Ini sudah tiga hari sejak peristiwa malam itu. Dan selama tiga hari pula Mutia melayaniku tanpa banyak bicara. Baguslah, aku sudah bosan mendengarkan ocehan-ocehan tidak penting yang keluar dari mulutnya. Saat ini Mutia tidak akan memulai pembicaraan kalau bukan aku yang memulainya lebih dulu.
Suasana rumah jauh lebih tenang dari sebelumnya. Ah, sepertinya bukan tenang, tapi sunyi seperti ada bagian yang hilang. Namun, rasanya tidak terlalu berarti.Mungkin sebenarnya dia marah padaku, makanya kecerewetan yang telah mendarah daging itu tiba-tiba hilang bak ditelan bumi, tapi biarkan saja. Aku ingin tahu, seberapa lama dia kuat untuk menahan dirinya. Aku yakin itu tidak akan berlangsung lama."Mas Putra, boleh temani aku minum teh?" tanyanya saat aku melewati Mutia yang sedang duduk di sofa.'Tuh, 'kan. Apa aku bilang, dia tidak akan kuat mendiamkanku terlalu lama. Buktinya Mutia duluan yang mengajakku menemaninya,' batinku jumawa."Tumben, kemarin-kemarin kamu seperti menghindar dariku." Sengaja aku menyindirnya. Dia tidak menjawab, aku pun berjalan ke arahnya dan duduk di sebelah Mutia.Lama aku menunggunya untuk berbicara dan aku juga tidak berniat untuk memulainya lebih dulu. Aku pandangi lamat-lamat wajah itu dari samping. Dia tetap Mutia istriku yang begitu cantik luar dan dalam, tidak berkurang apapun selain tubuhnya yang semakin hari semakin kurus. Terkadang aku bertanya pada diri sendiri, apa alasanku tidak lagi mencintainya seperti dulu. Nihil, aku tidak mendapat jawabannya, Mutia terlalu sempurna untuk aku campakkan.Namun, siapa yang tahu, nyatanya aku lebih mencintai Maura gadis yang beberapa bulan terakhir ini sedang dekat denganku. Aku tidak butuh alasan untuk mencampakan Mutia."Mas, ini sudah tiga hari. Sesuai janjiku aku akan memberikan jawabannya malam ini," ucapnya tenang sambil menyesap teh miliknya.Kenapa Mutia bisa setenang itu, justru saat inu akulah yang merasa gugup. Jantungku sedikit berdebar, aku takut kecewa dengan pilihan Mutia. Aku pesimis, sepertinya mutia akan lebih memilih berpisah karena dia juga sedang dekat dengan pria lain. Ah, Mutia. Hanya membayangkannya saja aku tidak rela.Aku salah karena telah memberikan pilihan kepada Mutia, harusnya aku tegas, tetap mempertahankannya walaupun aku harus menikahi Maura."Apa kamu yakin, Mutia. Aku rasa tiga hari terlalu singkat. Kamu perlu berpikir lagi sebelum memutuskan, aku memberi perpanjangan waktu. Satu minggu cukup?" Aku mencoba mengulur waktu."Tidak perlu, Mas. Aku sudah mendapatkan jawabannya."'Ah, jangan Mutia. Aku yang belum siap,' batinku. Aku mengusap wajahku kasar."Baiklah, jika kamu sudah yakin dengan pilihanmu. Katakan, apa keputusanmu?" Aku tidak bisa lagi mencegah. Aku pasrah, atas apapun yang menjadi pilihan Mutia.Toh, aku sendiri yang sudah menciptakan keaadan ini. Jadi aku juga harus siap dengan segala resikonya."Aku sudah memutuskan ...."Tiba-tiba dering suara telepon membuyarkan ketegangan yang hadir antara aku dan Mutia. Dia pun belum selesai dengan ucapannya.Dengan cepat aku mengangkatnya, aku harus memanfaatkan kesempatan ini."Aku angkat telpon sebentar, Yudi memanggil." Aku hendak berdiri, tiba-tiba Mutia menarik tanganku."Di sini saja, Mas," pinta Mutia."Apa perlu aku loudspeaker?"Mutia menggeleng, tapi aku memaksa.Akhirnya aku menerima telepon dari Yudi dekat Mutia."Hallo, Yud. Ada apa malam-malam begini telepon?"