"Mas, apa kamu tau sampai kapan kakakmu di kota?" tanya Dea.
"Hmmm, katanya cuma satu mingguan De.""Apa? Cuma satu minggu?"Diki mengangguk, dengan tatapan yang masih fokus ke layar laptop di hadapannya."Aku mau mereka tidak tinggal di sini Mas," keluh Dea."Loh, tidak bisa begitu De, mau tinggal dimana Mas Gilang kalau tidak k di sini?""Ya terserah mereka, bukankah ini rumah kamu ya Mas?""Ini rumah Ibu De.""Iya, tapi rumah ini jatah buat kamu kan?""Ibu belum membaginya.""Kalau begitu aku mau bicara sama Ibu supaya Ibu cepat membaginya.""Jangan De. Itu namanya tidak sopan.""Kalau tidak begitu, nanti bagaimana kalau tidak adil?""Tunggu saja nanti sampai Kak Gilang pulang. ya?"Dea terdiam, pikirannya menjadi tak tenang."Oya Mas, mana jatah buat Ibu bulan ini? Biar aku yang kasih."Diki segera merogoh tasnya, dan mengambil sebuah amplop berisi uang. "Berapa ini Mas?""Seperti biasa De, sejuta setengah.""Tambahin Mas, biar dua juta."Sekilas Diki menatap Dea aneh, biasanya Dea akan bicara panjang lebar terlebih dulu sebelum menyerahkan uang untuk Bu Aminah dan terlihat kurang ikhlas. Namun kali ini berbeda, Dea memintanya agar di lebihkan. Meskipun begituDiki bahagia mendengarnya, ia segera menyerahkan lima lembar uang seratus ribuan pada Dea. "Kamu tunggu di sini ya, biar aku yang ngasih uang ini ke Ibu."Diki menganguk.Bu Aminah terlihat tengah memasak di dapur seorang diri, Dea dengan pelan menghampirinya. "Bu, biar sama aku saja masaknya, Ibu mendingan duduk aja di sana. Ya?" pintanya sopan.Bu Aminah menatap Dea heran, karena tidak seperti biasanya sikap Dea lembut seperti itu. "Sudah selesai De, tinggal goreng tempe.""Ya sudah biar nanti saja sama aku goreng tempenya, sekarang Ibu duduk saja, ada yang mau aku bicarakan."Bu Aminah pun menuruti ucapan Dea, ia duduk di ruang makan. "Bu, aku nggak betah di sini kalau ada Mbak Fitri." keluh Dea. Seketika Bu Aminah menatap Dea lekat."Loh, kenapa? Ada apa dengan Fitri?""Ya intinya, aku ngerasa nggak nyaman kalau di rumah ini terlalu banyak keluarga.""Iya, Ibu bisa mengerti, pastinya tidak akan nyaman. Tapi, sabarlah dulu, Gilang juga sedang mencari rumah sekitar sini, tapi belum ada yang mau jual.""Ooh, Jadi Mas Gilang ada rencana mau pindah dari sini?""Katanya begitu De, hanya saja belum menemukan rumah yang mau di jual, jadi untuk sementara, kamu sabar dulu ya?""Aku nggak ak bisa sabar Bu. Mbaj Fitri itu orangnya malas, dan selalu ngajak aku ribut, aku nggak bisa nunggu lama-lama, karena bisa saja itu cuma alasan mereka cari rumah.""Ya, bagaimana lagi De?" timpal Ibu bingung."Loh, bukannya tanah belakang rumah Ibu masih luas? Kenapa mereka tidak tinggal di sana saja?""Itu gudang De. Masa Gilang dan keluarganya tinggal di gudang?""Itu kalau di bersihkan nyaman ko Bu. Dan lagi tanahnya masih luas, kalau Mas Gilang ada rencana bangun rumah di sana saja."Bu Aminah terdiam, hatinya menjadi sedih saat membayangkan Gilang harus tinggal di dalam gudang. "Bu, ini buat Ibu. Isinya sengaja Dea kasih