LOGINPagi itu, kamar Leon berubah menjadi salon mewah. Tiga orang stylist dan seorang penata rias sibuk membolak-balik Ailea, dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ailea hanya bisa diam. Ini bukan dirinya. Ini adalah kostum yang diciptakan Leon untuk menjalankan misi.
"Rambutnya harus di-styling seperti ini, Tuan Leon suka kesan elegan, tapi tajam," kata sang stylist, menunjuk majalah. Leon sendiri hanya muncul sesaat, berpakaian kaus santai tapi mahal. Ia mengawasi Ailea dengan tatapan menilai, bukan mengagumi. "Kau terlihat terlalu takut, Ailea," komentarnya datar. "Aku tidak membelimu untuk menjadi seorang pengecut. Ingat, hari ini kamu adalah Ardane. Putri dari keluarga Ardane. Bertingkah seperti itu." Leon lalu pergi, meninggalkan Ailea dengan rasa marah dan terhina yang membakar. Pukul tujuh malam. Ailea berdiri di depan cermin. Gaun off-shoulder berwarna maroon memeluk tubuhnya dengan pas, rambutnya ditata sleek ke belakang, dan kalung berlian kecil melingkari lehernya—bukan miliknya, tapi pinjaman dari brankas Leon. Leon mengubahnya menjadi wanita yang sama sekali berbeda: cantik, mahal, dan dingin. Leon menunggunya di hall utama. Ia mengenakan tuksedo hitam yang membuat aura dominasinya semakin tak terbantahkan. "Sempurna," katanya, nadanya seperti mengomentari sebuah karya seni. Ia lalu menyerahkan sebuah kotak beludru hitam. "Cincin." Cincin berlian besar itu terasa berat dan dingin di jari Ailea. Itu adalah rantai terakhir yang mengikatnya pada kebohongan ini. Di dalam mobil mewah menuju acara gala dinner Tuan Wira, ketegangan terasa mematikan. "Aturan terakhir, Ailea," kata Leon, suaranya pelan tapi menusuk. "Di sana, kamu tidak boleh meninggalkanku lebih dari dua meter. Jika ada pria yang mengajakmu bicara, tunjukkan cincin itu. Dan yang paling penting: jika aku menyentuhmu, jangan pernah terlihat jijik. Balas sentuhanku. Jual akting itu sampai Wira percaya bahwa kamu benar-benar kelemahanku." "Aku mengerti," bisik Ailea. "Tidak, kamu tidak mengerti," balas Leon, meraih tangannya dan mencium bagian dalam pergelangan tangannya, tepat di atas denyut nadi. "Jika kamu gagal, aku bukan hanya mengirim Ayahmu ke penjara. Aku akan pastikan dia tahu kenapa putrinya gagal." Saat mereka tiba di ballroom mewah, semua mata tertuju pada Leon. Dan kali ini, semua mata juga tertuju pada Ailea—wanita yang Leon genggam erat di sampingnya. Tuan Wira, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah yang menipu, langsung menghampiri mereka. "Leon! Senang sekali kau datang," sapa Wira. Matanya lalu berhenti pada Ailea, penuh tanda tanya. "Siapa wanita cantik ini? Baru kulihat." Leon menyeringai sinis. Ia menarik Ailea semakin dekat, tangan besarnya memeluk pinggang Ailea dengan posesif. "Kenalkan, Wira. Ini tunanganku, Ailea," kata Leon. "Dan dia sangat protektif terhadap semua yang kumiliki." Ailea harus membalas sentuhan Leon, dan ia melakukannya. Ia menyentuh dada Leon, membalas senyum kejam itu dengan tatapan mata yang sama dinginnya, siap menjalankan perannya sebagai aset yang berharga dan berbahaya. Setelah Pesta: Membayar Harga Pukul dua belas malam. Mobil Leon melaju kencang kembali menuju rumah. Malam itu sukses besar. Wira benar-benar terprovokasi, dan mata Leon memancarkan kepuasan. "Kamu bermain dengan baik," kata Leon, suaranya mengandung pujian yang terasa seperti racun. "Aktingmu bagus juga ya, sebagai tunangan posesif itu sangat meyakinkan, Ailea." "Itu akting terbaikku," balas Ailea, melepas paksa cincin berlian itu dan melemparkannya ke kursi. Leon tidak marah. Ia memarkir mobil di garasi pribadinya dan menatap Ailea. Matanya kini gelap, tanpa filter. "Waktunya pembayaran, Ailea." Ailea tahu apa yang dimaksud. Selama ini, Leon hanya mengancam. Malam ini, dia