Share

Bab 5

Author: Rusmiko157
last update Huling Na-update: 2025-05-12 16:13:52

Bab 5

Detak jantung Elena mulai menggila. Darahnya seolah mengalir berbalik arah. Suara itu terdengar dalam dan tenang, mengingatkan Elena pada sebuah situasi yang memabukkan. Bisikan-bisikan seduktif dan desahan-desahan erotis menelusup ke telinga Elena, menyerbu ingatannya dengan adegan panas dan kenikmatan yang membuatnya menggigil hingga ke tulang belakang.

“Itu kabar bagus,” celetuk Dr. Evans yang membuyarkan memori panas Elena.

Wanita itu mengerjapkan mata, memutus tatapannya dari Sean. Dia meneguk ludah, kemudian berkata, “Tunggu!”

Elena berusaha menguasai situasi. Dia tidak akan sembarangan mengambil keputusan. Elena tidak mengenal pria itu, bahkan namanya saja dia tidak tahu. Kecuali apa yang terjadi semalam ketika dia mabuk, Elena tidak ingin pria itu terlibat dalam hidupnya terlalu jauh.

Elena memandang Sean dengan tegas. “Aku menghargai kebaikan hatimu, Tuan, tapi maaf aku tidak bisa menerima bantuan itu.” Elena menolak dengan halus.

“Elena—” Dr. Evans tidak meneruskan ucapannya saat Elena mengangkat tangan, isyarat agar dia tetap diam.

“Aku tahu yang kulakukan,” ucap Elena pada dokter tersebut.

Tepat setelah Elena mengucapkan itu, seorang perawat datang dan bicara pada Dr. Evans, “Dokter, kami membutuhkanmu di ruangan Nyonya Wilson.”

“Ibu?” Elena seketika itu panik.

“Aku segera ke sana,” balas Dokter Evans pada perawat itu. Dia lantas berpaling pada Elena. “Pikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan. Ibumu butuh transplantasi itu segera.”

Dokter Evans meninggalkan Elena dengan kecemasan yang mencekik. Elena tidak ingin kehilangan ibunya.

“Kau mungkin tidak menginginkan bantuanku, tetapi ibumu membutuhkan uang itu,” ujar Sean.

Elena berbalik, memandang pria itu tanpa mengucap sepatah kata.

“Keputusan ada di tanganmu.” Sean menatap intens tepat pada mata Elena. “Aku hanya memberikan apa yang kau minta padaku,” lanjutnya dengan suara dalam.

Sekilas ingatan tentang kejadian semalam kembali datang. Elena meneguk ludah dengan susah payah. Dia tidak mengingatnya dengan baik, tetapi dia memang mengatakan bahwa dia menawarkan dirinya pada Sean untuk mendapatkan uang. Dada Elena terasa sesak, air matanya meleleh membanjiri wajah.

Elena menarik napas dalam. “Semalam aku mabuk. Aku tidak tahu apa yang kukatakan.” Dia menjilat bibir. “Dan jika ini tentang apa yang kita lakukan semalam, aku tidak seperti yang kau pikirkan. Itu semua di luar kendaliku. A-aku tidak berniat menjual keperawananku padamu,” lanjutnya dengan suara yang bergetar.

“Menjual keperawanan.” Sean mendengkus lirih. “Menarik, tapi aku tidak akan menyebutnya seperti itu,” imbuhnya. Dia kemudian berkata, “Bagaimana dengan sebuah kesepakatan?”

Bola mata Elena bergoyang pelan, menggambarkan pertanyaan yang menggaung di kepalanya.

“Kurasa kita perlu bicara lebih privat mengenai masalah ini,” ujar Sean seraya menggulir bola mata ke sekitar.

Mereka sedang berada di koridor rumah sakit. Pembicaraan itu akan menjadi sesuatu yang sangat privat dan serius. Maka dari itu, Sean membawa Elena ke tempat yang lebih sepi. Duduk berhadapan dengan dipisahkan oleh sebuah meja, masih di area rumah sakit.

Di kepala Elena berputar-putar spekulasi tentang kesepakatan yang ingin Sean bicarakan dengannya. Dengan nominal uang sangat besar yang dia butuhkan, mungkin Sean akan menjadikan dirinya pelayan seumur hidup. Atau mungkin dia akan bekerja untuk Sean tanpa gaji sampai semua utangnya lunas. Itu memang berat, tetapi Elena mulai menata pikirnya untuk menerima keadaan seburuk apa pun yang harus dia jalani nantinya.