lebihkan, Dea mohon sama Ibu, nanti kalau Mas Gilang datang bicara kan hal ini ya Bu, agar dia dan keluarganya tinggal di sana."Bu Aminah menatap tajam wajah Dea. "Kalau begitu, uang itu kamu simpan dulu saja, ibu takut Gilang dan Fitri tidak setuju."Bu Aminah menolak menerima uang pemberian Dea."Mereka pasti terima saja kalau Ibu yang bilang. Ya Bu?'"Dea, segera goreng tempenya, perut ibu sudah lapar." Bu Aminah sengaja mengalihkan obrolannya. Dea pun beranjak dari duduknya menuju dapur, di dapur hati dan pikirannya diliputi perasaan dongkol, karena Bu Aminah terlihat kurang merespon keinginannya.***** Sehari menjelang kedatangan keluarga Gilang. Dea sengaja bersiap membereskan beberapa potong bajunya dan memasukkanmya ke dalam koper."Kamu mau kemana De?""Pergi Mas. Males aku bertemu keluarga kakakmu.""Pergi kemana?""Udahlah Mas, jangan banyak tanya. Sekarang yang harus kamu lakukan, segera bujuk Ibu agar menyuruh Mas Gilang dan isterinya itu pindah dari rumah ini.""Apa? Tidak mungkin Mas lakukan itu.""Ya sudah kalau begitu kamu tanggung sendiri akibatnya."Dea mempercepat langkah kakinya menuju luar rumah. Sementara Bu Aminah hanya bisa manatap kepergian Dea. "Mau pergi kemana dia Ki?""Aku nggak tau Bu, Dea sedang kesal.""Ibu tau alasan kekesalannya, tapi ibu juga tidak bisa berbuat banyak. Mana mungkin ibu menyuruh Mas mu tinggal di gudang belakang Ki.""Iya Bu, jangan. Kasian Mas Gilang. Sudah kita biarkan saja Dea seperti itu maunya.""Tapi tidak baik seorang istri pergi dari rumah saat hatinya kesal Ki. Susul Dea sana.""Percuma Bu, Dea nggak bakal mau nurut. Jadi biarkan saja untuk saat ini dia mau bagaimana."Bu Aminah mengangukan kepalanya.***Terasa begitu cepat waktu berlalu, tak terasa sepekan sudah Gilang, Fitri dan Mentari berada di kota. Kini saatnya mereka harus kembali ke kampung.Fitri terlihat berat meninggalkan rumahnya, selama tinggal di kota, berhasil membuat moodnya kembali ceria."Bagaimana sudah siap pulang ke kampung lagi?" tanya Gilang pada anak dan istrinya."Siaaaaaaap!" jawab Mentari semangat. Sementara Fitri hanya terdiam."Loh, ko Mamahnya nggak semangat gitu Dek?" tanya Gilang mencandai Fitri."Mamah betah di sini katanya Pah, di kampung nggak ada mall."Jawaban Tari seketika membuat Fitri tidak bisa menahan tawanya. "Hahahahah, tau saja kamu. Kamu juga kan? Kan? Ayok ngaku?" Mentari tergelak saat Fitri mengklitik pinggangnya "Iya, iya Mamah, aku juga. Tapi di sini nggak seru, nggak ada Dek Icha."Hingga akhirnya mobil travel jemputan pun datang untuk mengantarkan mereka ke kampung halaman.Setelah menghabiskan waktu beberapa jam, mereka pun tiba di rumah Bu Aminah.Diki dan Bu Aminah menyambut kedatangan Gilang dengan suka cita."Istrimu mana Ki? Ko nggak keliatan dari tadi?" tanya Fitri."Hm, anu Mas. Dea lagi keluar.""Oooh, kamu nggak ikut? Harusnya kamu temani Dea.""I-iya mas."Sehari berlalu, Dea belum juga terlihat di rumah, Meski pun sebenarnya hati Fitri tenang karena tidak ada adik iparnya itu, namun rasa