Suara gemericik air membangunkan Elena dari tidur nyenyaknya. Dia mengerjapkan mata dengan perlahan, lalu mengernyitkan alis.
“God!” Elena mengerang sebab pusing yang menusuk kepala, hangover.
Tidak hanya tentang hangover, tetapi dia juga merasakan sekujur tubuhnya remuk. Seluruh sendinya terasa kaku, dan semua rasa tidak nyaman itu berpusat pada tubuh bagian bawahnya, pada bagian pribadinya yang terasa nyeri saat dia menggerakkan kaki.
“Ouch! Shit! Apa yang terjadi?” Elena memijit pelipis seraya membuka mata sedikit lebih lebar.
Mata Elena melotot kala mendapati dirinya berada di sebuah kamar, berbaring di atas ranjang dengan selimut tebal yang menutup hingga dada. Jantung seketika berdegup kencang. Dia mengintip tubuhnya di balik selimut, dan seketika menahan napas saat melihat dirinya sepenuhnya telanjang.
“Oh my God! Apa yang sudah kulakukan?” Jantung Elena berdegup semakin kencang. Dia berusaha mengingat-ingat hal terakhir yang dilakukannya.
Elena ingat saat dia pergi ke sebuah kelab dan minum beberapa gelas vodka, berharap dapat melupakan masalahnya untuk sejenak. Dia memejamkan mata, merangkai ingatan-ingatan samar yang melintas. Seorang pria coba mengganggunya, lalu pria lain datang. Dia ingat pria itu adalah orang yang sama dengan yang ditabraknya di rumah sakit. Dan saat dia membuka mata, dia melihat sebuah foto besar yang menggantung di dinding—tepat di depan matanya—yang mengonfirmasi ingatannya.
“Shit! Apa yang sudah kulakukan?” sesal Elena. Dia menengok ke arah kamar mandi, melihat siluet seseorang di sana. “Aku harus pergi dari sini.”
Kejadian itu di luar kendalinya. Dia mabuk dan tidak tahu apa yang dilakukannya. Siapa pun pria itu, Elena tidak ingin terlibat lebih jauh lagi dengannya. Jadi, dia bergegas turun dari tempat tidur, mengumpulkan semua pakaiannya yang berserak di lantai, dan tergesa-gesa mengenakannya. Dia harus kabur sebelum pria di kamar mandi itu keluar. Setelah memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal, dia segera melarikan diri dari sana.
Apa pun yang terjadi selamam, Elena ingin melupakannya. Dia dan pria itu hanya orang asing, jadi akan lebih baik jika dia melupakan semuanya, dan menganggap tidak ada yang pernah terjadi di antara mereka.
Elena berjalan di selasar dengan sempoyongan. Lutut yang gemetar, dan sakit di selangkangan adalah dua hal yang membuatnya hampir menyerah. Namun, dia harus tetap melangkah.
Sambil menunggu pintu lift terbuka, Elena memeriksa ponsel. Ada beberapa panggilan dari Dokter Evans. Namun, ketika hendak menghubungi sang dokter, dia baru ingat kalau pagi itu dia memiliki janji untuk bertemu dengan CEO perusahaan tempat dirinya interview kemarin.
“Aku tidak boleh terlambat,” umpat Elena. Sudah hampir pukul 8 pagi, dan dia masih terdampar di antah berantah dengan kondisi yang sangat berantakan.
Elena menumpangi sebuah taksi menuju perusahaan itu. Dia merapikan diri sekenanya, tak ada waktu untuk sekadar mandi dan mengganti pakaian. Elena meminta sopir taksi untuk mengemudi lebih cepat, tetapi kemacetan tak dapat dihindari. Dia akhirnya tiba di perusahaan itu pukul 8 lewat 30 menit.
“Kuharap masih ada kesempatan buatku.” Elena memandang gedung pencakar langit yang berdiri kokoh di hadapannya.
Wanita itu menyisir rambut dengan jari, kemudian melangkah senormal mungkin menuju lobi. Dia bertemu resepsionis, lalu berkata, “Permisi. Saya Elena Wilson. Saya ada janji dengan Pak Harris hari ini.”
