Share

Bab 6

Author: Dewi Jingga
last update Last Updated: 2023-05-05 15:42:33

Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun untuk mandi besar sebelum shalat subuh. Seperti biasa, Mutia sudah tidak ada di sampingku. Kini hanya bunyi alarm dari jam kecil yang senantiasa membangunkanku. Aku pikir Mutia akan kembali seperti dulu, membangunkanku dengan segala tingkah anehnya setelah semalam kami mereguk kembali manisnya cinta. Ternyata tidak, dia tetap jadi Mutia yang sekarang. Aku merasa kami hanya hidup serumah tapi tetap dengan urusan masing-masing. Mutia, sepertinya aku rindu kita yang dulu.

Setelah mandi dan shalat, aku menyusul Mutia ke dapur. Aku tahu dia pasti berada di sana, kegiatan yang selalu dilakukannya selama menjadi istriku. Pagi-pagi menyiapkan sarapan dan segala kebutuhanku sebelum pergi ke kantor.

"Wah, sarapannya sudah siap." Aku berjalan mendekati Mutia.

Mutia hanya tersenyum tipis, lalu menatapku dari atas hingga bawah.

"Kenapa liatin aku sampe segitunya?" tanyaku heran.

"Enggak, kamu udah siap? Padahal ini masih pagi."

"Iya, ada yang harus di beresin dulu sebelum meeting dengan pimpinan besar perusahaan, gimana penampilanku hari ini menurut kamu?"

"Seperti biasa, kamu terlihat keren dan rapi." Mutia tersenyum tipis.

"Iya, donk, 'kan ini juga berkat kamu yang selalu sigap nyiapin baju kerja buat aku. Tapi beneran seperti biasa? Gak ada yang luar biasa gitu?" tanyaku menggoda.

"Nggak ada, mungkin nanti setelah bersama dengan istri barumu kamu bisa terlihat lebih luar biasa, Mas," ucapnya santai tanpa beban. Apa benar dia telah ikhlas melepaskan aku untuk menikah lagi.

Aku terdiam mendengar penuturan Mutia, tiba-tiba saja moodku menurun. Ada apa sebenarnya dengan diriku. Kemarin-kemarin aku begitu dingin padanya meskipun Mutia selalu berusaha dekat denganku, sampai-sampai aku merasa jenuh dan jengah dengan sikapnya. Aku dengan bangga menyakitinya, tapi saat ini melihat kepedulian Mutia yang tidak lagi sebesar dulu, aku merasa kecewa.

Ponselku berbunyi, menandakan ada chat yang masuk.

[ M❤️ : Mas, jemput aku, ya. Lagi males naik ojol.] Pesan dari Maura.

[Oke, sayang. Tunggu aku tiga puluh menit lagi, aku sarapan dulu.] Aku tersenyum membacanya, lalu dengan cepat membalas.

Kuletakan ponsel di atas meja makan. Mutia melirik ke arah benda pipih itu. Aku tau dia sedang mencurigai sesuatu, tatapannya menyelidik, tapi biarlah. Bukankah dia sudah tau tentang Maura dan sudah mengizinkan aku untuk menikahinya. Jadi untuk apa aku gelisah.

Cepat saja kuhabiskan sarapanku. Lalu dengan terburu-buru pergi untuk menjemput Maura setelah pamit pada Mutia.

Saat tiba di kediaman Maura, terlihat dari jauh dia sudah menunggu di depan gerbang dan melambaikan tangannya dengan senyum merekah. Ah, gadis itu benar-benar, dia mampu menaikan moodku hanya dengan melihat senyumannya.

"Pagi, sayang." Maura masuk kedalam mobil lalu mengecup pipiku sekilas.

"Pagi, udah siap untuk meeting hari ini?" tanyaku dengan senyuman lembut.

"Siap, dong. Mas, gimana Kak Mutia? Ini sudah lebih dari tiga hari, dia udah kasih jawaban, dong."

"Emmh, dia udah kasih jawabannya semalam." Aku mengangguk pelan.

"Terus? Dia gak mau di madu 'kan? Pasti dia memilih mundur 'kan, Mas?" tanyanya antusias.

"Awalnya aku juga berpikir begitu."

"Maksudnya? Yang jelas, dong, Mas. Arrggh." Maura terlihat kesal.

"Mutia bersedia untuk dimadu, dia memilih untuk tetap bertahan. Meskipun dengan beberapa syarat," jawabku akhirnya.

Maura tidak lagi menyahut, aku menoleh padanya sekilas lalu kembali fokus ke jalanan. Dia melipat tangannya di depan dada dengan pipi yang mengembung, bibirnya yang cemberut membuatku semakin gemas saja.

"Kenapa cemberut gitu? Minta di gigit, ya?" Aku mencubit pipinya gemas.

"Aku jadi yang kedua dong?" Maura merengut.

