"Mas, apa kamu tau sampai kapan kakakmu di kota?" tanya Dea.
"Hmmm, katanya cuma satu mingguan De.""Apa? Cuma satu minggu?"Diki mengangguk, dengan tatapan yang masih fokus ke layar laptop di hadapannya."Aku mau mereka tidak tinggal di sini Mas," keluh Dea."Loh, tidak bisa begitu De, mau tinggal dimana Mas Gilang kalau tidak k di sini?""Ya terserah mereka, bukankah ini rumah kamu ya Mas?""Ini rumah Ibu De.""Iya, tapi rumah ini jatah buat kamu kan?""Ibu belum membaginya.""Kalau begitu aku mau bicara sama Ibu supaya Ibu cepat membaginya.""Jangan De. Itu namanya tidak sopan.""Kalau tidak begitu, nanti bagaimana kalau tidak adil?""Tunggu saja nanti sampai Kak Gilang pulang. ya?"Dea terdiam, pikirannya menjadi tak tenang."Oya Mas, mana jatah buat Ibu bulan ini? Biar aku yang kasih."Diki segera merogoh tasnya, dan mengambil sebuah amplop berisi uang. "Berapa ini Mas?""Seperti biasa De, sejuta setengah.""Tambahin Mas, biar dua juta."Sekilas Diki menatap Dea aneh, biasanya Dea akan bicara panjang lebar terlebih dulu sebelum menyerahkan uang untuk Bu Aminah dan terlihat kurang ikhlas. Namun kali ini berbeda, Dea memintanya agar di lebihkan. Meskipun begituDiki bahagia mendengarnya, ia segera menyerahkan lima lembar uang seratus ribuan pada Dea. "Kamu tunggu di sini ya, biar aku yang ngasih uang ini ke Ibu."Diki menganguk.Bu Aminah terlihat tengah memasak di dapur seorang diri, Dea dengan pelan menghampirinya. "Bu, biar sama aku saja masaknya, Ibu mendingan duduk aja di sana. Ya?" pintanya sopan.Bu Aminah menatap Dea heran, karena tidak seperti biasanya sikap Dea lembut seperti itu. "Sudah selesai De, tinggal goreng tempe.""Ya sudah biar nanti saja sama aku goreng tempenya, sekarang Ibu duduk saja, ada yang mau aku bicarakan."Bu Aminah pun menuruti ucapan Dea, ia duduk di ruang makan. "Bu, aku nggak betah di sini kalau ada Mbak Fitri." keluh Dea. Seketika Bu Aminah menatap Dea lekat."Loh, kenapa? Ada apa dengan Fitri?""Ya intinya, aku ngerasa nggak nyaman kalau di rumah ini terlalu banyak keluarga.""Iya, Ibu bisa mengerti, pastinya tidak akan nyaman. Tapi, sabarlah dulu, Gilang juga sedang mencari rumah sekitar sini, tapi belum ada yang mau jual.""Ooh, Jadi Mas Gilang ada rencana mau pindah dari sini?""Katanya begitu De, hanya saja belum menemukan rumah yang mau di jual, jadi untuk sementara, kamu sabar dulu ya?""Aku nggak ak bisa sabar Bu. Mbaj Fitri itu orangnya malas, dan selalu ngajak aku ribut, aku nggak bisa nunggu lama-lama, karena bisa saja itu cuma alasan mereka cari rumah.""Ya, bagaimana lagi De?" timpal Ibu bingung."Loh, bukannya tanah belakang rumah Ibu masih luas? Kenapa mereka tidak tinggal di sana saja?""Itu gudang De. Masa Gilang dan keluarganya tinggal di gudang?""Itu kalau di bersihkan nyaman ko Bu. Dan lagi tanahnya masih luas, kalau Mas Gilang ada rencana bangun rumah di sana saja."Bu Aminah terdiam, hatinya menjadi sedih saat membayangkan Gilang harus tinggal di dalam gudang. "Bu, ini buat Ibu. Isinya sengaja Dea kasih lebihkan, Dea mohon sama Ibu, nanti kalau Mas Gilang datang bicara kan hal ini ya Bu, agar dia dan keluarganya tinggal di sana."Bu Aminah menatap tajam wajah Dea. "Kalau begitu, uang itu kamu simpan dulu saja, ibu takut Gilang dan Fitri tidak setuju."Bu Aminah menolak menerima uang pemberian Dea."Mereka pasti terima saja kalau Ibu yang bilang. Ya Bu?'"Dea, segera goreng tempenya, perut ibu sudah lapar." Bu Aminah sengaja mengalihkan obrolannya. Dea pun beranjak dari duduknya menuju dapur, di dapur hati dan pikirannya diliputi perasaan dongkol, karena Bu Aminah terlihat kurang merespon keinginannya.