kehilangan pun di rasakan Fitri.Ia mencoba mengintip keadaan fbnya barang kali ada info tentang keberadaan Dea. Fitri merasa sedikt tenang, karena keadaan Dea baik-baik saja, terlihat dari photonya yang nampak berada di sebuah hotel mewah. Namun sudah 2 hari belakangan, Dea tak nampak meng-upload photonya lagi."Sudah 5 hari aku gak liat Dea, Bu. Kemana dia sebenarnya?" tanya Fitri pada Bu Aminah. Bu Aminah, terdiam sesaat terlihat kebingugan di raut wajahnya."Ada apa Bu?""Anu, Fit. Sebenarnya...."Gilang dan Fitri menatap wajah Bu Aminah serius."Sebenarnya ada apa Bu?""Dea itu nggak akan kembali ke rumah ini, kalau ....""Kalau? Kalau apa Bu? Tanya Fitri begitu penasaran."Kalau kalian tidak pindah dari sini."Gilang dan Fitri saling tatap.Namun keduanya tak menujukan sikap kesal."Ooh, itu alasannya. Ya, kan aku juga lagi nyari rumah di sini yang dekat Ibu, tapi belum dapat, gimana dong?" jawab Fitri."Iya Fit, Ibu ngerti. Dea itu memang seperti anak kecil. Dia malah minta kamu tinggal di belakang, di gudang itu, yang benar saja! Kemauannya langsung ibu tolak, mangkanya dia sekarang marah dan pergi.""Oooh begitu. Ya sudah nanti Gilang dan Fitri mau diskusi dulu ya Bu, bagaimana baiknya."Bu Aminah pun mengangguk, wajahnya masih terlihat sedih. Tak lama Ibu pun izin untuk istirahat ke kamarnya."Apa? Si Dea mau kita tinggal di gudang belakang? Dea bener bener keterlaluan. Kalau dia mau pisah, dia saja yang pindah ke gunung.'" tukas Fitri kesal."Gudang yang...""Eh, iya gudang maksud aku. Emosi aku Mas kalau bicara soal anak itu." jawabnya sembari mengatur nafasnya. "Sudahlah, tidak apa-apa kita yang ngalah, pindah ke gudang. Mas liat tanah di bakalang juga cukup luas buat di bangun rumah, gimana?""Jadi, kita bangun rumah di belakang saja?""Iya, nanti sawah dan kebun di depannya, mas coba beli untuk jalan mobil, jalurnya kan bisa langsung tebus ke jalan raya.""Oh begitu? Ya sudah kalau begitu, secepatnya Mas, aku juga sudah malas tinggal disini bareng dia," tutur Fitri lebih semangat."Ya sudah, Mas bicara dulu sama Diki ya, biar dia cepat susul istrinya "Fitri menganguk setuju. *****"Cepat jemput aku! Aku nggak gak bisa keluar dari sini Mas!" rengek Dea, layaknya seperti anak kecil."Kamu di mana? Cepatlah pulang." Diki terdengar khawatir saat Dea memohon kepadanya untuk segera minta di jemput."Masalahnya aku di hotel Mas, aku harus bayar dulu sebelum pergi.""Apa? Hotel? Hotel mana?""P*dma Mas.""Apa? Dea, itu hotel bintang lima, yang benar saja!" jawab Diki terkejut. Bisa-bisanya Dea tinggal di hotel yang terbilang mahal."Sudah, jangan salahkan aku. Ini semua salah kamu yang telat bujuk Ibu, aku nggak mau tau, kamu jemput aku ke sini, dan bawa uangnya. Atau kalau tidak. ..""Kalau tidak apa?""Akan semakin mahal biayanya Mas." timpalnya dengan nada menekan."Berapa aku harus bayar?""Enam Mas,""Enam apa?""Enam juta."teriak Dea. "Astaghfirullahalazim .... Dea, dari mana aku uang sebanyak itu?""Aku gak mau tau, cepat siapkan uangnya dan jemput aku