Share

Bab 5

Ini sudah tiga hari sejak peristiwa malam itu. Dan selama tiga hari pula Mutia melayaniku tanpa banyak bicara. Baguslah, aku sudah bosan mendengarkan ocehan-ocehan tidak penting yang keluar dari mulutnya. Saat ini Mutia tidak akan memulai pembicaraan kalau bukan aku yang memulainya lebih dulu.

Suasana rumah jauh lebih tenang dari sebelumnya. Ah, sepertinya bukan tenang, tapi sunyi seperti ada bagian yang hilang. Namun, rasanya tidak terlalu berarti.

Mungkin sebenarnya dia marah padaku, makanya kecerewetan yang telah mendarah daging itu tiba-tiba hilang bak ditelan bumi, tapi biarkan saja. Aku ingin tahu, seberapa lama dia kuat untuk menahan dirinya. Aku yakin itu tidak akan berlangsung lama.

"Mas Putra, boleh temani aku minum teh?" tanyanya saat aku melewati Mutia yang sedang duduk di sofa.

'Tuh, 'kan. Apa aku bilang, dia tidak akan kuat mendiamkanku terlalu lama. Buktinya Mutia duluan yang mengajakku menemaninya,' batinku jumawa.

"Tumben, kemarin-kemarin kamu seperti menghindar dariku." Sengaja aku menyindirnya. Dia tidak menjawab, aku pun berjalan ke arahnya dan duduk di sebelah Mutia.

Lama aku menunggunya untuk berbicara dan aku juga tidak berniat untuk memulainya lebih dulu. Aku pandangi lamat-lamat wajah itu dari samping. Dia tetap Mutia istriku yang begitu cantik luar dan dalam, tidak berkurang apapun selain tubuhnya yang semakin hari semakin kurus. Terkadang aku bertanya pada diri sendiri, apa alasanku tidak lagi mencintainya seperti dulu. Nihil, aku tidak mendapat jawabannya, Mutia terlalu sempurna untuk aku campakkan.

Namun, siapa yang tahu, nyatanya aku lebih mencintai Maura gadis yang beberapa bulan terakhir ini sedang dekat denganku. Aku tidak butuh alasan untuk mencampakan Mutia.

"Mas, ini sudah tiga hari. Sesuai janjiku aku akan memberikan jawabannya malam ini," ucapnya tenang sambil menyesap teh miliknya.

Kenapa Mutia bisa setenang itu, justru saat inu akulah yang merasa gugup. Jantungku sedikit berdebar, aku takut kecewa dengan pilihan Mutia. Aku pesimis, sepertinya mutia akan lebih memilih berpisah karena dia juga sedang dekat dengan pria lain. Ah, Mutia. Hanya membayangkannya saja aku tidak rela.

Aku salah karena telah memberikan pilihan kepada Mutia, harusnya aku tegas, tetap mempertahankannya walaupun aku harus menikahi Maura.

"Apa kamu yakin, Mutia. Aku rasa tiga hari terlalu singkat. Kamu perlu berpikir lagi sebelum memutuskan, aku memberi perpanjangan waktu. Satu minggu cukup?" Aku mencoba mengulur waktu.

"Tidak perlu, Mas. Aku sudah mendapatkan jawabannya."

'Ah, jangan Mutia. Aku yang belum siap,' batinku. Aku mengusap wajahku kasar.

"Baiklah, jika kamu sudah yakin dengan pilihanmu. Katakan, apa keputusanmu?" Aku tidak bisa lagi mencegah. Aku pasrah, atas apapun yang menjadi pilihan Mutia.

Toh, aku sendiri yang sudah menciptakan keaadan ini. Jadi aku juga harus siap dengan segala resikonya.

"Aku sudah memutuskan ...."

Tiba-tiba dering suara telepon membuyarkan ketegangan yang hadir antara aku dan Mutia. Dia pun belum selesai dengan ucapannya.

Dengan cepat aku mengangkatnya, aku harus memanfaatkan kesempatan ini.

"Aku angkat telpon sebentar, Yudi memanggil." Aku hendak berdiri, tiba-tiba Mutia menarik tanganku.

"Di sini saja, Mas," pinta Mutia.

"Apa perlu aku loudspeaker?"

Mutia menggeleng, tapi aku memaksa.

Akhirnya aku menerima telepon dari Yudi dekat Mutia.

"Hallo, Yud. Ada apa malam-malam begini telepon?"

[Bro, tolongin gue, dong. Motor gue ngadat, nih, malem-malem gini. Mana bengkel udah pada tutup.] Aku melirik pada Mutia.

Mutia mengangguk. Yes, akhirnya ada alasan juga untuk menghindari Mutia.

"Baiklah aku kesana. Kirim alamatnya."

Aku mematikan telepon dan mengecek alamat yang dikirim Yudi. Lalu bersiap untuk berangkat.

"Kamu tidur duluan aja. Takut aku pulangnya malam. Obrolan ini kita lanjut besok."

Mutia tidak menjawab, dia hanya tersenyum lembut.

Ah, Mutia. Kenapa akhir-akhir ini kamu terlihat berbeda. Biasanya Mutia akan bertingkah menjengkelkan, merengek dengan manja, membuat perutku terasa mual saat melihat tingkahnya.