[Bro, tolongin gue, dong. Motor gue ngadat, nih, malem-malem gini. Mana bengkel udah pada tutup.] Aku melirik pada Mutia.Mutia mengangguk. Yes, akhirnya ada alasan juga untuk menghindari Mutia."Baiklah aku kesana. Kirim alamatnya."Aku mematikan telepon dan mengecek alamat yang dikirim Yudi. Lalu bersiap untuk berangkat."Kamu tidur duluan aja. Takut aku pulangnya malam. Obrolan ini kita lanjut besok."Mutia tidak menjawab, dia hanya tersenyum lembut.Ah, Mutia. Kenapa akhir-akhir ini kamu terlihat berbeda. Biasanya Mutia akan bertingkah menjengkelkan, merengek dengan manja, membuat perutku terasa mual saat melihat tingkahnya.******Di persimpangan, aku melihat keberadaan Yudi dengan motornya yang terparkir di tepi jalan. Aku menghampirinya."Kenapa dengan jaguar milik, Lo. Gak biasanya mogok gini. Bukannya rutin service?" tanyaku heran."Gak tau, nih. Malem-malem gini malah ngambek di tengah jalan. Bikin emosi aja, sorry, ya, Bro. Ganggu Lo malem-malem gini." sahut Yudi sambil menggaruk kepalanya."Santai aja, ngomong-ngomong thanks, ya. Lo udah nyelamatin gue.""Lah, harusnya gue yang bilang terimakasih. Kenapa jadi kebalik gini?" tanyanya terlihat bingung."Lo udah nyelamatin gue malam ini pokoknya.""Gak jelas, Lu. Ya, udah, buruan bantuin step sampe rumah."Aku hanya nyengir saja menanggapi omongan Yudi.Rumah Yudi tidak terlalu jauh dari sini, jalanan juga tidak ramai karena memang sudah cukup malam.Kurang lebih dua puluh menit akhirnya sampai juga."Pegel juga kaki gue, Bro.""Sorry, ya. Nanti minta pijitin aja ama bini, Lo." Yudi nyengir tanpa dosa."Gue langsung balik, ya. Udah malem banget soalnya.""Mampir aja dulu, ngopi-ngopi. Baru juga jam sepuluh lewat." Aku melihat jam di tangan. Benar juga, takutnya Mutia belum tidur jam segini.Akhirnya aku pun mampir dulu, saat melihat jam menunjukan pukul sebelas malam baru lah aku pamit untuk pulang.Aku sampai dirumah hampir setengah dua belas. Sengaja ku matikan mesin motor dari depan gerbang, mendorongnya sampai garasi. Aku takut membangunkan Mutia.Mencoba untuk berjalan mengendap seperti maling, berusaha tidak menimbulkan suara. Bahkan aku membuka kunci dengan sangat pelan. Lalu masuk perlahan.'Sudah gelap, berarti Mutia sudah tidur, aku aman,' batinku. Kemudian melangkah dengan hati-hati bermaksud untuk masuk ke dalam kamar."Mas.""Astaga," ucapku spontan, aku sedikit terlonjak karena kaget. Seperti maling yang tertangkap basah.'Ugh, benar-benar sial,' umpatku dalam hati."Kenapa kaget begitu? Aku bukan hantu. Sini, duduk." Dia menepuk kursi di sebelahnya."Mutia, ini sudah malam. Tidur saja, ya." Aku memelas."Duduk sini, Mas. Sebentar saja." Mendengarnya berkata dengan lembut begitu membuatku seperti terhipnotis. Menuruti keinginannya begitu saja.Dengan berat hati aku duduk disamping Mutia."Mas, aku sudah memutuskan. Jadi tidak bisa di tunda lagi sampai besok.""Baiklah, katakan. Mas akan menerima apapun keputusanmu.""Aku ... akan tetap