sekarang juga!"Telepon tertutup.Diki mengusap kasar wajahnya. Ia tak tau harus mencari uang sebanyak itu kemana."Kemana aku cari uang sebanyak itu? Dasar istri yang bisanya bikin suami repot." gerutu Diki."Aku coba pinjam ke Mas Gilang, mungkin dia punya simpanan." sambungnya. Diki pun langsung bergegas menuju kamar Gilang.Namun tiba-tiba terdengar suara pintu di ketuk dari luar, Diki pun segera membukanya"Mas Gilang?""Diki, sudah ada kabar Dea dimana?""Sudah Mas.""Baguslah, katakan padanya untuk cepat pulang. Aku dan Fitri akan segera pindah ke belakang.""Mas?"Wajah Diki terlihat merasa begitu bersalah, ia tak tega melihat kakaknya sampai harus mengalah pindah tempat tinggal ke gudang."Jangan khawatir, yang penting istrimu cepat pulang, kasian Icha." ucap Gilang santai.Diki menunduk, perlahan bahunya bergerak naik turun. "Kamu kenapa Ki, jangan nangis seperti ini, kamu harus kuat, kamu lelaki, dan seorang suami. Ayok jemput istrimu.""Barusan Dea telepon Mas, dia , dia tidak bisa keluar dari hotel, karena harus membayar biaya inapnya selama lima hari ini.""Astaghfirullah,... Apalagi ini? Kenapa bisa begini Ki?""Aku juga tidak tau Mas, Dea nekat menginap di hotel bintang lima, dan sekarang malah tidak bisa bayar, sementara aku tidak punya uang Mas.""Berapa semuanya?" tanya Gilang tegas."Enam juta. Dea bilang tadi enam juta Mas.""Sebentar...'"Gilang berlalu kekamarnya, tidak lama ia kembali dengan membawa uang sebanyak tujuh juta. "Bawa ini, dan jemput istrimu.""Masyaallah, Mas... "Diki menatap Gilang seakan tak percaya dengan apa yang Gilang beri untuknya."Sudah, sudah, cepat jemput Dea, pasti disana dia sudah merasa tidak nyaman.""Tapi ini kebanyakan Mas?""Bawa saja, untuk pegangan kamu di jalan. Hati-hati ya?"Diki seketika memeluk tubuh kakaknya, dengan air mata bahagia.Tak lama ia pun bersiap untuk pergi menjemput istrinya. Sementara itu Dea terlihat begitu bahagia melihat kedatangan Diki, sebelum pulang Dea mengajak Diki untuk berkeliling hotel, untuk photo selfie, ke kolam renang, taman dan tampilan suasana hotel yang mewah."Jangan begini De, Mas malu. Apa-apa ko di upload di sosmed?""Ah, Mas ini. Ya nggak apa-apa lah, biar teman-teman ku tau, kita sedang tidur di hotel, pasti mereka iri." ucap Dea, ia tak menanyakan Diki dapat uang dari mana. Begitu pun Diki yang belum sempat menceritakan bahwa uang yang ia dapatkan pemberian dari kakaknya. Dan mereka pun akhirnya pulang saat itu juga. ***** Pagi hari terlihat beberapa orang tengah berkerja bakti membersihkan gudang milik Bu Aminah, untuk tempat tinggal sementara Gilang dan Fitri. Dan sebagian lagi terlihat orang-orang bersiap bahu membahu membangun rumah Gilang. Dea duduk santai dengan mata mendelik ke arah Fitri, seakan puas karena permintaannya kini di turuti sang Ibu mertua. "Liat saja kamu Fit, siap-siap kamu kelaparan, emang enak cari makan sendiri? Lihat saja, persaingan baru akan di mulai, kita buktikan siapa diantara kita yang paling bahagia," ujar Dea dengan tatapan