Tatapan intens Sean tak beralih dari wajah Elena. Penampilan Elena yang berantakan mengingatkannya pada kejadian semalam. Elena bahkan tidak berusaha menutupi kissmark yang dia tinggalkan, dan itu membuat gairah Sean kembali tersulut. Sean terlihat tenang, tetapi teman kecilnya di bawah sana mulai mengeras.

“Kenapa kau pergi?” tanya Sean, memulai percakapan serius itu.

Elena menghindari tatapan Sean. Dia tak mengangkat wajah sejak mereka duduk saling berhadapan beberapa waktu yang lalu.

“Lihat aku! Aku bicara padamu,” perintah Sean.

Elena mengangkat wajah dengan dada yang berdebar-debar. Setiap inchi wajah Sean membawa kilasan-kilasan memori yang membuat tubuhnya bereaksi tak terduga.

“Kau meninggalkanku begitu saja,” ucap Sean. “Kenapa?” tanyanya kemudian.

“Aku mabuk. Apa yang terjadi semalam, itu di luar kendaliku. A-aku ingin melupakan kejadian itu dan menganggap kita tidak pernah bertemu,” jawab Elena dengan jujur.

Sean mengusap dagu dengan jarinya. Mata elangnya masih terpaku pada Elena. “Kau tidak boleh melupakan apa yang terjadi semalam,” ujarnya, terdengar dominan.

Bibir Elena membuka, matanya menatap Sean dengan kebingungan samar. Begitu dia menyadari smirk di sudut bibir Sean, dia lantas mengalihkan pembicaraan.

“Kurasa ada hal penting yang harus kita bicarakan, Tuan ….” Elena menggantung ucapannya. Dia tidak tahu harus memanggil apa pada pria itu.

“Blackwood,” ucap Sean.

“Baiklah, Tuan Blackwood.” Elena menarik napas dalam, lalu mengembuskannya dengan keras. “Kau tadi mengatakan tentang sebuah kesepakatan. Jadi, bagaimana aku harus membayar utangku jika kau membantuku dengan biaya pengobatan ibuku?” tanya Elena.

Sudut bibir Sean melengkungkan sebuah senyuman. Elena mulai masuk dalam perangkapnya. “Aku butuh kau di rumahku,” jawab Sean.

Elena melipat bibir, otaknya mulai berpikir dengan cepat. Sean ingin dia di rumahnya. Sepertinya memang dia harus bekerja pada pria itu sampai semua utangnya lunas. Dia meneguk ludah, berusaha menerima kenyataan pahit dalam hidupnya. Bukankah dia sedang butuh pekerjaan? Memang bukan pekerjaan kantoran seperti yang dia harapkan, tetapi setidaknya dia akan memiliki pekerjaan, bukan?

“Jangan khawatir, aku sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah,” balas Elena.

“Siapa yang memintamu melakukan pekerjaan rumah?” Mata Sean menyipit, mengintimidasi Elena.

“Bukankah kau ingin aku menjadi pelayan di rumahmu?” tanya Elena, menyuarakan apa yang ada di dalam pikirannya.

Sean mendengkus lirih. “Aku tidak pernah berkata kau akan menjadi pelayan di rumahku,” ujarnya.

“Lalu?” Elena memandang Sean, penasaran.

 “Aku ingin kau menjadi simpananku.” Sean berkata dengan tegas.

Petir serasa menggelegar di atas kepala Elena. Menjadi simpanan tidak jauh berbeda dengan menjadi seorang pemuas nafsu? Lalu, apa bedanya dengan menjual diri? Namun, ketika Elena hendak menolak kesepakatan itu, dia kembali teringat pada ibunya. Dia butuh uang itu segera, atau nyawa ibunya menjadi taruhan.

Mata Elena terpejam rapat, dan dia menarik napas dalam. Jari-jemarinya meremas ujung rok, menguatkan diri sendiri atas situasi sulit yang harus dihadapi.

Elena meneguk ludah, lalu bertanya dengan suara bergetar, “Jadi kau ingin aku menjadi budak seksmu?”

“Aku tidak tahu kau menyebutnya apa.” Sean mengedikkan bahu, pura-pura tidak tahu.

Mata Elena memejam, kepalanya menunduk. Kenyataan bahwa dia telah menyerahkan keperawanannya kepada pria asing sudah cukup menyakitkan. Dan kini dia harus menukar tubuhnya dengan uang. Itu membuat Elena merasa seperti seorang pelacur. Namun, keadaan memaksa dirinya untuk mengambil keputusan dengan cepat.

“Apa hanya itu yang harus kulakukan?” tanya Elena tanpa mengangkat wajah.

“Ya, dan aku punya satu syarat,” ucap Sean.