"Bukannya dari awal kamu sudah setuju? Kenapa sekarang tiba-tiba jadi bete?"

"Aku pikir Kak Mutia akan mundur. Tidak banyak wanita yang bersedia dimadu. Ternyata dia tidak termasuk salah satunya."

"Tapi aku puas dengan pilihannya, karena aku juga belum benar-benar siap kehilangan Mutia."

"Maksud kamu apa, sih, Mas, ngomong gitu? Ya, sudah, jangan nikahi aku kalau tidak ingin kehilangannya." Maura kembali merajuk. Ah, aku salah bicara lagi.

"Bukan gitu maksudnya, ya 'kan kalo ada Mutia nanti ada yang nyiapin segala keperluan kita sebelum berangkat kantor. Jadi kamu tidak perlu repot." Aku menjawabnya asal, padahal sebelumnya aku tidak berniat seperti itu. Maafkan aku Mutia.

"Beneran?"

Aku hanya mengangguk, mataku tetap fokus ke depan.

"Mas, syarat yang di ajukan Kak Mutia apa?" Sepertinya Maura sudah tidak marah lagi sekarang.

"Aku belum tahu, dia belum mengatakannya. Tapi aku sudah terlanjur menyetujuinya apapun itu permintaan Mutia."

"Kamu gegabah, Mas. Gimana kalo ternyata itu merugikan kita?"

"Semoga tidak, aku tahu Mutia orangnya seperti apa. Dia wanita baik, tidak akan berani berbuat macam-macam apalagi sama suami sendiri," ucapku percaya diri.

"Kalo Kak Mutia wanita baik, lalu menurutmu aku wanita seperti apa?" tanyanya manja.

"Tentu saja kamu juga wanita terbaik yang sangat aku sayangi." Aku tersenyum manis padanya.

Sebuah senyuman mengembang di bibirnya yang sensual. Andai aku boleh mengecupnya, pasti sudah kulakukan dari kemarin-kemarin, tapi aku bukan laki-laki seperti itu. Aku ingin semuanya terjadi saat Maura sudah benar-benar halal untuk kusentuh.

*******

Hari ini semuanya berjalan dengan lancar, pemimpin besar puas dengan laporan yang aku buat.

Aku menjabat sebagai bendahara utama di sini dan Maura adalah salah satu staffku. Dulu saat pertama aku masuk di perusahaan ini, jabatanku hanya staff biasa. Karena kinerjaku yang semakin lama semakin membaik akhirnya aku naik jabatan. Ini semua tak lepas dari doa Mutia, dia berperan besar dalam kemajuan karirku. Semoga setelah aku menikahi Maura, jabatanku bisa naik lagi. Karena akan ada dua wanita hebat di sampingku yang selalu mendukungku.

Aku pulang dengan hati yang gembira.

"Mutia, Mas pulang." Aku berteriak memanggilnya, tapi tak ada jawaban.

"Mutia."

"Mutia, kamu dimana." Tetap tak ada jawaban. Aku melihatnya ke dapur, dia tidak ada di sana, tapi makanan sudah siap terhidang di meja makan.

Akhirnya aku masuk ke kamar, di dalam kamar mandi kudengar mutia seperti muntah-muntah. Aku buka pintunya.

"Mutia, kamu kenapa? Sakit?"

"Emmh, euh ... sepertinya aku masuk angin, semalam kan kurang tidur." Mutia keluar dari kamar mandi melewatiku. Aku pun mengikutinya.

"Wajah kamu pucat, mau Mas kerokin?"

"Tidak perlu, Mas juga cape abis kerja. Nanti dikasih minyak angin juga sembuh." Tolaknya lembut. Dia berjalan ke arah lemari laci, membuka bagian paling atas. Lalu menyodorkan sebuah kertas yang bertulis tangan di sertai dua buah materai di bawahnya.

"Apa ini?" Aku bertanya karena bingung.

"Itu syarat yang aku ajukan, Mas. Dibaca dulu, kalo udah, langsung tanda tangan." jawabnya pelan sambil mengusap sisa air di bibirnya menggunakan lengan baju.

Aku membacanya dengan seksama, yang pertama dan kedua bisa aku pahami, tapi yang ketiga aku tidak menyangka dia akan berpikir begitu.

"Aku keberatan di poin nomor tiga."

"Sudah tidak bisa di rubah, Mas. Itu syarat yang terbaik untuk kita nantinya. Biar aku baca satu persatu dan akan aku jelaskan maksud dari setiap poinnya," pintanya.

Aku menyerahkan kertas itu pada Mutia.

"Syarat yang pertama, setelah resmi menikah dengan Maura, aku ingin rumah kita di pisah, tinggal sendiri-sendiri, tidak satu atap. Ini untuk menghindari adanya kecemburuan antara aku dan Maura."