sinis ke arah Fitri.Cukup jauh keduanya baru menemukan pom mini, Bastian langsung membeli bensin yang di masukan kedalam botol, setelah selesai mereka pun kembali ke jembatan."Ayok cepat isikan!" seru Fitri. Bastian langsung menurutinya, tak lama motor Fitri pun kembali menyala. " Alhamdulillah.... nyala. Makasih ya?""Oke! Silahkan kamu duluan hati-hati. "Fitri mengangguk dan melepas senyum sebelum berlalu meninggalkan Bastian. ***"Ya Allah... kamu dari mana sayang? Jam segini baru sampe rumah?" tanya Gilang dengan penuh kekhawatiran, sementara Fitri hanya menatapnya sekilas lalu berlalu ke arah kamar.Gilang merasa ada yang aneh dari sikap istrinya, ia mengikuti Fitri kedalam kamar dan memastikan bahwa Fitri baik-baik saja."Kamu baik-baik saja kan Bu?""Ponsel mu nggak aktif, aku khawatir nunggu kamu, sebenarnya kamu dari mana?"Gilang menodong Fitri dengan pertanyaannya. Fitri terlihat terdiam, sesekali terlihat ia mengatur nafasnya. "Aku dari kantor mu, dan kamu pergi, dari mana kamu Mas?"F
"Jangan Ge' Er kamu! Aku kenal suamiku, dia tidak serendah itu!" Hardik Fitri. "Oya? Jadi Mbak mau bukti, serendah apa suami mbak di hadapan aku?""Hmmm, sebentar!" Dea mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, lalu membuka-buka galerinya. "Kita pernah menikmati malam bersama berdua, nih." Ucapnya dengan semangat menunjukkan photo saat keadaan Gilang tengah tak sadar. Fitri membuang muka, seakan jijik melihat photo yang Dea unjukkan pada dirinya."Oya, satu lagi yang harus Mbak tau, sebenarnya aku capek jadi kekasih gelap kakak iparku sendiri, dari itu aku memutuskan untuk memberitahu Mbak juga hal ini.'' sambungnya. Dea menyodorkan testpack di atas meja tepat di hadapan Fitri. "Itu hasil hubungan kami selama ini. Maafin aku ya Mbak." ujar Dea menatap lekat wajah Fitri."Apa ini? Kamu?" Bola mata Fitri seketika membesar saat menatap barang bergaris dua di hadapannya. Bagai petir menyambar dirinya, Ingin menjerit saat itu juga, namun ia menahannya sekuat tenaga. "Ya, itulah yang s
"Bagaimana dia bisa hamil? Aku sama sekali tidak sadar melakukannya.""Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku katakan pada Fitri?"Pertanyaan satu persatu memenuhi isi kepala Gilang, kegelisahannya kembali muncul. "Pak, rapat hari ini sudah bisa di mulai?" tanya Rendi yang menyembulkan kepalanya ke ruangan Gilang. "Rendi, rapat kita tunda.""Di tunda lagi pak?""Ya, saya sedang tidak fokus hari ini.""Baik Pak. Apa pak Gilang sedang sakit?""Ya, sepertinya begitu, saya izin pulang cepat." ucap Gilang terburu-buru meninggalkan ruangan. Gilang menaiki mobilnya melaju dengan kecepatan sedang. tak lama berselang, Fitri yang baru sampai kantor suaminya, sekilas melihat sebuah mobil yang ia kenali melaju keluar."Mas Gilang? Mau kemana dia?" tanya Fitri penasaran. Dengan cepat ia pun mengikuti mobil Gilang dari belakang. "Apa sebaiknya aku telepon Mas Gilang?""Ah, tidak. Sebaiknya aku ikuti saja, di jam kerja mau kemana dia?" bisik hati Fitri gelisah. Gilang menuju kesebuah
