Selesai mengemasi barang-barang yang hanya dua koper, aku turun bersama Mama. Tidak banyak baju yang aku bawa, hanya beberapa baju untuk kuliah, piyama juga buku-buku yang nantinya aku perlukan selama kuliah. Aku tak yakin akan betah tinggal bersama pria asing itu makanya seperti saran Mama aku hanya membawa sebagian kecil baju.
"Ingat pesan Mama, ya, La. Kamu harus merubah sikap, jangan manja lagi, harus mandiri dan bisa mengurus suami kamu," pesan mama sekali lagi ketika mengantarkan ke depan.Sudah ada taksi yang menunggu di depan rumah, mungkin pria itu sudah memesannya secara online."Faldo, Mama titip Lala, ya. Lala masih kekanak-kanakan, sangat jauh dari kata dewasa. Maklumlah dia anak satu-satunya dan kami sangat memanjakannya. Ini tugas Nak Faldo untuk membimbingnya jadi wanita mandiri, mudah-mudahan Nak Faldo bisa bersabar karena Lala masih perlu bimbingan."Insya Allah, Ma. Terima kasih kalian sudah percaya kepada saya, mudah-mudahan saya bisa membimbing Lala," jawab Om Do sambil menyalami Mama dan Om Dimas.Aku pun terpaksa mengikuti Om Do untuk menyalami mereka, walaupun sebenarnya aku malas harus berpamitan pada Om Dimas. Dan benar saja pria itu menggenggam tanganku dengan erat seakan dia tidak mau melepaskannya hingga aku perlu tenaga yang lebih untuk menarik kembali tanganku. Syukurlah mulai saat ini sepertinya aku tidak akan terlalu sering berinteraksi dengan pria itu.Di dalam taksi yang membawaku bersama Om Do, aku tidak banyak bicara. Duduk menyamping dan menghadap ke jendela adalah pilihanku. Begitupun yang dilakukan oleh Om Do, dia tidak terdengar suaranya sama sekali dan aku tidak tahu apa yang dilakukannya sekarang karena aku tidak berminat untuk meliriknya.Lebih dari tiga puluh menit ketika mobil yang kami tumpangi berhenti di sebuah barisan ruko. Pria itu turun, aku pikir dia aku membeli sesuatu. Tapi Om Do kembali menunduk dan melihatku yang masih duduk di dalam taksi."Ayo turun! Apa kamu mau ikut dengan sopir taksi ini?""Turun?!" tanyaku aku heran."Iya, kita sudah sampai."Mataku membulat melihat kearah pria itu lalu beralih pada deretan ruko yang berada di samping kiriku."Ayo, apa kamu mau bengong terus di dalam taksi?!"Dengan perasaan heran akhirnya aku turun sementara pria itu menurunkan dua koper milikku dibantu oleh supir taksi."Jadi ....?" tanyaku pada pria yang sedang berdiri di sampingku lalu merunduk untuk membawa buah koper milikku."Kita tinggal di sini, apa aku perlu menjelaskannya?""Maksudnya di ruko?!" tanyaku masih keheranan."Iya. Memangnya kamu melihat perumahan di sekitar sini? Kita tinggal di ruko." Setelah berkata seperti itu Om Do berjalan dengan dua koper di tangan kanan kirinya."Yang bener saja, masa aku tinggal di ruko?" protesku sambil mengikuti pria itu."Karena suamimu tinggal di ruko, jadi kamu harus tinggal di sini juga. Ayo di sebelah sana."Om Do menunjuk ruko berwarna biru yang tinggal beberapa langkah lagi di depan kami. Setelah sampai aku berdiri memandang ruko di depanku bertuliskan toko Al Ikhlas."Kita akan tinggal di sini," ucapnya sambil masuk ke dalam toko. Ada lorong di sisi kiri toko sepertinya diperuntukkan untuk jalan menuju ke atas karena di ujung sana terhubung anak tangga."Assalamualaikum," ucap Om Do ketika kami sudah berada di dalam."Waalaikumsalam," jawab salah satu dari dua orang yang berada di dalam toko tersebut. Sepertinya mereka karyawan toko ini.Aku hanya mematung melihat keadaan toko. Sepertinya toko ini menjual buku dan alat-alat tulis juga ada dua buah mesin fotocopy di dalamnya. Apa Om Do juga bekerja di toko ini?""Ilham, ini Lala yang tadi aku ceritakan lewat telepon, sekarang dia akan tinggal di sini juga," jelas Om Do pada kedua orang tersebut."Alhamdulillah, meskipun kabar ini sangat mengejutkan bagi kami tapi kami bersyukur akhirnya Mas Faldo sold out juga," kekeh pria yang dipanggil Ilham."Bisa saja kamu!" Om Do juga ikut terkekeh."Perkenalkan saya Ilham dan ini teman saya