“Apa syaratnya?” Elena memberanikan diri memandang Sean.

“Jangan hamil, atau kau harus membayar dua kali lipat dari yang aku berikan padamu,” jawab Sean.

Elena tidak dapat berpikir lagi. Terlalu banyak masalah yang harus dia hadapi. Meskipun berat, dia harus mengambil risiko. Hanya Sean yang dapat membantunya. Elena melakukan semua ini demi ibunya.

“Baiklah, aku setuju,” putus Elena.

Seringai samar di sudut bibir Sean menunjukkan sebuah kepuasan.

“Kau mengambil keputusan yang tepat, Elena,” ucap Sean, menyebut nama wanita itu dengan bisikan seduktif. Dia lantas meletakkan dua butir pil di hadapan Elena, pencegah kehamilan dan pereda nyeri. “Ambil ini,” titahnya.

Elena masih terpaku di tempat, memandang dua butir pil di atas meja.

“Jake akan mengurus semuanya. Ibumu akan segera dioperasi,” ujar Sean.

“Terima kasih,” ucap Elena, meski dia tak yakin harus mengatakannya.

Sean beranjak dari kursi sambil merapikan jasnya. “Datanglah ke rumahku malam ini,” titahnya. Pria itu mengayunkan kaki, tetapi berhenti lagi di samping Elena. “Pastikan kau minum pil itu karena aku meninggalkan semua milikku di dalam dirimu,” bisiknya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • SIMPANAN SANG MILIARDER   Bab 46

    Seperti tidak ada masalah yang terjadi. Setelah pertemuan pagi itu, sikap Sean tampak biasa saja. Tidak ada lagi pembahasan tentang identitas Roxy. Sean tampak seperti tidak lagi peduli siapa ayah biologis Roxy. Namun, Elena tidak bisa menganggap masalah ini selesai begitu saja. Dia tetap waspada, sebab dia tahu Sean dapat melakukan apa saja yang mungkin tidak pernah dia duga.“Eric?” Elena sedikit terkejut melihat Eric keluar dari ruang kerja Sean.“Hei, aku pikir kau sedang tidak di kantor.” Eric menghampiri Elena yang berada beberapa meter saja darinya. “Paman Sean mengatakan kau sedang ada pekerjaan di luar.”“Ya, aku baru saja kembali.” Sekilas Elena menengok ke pintu ruangan Sean, lalu kembali fokus pada Eric. “Apa yang kau lakukan di sini?”Raut wajah Eric berubah muram. Hal itu terbaca oleh Elena, dan wanita tersebut langsung bertanya, “Apa ada masalah? Katakan, Eric! Apa yang terjadi?”“Aku harus pergi ke Lisbon.” Eric mengangkat berkas di tangannya. Pria itu menarik sudut bi

  • SIMPANAN SANG MILIARDER   Bab 45

    Tubuh Elena membeku. Matanya membola, seiring dengan irama jantung yang menggila. Kaki yang melangkah penuh semangat itu seolah mendadak lumpuh. Duduk di salah satu kursi, seorang pria yang Elena harap tidak akan pernah bertemu dengan putrinya, sedang berbincang dengan sang kekasih. Percakapan yang tampak ringan itu harus terhenti tatkala Elena dan Roxy muncul dalam ruangan. Dua pasang mata di sana langsung bergulir pada ibu dan anak tersebut.“Sean?” Elena bergumam dengan bibir yang bergetar. Suaranya lirih, hingga hanya dia sendiri yang mendengar.“Abby, Roxy!” sapa Eric dengan senyum sehangat mentari pagi. “Kita kedatangan tamu istimewa pagi ini.”Eric sama sekali tidak tahu ketegangan seperti apa yang Elena rasakan. Pria itu mengira kedatangan Sean adalah sebuah keistimewaan, sebagai isyarat bahwa hubungannya dengan Elena telah mendapatkan restu.Sebagai tindakan defensif, Elena menarik tangan mungil Roxy, dan membawa gadis kecil itu ke belakang tubuhnya. Matanya menatap Sean deng