meminta haknya. "Kita sudah sepakat, aku tidur di sofa," bisik Ailea, jantungnya berdetak kencang. Leon tertawa sinis, keluar dari mobil, dan berjalan memutari mobil. Ia membuka pintu Ailea dan menariknya keluar paksa. "Perjanjian bisa aku ubah kapan saja, kau yang tak berhak melanggar. Aktingmu di depan Wira membuatku sadar... aku harus menagih utang ini sekarang." Ia menyeret Ailea menaiki tangga menuju kamar. Ailea berontak, memukul dada Leon, namun kekuatannya tidak sebanding. "Aku membencimu, Leon!" "Benci? Bagus," desis Leon, mendorong Ailea hingga punggungnya membentur dinding kamar. Ia mengunci pergelangan tangan Ailea di atas kepalanya. "Benci adalah emosi yang nyata. Dan aku ingin merasakan setiap emosi nyata yang kau miliki, Ailea." Gaun maroon Ailea terasa membakar di kulitnya. Tatapan Leon kini penuh nafsu, namun ada kontrol dingin di balik matanya. Ia tidak terburu-buru. Ia menikmati momen ini, momen menguasai Ailea. Leon membungkuk, menyentuh bibir Ailea. Ailea memalingkan wajahnya. "Ja jangan sentuh aku!" "Terlambat," bisik Leon. "Aku sudah membayar mahal untukmu. Dan sekarang, kau adalah milikku sepenuhnya. Jangan berani-berani menolak hak milikku, Ailea." Ancaman itu menghancurkan perlawanan terakhir Ailea. Ia merasakan air matanya mengalir. Leon menciumnya dengan kasar, ciuman yang menuntut, bukan meminta. Ciuman yang menyentak Ailea dari kenyataan. Saat Leon mengangkatnya dan membawanya ke tempat tidur besar itu, Ailea menutup mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam kegelapan.Pagi itu, kamar Leon berubah menjadi salon mewah. Tiga orang stylist dan seorang penata rias sibuk membolak-balik Ailea, dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ailea hanya bisa diam. Ini bukan dirinya. Ini adalah kostum yang diciptakan Leon untuk menjalankan misi."Rambutnya harus di-styling seperti ini, Tuan Leon suka kesan elegan, tapi tajam," kata sang stylist, menunjuk majalah.Leon sendiri hanya muncul sesaat, berpakaian kaus santai tapi mahal. Ia mengawasi Ailea dengan tatapan menilai, bukan mengagumi."Kau terlihat terlalu takut, Ailea," komentarnya datar. "Aku tidak membelimu untuk menjadi seorang pengecut. Ingat, hari ini kamu adalah Ardane. Putri dari keluarga Ardane. Bertingkah seperti itu."Leon lalu pergi, meninggalkan Ailea dengan rasa marah dan terhina yang membakar.Pukul tujuh malam. Ailea berdiri di depan cermin. Gaun off-shoulder berwarna maroon memeluk tubuhnya dengan pas, rambutnya ditata sleek ke belakang, dan kalung berlian kecil melingkari lehernya—bukan miliknya
Pagi pertama Ailea di kantor Leon adalah neraka ber-AC. Ia duduk di kursi tamu, menyalin data dari berkas PT. Adiwangsa Properti Utama ke dalam laptop, sementara Leon duduk di kursi pimpinan, mengabaikannya. Atmosfernya dingin, kejam, dan terasa seperti berada di bawah teropong.Pukul sepuluh pagi, interupsi datang. Nayla mengetuk pintu, membawa nampan berisi dua gelas kopi dan beberapa berkas. Senyum profesionalnya langsung menghilang saat melihat Ailea."Leon," sapa Nayla, mengabaikan kehadiran Ailea sepenuhnya. "Ini laporan keuangan triwulan. Aku juga bawakan kopi untukmu.""Taruh saja di meja," kata Leon, masih sibuk dengan panggilan telepon.Nayla meletakkan kopi di meja Leon, lalu sengaja mendekati Ailea. "Kamu, yang Ailea kemarin kan?""Ya," jawab Ailea singkat, tidak mau terprovokasi.Nayla tersenyum meremehkan, suaranya pelan tapi menusuk. "Aku dengar kamu asisten pribadi yang baru. Well, congrats sudah dapat job desk baru. Tapi di sini ada etika. Kamu harus tahu job desk da