bertahan, aku siap untuk di madu, tapi aku ingin mengajukan beberapa syarat," ucapnya tenang.Jawaban Mutia benar-benar diluar dugaan, jika aku tau jawabannya bahwa dia akan tetap bertahan, maka aku tidak perlu mengulur waktu dan capek-capek berkorban mendorong motor Yudi yang mogok malam-malam.Refleks aku memeluk Mutia, entah kenapa aku merasa sangat bahagia karena Mutia memilih untuk tetap bertahan di sisiku."Syarat apapun itu, aku pasti akan menyetujuinya." Tanpa berpikir panjang aku mengiyakan permintaan Mutia."Besok, aku akan memberitahumu apa syaratnya. Sekarang kita tidur, ini sudah malam." Mutia berusaha mengurai pelukan, tapi aku semakin mengeratkan. Aku pun semakin tersadar, tubuh ini lebih kurus dari saat terakhir kali aku memeluknya."Aku kehabisan nafas, Mas."Aku melepaskan Mutia perlahan, menatap dalam manik matanya yang hitam.Aku mendekatkan wajahku pada mutia, mengikis jarak antara kita. Menciptakan suasana hangat yang sudah lama tidak aku dapatkan darinya."Mas, stop. Aku ... aku tidak ingin ..." Ucapannya terhenti, Mutia menatapku dengan tatapan yang entahlah. Dia seperti ragu padaku."Aku tidak pernah melakukannya dengan siapa pun termasuk Maura, aku masih tau batasan," ucapku meyakinkan Mutia.Akhirnya, setelah tiga bulan berpuasa malam ini aku dan Mutia kembali memadu kasih.Namun, sepertinya hanya aku yang menikmatinya, tidak dengan Mutia. Dia terlihat lebih sering mendesah karena menahan sakit, bukan menikmati.Ada apa sebenarnya denganmu Mutia.Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun untuk mandi besar sebelum shalat subuh. Seperti biasa, Mutia sudah tidak ada di sampingku. Kini hanya bunyi alarm dari jam kecil yang senantiasa membangunkanku. Aku pikir Mutia akan kembali seperti dulu, membangunkanku dengan segala tingkah anehnya setelah semalam kami mereguk kembali manisnya cinta. Ternyata tidak, dia tetap jadi Mutia yang sekarang. Aku merasa kami hanya hidup serumah tapi tetap dengan urusan masing-masing. Mutia, sepertinya aku rindu kita yang dulu.Setelah mandi dan shalat, aku menyusul Mutia ke dapur. Aku tahu dia pasti berada di sana, kegiatan yang selalu dilakukannya selama menjadi istriku. Pagi-pagi menyiapkan sarapan dan segala kebutuhanku sebelum pergi ke kantor."Wah, sarapannya sudah siap." Aku berjalan mendekati Mutia.Mutia hanya tersenyum tipis, lalu menatapku dari atas hingga bawah."Kenapa liatin aku sampe segitunya?" tanyaku heran."Enggak, kamu udah siap? Padahal ini masih pagi.""Iya, ada yang harus di beresin
POV MutiaHari ini aku ada jadwal cek up, bertemu dengan Dokter Aldian Syahputra pukul sembilan pagi.Kalian jangan salah paham dulu, ternyata Dokter Aldian Syahputra itu adalah sepupu jauhku dari pihak almarhumah ibu yang aku ketahui hanya bernama Aldiansyah. Ternyata aku yang salah informasi.Memang turunannya sudah jauh, dan kami tinggal di kota yang berbeda membuat kami jarang bertemu satu sama lain, terakhir aku bertemu dengannya saat pternikahanku dengan Mas Putra dulu. Aku tidak tau dia berprofesi sebagai seorang dokter, aku juga terkejut saat pertama kali bertemu dengannya di rumah sakit. Dia dipindah tugaskan ke rumah sakit di daerahku sudah hampir enam bulan. Saat ini Aldiansyah adalah dokter yang menanganiku.Ini hari Minggu, hari libur kerja, tapi entah kenapa Dokter Aldian menjadwalkan aku cek up hari ini. Harusnya dia juga libur dan berjalan-jalan bersama keluarga atau pasangan. Aneh bukan? Sebelum pergi aku menyiapkan sarapan untuk Mas Putra, aku melihatnya masih tidur