Danang. Kami sudah bekerja pada Mas Faldo sejak toko ini buka." Tanpa diminta pemuda yang mengaku bernama Ilham itu menjelaskan.Bekerja pada Om Do? Itu artinya omdo adalah pemilik ruko ini. Aku melirik pria yang berada di sampingku, tapi hanya sekilas karena dia juga tengah melihat ke arahku. Tentu saja aku tidak mau bersitatap dengannya, makanya aku segera mengalihkan pandangan."Oke, Ham, kami permisi dulu," pamit Om Do."Ya Mas, silakan. Selamat datang di ruko Al Ikhlas, Mbak Lala," kata Ilham dan Danang secara bersamaan. Dengan sangat terpaksa aku pun mengangguk ke arah mereka."Ayo kita ke atas," ajak Om Do sambil melirik ke atas. Tanpa menjawab aku mengikuti langkah pria itu menaiki anak tangga.Dalam hati aku menggerutu, yang benar saja aku harus tinggal di ruko yang sempit seperti ini. Padahal rumahku berkali-kali lipat luasnya. Kalau tahu begini, tadi aku menolak diajak ke sini. Lebih baik aku tinggal di apartemen Papa.Bagian atas ruko ini lumayan luas, begitu kami sampai di atas, kami berada di ruangan yang sepertinya berfungsi sebagai ruang keluarga sekaligus ruang tamu. Agak ke belakang terdapat ruangan yang sepertinya difungsikan sebagai kamar tidur dan hanya satu-satunya. Lalu di pinggirnya ada lorong yang menghubungkan ke bagiannya paling belakang."Dapur dan terletak di belakang kamar itu." Om Do menunjuk ke arah lorong yang baru saja aku perhatikan, seakan dia mengerti apa yang sedang aku pikirkan."Om Do menunjukkan letak dapur, tapi tidak sedang memintaku untuk memasak 'kan?" tanyaku ketus."Tidak untuk sekarang, kamu pasti capek. Beristirahatlah! Aku cuma ngasih tahu kalau kamu butuh sesuatu dapurnya di sebelah sana." Pria itu terkekeh.Tadi dia bilang tidak untuk sekarang? berarti besok-besok dia akan menyuruhku memasak? Ya Tuhan, apa yang akan terjadi dengan jari-jariku yang lentik ini, terus badanku yang wangi juga akan bau asap. Tidak, ini tidak boleh terjadi.Bagaimana nanti tanggapan Ghea dan Mitha kalau mereka tahu aku menikah hanya untuk dijadikan pembantu."Kalau kamu mau membersihkan badan, kamar mandinya ada di dalam kamar tidur kita.""Apa?! Kamar tidur kita?""Ya, memang itu kamar tidur siapa? Itu kamar tidurku dan sekarang aku sudah punya istri, berarti ini kamarku dan istriku." Dia berkata seakan semuanya biasa saja."Ya nggak bisa lah, aku nggak bisa satu kamar sama Om. Ingat, kita ini menikah karena terpaksa!" Aku menjawab dengan nada tinggi."Iya, tapi kamarnya cuma satu, memang kamu mau tidur di bawah dengan mesin fotocopy?"Aku hanya memutar bola mata setelah mendengar kalimatnya. Ya Tuhan, cobaan apalagi ini? Aku kira aku akan tinggal di rumah yang luas dengan banyak kamar. Secara 'kan Tante Renita, Kakaknya Om Do juga kaya raya. Aku tak menyangka kalau Adiknya tinggal di tempat seperti ini.Lala"Sah!!" ucap dua orang saksi secara bersamaan. Kami yang berada di ruangan tengah rumah orang tua Bu Zaskia pun serempak mengucap alhamdulillah. Setelah sempat gagal satu kali, Mas Danang akhirnya lancar mengucap ijab kabul. Detik ini juga Mas Dadang dan Bu Zaskia resmi menjadi suami istri. Kudengar Mas Faldo pun mengucap syukur dengan suara yang begitu lirih. Sesaat setelah itu aku pun menoleh ke arahnya. Ternyata suamiku itu pun sedang melakukan hal yang sama. "Terima kasih sudah membantu," ucapnya lirih. "Aku tidak melakukan apa pun, Mas.""Sekecil apa pun, sangat berarti. Sekarang aku sangat lega. Akhirnya Zaskia berada di tangan yang tepat."Aku bisa mengerti kenapa Mas Faldo merasa lega seperti itu. Dalam hatinya mungkin masih ada rasa bersalah telah membiarkan Bu Zaskia salah paham selama bertahun-tahun. Lima hari yang lalu, pagi-pagi sekali Bu Zaskia datang ke rumah kami. Beruntung saat itu kami belum berangkat ke rumah Mama karena malamnya Mas Faldo sudah merencanak