Resepsionis itu memandang Elena dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah ingin berkata bahwa hari itu adalah hari sial Elena. Sebelum akhirnya dia tersenyum ramah, dan berkata, “Mohon tunggu sebentar. Saya akan menghubungi Pak Harris.”
Elena menunggu sambil berdoa supaya masih ada kesempatan untuknya. Tak lama kemudian, resepsionis itu menutup telepon, memandang Elena dengan penuh sesal. “Maaf, Nona Wilson. Pak Harris mengatakan bahwa beliau sudah merekrut orang lain.”
“Apa? Tapi saya hanya telat 30 menit. Apa tidak ada kesempatan untuk saya?” Elena tampak frustasi.
“Maaf, tapi hanya itu yang Pak Harris sampaikan.” Resepsionis itu membalas dengan sopan.
Elena tidak dapat berkata-kata lagi. Dia sudah diperingatkan supaya dia tidak terlambat, tetapi dia melewatkan kesempatan itu. Dia tahu itu adalah kesalahannya, bukan Pak Harris. Elena terlalu lelah untuk berdebat. Jadi, dia berbalik, meninggalkan tempat itu dengan kekecewaan dan penyesalan.
Ponsel Elena berdering. Dia merogoh tas, mengambil ponsel dari dalamnya. Nama Dokter Evans muncul di layar, dan Elena bergegas menjawab telepon tersebut.
“Ya, Dokter?” sapa Elena begitu telepon tersambung.
“Aku berusaha menghubungimu sejak semalam. Kau baik-baik saja?” tanya sang dokter.
“Selain aku kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan… aku baik-baik saja. Bagaimana ibuku?” tanya Elena dengan lesu.
“Aku turut sedih mendengarnya. Umh, ya. Ada yang ingin kubicarakan tentang ibumu. Bisa kau datang ke rumah sakit sekarang?” Nada bicara sang dokter terdengar serius.
“Apa terjadi sesuatu pada ibuku?” Rasa cemas seketika memenuhi benak Elena.
“Datang saja ke rumah sakit. Aku akan menjelaskannya,” pinta Dokter Evans.
“Baiklah, aku segera ke sana,” sahut Elena.
Apa pun yang ingin Dokter Evans katakan terdengar seperti hal yang sangat penting. Elena tidak membuang waktu lagi, dan segera pergi ke rumah sakit.
Kaki jenjang Elena melangkah dengan cepat ke arah Dokter Evans yang sudah menunggu dirinya.
“Dokter Evans,” panggil Elena.
Dokter itu memandang Elena dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kau terlihat berantakan sekali. Apa yang terjadi?” tanyanya peduli.
Elena membasahi bibir, lalu menjawab, “Hanya sedikit mabuk semalam.”
Tampak keraguan dalam ekspresi Dokter Evans. Namun, ada hal yang lebih penting untuk dia sampaikan. Dia hanya berharap Elena berkata jujur mengenai kondisinya.
“Aku punya berita bagus dan berita buruk,” ujar dokter itu.
“Katakan saja, Dokter. Apa pun itu, aku akan mendengarkannya,” sahut Elena. Hidupnya sudah berada dalam kekacauan luar biasa. Satu berita buruk lagi sepertinya masih dapat dia tangani.
“Kami sudah mendapatkan donor yang cocok untuk ibumu,” ucap dokter itu. Dia kemudian menarik napas dalam, sedalam tatapannya pada Elena.
“Lalu?” Elena yakin itu adalah berita bagusnya, dan dia menunggu berita buruk yang ingin Dokter Evans sampaikan.
“Aku tahu ini sulit bagimu, tapi transplantasi itu hanya akan dilakukan jika kau setidaknya membayar uang muka sebagai jaminan,” lanjut Dokter Evans, menatap Elena dengan kepedulian yang berbalut keprihatinan.
