Share

Bab 5

Penulis: Dewi Jingga
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-25 11:46:06

Ini sudah tiga hari sejak peristiwa malam itu. Dan selama tiga hari pula Mutia melayaniku tanpa banyak bicara. Baguslah, aku sudah bosan mendengarkan ocehan-ocehan tidak penting yang keluar dari mulutnya. Saat ini Mutia tidak akan memulai pembicaraan kalau bukan aku yang memulainya lebih dulu.

Suasana rumah jauh lebih tenang dari sebelumnya. Ah, sepertinya bukan tenang, tapi sunyi seperti ada bagian yang hilang. Namun, rasanya tidak terlalu berarti.

Mungkin sebenarnya dia marah padaku, makanya kecerewetan yang telah mendarah daging itu tiba-tiba hilang bak ditelan bumi, tapi biarkan saja. Aku ingin tahu, seberapa lama dia kuat untuk menahan dirinya. Aku yakin itu tidak akan berlangsung lama.

"Mas Putra, boleh temani aku minum teh?" tanyanya saat aku melewati Mutia yang sedang duduk di sofa.

'Tuh, 'kan. Apa aku bilang, dia tidak akan kuat mendiamkanku terlalu lama. Buktinya Mutia duluan yang mengajakku menemaninya,' batinku jumawa.

"Tumben, kemarin-kemarin kamu seperti menghindar dariku." Sengaja aku menyindirnya. Dia tidak menjawab, aku pun berjalan ke arahnya dan duduk di sebelah Mutia.

Lama aku menunggunya untuk berbicara dan aku juga tidak berniat untuk memulainya lebih dulu. Aku pandangi lamat-lamat wajah itu dari samping. Dia tetap Mutia istriku yang begitu cantik luar dan dalam, tidak berkurang apapun selain tubuhnya yang semakin hari semakin kurus. Terkadang aku bertanya pada diri sendiri, apa alasanku tidak lagi mencintainya seperti dulu. Nihil, aku tidak mendapat jawabannya, Mutia terlalu sempurna untuk aku campakkan.

Namun, siapa yang tahu, nyatanya aku lebih mencintai Maura gadis yang beberapa bulan terakhir ini sedang dekat denganku. Aku tidak butuh alasan untuk mencampakan Mutia.

"Mas, ini sudah tiga hari. Sesuai janjiku aku akan memberikan jawabannya malam ini," ucapnya tenang sambil menyesap teh miliknya.

Kenapa Mutia bisa setenang itu, justru saat inu akulah yang merasa gugup. Jantungku sedikit berdebar, aku takut kecewa dengan pilihan Mutia. Aku pesimis, sepertinya mutia akan lebih memilih berpisah karena dia juga sedang dekat dengan pria lain. Ah, Mutia. Hanya membayangkannya saja aku tidak rela.

Aku salah karena telah memberikan pilihan kepada Mutia, harusnya aku tegas, tetap mempertahankannya walaupun aku harus menikahi Maura.

"Apa kamu yakin, Mutia. Aku rasa tiga hari terlalu singkat. Kamu perlu berpikir lagi sebelum memutuskan, aku memberi perpanjangan waktu. Satu minggu cukup?" Aku mencoba mengulur waktu.

"Tidak perlu, Mas. Aku sudah mendapatkan jawabannya."

'Ah, jangan Mutia. Aku yang belum siap,' batinku. Aku mengusap wajahku kasar.

"Baiklah, jika kamu sudah yakin dengan pilihanmu. Katakan, apa keputusanmu?" Aku tidak bisa lagi mencegah. Aku pasrah, atas apapun yang menjadi pilihan Mutia.

Toh, aku sendiri yang sudah menciptakan keaadan ini. Jadi aku juga harus siap dengan segala resikonya.

"Aku sudah memutuskan ...."

Tiba-tiba dering suara telepon membuyarkan ketegangan yang hadir antara aku dan Mutia. Dia pun belum selesai dengan ucapannya.

Dengan cepat aku mengangkatnya, aku harus memanfaatkan kesempatan ini.

"Aku angkat telpon sebentar, Yudi memanggil." Aku hendak berdiri, tiba-tiba Mutia menarik tanganku.

"Di sini saja, Mas," pinta Mutia.

"Apa perlu aku loudspeaker?"

Mutia menggeleng, tapi aku memaksa.

Akhirnya aku menerima telepon dari Yudi dekat Mutia.

"Hallo, Yud. Ada apa malam-malam begini telepon?"