***** Sehari menjelang kedatangan keluarga Gilang. Dea sengaja bersiap membereskan beberapa potong bajunya dan memasukkanmya ke dalam koper."Kamu mau kemana De?""Pergi Mas. Males aku bertemu keluarga kakakmu.""Pergi kemana?""Udahlah Mas, jangan banyak tanya. Sekarang yang harus kamu lakukan, segera bujuk Ibu agar menyuruh Mas Gilang dan isterinya itu pindah dari rumah ini.""Apa? Tidak mungkin Mas lakukan itu.""Ya sudah kalau begitu kamu tanggung sendiri akibatnya."Dea mempercepat langkah kakinya menuju luar rumah. Sementara Bu Aminah hanya bisa manatap kepergian Dea. "Mau pergi kemana dia Ki?""Aku nggak tau Bu, Dea sedang kesal.""Ibu tau alasan kekesalannya, tapi ibu juga tidak bisa berbuat banyak. Mana mungkin ibu menyuruh Mas mu tinggal di gudang belakang Ki.""Iya Bu, jangan. Kasian Mas Gilang. Sudah kita biarkan saja Dea seperti itu maunya.""Tapi tidak baik seorang istri pergi dari rumah saat hatinya kesal Ki. Susul Dea sana.""Percuma Bu, Dea nggak bakal mau nurut. Jadi biarkan saja untuk saat ini dia mau bagaimana."Bu Aminah mengangukan kepalanya.***Terasa begitu cepat waktu berlalu, tak terasa sepekan sudah Gilang, Fitri dan Mentari berada di kota. Kini saatnya mereka harus kembali ke kampung.Fitri terlihat berat meninggalkan rumahnya, selama tinggal di kota, berhasil membuat moodnya kembali ceria."Bagaimana sudah siap pulang ke kampung lagi?" tanya Gilang pada anak dan istrinya."Siaaaaaaap!" jawab Mentari semangat. Sementara Fitri hanya terdiam."Loh, ko Mamahnya nggak semangat gitu Dek?" tanya Gilang mencandai Fitri."Mamah betah di sini katanya Pah, di kampung nggak ada mall."Jawaban Tari seketika membuat Fitri tidak bisa menahan tawanya. "Hahahahah, tau saja kamu. Kamu juga kan? Kan? Ayok ngaku?" Mentari tergelak saat Fitri mengklitik pinggangnya "Iya, iya Mamah, aku juga. Tapi di sini nggak seru, nggak ada Dek Icha."Hingga akhirnya mobil travel jemputan pun datang untuk mengantarkan mereka ke kampung halaman.Setelah menghabiskan waktu beberapa jam, mereka pun tiba di rumah Bu Aminah.Diki dan Bu Aminah menyambut kedatangan Gilang dengan suka cita."Istrimu mana Ki? Ko nggak keliatan dari tadi?" tanya Fitri."Hm, anu Mas. Dea lagi keluar.""Oooh, kamu nggak ikut? Harusnya kamu temani Dea.""I-iya mas."Sehari berlalu, Dea belum juga terlihat di rumah, Meski pun sebenarnya hati Fitri tenang karena tidak ada adik iparnya itu, namun rasa kehilangan pun di rasakan Fitri.Ia mencoba mengintip keadaan fbnya barang kali ada info tentang keberadaan Dea. Fitri merasa sedikt tenang, karena keadaan Dea baik-baik saja, terlihat dari photonya yang nampak berada di sebuah hotel mewah. Namun sudah 2 hari belakangan, Dea tak nampak meng-upload photonya lagi."Sudah 5 hari aku gak liat Dea, Bu. Kemana dia sebenarnya?" tanya Fitri pada Bu Aminah. Bu Aminah, terdiam sesaat terlihat kebingugan di raut wajahnya."Ada apa Bu?""Anu, Fit. Sebenarnya...."Gilang dan Fitri menatap wajah Bu Aminah serius."Sebenarnya ada apa Bu?""Dea itu nggak akan kembali ke rumah ini, kalau ....""Kalau? Kalau apa Bu? Tanya