Mobil sport hitam Leon melaju membelah padatnya jalanan ibu kota. Ailea duduk di sampingnya, tumpukan berkas PT. Adiwangsa Properti Utama ada di pangkuannya. Di sampingnya, Leon terlihat tenang, namun aura kekuasaan yang ia pancarkan di ruang tertutup itu terasa menekan."Jelaskan padaku," ujar Leon tiba-tiba, tanpa menoleh. "Apa kelemahan Wira yang paling jelas?"Ailea terkejut karena tes mendadak itu. Ia menarik napas. "Menurut laporan cash flow, dana yang mengalir ke rekening pribadi Wira sangat besar, tidak wajar. Itu bisa jadi petunjuk untuk aset di luar negeri, atau, yah, dia punya kebiasaan buruk yang butuh uang cepat.""Kebiasaan buruk," ulang Leon, suaranya mengandung nada persetujuan. "Aku suka. Aku ingin tahu persisnya kebiasaan buruk apa itu. Dan kamu akan mencari tahu. Langsung dari sumbernya."Mobil memasuki area parkir khusus di lantai paling atas gedung pencakar langit. Saat mereka keluar, beberapa staf sudah berbaris, menyambut Leon dengan hormat berlebihan."Pagi, Tu
Ailea terbangun karena aroma. Bukan aroma parfum mahal Leon, melainkan aroma kopi premium yang menusuk indra. Ia melompat dari sofa—bukan karena takut, tapi karena panik. Pukul 06.30 pagi.Ia melihat ke tempat tidur. Kosong. Tempat tidur king size itu rapi, seolah tidak pernah ditiduri. Leon tidak ada. Ke mana dia? Ailea merasa sedikit lega, namun pengawasan terasa lebih mencekam daripada kehadirannya.Ailea cepat-cepat mandi dan mengenakan pakaian kasual yang baru disiapkan Leon. Begitu ia keluar, ponsel barunya berdering. Nomor tak dikenal. Ailea ragu-ragu sejenak, tapi ancaman semalam langsung muncul di benaknya.Ponsel barumu itu harus selalu on. Aku telepon atau kirim pesan, harus diangkat, detik itu juga."Halo?" suara Ailea terdengar sedikit kaku."Sudah bangun?" Suara Leon rendah, dalam, dan tanpa basa-basi. "Datang ke ruang makan utama. Jangan telat lima menit pun."Panggilan diputus. Ailea buru-buru menuruni tangga.Leon sudah menunggunya di ruang makan, mengenakan setelan j
Di sisi lain, Aruna masih beristirahat di kamar Satria. Tubuhnya menjadi lebih lama pulih karena hampir setiap malam Satria datang untuk mereguk kehangatan. Aruna melayaninya selama dua hari kemarin, dan sekarang dia tidak ingin lagi melakukan itu. Satria datang ke kamar saat Aruna sedang membalut perban di lengan kanannya. “Aruna, apa kamu mengenal seseorang bernama Andra?” Aruna melihat raut wajah Satria sedang kesal padanya. Pagi tadi pria itu bersetubuh dengannya, tetapi Aruna menolaknya dan bahkan mengancam akan bunuh diri jika Satria memaksanya terus berhubungan badan. Awalnya Aruna rela melakukan semua itu secara alami, tapi setelah dia memikirkannya lebih jauh, semua tindakan itu terasa tidak masuk akal dan sebaiknya segera dihentikan “Kenapa kamu bertanya tentang orang yang tidak aku kenal?” Tanya Aruna balik. “Andra bilang dia teman dekatmu!” “Banyak nama Andra di dunia ini Satria. Lagi pula aku tidak tahu siapa Andra!” Dia sudah berjanji pada Wirya bahwa dia tidak a
Wirya sangat terkejut, dia pikir Lia berulah dan Aruna tahu bahwa itu adalah ulah Lia. Ternyata Aruna memiliki pandangan lain terhadapnya dan menduga bahwa dirinyalah yang berusaha menyingkirkannya dari sisi Bayu. “Ini sudah sangat keterlaluan! Kamu pergilah ke kota cepius untuk meluruskan masalah ini. Pantas saja dia menolak ketika aku memberikan restu padanya kemarin, pasti dia menduga aku memisahkannya dengan Bayu!” Andra menerima perintah itu tapi menurutnya Bayu mungkin sudah menjelaskan tentang siapa orang yang menyelakai Aruna. Sore itu Andra memutuskan untuk berangkat ke kota cepius. Andra beristirahatlah di hotel dalam perjananan ke sana. Dan pada keesokan paginya dia langsung menuju ke vila. Pada saat itu ternyata Bayu belum kembali dari perusahaan. Andra memutuskan untuk menunggunya di vila dan dia juga mengirimkan pesan pada Bayu bahwa dia datang karena perintah Wirya. Di sisi lain, Bayu dalam perjalanan menuju rumah Aruna. Aruna belum pulang sejak kemarin dan pikirnya