Uang. Itulah masalah utama Elena saat ini. Dia butuh uang yang sangat banyak. Sekalipun Dokter Evans menyebutkan bahwa dia hanya butuh membayar uang muka terlebih dahulu, itu bisa jadi senilai harga sewa rumah yang dia tempati bersama ibunya.
Elena menarik napas dalam dengan mata berkaca-kaca. Air matanya jatuh ketika dia berkedip. Dada Elena terasa begitu sesak, tetapi dia berusaha tetap kuat.
“Kapan aku harus membayarnya?” tanya Elena dengan suara bergetar.
“Dengan kondisi ibumu, lebih cepat lebih baik,” jawab dokter itu dengan lembut. Dia mengusap lengan Elena. “Dengar! Aku—”
“Aku akan membayarnya!”
Suara baritone itu mencuri perhatian Elena. Sebuah suara yang mengundang ingatan Elena tentang desahan seseorang. Suara milik seorang pria yang Elena kenal wajahnya.
Pria itu melangkah dengan tegas yang setiap entakannya membuat jantung Elena berdegup semakin cepat. Dia berhenti di samping Elena, menatap Elena sekilas, lalu pada Dokter Evans. “Lakukan transplantasi itu. Aku akan membayar semua biayanya,” ucapnya dengan tegas.
Elena masih duduk di ruang makan, mencoba menikmati sisa sarapan. Pikirannya terus berkecamuk, memikirkan pesan dari Sean yang terasa seperti rantai tak kasat mata di sekelilingnya. Dia tersentak ketika Jake muncul di ambang pintu, membawa amplop hitam kecil di tangannya."Nona Elena," Jake memulai, berjalan mendekat dengan langkah penuh keyakinan. “Bagaimana harimu?” tanyanya basa-basi.“Pertanyaan yang tidak perlu aku jawab,” kata Elena.Senyum kecil terukir di sudut bibir Jake. "Tuan Blackwood memintaku memberikan ini kepadamu,” ujarnya seraya menyodorkan sebuah amplop.Elena mengambil amplop itu dan membukanya. Di dalamnya ada sebuah blackcard dengan namanya yang terukir halus di permukaan."Untuk apa dia memberiku ini?" tanya Elena, meski sudah menduga jawabannya."Tuan Blackwood ingin kau membeli pakaian baru yang bersih dan layak," jawab Jake, nadanya netral seperti biasa, tetapi membuat Elena berpikir keras.Elena mengerutkan kening. Kalimat itu terdengar seperti sindiran, seo
Elena berdiri di tengah ruangan, seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia mengangkat dagu, menahan air mata agar tidak jatuh. Sean menatapnya dengan ekspresi dingin dari kursi di sudut kamar, matanya tajam seperti pisau yang menguliti setiap inci tubuhnya.“Apa kau tahu apa kesalahanmu?” tanyanya dengan nada suara rendah namun penuh ancaman.Elena menggeleng pelan, suaranya tercekat di tenggorokan. “Aku hanya pergi untuk mengambil barang-barangku di apartemen.” Dia bertanya dalam hati, Apakah itu termasuk kesalahan?Sean berdiri, berjalan mendekat, mengitari wanita itu dengan langkah pelan yang terasa menyentak dada. “Dan kau berpikir itu alasan yang cukup untuk mengabaikan perintahku? Ingat, Elena! Kau harus sudah berada di ranjangku saat aku datang …,” Sean lantas berbisik di telinga Elena, “tanpa pakaian.”Langkah Sean berhenti tepat di depan Elena, matanya menatap dengan intensitas yang membuat wanita itu mundur selangkah. Sean menyentuh dagu Elena, memaksa wanita itu menatap matanya.“