Dea masih mematung di hadapan Gilang, ia tak tau apa yang harus di lakukannya. sementara ia tak pernah melakukan kesalahan. Hatinya menjadi kesal dan ingin berontak, namun ia tersadar siapa kah dirinya?"Baik, jika itu kemauan kalian, aku akan keluar dari kantor ini." Ucap Dea tegas sembari berlalu.Fitri tersenyum miring, semenjak kejadian malam itu, Fitri tak mau dekat dengan mantan adik iparnya itu. "Alhamdulillah... terima kasih ya Mas," lembut suara Fitri menolehkan ke arah Gilang. Gilang merasa bahagia, karena sikap Fitri telah kembali hangat, apapun akan ia lakukan demi keharmonisan rumah tangganya. "Iya, sayang .."Dea bergegas masuk ruangannya dengan mata merah padam dan nafas naik turun. "Ada apa De? serius banget keliatannya?" tanya Rina penasaran. "Gila, gue di pecat, Rin.""Serius?""Ya, dan gue yakin ini keinginan Fitri, Bukan Mas Gilang."Rina mendekat dan berdiri di hadapan Dea seakan masih tak percaya. "Kamu serius?""Iya Rin. Sekarang juga aku harus beresin bar
Hari berganti hari, sikap Fitri perlahan berubah tak seperti biasanya, wanita berkulit putih itu lebih banyak diam. Ia tau keadaan rumah tangganya sedang tidak baik. melihat sikap Gilang yang begitu lembut akhir-akhir ini, Fitri berniat untuk melupakan kejadian malam itu. Namun entah mengapa, selalu saja ada rasa sesak yang menyelimuti pikirannya. "Apa yang harus aku lakukan? Bertanya detail kah pada Mas Gilang tentang malam itu? Atau aku pura-pura tak tau dan melupakanny? Ya Allah... mengapa berat sekali memaafkannya..." lirihnya dengan mata memandang ke arah langit. "Bu, ada tamu...." ucap Bibi mendekatnke arah Fitri yang duduk di pinggir kolam."Siapa Bi?""Katanya teman Ibu, saya lupa nggak tanya nama.""Baik Bi. "Fitri beranjak menemui tamunya. Perempuan berambut sebahu terlihat duduk di teras rumah. "Assalamualaikum?'"Waalaikumsalam... Fitri...."Keduanya terlihat terkesima, dan pada akhirnya saling berpelukan. Dia Nisa, teman kuliah Fitri dulu di kebidanan. Suasana ber
"Cerai?" Gilang menatap mata wanita yang selama ini menemaninya, begitu menakutkan kata itu dalam pikiran Gilang. Perlahan bibirnya tersenyum tipis. Pandangannya menunduk di hadapannya Fitri, di raihnya jemari Fiitri dengan lembut. "Mas tau kamu sering bercanda in Mas. Tapi untuk kata itu Mas mohon jangan kita jadikan candaan sayang ... "Fitri terdiam, ia merasa sedang tak bercanda mengapa Gilang menganggapnya sedang bercanda? "Mas sangat takut, meskipun hanya sekedar mendengar," tuturnya dengan mata yang tak berani menatap wajah Fitri. Perlahan Fitri melepaskan genggaman tangan Gilang. "Aku serius Mas, dan tidak sedang bercanda. Aku mau pisah saja dari kamu,"Kini Gilang menanggahkan kepalanya, matanya nampak berkaca-kaca. "Salah aku apa sayang? Tidak! aku tidak mau kita bercerai.""Apa tidak merayakan ulang tahun kamu anggap itu kesalahan besar? sambungnya. Sementara itu Fitri nampak gemetar menahan amarahnya."Kamu ini kenapa si Mas, jangan hanya keputusan cerai ada padam