yang menunggu di depan rumah, mungkin pria itu sudah memesannya secara online.

"Faldo, Mama titip Lala, ya. Lala masih kekanak-kanakan, sangat jauh dari kata dewasa. Maklumlah dia anak satu-satunya dan kami sangat memanjakannya. Ini tugas Nak Faldo untuk membimbingnya jadi wanita mandiri, mudah-mudahan Nak Faldo bisa bersabar karena Lala masih perlu bimbingan.

"Insya Allah, Ma. Terima kasih kalian sudah percaya kepada saya, mudah-mudahan saya bisa membimbing Lala," jawab Om Do sambil menyalami Mama dan Om Dimas.

Aku pun terpaksa mengikuti Om Do untuk menyalami mereka, walaupun sebenarnya aku malas harus berpamitan pada Om Dimas. Dan benar saja pria itu menggenggam tanganku dengan erat seakan dia tidak mau melepaskannya hingga aku perlu tenaga yang lebih untuk menarik kembali tanganku. Syukurlah mulai saat ini sepertinya aku tidak akan terlalu sering berinteraksi dengan pria itu.

Di dalam taksi yang membawaku bersama Om Do, aku tidak banyak bicara. Duduk menyamping dan menghadap ke jendela adalah pilihanku. Begitupun yang dilakukan oleh Om Do, dia tidak terdengar suaranya sama sekali dan aku tidak tahu apa yang dilakukannya sekarang karena aku tidak berminat untuk meliriknya.

Lebih dari tiga puluh menit ketika mobil yang kami tumpangi berhenti di sebuah barisan ruko. Pria itu turun, aku pikir dia aku membeli sesuatu. Tapi Om Do kembali menunduk dan melihatku yang masih duduk di dalam taksi.

"Ayo turun! Apa kamu mau ikut dengan sopir taksi ini?"

"Turun?!" tanyaku aku heran.

"Iya, kita sudah sampai."

Mataku membulat melihat kearah pria itu lalu beralih pada deretan ruko yang berada di samping kiriku.

"Ayo, apa kamu mau bengong terus di dalam taksi?!"

Dengan perasaan heran akhirnya aku turun sementara pria itu menurunkan dua koper milikku dibantu oleh supir taksi.

"Jadi ....?" tanyaku pada pria yang sedang berdiri di sampingku lalu merunduk untuk membawa buah koper milikku.

"Kita tinggal di sini, apa aku perlu menjelaskannya?"

"Maksudnya di ruko?!" tanyaku masih keheranan.

"Iya. Memangnya kamu melihat perumahan di sekitar sini? Kita tinggal di ruko." Setelah berkata seperti itu Om Do berjalan dengan dua koper di tangan kanan kirinya.

"Yang bener saja, masa aku tinggal di ruko?" protesku sambil mengikuti pria itu.

"Karena suamimu tinggal di ruko, jadi kamu harus tinggal di sini juga. Ayo di sebelah sana."

Om Do menunjuk ruko berwarna biru yang tinggal beberapa langkah lagi di depan kami. Setelah sampai aku berdiri memandang ruko di depanku bertuliskan toko Al Ikhlas.

"Kita akan tinggal di sini," ucapnya sambil masuk ke dalam toko. Ada lorong di sisi kiri toko sepertinya diperuntukkan untuk jalan menuju ke atas karena di ujung sana terhubung anak tangga.

"Assalamualaikum," ucap Om Do ketika kami sudah berada di dalam.

"Waalaikumsalam," jawab salah satu dari dua orang yang berada di dalam toko tersebut. Sepertinya mereka karyawan toko ini.

Aku hanya mematung melihat keadaan toko. Sepertinya toko ini menjual buku dan alat-alat tulis juga ada dua buah mesin fotocopy di dalamnya. Apa Om Do juga bekerja di toko ini?"

"Ilham, ini Lala yang tadi aku ceritakan lewat telepon, sekarang dia akan tinggal di sini juga," jelas Om Do pada kedua orang tersebut.