[Bro, tolongin gue, dong. Motor gue ngadat, nih, malem-malem gini. Mana bengkel udah pada tutup.] Aku melirik pada Mutia.

Mutia mengangguk. Yes, akhirnya ada alasan juga untuk menghindari Mutia.

"Baiklah aku kesana. Kirim alamatnya."

Aku mematikan telepon dan mengecek alamat yang dikirim Yudi. Lalu bersiap untuk berangkat.

"Kamu tidur duluan aja. Takut aku pulangnya malam. Obrolan ini kita lanjut besok."

Mutia tidak menjawab, dia hanya tersenyum lembut.

Ah, Mutia. Kenapa akhir-akhir ini kamu terlihat berbeda. Biasanya Mutia akan bertingkah menjengkelkan, merengek dengan manja, membuat perutku terasa mual saat melihat tingkahnya.

******

Di persimpangan, aku melihat keberadaan Yudi dengan motornya yang terparkir di tepi jalan. Aku menghampirinya.

"Kenapa dengan jaguar milik, Lo. Gak biasanya mogok gini. Bukannya rutin service?" tanyaku heran.

"Gak tau, nih. Malem-malem gini malah ngambek di tengah jalan. Bikin emosi aja, sorry, ya, Bro. Ganggu Lo malem-malem gini." sahut Yudi sambil menggaruk kepalanya.

"Santai aja, ngomong-ngomong thanks, ya. Lo udah nyelamatin gue."

"Lah, harusnya gue yang bilang terimakasih. Kenapa jadi kebalik gini?" tanyanya terlihat bingung.

"Lo udah nyelamatin gue malam ini pokoknya."

"Gak jelas, Lu. Ya, udah, buruan bantuin step sampe rumah."

Aku hanya nyengir saja menanggapi omongan Yudi.

Rumah Yudi tidak terlalu jauh dari sini, jalanan juga tidak ramai karena memang sudah cukup malam.

Kurang lebih dua puluh menit akhirnya sampai juga.

"Pegel juga kaki gue, Bro."

"Sorry, ya. Nanti minta pijitin aja ama bini, Lo." Yudi nyengir tanpa dosa.

"Gue langsung balik, ya. Udah malem banget soalnya."

"Mampir aja dulu, ngopi-ngopi. Baru juga jam sepuluh lewat." Aku melihat jam di tangan. Benar juga, takutnya Mutia belum tidur jam segini.

Akhirnya aku pun mampir dulu, saat melihat jam menunjukan pukul sebelas malam baru lah aku pamit untuk pulang.

Aku sampai dirumah hampir setengah dua belas. Sengaja ku matikan mesin motor dari depan gerbang, mendorongnya sampai garasi. Aku takut membangunkan Mutia.

Mencoba untuk berjalan mengendap seperti maling, berusaha tidak menimbulkan suara. Bahkan aku membuka kunci dengan sangat pelan. Lalu masuk perlahan.

'Sudah gelap, berarti Mutia sudah tidur, aku aman,' batinku. Kemudian melangkah dengan hati-hati bermaksud untuk masuk ke dalam kamar.

"Mas."

"Astaga," ucapku spontan, aku sedikit terlonjak karena kaget. Seperti maling yang tertangkap basah.

'Ugh, benar-benar sial,' umpatku dalam hati.

"Kenapa kaget begitu? Aku bukan hantu. Sini, duduk." Dia menepuk kursi di sebelahnya.

"Mutia, ini sudah malam. Tidur saja, ya." Aku memelas.

"Duduk sini, Mas. Sebentar saja." Mendengarnya berkata dengan lembut begitu membuatku seperti terhipnotis. Menuruti keinginannya begitu saja.

Dengan berat hati aku duduk disamping Mutia.

"Mas, aku sudah memutuskan. Jadi tidak bisa di tunda lagi sampai besok."

"Baiklah, katakan. Mas akan menerima apapun keputusanmu."

"Aku ... akan tetap bertahan, aku siap untuk di madu, tapi aku ingin mengajukan beberapa syarat," ucapnya tenang.

Jawaban Mutia benar-benar diluar dugaan, jika aku tau jawabannya bahwa dia akan tetap bertahan, maka aku tidak perlu mengulur waktu dan capek-capek berkorban mendorong motor Yudi yang mogok malam-malam.

Refleks aku memeluk Mutia, entah kenapa aku merasa sangat bahagia karena Mutia memilih untuk tetap bertahan di sisiku.