Elena berdiri di depan pintu ruang operasi, menunggu kabar dari dokter dengan perasaan cemas yang mencengkeram benak. Dia berjalan mondar-mandir sambil menggigit bibir.“Kau harus bertahan, Ibu. Aku akan melakukan apa pun untuk menyelamatkanmu,” gumam Elena.Sean datang dari arah yang berlawanan, langkahnya mantap dan penuh percaya diri. Ketika dia menghampiri Elena, tatapannya penuh kendali.“Bagaimana operasinya?” tanya Sean.Elena menggelengkan kepala. “Operasinya belum selesai.”Tepat setelah Elena menjawab pertanyaan Sean, pintu ruang operasi dibuka. Dokter Evans keluar sambil membuka masker medisnya. Dia menghampiri Elena dengan senyum lega."Operasi berhasil," ujar Dr. Evans singkat.Elena nyaris menangis karena merasa lega. "Terima kasih," bisiknya pelan.“Tapi ….” Dokter Evans menjeda ucapan, membuat jantung Elena berdegup kencang menunggu kalimat selanjutnya. “Ibumu masih membutuhkan penanganan intensif untuk cidera yang lain. Seperti yang aku katakan kemarin, ibumu mengalam
Cahaya sore yang keemasan menembus celah-celah tirai ruangan. Elena berdiri di depan cermin, memandangi bayangannya sendiri. Wajahnya masih memperlihatkan bekas dari malam yang panjang dan penuh gejolak, tetapi sorot matanya kosong. Hari ini akan menjadi awal dari kehidupan barunya, kehidupan yang dikendalikan oleh satu keputusan besar yang tak bisa dia tarik kembali.Wanita itu melirik pil pencegah kehamilan di atas meja. Sean meninggalkannya sebagai pengingat bahwa dia kini berada dalam kendali pria itu. Perlahan, Elena mengambil pil tersebut dan menggenggamnya erat. Ada gejolak dalam hatinya—menyerah pada situasi ini atau melawan.“Aku tahu ini salah, tapi aku tak punya pilihan.” Elena memejamkan mata, menelan pahit kenyataan yang harus dijalaninya.Suara ketukan pintu membuat Elena tersentak. Dia menoleh dan melihat ibunya terbaring di ranjang rumah sakit. "Aku melakukan ini untukmu, Ibu" gumam Elena, seakan membenarkan pilihannya. Dia memasukkan pil pencegah kehamilan itu ke mulu
Bab 5Detak jantung Elena mulai menggila. Darahnya seolah mengalir berbalik arah. Suara itu terdengar dalam dan tenang, mengingatkan Elena pada sebuah situasi yang memabukkan. Bisikan-bisikan seduktif dan desahan-desahan erotis menelusup ke telinga Elena, menyerbu ingatannya dengan adegan panas dan kenikmatan yang membuatnya menggigil hingga ke tulang belakang.“Itu kabar bagus,” celetuk Dr. Evans yang membuyarkan memori panas Elena.Wanita itu mengerjapkan mata, memutus tatapannya dari Sean. Dia meneguk ludah, kemudian berkata, “Tunggu!”Elena berusaha menguasai situasi. Dia tidak akan sembarangan mengambil keputusan. Elena tidak mengenal pria itu, bahkan namanya saja dia tidak tahu. Kecuali apa yang terjadi semalam ketika dia mabuk, Elena tidak ingin pria itu terlibat dalam hidupnya terlalu jauh.Elena memandang Sean dengan tegas. “Aku menghargai kebaikan hatimu, Tuan, tapi maaf aku tidak bisa menerima bantuan itu.” Elena menolak dengan halus.“Elena—” Dr. Evans tidak meneruskan uca
Suara gemericik air membangunkan Elena dari tidur nyenyaknya. Dia mengerjapkan mata dengan perlahan, lalu mengernyitkan alis.“God!” Elena mengerang sebab pusing yang menusuk kepala, hangover.Tidak hanya tentang hangover, tetapi dia juga merasakan sekujur tubuhnya remuk. Seluruh sendinya terasa kaku, dan semua rasa tidak nyaman itu berpusat pada tubuh bagian bawahnya, pada bagian pribadinya yang terasa nyeri saat dia menggerakkan kaki.“Ouch! Shit! Apa yang terjadi?” Elena memijit pelipis seraya membuka mata sedikit lebih lebar.Mata Elena melotot kala mendapati dirinya berada di sebuah kamar, berbaring di atas ranjang dengan selimut tebal yang menutup hingga dada. Jantung seketika berdegup kencang. Dia mengintip tubuhnya di balik selimut, dan seketika menahan napas saat melihat dirinya sepenuhnya telanjang.“Oh my God! Apa yang sudah kulakukan?” Jantung Elena berdegup semakin kencang. Dia berusaha mengingat-ingat hal terakhir yang dilakukannya.Elena ingat saat dia pergi ke sebuah k
