“Baiklah.” Elena melemaskan bahu. “Aku akan memesan kamar terpisah.”Jika tidak bisa pulang ke apartemen, setidaknya dia bisa memesan kamar yang terpisah.Sean menatap wanita itu dengan tegas. “Siapa yang mengizinkamu memesan kamar terpisah?”Sikap dominan Sean membuat Elena memutar mata jengah. “Aku tahu aku adalah asistenmu, tapi tidak berarti aku harus 24 jam selalu bersamamu. Aku juga memiliki privasi.”“Tidak ada negosiasi, Nona Winter!” Sean berbicara dengan tegas, lalu berjalan pergi meninggalkan Elena.Wanita itu mengepalkan kedua tangan, lalu mengentakkan kakinya. Dia menggerutu, menganggap Sean semena-mena terhadap dirinya. Dalam situasi tertentu, Sean selalu memanggilnya dengan nama Winter, seolah ingin menegaskan bahwa sebagai siapa pun, Elena akan tetap berada di bawah kendalinya.“Jangan menyalak di hadapan singa yang sedang kelaparan,” bisik Jake.“Dia bukan singa kelaparan tetapi iblis jahanam,” sahut Elena, menatap kesal pada punggung Sean. Lalu, dia menoleh pada Jake
Langkah lebar Sean hampir membuat Elena kewalahan. Elena bahkan masih merasakan jetlag setelah menempuh perjalanan udara lebih dari delapan jam, tetapi Sean tidak memberinya kesempatan untuk bersantai sedikit. Mata Elena sempat melirik pada wanita di balik meja front liner yang bergegas menghubungi seseorang ketika melihat Sean memasuki lobi. Wajahnya tampak cemas, seolah kedatangan Sean adalah bencana besar.Hanya dalam hitungan detik, seorang pria dengan setelan kerja rapi tampak berjalan tergopoh-gopoh menyambut, seakan sudah menunggu Sean.“Selamat datang, Tuan Blackwood,” sapa pria itu.Langkah Sean tidak berhenti, bahkan tidak memandang pada orang yang menyambutnya.“Panggil semua kepala divisi ke ruang konferensi! Kita adakan rapat darurat,” titah Sean tegas.“Baik, Tuan.” Pria berambut pirang itu segera berbalik, melaksanakan perintah Sean.Tiba di depan pintu lift, Sean berhenti. Jake dengan sigap menekan tombol, lalu kembali berdiri di samping Sean. Lift terbuka tak lama kem
“Pekerjaan apa yang dimulai pukul 5 pagi?” Elena tidak bisa berhenti menggerutu saat harus beranjak dari atas ranjang.Namun, panggilan “Nona Winter” yang Sean ucapkan terdengar serius. Elena yakin jika Sean tidak akan menghubunginya di pagi buta dengan begitu emosi, jika bukan karena hal mendesak.“Apa yang terjadi?” gumam wanita itu.Sebelum Sean kembali meneleponnya dan berteriak, Elena segera bersiap.Keluar dari kamar, wanita itu bertemu dengan Eric. Pria itu menatap Elena dengan dahi terlipat dalam.“Abby? Ini masih sangat pagi. Kenapa kau sudah memakai pakaian kerja?” tanya Eric. “Bahkan matahari belum terlihat di luar sana.”Pertanyaan itu tidak membuat Elena kaget. Wanita itu mengedikkan bahu. “Sean memintaku datang ke rumahnya.”“Sepagi ini?” Raut heran tergambar jelas di wajah Eric.Elena mengangguk samar. “Dia… sepertinya sangat marah.”“Apa yang terjadi?” Eric tampak khawatir.“Aku tidak tahu.” Elena menilik jam tangannya. “Maaf, aku harus segera pergi. Jika Roxy bangun,
“Abby? Kau pulang larut sekali.” Eric menyambut kepulangan Elena dengan raut khawatir. “Apa terjadi sesuatu?”Tubuh Elena sudah sangat lelah. Yang ingin dia lakukan sekarang hanyalah berendam dalam air hangat, lalu tidur. Namun, dia tak bisa mengabaikan Eric yang begitu perhatian padanya.Senyum kecil terukir di bibir Elena. “Pamanmu sangat sibuk. Mau tidak mau, aku harus mengikuti semua jadwalnya. Di mana Roxy?”“Dia sudah tidur. Kau pasti sangat lelah.” Eric membelai kepala Elena. “Aku akan minta pelayan menghangatkan makanan untukmu. Pergilah mandi, lalu makan malam denganku.”“Apa kau menungguku?” Elena mengerutkan wajahnya.Senyum hangat di bibir Eric menjawab pertanyaan itu. “Aku khawatir kau terlalu sibuk hingga tidak sempat makan malam,” ujarnya sambil membelai wajah wanita itu.“Eric….” Elena melemaskan bahu, merasa bersalah. “Kau tidak perlu melakukan ini. Seharusnya aku memberitahumu kalau aku akan pulang terlambat. Maafkan aku.”“Jangan minta maaf. Pergilah, aku akan menun
“Jadi, bagaimana penampilanku?” Elena setengah mengangkat kedua tangannya.Pertanyaan itu menarik kembali Sean dari pikirannya. Tetap terlihat tenang, pria itu membuat ekspresi kurang puas seraya berkomentar, “Cukup bagus.”“Apa katamu, Tuan Blackwood?” Deborah si pemilik butik itu protes dengan penilaian Sean. Dia berdiri di samping Elena, dan berkata, “Lihatlah! Dia sangat menawan. Gaun ini membuatnya terlihat seperti seorang ratu.”Dengan sikap tenangnya, Sean mendekat pada Elena. Iris hitamnya terpaku pada sosok cantik dengan gaun berwarna merah marun tersebut. “Dia baru akan terlihat seperti seorang ratu jika dia mengenakan ini.” Pria itu membuka sebuah kotak perhiasan di hadapan Elena.Secara refleks, bola mata Elena bergulir lambat, memandang sebuah kalung cantik di dalam kotak. Sebuah kalung dengan liontin bertahtakan ruby itu berkilau, memantulkan cahaya lampu yang membuatnya semakin terlihat elegan dan mahal.“Manis sekali. Kau wanita yang sangat beruntung, Nona,” komentar D
Langit sudah gelap ketika meeting dengan Benedict Harper selesai. Mereka kembali ke mobil dengan rasa lelah. Elena yang hanya menyimak meeting seharian ini saja merasa tenaganya terkuras, apalagi Sean yang harus perang urat dengan orang-orang itu.“Kapan jadwalku kosong?” tanya Sean seraya melonggarkan dasi.Elena memeriksa jadwal, membacanya dengan teliti sebelum menjawab, “Ada waktu kosong dari pukul 3 sampai 6 petang di hari Kamis.”“Atur jadwal untuk kunjungan ke pabrik. Hubungi Samantha dan minta dia menyiapkan laporan belanja produksi yang aku minta tadi pagi.”“Baik.” Elena segera mengatur jadwal tambahan di hari Kamis, kemudian menghubungi Samantha dan menyampaikan apa yang Sean perintahkan.Tidak ada pembicaraan lebih lanjut selama beberapa menit setelah itu. Sean tampak fokus pada layar ponsel, membaca beberapa pesan penting. Lalu tiba-tiba saja, di tengah keheningan itu, Sean bertanya, “Siapa ayah dari anakmu?”Pertanyaan itu menyentak Elena, hingga wanita itu hampir tersed