Aku tidak habis pikir, syarat yang diajukan Mutia ternyata begitu memberatkan aku. Kenapa pula harus pisah rumah, padahal bisa saja mereka hidup satu atap dengan akur. Kemarin saja waktu di Cafetaria mereka baik-baik saja."Aku akan mengajukan banding atas syarat yang diberikan Mutia," gumamku.Pagi-pagi saat Mutia menyiapkan sarapan, aku mendekatinya."Mutia, bisa kita bicara?""Bicara saja, sambil aku menyiapkan makanan, ini sudah siang." Mutia tidak menoleh, tangannya masih sibuk dengan bahan makanan."Soal persyaratan itu." Dengan lemas aku mengatakannya."Kenapa? Bukankah semalam kamu setuju, sudah tanda tangan pula." Mutia menoleh lalu memicingkan matanya."Iya, tapi apa gak bisa kita bertiga hidup serumah saja. Jadi tidak perlu ada syarat yang kedua dan ketiga. Aku yakin, kok. Kalian bisa menjalaninya dengan baik, kamu dan Maura itu sama-sama wanita yang baik kalian berdua adalah wanita yang kusayangi." Aku membujuk."Tidak, keputusanku sudah bulat. Kalau kamu keberatan, aku si
Sesuai janjiku dengan Maura tadi siang saat di kantor, aku mampir dulu ke rumah Maura. Mumpung orang tuanya tidak ada.Sebenarnya kedua orang tua Maura tidak terlalu menyukaiku, entah apa alasannya. Padahal aku ini selain tampan juga sudah mapan secara materi. Tetapi tak masalah, yang penting Maura mencintaiku dan mau menikah denganku. Urusan Ibu dan Bapaknya bisa belakangan."Mas, langsung masuk aja, yuk." Maura menarik tanganku."Sabar, dong, Maura. Pelan-pelan aja, lagian mau kemana, sih, buru-buru banget." Aku tersenyum padanya. Maura sangat antusias dengan kedatanganku ke rumahnya, biasanya hanya di depan gerbang."Di luar panas, Mas. Aku udah kegerahan ini, pengen mandi," jawab Maura. Dia melangkah lebih dulu dan aku mengikutinya dari belakang."Duduk dulu, Mas. Mau dibikinin minum apa?" "Kopi boleh. Biar gak pusing lagi." Tak lama datanglah Maura dengan secangkir kopi di tangannya."Minum dulu, ya, Sayang. Aku mau mandi dulu, nanti habis mandi aku pijitin." Maura mengedipkan
"Mutia, kita bicara sebentar, boleh?" tanyaku pada Mutia yang sedang menggantung pakaian kerjaku, malam-malam begini belum habis juga pekerjaannya. Tentu saja dia tidak pernah lagi mengeluh akan kelelahan yang dialaminya, meskipun setelah seharian penuh dia mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya itu. Dapat kulihat saat ini Mutia begitu menikmati tugasnya sebagai ibu rumah tangga dan melayaniku sepenuh hatinya."Sebentar, ya, Mas. Aku selesaikan ini dulu." Dia menoleh lalu tersenyum.Sekitar sepuluh menit aku menunggu,akhirnya Mutia selesai dengan setumpuk pakaian itu."Mau bicara apa, Mas?" Dia duduk di atas ranjang di sampingku."Mas akan secepatnya melamar Maura. Kamu tidak keberatan bukan?" tanyaku. Aku mengamati setiap ekspresi yang muncul di wajah Mutia.Dia tidak langsung menjawabnya, hanya diam dan membisu, untuk beberapa saat tatapan itu nampak kosong."Ya, tentu saja, bukankah lebih cepat lebih baik, jangan menunda-nunda niat baik. Untuk waktu aku serahkan padam