Sean Blackwood tidak pernah menyangka akan membawa pulang wanita yang ditemuinya secara tidak sengaja. Wanita yang mencuri perhatiannya sejak pertama mereka bertemu di rumah sakit. Ketidaksengajaan yang kedua di klub seolah menjadi petunjuk bahwa ada campur tangan takdir dalam pertemuan mereka.Ciuman panas yang memabukkan dan sentuhan hangat yang menggairahkan, membuat Sean tidak pernah menyesal telah membawa wanita itu pulang. Desahan demi desahan menggema, memercikkan gairah yang kian membara.Sean mendorong Elena ke dinding, menahan tangan wanita itu di atas kepala. Matanya berkabut, memandang wajah cantik yang tampak menawan dan erotis dalam waktu bersamaan. Dia tahu Elena sedang mabuk, tapi dia tidak peduli. Elena telah membangkitkan monster di dalam dirinya, sehingga wanita itu harus bertanggung jawab.“Kau yakin ingin melakukan ini?” Sean berbisik sambil menciumi leher wanita itu.“Kumohon, bercintalah denganku!” Elena mengangguk, benar-benar putus asa oleh gairah yang membunc
Elena menyeka air mata yang membanjiri wajahnya. Dia menarik napas dalam, lalu membuka pintu dengan kasar. Hatinya terluka dan penuh amarah. Elena melenggang masuk ke kamar, mengejutkan sepasang kekasih yang baru saja selesai bercinta di sana.“Elena?” Josh langsung melepas pelukannya dari Bianca. Dia turun dari ranjang, meraih celana panjang yang teronggok di lantai, lantas mengenakannya.“Beraninya kalian melakukan ini di belakangku!” Elena murka.Plak!Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Josh.“Josh!” pekik Bianca. Wanita itu melilitkan selimut ke tubuhnya, lalu menghampiri Josh. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir.Elena muak melihat kelakuan sahabatnya. Dia menatap kecewa pada Bianca, menggeleng lemah, lalu berkata, “Aku memercayaimu, tapi lihat yang kau lakukan di belakangku! Kau bercinta dengan pacarku!” Suara Elena bergetar, menunjuk Bianca dengan penuh kekecewaan.“Elena dengarkan aku! Ini tidak seperti yang terlihat.” Josh coba menyentuh Elena, tetapi wanita itu seger
“Silakan menunggu di sini, kau akan dipanggil saat giliranmu tiba,” ucap seorang wanita dengan setelah kerja berwarna biru muda kepada Elena Wilson.“Terima kasih.” Senyum cerah merekah di bibir Elena. Wanita itu duduk di kursi tunggu, di depan sebuah ruangan tempat dirinya akan melakukan wawancara kerja.Elena menganggap panggilan wawancara itu adalah keajaiban di tengah tragedi yang menimpa keluarganya. Ayahnya depresi dan bunuh diri setelah perusahaannya bangkrut. Keluarganya dicela dan dikucilkan oleh orang-orang yang dahulu dibantu. Elena dan ibunya berada di titik terendah dan harus berjuang dari bawah untuk memulai hidup baru.Setelah ditolak oleh puluhan perusahaan, akhirnya Elena mendapat panggilan wawancara dari sebuah perusahaan besar. Elena berharap itu adalah awal kebangkitan bagi keluarganya. Dia ingin membuktikan bahwa dirinya mampu mengembalikan nama baik Wilson agar orang-orang tidak meremehkannya lagi.“Nona Wilson!” Sebuah panggilan menarik atensi Elena.“Ya, saya.”