  • SIMPANAN SANG MILIARDER   Bab 44

    “Katakan sekali lagi!” Mata Sean menatap Elena lebih dingin. Suara dalamnya terasa menusuk.Dengan berani, Elena mengangkat dagu, membalas tatapan Sean sama tajam. “Aku akan membayar semua yang telah kau berikan padaku dan ibuku. Kau hanya perlu mengatakan berapa banyak yang telah kau habiskan.”Bola mata Sean begerak tenang, memindai wajah cantik yang sedang menatapnya penuh keberanian. Keberanian itu menjadi salah satu daya tarik yang memikat sekaligus menantang harga diri, meski ego memaksanya untuk menekan perasaan tersebut. Amarah sempat tergambar jelas dalam sorot mata Sean, namun dalam sekejap berubah menjadi tatapan sinis yang intimidatif. Sean tidak akan membiarkan perasaan melankolis mengalahkan sisi iblis di dalam dirinya.“Jadi sekarang kau ingin menyombongkan diri dengan uangmu yang tidak seberapa itu?” ujar Sean.“Tidak ada yang namanya menyombongkan diri. Aku hanya muak kau selalu menggunakan alasan yang sama untuk mengintimidasiku, mengontrolku, dan bertindak semena-me

  • SIMPANAN SANG MILIARDER   Bab 43

    Elena merinding. Ini bukan tentang apa yang pernah terjadi antara dirinya dan Sean, melainkan apa yang dia hadapi selama di Lisbon mendampingi pria tersebut. Secara personal, Sean adalah bajingan tampan yang selalu berusaha mengendalikan hidup Elena. Namun, sosok yang Elena lihat selama beberapa hari terakhir di Lisbon bagaikan jelmaan Hades yang sedang menunjukkan seperti apa neraka yang sebenarnya.Cara Sean menyelesaikan masalah di perusahaan membuat Elena merasa seperti sedang menghadapi persidangan dengan hakim yang sangat kejam, yang siap menebas kepala siapa saja yang bersalah.“Jika dalam dua hari masih tidak ada progres, jalankan plan B!” Sean menutup berkas, kemudian beranjak dari balik meja, melenggang menuju pintu sembari mengancingkan jasnya.“Baik, Tuan.” Jake mengangguk, melangkah mengikuti bosnya.Elena gegas mengikuti mereka, tak ingin tertinggal dan membuat raja neraka di depan sana semakin murka.“Apa plan B yang dia maksud?” bisik Elena pada Jake.Langkah kaki Jake

  • SIMPANAN SANG MILIARDER   Bab 42

    “Mau ke mana kau?” Pria itu membuka mata saat merasakan sebuah gerakan yang Elena lakukan.Elena merotasi bola mata, jengah. “Ini sudah pagi. Aku akan pergi mandi dan bersiap untuk bekerja hari ini,” sergahnya, meski masih terlalu pagi untuk dirinya bersiap-siap.Wanita itu beranjak dari sofa bed, tetapi Sean menarik tubuhnya kembali. Tak ayal, Elena limbung dan kembali jatuh dalam pelukan Sean. Bahkan kali ini dengan posisi intim yang canggung. Elena berada di atas tubuh Sean.“Apa yang kau lakukan?” murka Elena. Dia hendak melepaskan diri dari Sean, tetapi pria itu menahannya dengan kuat.“Kau hanya akan pergi jika aku memintamu,” tegas Sean.Elena merasa terancam. Di ruangan itu hanya ada dirinya dan Sean. Tidak ada yang dapat dia mintai tolong, sekalipun itu Jake yang entah ada di mana sekarang.“Lepaskan aku!” desis Elena.Sudut bibir Sean terangkat, menampakkan seringai licik.“Aku akan melepaskanmu setelah kau memberiku ciuman pagi,” ujar Sean.“Tidak akan pernah!” Dengan tegas

  • SIMPANAN SANG MILIARDER   Bab 41

    “Baiklah.” Elena melemaskan bahu. “Aku akan memesan kamar terpisah.”Jika tidak bisa pulang ke apartemen, setidaknya dia bisa memesan kamar yang terpisah.Sean menatap wanita itu dengan tegas. “Siapa yang mengizinkamu memesan kamar terpisah?”Sikap dominan Sean membuat Elena memutar mata jengah. “Aku tahu aku adalah asistenmu, tapi tidak berarti aku harus 24 jam selalu bersamamu. Aku juga memiliki privasi.”“Tidak ada negosiasi, Nona Winter!” Sean berbicara dengan tegas, lalu berjalan pergi meninggalkan Elena.Wanita itu mengepalkan kedua tangan, lalu mengentakkan kakinya. Dia menggerutu, menganggap Sean semena-mena terhadap dirinya. Dalam situasi tertentu, Sean selalu memanggilnya dengan nama Winter, seolah ingin menegaskan bahwa sebagai siapa pun, Elena akan tetap berada di bawah kendalinya.“Jangan menyalak di hadapan singa yang sedang kelaparan,” bisik Jake.“Dia bukan singa kelaparan tetapi iblis jahanam,” sahut Elena, menatap kesal pada punggung Sean. Lalu, dia menoleh pada Jake.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status