"Alhamdulillah, meskipun kabar ini sangat mengejutkan bagi kami tapi kami bersyukur akhirnya Mas Faldo sold out juga," kekeh pria yang dipanggil Ilham.

"Bisa saja kamu!" Om Do juga ikut terkekeh.

"Perkenalkan saya Ilham dan ini teman saya Danang. Kami sudah bekerja pada Mas Faldo sejak toko ini buka." Tanpa diminta pemuda yang mengaku bernama Ilham itu menjelaskan.

Bekerja pada Om Do? Itu artinya omdo adalah pemilik ruko ini. Aku melirik pria yang berada di sampingku, tapi hanya sekilas karena dia juga tengah melihat ke arahku. Tentu saja aku tidak mau bersitatap dengannya, makanya aku segera mengalihkan pandangan.

"Oke, Ham, kami permisi dulu," pamit Om Do.

"Ya Mas, silakan. Selamat datang di ruko Al Ikhlas, Mbak Lala," kata Ilham dan Danang secara bersamaan. Dengan sangat terpaksa aku pun mengangguk ke arah mereka.

"Ayo kita ke atas," ajak Om Do sambil melirik ke atas. Tanpa menjawab aku mengikuti langkah pria itu menaiki anak tangga.

Dalam hati aku menggerutu, yang benar saja aku harus tinggal di ruko yang sempit seperti ini. Padahal rumahku berkali-kali lipat luasnya. Kalau tahu begini, tadi aku menolak diajak ke sini. Lebih baik aku tinggal di apartemen Papa.

Bagian atas ruko ini lumayan luas, begitu kami sampai di atas, kami berada di ruangan yang sepertinya berfungsi sebagai ruang keluarga sekaligus ruang tamu. Agak ke belakang terdapat ruangan yang sepertinya difungsikan sebagai kamar tidur dan hanya satu-satunya. Lalu di pinggirnya ada lorong yang menghubungkan ke bagiannya paling belakang.

"Dapur dan terletak di belakang kamar itu." Om Do menunjuk ke arah lorong yang baru saja aku perhatikan, seakan dia mengerti apa yang sedang aku pikirkan.

"Om Do menunjukkan letak dapur, tapi tidak sedang memintaku untuk memasak 'kan?" tanyaku ketus.

"Tidak untuk sekarang, kamu pasti capek. Beristirahatlah! Aku cuma ngasih tahu kalau kamu butuh sesuatu dapurnya di sebelah sana." Pria itu terkekeh.

Tadi dia bilang tidak untuk sekarang? berarti besok-besok dia akan menyuruhku memasak? Ya Tuhan, apa yang akan terjadi dengan jari-jariku yang lentik ini, terus badanku yang wangi juga akan bau asap. Tidak, ini tidak boleh terjadi.

Bagaimana nanti tanggapan Ghea dan Mitha kalau mereka tahu aku menikah hanya untuk dijadikan pembantu.

"Kalau kamu mau membersihkan badan, kamar mandinya ada di dalam kamar tidur kita."

"Apa?! Kamar tidur kita?"

"Ya, memang itu kamar tidur siapa? Itu kamar tidurku dan sekarang aku sudah punya istri, berarti ini kamarku dan istriku." Dia berkata seakan semuanya biasa saja.

"Ya nggak bisa lah, aku nggak bisa satu kamar sama Om. Ingat, kita ini menikah karena terpaksa!" Aku menjawab dengan nada tinggi.

"Iya, tapi kamarnya cuma satu, memang kamu mau tidur di bawah dengan mesin fotocopy?"

Aku hanya memutar bola mata setelah mendengar kalimatnya. Ya Tuhan, cobaan apalagi ini? Aku kira aku akan tinggal di rumah yang luas dengan banyak kamar. Secara 'kan Tante Renita, Kakaknya Om Do juga kaya raya. Aku tak menyangka kalau Adiknya tinggal di tempat seperti ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status