Fitri begitu penasaran."Kalau kalian tidak pindah dari sini."Gilang dan Fitri saling tatap.Namun keduanya tak menujukan sikap kesal."Ooh, itu alasannya. Ya, kan aku juga lagi nyari rumah di sini yang dekat Ibu, tapi belum dapat, gimana dong?" jawab Fitri."Iya Fit, Ibu ngerti. Dea itu memang seperti anak kecil. Dia malah minta kamu tinggal di belakang, di gudang itu, yang benar saja! Kemauannya langsung ibu tolak, mangkanya dia sekarang marah dan pergi.""Oooh begitu. Ya sudah nanti Gilang dan Fitri mau diskusi dulu ya Bu, bagaimana baiknya."Bu Aminah pun mengangguk, wajahnya masih terlihat sedih. Tak lama Ibu pun izin untuk istirahat ke kamarnya."Apa? Si Dea mau kita tinggal di gudang belakang? Dea bener bener keterlaluan. Kalau dia mau pisah, dia saja yang pindah ke gunung.'" tukas Fitri kesal."Gudang yang...""Eh, iya gudang maksud aku. Emosi aku Mas kalau bicara soal anak itu." jawabnya sembari mengatur nafasnya. "Sudahlah, tidak apa-apa kita yang ngalah, pindah ke gudang. Mas liat tanah di bakalang juga cukup luas buat di bangun rumah, gimana?""Jadi, kita bangun rumah di belakang saja?""Iya, nanti sawah dan kebun di depannya, mas coba beli untuk jalan mobil, jalurnya kan bisa langsung tebus ke jalan raya.""Oh begitu? Ya sudah kalau begitu, secepatnya Mas, aku juga sudah malas tinggal disini bareng dia," tutur Fitri lebih semangat."Ya sudah, Mas bicara dulu sama Diki ya, biar dia cepat susul istrinya "Fitri menganguk setuju. *****"Cepat jemput aku! Aku nggak gak bisa keluar dari sini Mas!" rengek Dea, layaknya seperti anak kecil."Kamu di mana? Cepatlah pulang." Diki terdengar khawatir saat Dea memohon kepadanya untuk segera minta di jemput."Masalahnya aku di hotel Mas, aku harus bayar dulu sebelum pergi.""Apa? Hotel? Hotel mana?""P*dma Mas.""Apa? Dea, itu hotel bintang lima, yang benar saja!" jawab Diki terkejut. Bisa-bisanya Dea tinggal di hotel yang terbilang mahal."Sudah, jangan salahkan aku. Ini semua salah kamu yang telat bujuk Ibu, aku nggak mau tau, kamu jemput aku ke sini, dan bawa uangnya. Atau kalau tidak. ..""Kalau tidak apa?""Akan semakin mahal biayanya Mas." timpalnya dengan nada menekan."Berapa aku harus bayar?""Enam Mas,""Enam apa?""Enam juta."teriak Dea. "Astaghfirullahalazim .... Dea, dari mana aku uang sebanyak itu?""Aku gak mau tau, cepat siapkan uangnya dan jemput aku sekarang juga!"Telepon tertutup.Diki mengusap kasar wajahnya. Ia tak tau harus mencari uang sebanyak itu kemana."Kemana aku cari uang sebanyak itu? Dasar istri yang bisanya bikin suami repot." gerutu Diki."Aku coba pinjam ke Mas Gilang, mungkin dia punya simpanan." sambungnya. Diki pun langsung bergegas menuju kamar Gilang.Namun tiba-tiba terdengar suara pintu di ketuk dari luar, Diki pun segera membukanya"Mas Gilang?""Diki, sudah ada kabar Dea dimana?""Sudah Mas.""Baguslah, katakan padanya untuk cepat pulang. Aku dan Fitri akan segera pindah ke belakang.""Mas?"Wajah Diki terlihat merasa begitu bersalah, ia tak tega melihat kakaknya sampai harus mengalah pindah tempat tinggal ke gudang."Jangan khawatir, yang penting istrimu cepat pulang, kasian Icha." ucap Gilang santai.Diki menunduk, perlahan bahunya bergerak naik turun. "Kamu kenapa Ki, jangan nangis seperti ini, kamu harus kuat, kamu lelaki, dan seorang suami. Ayok jemput istrimu.""Barusan Dea telepon Mas, dia , dia tidak bisa keluar dari hotel, karena harus membayar biaya inapnya selama lima hari ini.""Astaghfirullah,... Apalagi ini? Kenapa bisa begini Ki?""Aku juga tidak tau Mas, Dea nekat menginap di hotel bintang lima, dan sekarang malah tidak bisa bayar, sementara aku tidak punya uang Mas.""Berapa semuanya?" tanya Gilang tegas."Enam juta. Dea bilang tadi enam juta Mas.""Sebentar...'"Gilang berlalu kekamarnya, tidak lama ia kembali dengan membawa uang sebanyak tujuh juta. "Bawa ini, dan jemput istrimu.""Masyaallah, Mas... "Diki menatap Gilang seakan tak percaya dengan apa yang Gilang beri untuknya."Sudah, sudah, cepat jemput Dea, pasti disana dia sudah merasa tidak nyaman.""Tapi ini kebanyakan Mas?""Bawa saja, untuk pegangan kamu di jalan. Hati-hati ya?"Diki seketika memeluk tubuh kakaknya, dengan air mata bahagia.Tak lama ia pun bersiap untuk pergi menjemput istrinya. Sementara itu Dea terlihat begitu bahagia melihat kedatangan Diki, sebelum pulang Dea mengajak Diki untuk berkeliling hotel, untuk photo selfie, ke kolam renang, taman dan tampilan suasana hotel yang mewah."Jangan begini De, Mas malu. Apa-apa ko di upload di sosmed?""Ah, Mas ini. Ya nggak apa-apa lah, biar teman-teman ku tau, kita sedang tidur di hotel, pasti mereka iri." ucap Dea, ia tak menanyakan Diki dapat uang dari mana. Begitu pun Diki yang belum sempat menceritakan bahwa uang yang ia dapatkan pemberian dari kakaknya. Dan mereka pun akhirnya pulang saat itu juga. ***** Pagi hari terlihat beberapa orang tengah berkerja bakti membersihkan gudang milik Bu Aminah, untuk tempat tinggal sementara Gilang dan Fitri. Dan sebagian lagi terlihat orang-orang bersiap bahu membahu membangun rumah Gilang. Dea duduk santai dengan mata mendelik ke arah Fitri, seakan puas karena permintaannya kini di turuti sang Ibu mertua. "Liat saja kamu Fit, siap-siap kamu kelaparan, emang enak cari makan sendiri? Lihat saja, persaingan baru akan di mulai, kita buktikan siapa diantara kita yang paling bahagia," ujar Dea dengan tatapan sinis ke arah Fitri.Di pagi hari yang cerah, seorang wanita muda mendatangi rumah Bu Aminah. "Assalamualaikum?" Dea yang saat itu sedang berada di teras rumah, langsung menyambutnya dengan ramah. "Waalaikumsalam... Eh, Mbak Rini, tumben. Ada apa Mbak? Ayok, silahkan masuk.""Iya Mbak." jawab Rini sedikit kaku, lalu ia pun mengikuti langkah Dea menuju ruang tamu."Silahkan duduk.""Maaf Mbak Dea, saya dengar dari orang-orang, Mbak Dea sedang mencari pengasuh ya? Kalau benar, saya bersedia Mbak.""Ooh, iya benar. Boleh, kalau Mbak berminat.""Allhamdulillah, terimakasih Mbak Dea," ucapnya bersemangat. "Oya, bukannya Mbak Rini ini, anaknya ada yang di kelas lima ya?'""Benar Mbak, si Agus kelas lima.""Ooh, dia murid saya mbak, jadi jangan panggil saya, " Mbak "ya? Panggil aja Bu Guru,"ucap Dea dengan nada menekan. "Oh, iya Bu guru, maaf.""Begini Rin, kamu di rumah ini khusus buat jagain anak saya si Icha, jangan lupa jam makannya, jam tidur siangnya, dan jangan sampe Icha jajan sembarangan ya Rin."R