"Di mana kamu, Zaskia?! Cepat pulang! Jangan bikin malu Ayah!!"Suara Ayah bagai petir menyambar telingaku. Sampai-sampai aku menjauhkan benda pipih tersebut dari kepalaku. Tidak seperti biasanya, Ayah berkata dengan nada tinggi seperti itu. Apa telah terjadi sesuatu? Jangan-jangan Anjar mengadu pada Ayah melalui telepon, karena tidak mungkin kalau pria itu sudah sampai di rumah Ayah. "Iya, Yah. Sebentar lagi aku sampai di rumah .... ""Ayah tunggu kamu dan jelaskan semuanya!"Tak salah lagi, Anjar bergerak cepat mengadu pada Ayah. Bisa jadi ia memutar balik fakta atau mengarang cerita supaya aku salah di mata Ayah. Jika benar seperti itu, maka makin ketahuan sifat aslinya. Beruntung, aku belum menyetujui perjodohan ini. "Tunggu! Apa bapak-bapak bisa menolong saya sekali lagi?" Aku menghentikan langkah, dua orang yang ada di depanku pun spontan berhenti."Maksudnya gimana, Neng?" tanya salah satunya.Akhirnya aku menceritakan detail permasalahan ini pada dua orang di hadapanku secar
"Beneran tidak ada jalan lain, Pak?" "Beneran, Neng." Untuk beberapa saat aku hanya mematung. Bingung harus bagaimana. Mana malam semakin larut. Aku juga tidak terbiasa pergi sendirian apalagi malam-malam seperti ini. Apa baiknya aku menelepon Mas Faldo atau Danang. Ah, malu rasanya jika meminta tolong padanya.Pada saat bersamaan, tiba-tiba telingaku menangkap suara derap langkah beberapa orang. Sepertinya ada yang berlari lebih dari satu orang. Selain gelap, di sini juga banyak tanaman seperti pohon pisang dan pohon lainnya. Jadi tidak begitu terlihat orangnya, hanya suaranya. Curiga kalau itu Anjar yang mencariku, maka tanpa pikir panjang lagi aku langsung berlari ke arah pintu pagar warga yang rumahnya terletak di belakang pos ronda ini."Tolong jika ada yang mencari saya, jangan kasih tahu. Mereka orang jahat." Kuucapkan itu sebelum tubuhku hilang di balik pagar. Aku pun segera berjongkok dan memasang telinga karena pagarnya hanya sebatas dada orang dewasa. Beruntung tadi pintu
Aku terus berlari melewati koridor hotel yang sepi. Suara sepatuku yang beradu dengan lantai terdengar jelas. Tak peduli orang-orang akan heran melihat dan mendengarnya, aku terus berlari hingga mencapai pintu lift. Dengan tangan gemetar, aku menekan angka satu. Kedua tanganku saling bertaut dengan keringat dingin mengucur di sana. Sekarang sudah jelas, Anjar berniat melecehkan aku, dari sini aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia bukan pria baik-baik. Pantas saja begitu mudahnya saling bersentuhan dengan Nabila. Semua terjawab sudah dalam beberapa menit saja. Setelah pintu lift terbuka, tergesa-gesa aku menuju satu-satunya pintu keluar yang terdapat di lobby hotel ini. Namun, langkahku tertahan lantaran di sana terlihat Nabila tengah berdiri bersama teman prianya. Apa mungkin gadis itu sengaja menungguku. Di sini aku yakin kalau Nabila dan Anjar bekerja sama. Bisa jadi, ketika aku berada di lift tadi, Anjar menghubungi Nabila supaya mencegatku di tempat itu.Tanpa pikir panjang la
"Kita naik lift saja." Anjar berbelok ke arah lift. Padahal kami hanya berada di lantai dua, tadi saja sewaktu naik kami menggunakan tangga biasa. Kenapa sekarang turun harus menggunakan lift?"Pake tangga saja." Aku menolak secara halus sebab risih jika harus berduaan di dalam lift. "Perutku sudah kenyang, rasanya enggan untuk melangkah meskipun itu menuruni anak tangga." Anjar beralasan sambil mengusap perutnya. Sementara satu tangannya sibuk mengetik di layar ponsel."Kalau begitu, Mas saja yang naik lift. Saya turun pakai tangga saja." Setelah berkata seperti itu aku pun hendak melangkah."Tunggu! Bagaimana kata orang nanti kalau kita jalan masih pisah-pisah. Please," kata Anjar seraya menahan langkahku dengan cara meraih tangan kananku meskipun detik berikutnya aku menariknya hingga terlepas.Tidak mau berdebat yang akhirnya hanya akan menjadi pusat perhatian. Akhirnya aku mengalah. Dalam hati berdoa mudah-mudahan ada orang lain yang akan menggunakan lift bersama kami.Ternyata k