"Syarat apapun itu, aku pasti akan menyetujuinya." Tanpa berpikir panjang aku mengiyakan permintaan Mutia.

"Besok, aku akan memberitahumu apa syaratnya. Sekarang kita tidur, ini sudah malam." Mutia berusaha mengurai pelukan, tapi aku semakin mengeratkan. Aku pun semakin tersadar, tubuh ini lebih kurus dari saat terakhir kali aku memeluknya.

"Aku kehabisan nafas, Mas."

Aku melepaskan Mutia perlahan, menatap dalam manik matanya yang hitam.

Aku mendekatkan wajahku pada mutia, mengikis jarak antara kita. Menciptakan suasana hangat yang sudah lama tidak aku dapatkan darinya.

"Mas, stop. Aku ... aku tidak ingin ..." Ucapannya terhenti, Mutia menatapku dengan tatapan yang entahlah. Dia seperti ragu padaku.

"Aku tidak pernah melakukannya dengan siapa pun termasuk Maura, aku masih tau batasan," ucapku meyakinkan Mutia.

Akhirnya, setelah tiga bulan berpuasa malam ini aku dan Mutia kembali memadu kasih.

Namun, sepertinya hanya aku yang menikmatinya, tidak dengan Mutia. Dia terlihat lebih sering mendesah karena menahan sakit, bukan menikmati.

Ada apa sebenarnya denganmu Mutia.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
kasihan mutiara
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Miris banget nasib Mutia dikhianati oleh suaminya sekarang sakit parah pula
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • SISA CINTA UNTUK ISTRIKU   Ekstra Part 3

    POV 3 (AUTHOR)Setelah tragedi panas yang terjadi pada malam itu, Putra sibuk mengurus perceraiannya dengan Maura.Siapa sangka seorang Putra yang jumawa dan mengaku bangga karena memiliki dua istri, kini harus menjadi duda dua kali dari dua perempuan yang berbeda, dan hal itu terjadi dalam waktu berdekatan. Apalagi yang bisa dia banggakan sekarang? Istri pertamanya yang memiliki hati seluas samudera serta kebaikan dan ketulusan yang tiada batas, telah di sia-siakannya. Hingga takdir harus membawanya untuk pergi dan tidak akan pernah kembali. Hanya penyeselan lah yang dia dapat.Lalu Maura, wanita cantik yang selalu dia puja akan kemolekan wajah dan tubuhnya, nyatanya tidaklah sebaik yang dia kira, tidaklah setulus sangkaannya. Kisah masa lalunya yang kelam dan belum usai, membuat kehidupan pernikahan mereka berakhir pula dengan perceraian.Setelah semua kehancuran yang terjadi pada kehidupannya, Putra memutuskan untuk kembali tinggal bersama orang tuanya. Rumah yang sempat dia belik

  • SISA CINTA UNTUK ISTRIKU   Ekstra Part 2

    Aku pulang kerumah saat hari sudah hampir larut. Sepertinya Ayah dan Ibu menemani Maura selama aku sibuk dengan urusan Mutia. Tidak mungkin mereka meninggalkan Maura sendiri.Aku hendak membuka pintu, sebelum akhirnya kudengar Ayah berteriak dengan lantangnya."Maura, apa benar yang dikatakan laki-laki itu? Bagaimana mungkin dia mengaku sebagai Ayah dari anak yang jelas-jelas terlahir dari pernikahan kamu dan Putra." Dapat kutangkap kali ini Ayah benar-benar sedang emosi.Bahkan, aku yang baru saja mendengarnya pun ikut merasa panas. Apakah benar anak itu bukan darah dagingku? Hatiku terus bertanya-tanya. Kuurungkan niatku untuk masuk, aku ingin mendengar jawaban pasti dari Maura."Ayah, maafkan aku. Aku juga tidak tahu siapa ayah dari bayiku. Karena ... karena aku ...." Maura tak melanjutkan ucapannya."Karena apa Maura? Apa kau sudah berzina dengan lelaki itu sebelum kamu menikah dengan Putra?" Kini Ibu pun ikut berteriak pada putrinya."Ibu ... maafkan Maura. Maura salah." Kali in