******

Di persimpangan, aku melihat keberadaan Yudi dengan motornya yang terparkir di tepi jalan. Aku menghampirinya.

"Kenapa dengan jaguar milik, Lo. Gak biasanya mogok gini. Bukannya rutin service?" tanyaku heran.

"Gak tau, nih. Malem-malem gini malah ngambek di tengah jalan. Bikin emosi aja, sorry, ya, Bro. Ganggu Lo malem-malem gini." sahut Yudi sambil menggaruk kepalanya.

"Santai aja, ngomong-ngomong thanks, ya. Lo udah nyelamatin gue."

"Lah, harusnya gue yang bilang terimakasih. Kenapa jadi kebalik gini?" tanyanya terlihat bingung.

"Lo udah nyelamatin gue malam ini pokoknya."

"Gak jelas, Lu. Ya, udah, buruan bantuin step sampe rumah."

Aku hanya nyengir saja menanggapi omongan Yudi.

Rumah Yudi tidak terlalu jauh dari sini, jalanan juga tidak ramai karena memang sudah cukup malam.

Kurang lebih dua puluh menit akhirnya sampai juga.

"Pegel juga kaki gue, Bro."

"Sorry, ya. Nanti minta pijitin aja ama bini, Lo." Yudi nyengir tanpa dosa.

"Gue langsung balik, ya. Udah malem banget soalnya."

"Mampir aja dulu, ngopi-ngopi. Baru juga jam sepuluh lewat." Aku melihat jam di tangan. Benar juga, takutnya Mutia belum tidur jam segini.

Akhirnya aku pun mampir dulu, saat melihat jam menunjukan pukul sebelas malam baru lah aku pamit untuk pulang.

Aku sampai dirumah hampir setengah dua belas. Sengaja ku matikan mesin motor dari depan gerbang, mendorongnya sampai garasi. Aku takut membangunkan Mutia.

Mencoba untuk berjalan mengendap seperti maling, berusaha tidak menimbulkan suara. Bahkan aku membuka kunci dengan sangat pelan. Lalu masuk perlahan.

'Sudah gelap, berarti Mutia sudah tidur, aku aman,' batinku. Kemudian melangkah dengan hati-hati bermaksud untuk masuk ke dalam kamar.

"Mas."

"Astaga," ucapku spontan, aku sedikit terlonjak karena kaget. Seperti maling yang tertangkap basah.

'Ugh, benar-benar sial,' umpatku dalam hati.

"Kenapa kaget begitu? Aku bukan hantu. Sini, duduk." Dia menepuk kursi di sebelahnya.

"Mutia, ini sudah malam. Tidur saja, ya." Aku memelas.

"Duduk sini, Mas. Sebentar saja." Mendengarnya berkata dengan lembut begitu membuatku seperti terhipnotis. Menuruti keinginannya begitu saja.

Dengan berat hati aku duduk disamping Mutia.

"Mas, aku sudah memutuskan. Jadi tidak bisa di tunda lagi sampai besok."

"Baiklah, katakan. Mas akan menerima apapun keputusanmu."

"Aku ... akan tetap bertahan, aku siap untuk di madu, tapi aku ingin mengajukan beberapa syarat," ucapnya tenang.

Jawaban Mutia benar-benar diluar dugaan, jika aku tau jawabannya bahwa dia akan tetap bertahan, maka aku tidak perlu mengulur waktu dan capek-capek berkorban mendorong motor Yudi yang mogok malam-malam.

Refleks aku memeluk Mutia, entah kenapa aku merasa sangat bahagia karena Mutia memilih untuk tetap bertahan di sisiku.

"Syarat apapun itu, aku pasti akan menyetujuinya." Tanpa berpikir panjang aku mengiyakan permintaan Mutia.

"Besok, aku akan memberitahumu apa syaratnya. Sekarang kita tidur, ini sudah malam." Mutia berusaha mengurai pelukan, tapi aku semakin mengeratkan. Aku pun semakin tersadar, tubuh ini lebih kurus dari saat terakhir kali aku memeluknya.

"Aku kehabisan nafas, Mas."

Aku melepaskan Mutia perlahan, menatap dalam manik matanya yang hitam.

Aku mendekatkan wajahku pada mutia, mengikis jarak antara kita. Menciptakan suasana hangat yang sudah lama tidak aku dapatkan darinya.

"Mas, stop. Aku ... aku tidak ingin ..." Ucapannya terhenti, Mutia menatapku dengan tatapan yang entahlah. Dia seperti ragu padaku.

"Aku tidak pernah melakukannya dengan siapa pun termasuk Maura, aku masih tau batasan," ucapku meyakinkan Mutia.

Akhirnya, setelah tiga bulan berpuasa malam ini aku dan Mutia kembali memadu kasih.

Namun, sepertinya hanya aku yang menikmatinya, tidak dengan Mutia. Dia terlihat lebih sering mendesah karena menahan sakit, bukan menikmati.

Ada apa sebenarnya denganmu Mutia.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
kasihan mutiara
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Miris banget nasib Mutia dikhianati oleh suaminya sekarang sakit parah pula
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status