"Padahal tadinya aku ingin kita bertiga tinggal bersama, tapi baiklah aku setuju."

"Yang kedua, Mas membagi waktu dengan adil untuk kami berdua. Satu minggu bersamaku dan satu minggu bersam Maura. Dengan aturan, selama berada di rumah Maura, Mas tidak boleh berkunjung ke rumahku apalagi sampai menginap. Kecuali dalam keadaan yang sangat darurat. Begitu pun sebaliknya, alasannya untuk bisa menghargai dan menikmati waktu saat bersamaku atau bersama Maura."

"Ya, aku paham. Setuju."

"Yang ketiga, setelah menikah dengan Maura, aku tidak ingin kamu menyentuhku selama dua bulan. Alasannya ...,"

"Aku tidak setuju apapun alasannya." Cepat kupotong pembicaraan Mutia.

"Mas, dengar dulu." Pinta Mutia

"Tidak."

"Mas." Mutia memelas, aku jadi tidak tega.

"Baiklah, jelaskan alasannya."

"Supaya kamu bisa menikmati kebersamaan dengan Maura, layaknya pengantin baru yang baru saja menikah. Hanya menyentuh istri yang baru di nikahinya. Kalau kamu tidur denganku, pasti tidak terasa nuansa pengantinnya."

"Tapi dua bulan terlalu lama, Mutia." Aku merengek seperti anak kecil.

"Kemarin kamu bisa bertahan sampai tiga bulan, Mas. Itu bukanlah hal yang mustahil, apalagi dengan adanya Maura, dua bulan tidak akan terasa lama." Alasannya masuk akal, tapi aku merasa ada sesuatu dibalik ketiga syarat yang dia ajukan. Sayangnya, aku tidak tahu apa maksudnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SISA CINTA UNTUK ISTRIKU   Ekstra Part 3

    POV 3 (AUTHOR)Setelah tragedi panas yang terjadi pada malam itu, Putra sibuk mengurus perceraiannya dengan Maura.Siapa sangka seorang Putra yang jumawa dan mengaku bangga karena memiliki dua istri, kini harus menjadi duda dua kali dari dua perempuan yang berbeda, dan hal itu terjadi dalam waktu berdekatan. Apalagi yang bisa dia banggakan sekarang? Istri pertamanya yang memiliki hati seluas samudera serta kebaikan dan ketulusan yang tiada batas, telah di sia-siakannya. Hingga takdir harus membawanya untuk pergi dan tidak akan pernah kembali. Hanya penyeselan lah yang dia dapat.Lalu Maura, wanita cantik yang selalu dia puja akan kemolekan wajah dan tubuhnya, nyatanya tidaklah sebaik yang dia kira, tidaklah setulus sangkaannya. Kisah masa lalunya yang kelam dan belum usai, membuat kehidupan pernikahan mereka berakhir pula dengan perceraian.Setelah semua kehancuran yang terjadi pada kehidupannya, Putra memutuskan untuk kembali tinggal bersama orang tuanya. Rumah yang sempat dia belik

  • SISA CINTA UNTUK ISTRIKU   Ekstra Part 2

    Aku pulang kerumah saat hari sudah hampir larut. Sepertinya Ayah dan Ibu menemani Maura selama aku sibuk dengan urusan Mutia. Tidak mungkin mereka meninggalkan Maura sendiri.Aku hendak membuka pintu, sebelum akhirnya kudengar Ayah berteriak dengan lantangnya."Maura, apa benar yang dikatakan laki-laki itu? Bagaimana mungkin dia mengaku sebagai Ayah dari anak yang jelas-jelas terlahir dari pernikahan kamu dan Putra." Dapat kutangkap kali ini Ayah benar-benar sedang emosi.Bahkan, aku yang baru saja mendengarnya pun ikut merasa panas. Apakah benar anak itu bukan darah dagingku? Hatiku terus bertanya-tanya. Kuurungkan niatku untuk masuk, aku ingin mendengar jawaban pasti dari Maura."Ayah, maafkan aku. Aku juga tidak tahu siapa ayah dari bayiku. Karena ... karena aku ...." Maura tak melanjutkan ucapannya."Karena apa Maura? Apa kau sudah berzina dengan lelaki itu sebelum kamu menikah dengan Putra?" Kini Ibu pun ikut berteriak pada putrinya."Ibu ... maafkan Maura. Maura salah." Kali in