  • SISA CINTA UNTUK ISTRIKU   Ekstra Part 1

    Di sinilah aku berada, duduk termenung di samping gundukan tanah merah yang masih basah. Bunga segar bertaburan di atasnya.Kupeluk nisan yang bertuliskan nama Mutiara. Tak ada lagi air mata yang keluar, namun rasa sakit ini masih saja terbenam dalam hatiku. Ini lebih perih dari saat aku mendengar tiga kali ketukan palu hakim yang secara sah memutus hubunganku dengan Mutiara. Aku telah kehilangan Mutiara untuk selamanya. Yang lebih membuatku terluka, adalah kenangannya yang masih saja membekas dalam ingatan."Putra, ayo kita pulang, Nak." Dapat kurasakan jemari ibu menyentuh lembut bahuku."Tidak, Bu. Biarkan aku di sini, Mutia harus tahu bahwa aku belum benar-benar siap untuk kehilangannya. Masih banyak kesalahan dan dosa yang belum aku tebus pada Mutia." Tanganku tak hentinya mengusap nisan Mutia."Terlambat Putra, ini benar-benar sudah terlambat. Biarkan saja semuanya seperti ini. Ibu yakin, dia telah memaafkanmu. Hatinya yang seluas samudra, tidak akan mampu menyimpan dendam unt

  • SISA CINTA UNTUK ISTRIKU   Bab 39 (END)

    Tanpa berpikir panjang, aku segera pergi dari ruang persalinan Maura. Tak kuhiraukan lagi teriakannya yang memanggil namaku. Karena saat ini, pikiranku hanya tertuju pada Mutia.Semoga Mutia dalam keadaan baik-baik saja.*********Hatiku sedikit lega, karena Maura sudah melahirkan dengan selamat. Beban pikiranku sedikit berkurang. Namun, belum juga sepenuhnya tenang, karena aku belum tahu apa yang terjadi pada Mutia saat ini.Terakhir, saat melihat kondisi Mutia yang memburuk pagi tadi, mau tak mau prasangka buruk menguasai hati dan pikiranku. Aku mengemudi dengan kecepatan sedang, ini sudah hampir sore, jalanan pun lumayan macet.Setelah perjalanan yang cukup panjang, aku akhirnya sampai di Panti Asuhan Pelita Bunda. Baru saja tiba, bahkan aku belum turun dari mobil, jantungku tiba-tiba berpacu dengan cepat. Hatiku benar-benar dipenuhi perasaan takut, takut kehilangan Mutiara sepenuhnya. Takut tak lagi bisa memandang teduh wajahnya yang mampu mengobati rasa rinduku akan hadirnya.Ak

  • SISA CINTA UNTUK ISTRIKU   Bab 38

    "Putra, bagaimana Maura?" Ayah langsung bertanya begitu aku keluar dari ruangan. Ibu pun langsung berdiri dan menatap ke arahku menanti jawaban."Belum, Yah. Masih pembukaan empat. Putra mau memberitahu Ayah dan Ibu dulu, karena tadi belum sempat." ********Aku menghubungi nomor telepon Bapak. Tak berselang lama , panggilan pun terhubung."Assalamu'akaikum, Pak."[Wa'alaikumsalam warohmatulloh.] Terdengar Bapak menjawab salam dengan suara sendu."Pak, maaf Putra baru sempat menghubungi. Sekarang Putra sedang di rumah sakit, Maura mau melahirkan. Baru pembukaan empat, kalau bisa Ibu dan Bapak datang kesini. Putra ingin kalian menyaksikan kelahiran cucu kalian." Dengan sedikit gugup aku menjelaskannya pada Bapak. Selain karena khawatir pada keadaan Maura yang sedang berjuang di ruang persalinan, juga pikiranku melayang pada kondisi Mutia, mantan istriku yang saat ini sedang di bawa ke rumah sakit oleh Aldiansyah. Mungkin saat ini mereka sudah sampai. Sungguh aku ingin tahu bagaimana ke

  • SISA CINTA UNTUK ISTRIKU   Bab 37

    Sudah hampir dua bulan aku terjebak dalam situasi seperti ini. Setiap seminggu sekali aku selalu menyempatkan waktu untuk melihat kondisi Mutia. Walau hanya mampu dari jauh, tapi itu sudah cukup mengobati kerinduanku. Meskipun terkadang aku tidak beruntung karena Mutia sedang tidak berada di luar.Sesekali aku akan membelikan sebuah hadiah kecil untuknya yang biasa aku titip kepada anak panti yang sedang bermain di dekat pagar. Tentu saja Mutia tidak akan tahu bahwa itu dariku.Seperti hari ini, aku datang membawa sebuah coklat untuk Mutia. Aku berharap bisa melihat wajahnya lagi hari ini. Sudah hampir setengah jam, tapi aku belum melihat dimana keberadaan Mutia. Namun, aku melihat beberapa orang anak yang terlihat begitu panik. Tidak lama kemudian terlihat Aldiansyah datang dengan tergesa-gesa memasuki panti, ada beberapa anak yang menangis juga. Entah apa yang sedang terjadi di dalam sana, tapi hal itu membuatku sangat khawatir terhadap kondisi Mutia.Atau jangan-jangan? Mutia? A