"Benar-benar nggak bisa di biarin tuh bocah, semakin hari semakin jadi aja songongnya."Fitri bergegas menuju rumah Bu Aminah, di ikuti langkah Gilang dari belakang. "Sabar Sayang, nasehatin saja dia, ingat jangan sampe kasar lagi," ucap Gilang yang terus mengikuti langkah Fitri.Saat tiba di rumah Bu Aminah, terlihat Dea tengah berbicara di ruang makan dengan Ibu mertuanya."Fit, ini kenapa di bawa kesini semuanya? Yang tadi pagi saja masih banyak," tutur Bu Aminah memegang mangkuk kaca berisi rendang."Sepertinya ada yang mau lagi Bu, sampe ngambilnya nggak bilang-bilang." Fitri menoleh ke arah Dea yang mematung. "Loh, siapa? Dea?""Siapa lagi Bu? Dia tuh emang punya ilmu tapi nggak pernah di pake ya? Main nyelonong ke rumah orang aja, ngambil makanan, apa nggak malu?" Hardik Fitri di hadapan wajah Dea. "Sudah yang, jangan begini. Mungkin Dea nggak tau.""Kalau nggak tau seharusnya dia nanya dong Mas, jangan begini caranya. Bukan masalah rendangnya, tapi dia udah nuduh aku kele
Malam itu, semua mata terjaga menunggu di dalam rumah Pak Agus, dan ada dua orang menunggu di rumah Mbok Inah, untuk menangkap sosok binatang yang di duga celeng itu. "Pak Agus, tadi aku liat Mas Gilang keluar Pak, dia jalan ke arah sana, keliatannya buru-buru," ucap seorang warga yang baru saja datang dengan napas tersengal-sengal. "Mau kemana dia?" jawab Pak Agus yang dijadikan ketua dalam penjebakan malam itu."Tidak tau Pak, kalau begitu malam ini kita harus benar-benar fokus, tangkap itu Celeng.""Oke! Kita tunggu aba-aba dari si Udi yang sedang menunggu di rumah Mbok Inah."Jam menunjukan pukul 1 malam. Kring..kring..kring... Suara ponsel Pak Agus berdering. Ia segera mengangkatnya dengan semangat."Si Udi!""Angkat!""Hallo Di? Gimana?""Suara binatang itu sudah terdengar Pak, tepatnya ada di belakang rumah Mbok Inah.""Oke, oke, kita menuju ke sana sekarang."Semua orang bersiap dari berbagai arah, hingga beberapa ekor anjing pun di turunkan untuk menangkap binatang yang me
Part 8Tak begitu lama dua orang berpakaian rapi,ikut keluar dari mobil, mendekat dan mendampingi Gilang. Sementara itu, semua orang di pekarangan rumah menundukan kepala. "Loh, ko pada diam? Ada apa Pak? Coba jelaskan pada saya kenapa babi hutan ini ada di sini?""Pak Agus, jelaskan saja apa adanya pak!" teriak seorang lelaki dari arah belakang. Sontak membuat semua mata berpindah ke arah Pak Agus. "Pak Agus? Bisa Bapak jelaskan?""Anu Mas Gilang, anu, ...." Pak Agus terlihat gugup, karena dia yang telah menjadi ketua dari warga yang menuduh Gilang menjadi Celeng. "Sayang, tolong ambilkan minum, sepertinya Pak Agus ini kelelahan,"ucap Gilang pada Fitri yang sedari tadi menantikan penjelasan warga. Tak lama Fitri kembali dengan membawa segelas air bening, dan menyodorkannya pada Pak Agus. "Diminum dulu Pak, tenang saja Pak, suami saya tidak akan marah, Bapak tinggal jelaskan saja apa adanya.""Begini Mas Gilang, saya coba jelaskan dari awal, berawal dari laporan warga yang bany
Part 9Sepulangnya dari kantor polisi, Diki merasa gelisah memikirkan keadaan Dea, ia takut Dea berbuat nekad mencelakai diri dan bayinya. "Aku harus bicara pada Mbak Fitri, agar ia segera mencabut tuntutannya. Tapi bagaimana kalau Mbak Fitri masih tak mau melakukannya?" tanya hati Diki semakin gelisah. Pagi hari Diki mendatangi rumah kakaknya, berniat untuk menyampaikan maksud dan tujuan, tentang kebebasan Dea. "Ki, sudah sarapan? Ikut sarapan sana sama Mas mu, Icha juga baru bangun tidur tuh, sama Tari."Terlihat Gilang dan anak-anak tengah menikmati sarapan pagi. "Iya Mbak," jawab Diki masih tetap berdiri didekat pintu dapur. Wajahnya terlihat bingung."Ada apa Ki? Ada masalah?""Euu, tidak Mbak. Hmmm.... ""Ki? Ada apa?" tanya Fitri penasaran."Anu Mbak, ada yang mau aku omongin sama Mbak.""Soal apa?""Dea Mbak.""Kenapa dengan Dea? Minta bebas? Heuh!" Fitri berlalu meninggalkan Diki, namun dengan cepat Diki menyusulnya. "Mbak, aku mohon Mbak, kasihanilah Dea Mbak, kasih kes