  • SISA CINTA UNTUK ISTRIKU   Ekstra Part 1

    Di sinilah aku berada, duduk termenung di samping gundukan tanah merah yang masih basah. Bunga segar bertaburan di atasnya.Kupeluk nisan yang bertuliskan nama Mutiara. Tak ada lagi air mata yang keluar, namun rasa sakit ini masih saja terbenam dalam hatiku. Ini lebih perih dari saat aku mendengar tiga kali ketukan palu hakim yang secara sah memutus hubunganku dengan Mutiara. Aku telah kehilangan Mutiara untuk selamanya. Yang lebih membuatku terluka, adalah kenangannya yang masih saja membekas dalam ingatan."Putra, ayo kita pulang, Nak." Dapat kurasakan jemari ibu menyentuh lembut bahuku."Tidak, Bu. Biarkan aku di sini, Mutia harus tahu bahwa aku belum benar-benar siap untuk kehilangannya. Masih banyak kesalahan dan dosa yang belum aku tebus pada Mutia." Tanganku tak hentinya mengusap nisan Mutia."Terlambat Putra, ini benar-benar sudah terlambat. Biarkan saja semuanya seperti ini. Ibu yakin, dia telah memaafkanmu. Hatinya yang seluas samudra, tidak akan mampu menyimpan dendam unt

  • SISA CINTA UNTUK ISTRIKU   Bab 39 (END)

    Tanpa berpikir panjang, aku segera pergi dari ruang persalinan Maura. Tak kuhiraukan lagi teriakannya yang memanggil namaku. Karena saat ini, pikiranku hanya tertuju pada Mutia.Semoga Mutia dalam keadaan baik-baik saja.*********Hatiku sedikit lega, karena Maura sudah melahirkan dengan selamat. Beban pikiranku sedikit berkurang. Namun, belum juga sepenuhnya tenang, karena aku belum tahu apa yang terjadi pada Mutia saat ini.Terakhir, saat melihat kondisi Mutia yang memburuk pagi tadi, mau tak mau prasangka buruk menguasai hati dan pikiranku. Aku mengemudi dengan kecepatan sedang, ini sudah hampir sore, jalanan pun lumayan macet.Setelah perjalanan yang cukup panjang, aku akhirnya sampai di Panti Asuhan Pelita Bunda. Baru saja tiba, bahkan aku belum turun dari mobil, jantungku tiba-tiba berpacu dengan cepat. Hatiku benar-benar dipenuhi perasaan takut, takut kehilangan Mutiara sepenuhnya. Takut tak lagi bisa memandang teduh wajahnya yang mampu mengobati rasa rinduku akan hadirnya.Ak

  • SISA CINTA UNTUK ISTRIKU   Bab 38

    "Putra, bagaimana Maura?" Ayah langsung bertanya begitu aku keluar dari ruangan. Ibu pun langsung berdiri dan menatap ke arahku menanti jawaban."Belum, Yah. Masih pembukaan empat. Putra mau memberitahu Ayah dan Ibu dulu, karena tadi belum sempat." ********Aku menghubungi nomor telepon Bapak. Tak berselang lama , panggilan pun terhubung."Assalamu'akaikum, Pak."[Wa'alaikumsalam warohmatulloh.] Terdengar Bapak menjawab salam dengan suara sendu."Pak, maaf Putra baru sempat menghubungi. Sekarang Putra sedang di rumah sakit, Maura mau melahirkan. Baru pembukaan empat, kalau bisa Ibu dan Bapak datang kesini. Putra ingin kalian menyaksikan kelahiran cucu kalian." Dengan sedikit gugup aku menjelaskannya pada Bapak. Selain karena khawatir pada keadaan Maura yang sedang berjuang di ruang persalinan, juga pikiranku melayang pada kondisi Mutia, mantan istriku yang saat ini sedang di bawa ke rumah sakit oleh Aldiansyah. Mungkin saat ini mereka sudah sampai. Sungguh aku ingin tahu bagaimana ke

  • SISA CINTA UNTUK ISTRIKU   Bab 37

    Sudah hampir dua bulan aku terjebak dalam situasi seperti ini. Setiap seminggu sekali aku selalu menyempatkan waktu untuk melihat kondisi Mutia. Walau hanya mampu dari jauh, tapi itu sudah cukup mengobati kerinduanku. Meskipun terkadang aku tidak beruntung karena Mutia sedang tidak berada di luar.Sesekali aku akan membelikan sebuah hadiah kecil untuknya yang biasa aku titip kepada anak panti yang sedang bermain di dekat pagar. Tentu saja Mutia tidak akan tahu bahwa itu dariku.Seperti hari ini, aku datang membawa sebuah coklat untuk Mutia. Aku berharap bisa melihat wajahnya lagi hari ini. Sudah hampir setengah jam, tapi aku belum melihat dimana keberadaan Mutia. Namun, aku melihat beberapa orang anak yang terlihat begitu panik. Tidak lama kemudian terlihat Aldiansyah datang dengan tergesa-gesa memasuki panti, ada beberapa anak yang menangis juga. Entah apa yang sedang terjadi di dalam sana, tapi hal itu membuatku sangat khawatir terhadap kondisi Mutia.Atau jangan-jangan? Mutia? A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status