  • SISA CINTA UNTUK ISTRIKU   Bab 36

    "Thanks, udah mau datang," ucapku pada Aldiansyah yang saat ini tengah duduk di hadapanku. Kami bertemu di sebuah Cafe dekat rumah sakit tempat Aldiansyah praktek. Menyempatkan untuk bertemu di jam makan siang."Hmm, it's okay. Ada apa?" Tanpa basa basi Aldiansyah langsung bertanya."Emmh, ini ... perihal Mutia.""Aku sudah menduganya. Kenapa? Jangan lagi mengganggunya. Saat ini kehidupannya sudah lebih membaik." Nada bicaranya terkesan ketus. Aku tahu dia tidak menyukaiku, karena aku pun sempat merasakan hal itu pada dirinya. Akan tetapi saat ini, tak ada lagi alasanku membencinya, dia telah berjasa besar dalam kehidupan Mutia, mantan istriku yang posisinya sama sekali belum tergantikan di hatiku."Syukurlah, aku lega mendengarnya. Emmh, sebenarnya aku ingin bertemu Mutia. Bisakah kamu memberi tahu dimana dia berada saat ini. Aku sudah mencoba mencarinya, tapi nihil. Usahaku tidak membuahkan hasil." Aku berharap Aldiansyah mengabulkan keinginanku."Hhhh, untuk apa? Kedatanganmu hanya

  • SISA CINTA UNTUK ISTRIKU   Bab 35

    Rasanya permasalahan dalam hidupku tidak pernah selesai. Belum lama ini perceraianku dengan Mutia yang sangat berpengaruh dengan keadaanku sekarang, Maura yang tidak ingin melakukan pekerjaan apapun termasuk mengurusi semua kebutuhanku. Lalu pagi ini, aku di tegur oleh atasan, SP (Surat Peringatan) satu pun keluar. Pasalnya ini bukan pertama kalinya aku melakukan kesalahan di kantor. Aku memang sering datang terlambat karena bangun kesiangan, penampilanku yang lebih sering terlihat berantakan karena barang-barang keperluan untuk aku bekerja harus kusiapkan sendiri. Belum lagi pekerjaanku yang sering terbengkalai, karena lebih sering melamun memikirkan nasibku setelah perginya Mutia dari kehidupanku.Aku tidak pernah membayang nasib pernikahanku akan menjadi seperti ini. Jujur saja, aku sangat merindukan Mutia. Hingga aku memutuskan untuk mampir sebentar ke rumahnya.Tidak, aku tidak akan benar-benar singgah. Hanya lewat saja, lalu memandangi rumah yang penuh dengan kenangan manis itu

  • SISA CINTA UNTUK ISTRIKU   Bab 34

    POV MAURAAktifitasku setiap pagi, ya hanya duduk-duduk saja. Karena Mas Rakha selalu menyuruh Bi Jumi untuk datang ke rumah kami setiap dua hari sekali untuk beres-beres rumah. Aku sangat enggan melakukan kegiatan itu, karena hanya akan membuat jari dan kuku yang aku rawat jadi rusak. Biarkan saja, toh kalau Mas Putra risih dengan keadaan rumah yang berantakan dia akan mencari pembantu untukku. Dan perkiraanku terbukti benar, Bi Jumi lah yang selalu datang untuk membereskan rumah kami. Apalagi setelah dinyatakan hamil oleh dokter, rasanya aku hanya ingin bermalas-malasan saja. Tidur seharian di rumah tanpa melakukan apapun.Pagi ini setelah Mas Putra berangkat bekerja, seperti biasa aku duduk sambil menonton TV dan makan cemilan. Mas Putra selalu sarapan di kantor. Kalau aku gampang, tinggal pesen makanan delivery saja. Seperti hari ini, sambil menunggu bubur ayam yang sudah aku pesan datang, aku makan cemilan terlebih dahulu.Lalu sesaat kemudian terdengar suara ketukan pintu dari

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status