Sepulang dari sekolah Diki tak menemukan istrinya di rumah. Ia mencoba mencari ke rumah Fitri namun hanya ada Icha saja yang tengah bermain dengan Mentari."Cha, liat Mamah tidak?"Icha menggeleng acuh, karena fokus dengan mainannya. "Dea gak ada di rumah Ki, Mbak juga nggak liat dia kemana.""Iya Mbak, dari tadi aku tunggu di rumah belum datang juga. ""Kamu sudah makan belum Ki? Makan dulu gih, Mas Gilang juga barusan makan.""Mas Gilang kemana Mbak?""Ada di ruang kerjanya, sudah sana makan, kakak siapin ya?" tawar Fitri "Tidak Mbak, tadi aku udah makan mie instan.""Hmmm, istrimu ini gimana si Ki, udah nggak gak kerja tapi nggak ak sempat masak buat suami.""Mungkin lagi malas Mbak.""Ya sudah, kamu sabar ya ngadepin Dea, mungkin dia lagi mual bau masakan. Kalau kamu lapar makan saja di sini.""Iya Kak, terimakasih. Kalau gitu, aku pulang kak."Fitri mengangguk dan Diki pun berlalu. Tak berselang lama, Dea datang dengan wajah berbinar. Di tangannya terlihat membawa beberapa pap
"Apa? Mau apa? Kamu pikir aku bercanda? Kamu pikir aku nggak berani bunuh bayi ini? Hah?"Diki terdiam, nafasnya naik turun, kini ia benar-benar tak berkutik dengan ancaman Dea, ia tak mau hal buruk terjadi dengan anaknya. "Tunggu disini!" pinta Dea.Dea beranjak mendekati lemari, diambilnya sebotol obat berukuran kecil dan menunjukkannya pada Diki. "Kamu liat apa ini? Ini obat, dan kalau aku minum obat ini, hmmm ya kamu tau apa yang akan terjadi sama anak kamu Mas.""Astaghfirullah, Dea. Kenapa kamu begitu memaksakan diri Dea.""Karena aku ingin seperti Kakak iparmu Mas! Aku ingin di kagumi banyak orang. Aku ingin di hormati, dulu saat aku jadi guru, orang-orang menghormati aku, sekarang? Apa yang mereka liat dari aku? Mereka bahkan selalu merendahkan aku Mas!""Itu cuma perasaan kamu De.""Itu kenyataan!"jawab Dea dengan berteriak.Diki akhirnya terdiam. "Kita beli mobil besok! Harus!" Hardik Dea."Pikirkan De, dimana mobil itu nanti di simpan? Tidak ada jalan mobil ke rumah ini.
Kini hutang Dea kian menumpuk, banyak orang yang datang ke rumahnya sekedar untuk menagih. Tak jarang Dea sering bersembunyi di dalam rumahnya karena tidak bisa membayar hutang. Pagi hari di hari minggu, Diki tengah membenarkan kipas yang rusak. Tok tok tok. Assalamualaikum? ucap seorang wanita berusia empat puluh tahunan, dengan wajah yang nampak sedikit kesal."Waalaikumsalam," terdengar sahutan seorang lelaki, sembari membukakan pintu. " ya Bu?""Mbak Dea nya ada Mas?""Ada di belakang, sebentar ya saya panggil kan."Tak lama Diki kembali bersama Dea."Biar aku yang temani dia," pinta Dea pada suaminya, Diki pun mengiyakan dan membiarkan , Dea menemui tamunya di teras rumah. "Disini saja ya Bu Erah, di dalam ada suami saya.""Iya nggak apa-apa, gimana nih Bu Dea, ko cicilannya macet terus? Sudah tiga bulan loh ini.""Iya Bu, ekonomi lagi susah nih. Minggu besok lagi saja ke sini ya?""Tidak bisa Mbak Dea, sekarang waktunya bayar. Hutang Mbak sudah tujuh juta loh.""Apa? Tujuh