Selama kami makan, satu hal yang membuat aku tidak nyaman-selain cara Anjar dan Nabila berkomunikasi-yaitu cara Anjar menatapku. Ketika pria itu melihatku, tatapannya begitu dalam seolah ingin menerkamku. Bukan itu saja, dia juga kerap tersenyum miring sehingga aku merasa seperti seorang mangsa yang sedang diincar."Kamu tidak mau bertanya tentang Nabila?" tanyanya beberapa saat setelah gadis itu pergi."Tidak. Saya bukan tipe orang yang kepo pada kehidupan orang lain," jawabku jujur. Tak disangka, mendengar jawabanku Anjar mencebik."Kamu tidak cemburu melihat Nabila memeluk dan menciumku?""Cemburu itu harus berdasar. Dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menaruh perasaan. Sementara kita belum ada komitmen apapun, jadi saya tidak berhak untuk cemburu." Ia pun melirik sekilas ke samping kirinya, seperti reaksi kecewa tapi Anjar mencoba untuk tetap tenang. Apa ada yang salah dengan jawabanku."Mas Anjar jangan salah paham. Sekali lagi saya tekankan, kalau saya belum menyetuj
Obrolan kami berlanjut. Ternyata selain tampan, Anjar sangat pandai bergaul. Terbukti dari awal kami berjumpa, pria itu sama sekali tidak terlihat canggung. Ia bahkan bisa menghidupkan suasana, meskipun aku tidak begitu suka pada caranya berkomunikasi dengan tangannya yang tidak bisa dikondisikan. Begitu mudah menyentuh tanpa rasa bersalah. Padahal kami bertemu baru dalam hitungan jam. Aku pun jadi ragu padanya.Meskipun tidak suka, tapi aku masih berpikiran positif. Mungkin hal itu disebabkan oleh pergaulannya. Kami menikmati hidangan yang tersedia di atas meja. Anjar begitu lahap, lain denganku yang canggung karena ini pertama kalinya makan dengan pria asing. Perhatian Anjar beralih ke samping kirinya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Setelah melihat layar ponselnya, ia pun lalu mengambilnya."Ya, hallo .... "" .... ""Ah ya, memangnya kamu di mana?"" .... ""Aku di resto, sedang makan bersama calon istriku." Anjar melirikku ketika dia menyebutku calon istri. Pria itu pun ters
Sore ini aku pulang cepat karena harus bertemu dengan pria yang menurut ayah adalah calon suami pilihannya. Meskipun ibu memintaku berdandan dengan sempurna, tapi aku menolak. Aku mau, jika seorang pria menyukaiku, itu karena dia melihat fisikku apa adanya. Tanpa polesan yang berlebihan.Pukul lima sore tepat, pria yang kuketahui bernama Ginanjar itu datang dengan membawa kendaraan mewahnya. Pantas jika ayah menyebut pria dengan postur tinggi tegap ini sudah mapan. Sebenarnya Ginanjar pria yang tampan, penampilannya pun stylish. Tapi kenapa di usianya yang sudah matang belum juga berumah tangga, sehingga ia perlu dicarikan jodoh. Mungkin benar kata ayah kalau Ginanjar terlalu banyak pilih-pilih. Kukira dia akan mengobrol di rumah, tapi ternyata Ginanjar mengajakku keluar. Aku sudah menolak karena selama ini tidak pernah keluar dengan pria asing apalagi berduaan. Tapi entah kenapa, ayah malah mengijinkan. Padahal sebelumnya Ayah tidak pernah bersikap seperti itu. Aku curiga, jangan-ja
Pertemuanku dengan Danang tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan keinginanku. Pria itu terang-terangan menolak untuk menikahiku di atas sebuah perjanjian. "Silakan Mbak Zaskia mencari orang lain, jika maksud dan tujuannya seperti itu. Tapi jika orang tersebut tidak Mbak temukan, maka saya siap menikahi Mbak Zaskia dengan catatan tidak ada perjanjian apapun. Kecuali janji kita kepada Allah untuk sama-sama membangun rumah tangga dan niatkan beribadah padaNya."Kalimat itu diucapkan Danang di akhir pertemuan kami. Sekarang sudah dua hari kejadian itu berlalu. Aku belum mendapatkan solusi. Selama ini aku tidak punya banyak kenalan laki-laki karena memang cukup membatasi diri. Pagi tadi ketika sarapan, Ayah sudah membahas perihal jodohku lagi. Sementara Fitria dari beberapa hari yang lalu tetap memasang wajah yang kurang bersahabat. Di dalam lingkup pertemananku, hanya ada tiga laki-laki yang kukenal cukup dekat. Mas Faldo, mas Danang dan Ilham. Tidak mungkin kalau aku meminta tolong