Saat tiba di rumah Maura, jantungku berdegup kencang. Padahal ini bukan yang pertama kali, tapi tetap saja hal seperti ini membuatku berdebar. Kulihat Mutia yang berdiri tegap di sampingku. Dia benar-benar tegar, ah, Mutiaku, kau memang luar biasa.Keluarga Maura sudah menyambut di depan pintu, terlihat ibu dan ayah dari Maura menyambut kedatangan kami dengan ramah. Sangat berbeda saat dulu aku datang untuk menjemput atau mengantar Maura. Terlihat sekali kalau mereka tidak menyukaiku. Aku sempat bingung dengan keadaan ini, bagaimana bisa keadaan berubah seratus delapan puluh derajat. Bahkan aku berpikir orang tuaku akan menghabisiku saat mereka tahu menantu kesayangannya telah aku campakkan, tapi ternyata tidak. Mereka setuju dengan keinginanku."Selamat datang, mari silakan masuk." Calon ayah mertuaku mempesilakan kami masuk.Kami semua duduk di sofa yang telah disiapkan."Kedatangan kami ke sini, untuk melamar anak Bapak yang bernama Maura untuk anak kami yang bernama Putra, apakah
Waktu begitu cepat berlalu, hari ini adalah hari yang paling aku tunggu-tunggu, menikahi Maura merupakan satu impian yang saat ini sudah terwujud, kini kami sudah sah menjadi sepasang suami istri. Aku dan Maura berdiri di atas pelaminan, anehnya aku merasa kebahagian ini hanya milikku dan Maura saja. Tidak dengan keluarga kami. Ayah dan ibu mertuaku hanya menunjukan wajah datar, tidak seperti orang tua pada umumnya yang merasa terharu dan bangga ketika menikahkan anak gadis mereka. Seharusnya ayah dan ibu ikut berbahagia juga, karena ini adalah momen sakral untuk Maura, putri satu-satunya yang mereka miliki.Lalu saat aku mengalihkan pandangan pada kedua orang tua yang telah membesarkanku itu, semua tetap tak sesuai harapan. Ibu lebih banyak bersedih hari ini, sedangkan bapak hanya mampu menatap tajam ke arahku tanpa adanya garis senyum yang menghiasi bibirnya, beliau terlihat seperti sedang menahan amarah. Aku sungguh tidak mengerti dengan keadaan ini. Aku pikir mereka akan ikut bah
Acara tadi siang sungguh sangat melelahkan, membuat badanku terasa remuk. Termasuk hatiku yang tak karuan saat menyaksikan Mutia pergi bersama Aldiansyah. Mutia tidak pernah menatapku setajam itu, tatapannya selalu lembut, teduh dan menyejukan. Mutia juga tidak pernah berbicara sekeras itu padaku, bahkan saat aku mengatakan bahwa aku tak lagi mencintainya, dia tidak marah padaku, karena aku yakin Mutia sangat mencintaiku.'Semua gara-gara Aldiansyah si be**ngsek itu.' umpatku dalam hati.Bahkan setelah acara selesai, aku tidak lagi melihat Mutia di rumah Maura. Aku harus menemuinya dulu, jangan sampai mutia tergoda dan jatuh ke dalam pelukan pria modus itu. Aku yakin Aldiansyah bukanlah pria baik-baik. Lagi pula dari mana datangnya laki-laki itu, tiba-tiba saja datang di kehidupan Mutia.Maura masih di kamar mandi, aku berniat untuk menemui Mutia terlebih dahulu. Untuk menyelesaikan masalah tadi siang, aku tidak ingin dia salah paham dan membenciku.Baru saja aku melangkah hendak mera