Share

Bab 6

Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun untuk mandi besar sebelum shalat subuh. Seperti biasa, Mutia sudah tidak ada di sampingku. Kini hanya bunyi alarm dari jam kecil yang senantiasa membangunkanku. Aku pikir Mutia akan kembali seperti dulu, membangunkanku dengan segala tingkah anehnya setelah semalam kami mereguk kembali manisnya cinta. Ternyata tidak, dia tetap jadi Mutia yang sekarang. Aku merasa kami hanya hidup serumah tapi tetap dengan urusan masing-masing. Mutia, sepertinya aku rindu kita yang dulu.

Setelah mandi dan shalat, aku menyusul Mutia ke dapur. Aku tahu dia pasti berada di sana, kegiatan yang selalu dilakukannya selama menjadi istriku. Pagi-pagi menyiapkan sarapan dan segala kebutuhanku sebelum pergi ke kantor.

"Wah, sarapannya sudah siap." Aku berjalan mendekati Mutia.

Mutia hanya tersenyum tipis, lalu menatapku dari atas hingga bawah.

"Kenapa liatin aku sampe segitunya?" tanyaku heran.

"Enggak, kamu udah siap? Padahal ini masih pagi."

"Iya, ada yang harus di beresin dulu sebelum meeting dengan pimpinan besar perusahaan, gimana penampilanku hari ini menurut kamu?"

"Seperti biasa, kamu terlihat keren dan rapi." Mutia tersenyum tipis.

"Iya, donk, 'kan ini juga berkat kamu yang selalu sigap nyiapin baju kerja buat aku. Tapi beneran seperti biasa? Gak ada yang luar biasa gitu?" tanyaku menggoda.

"Nggak ada, mungkin nanti setelah bersama dengan istri barumu kamu bisa terlihat lebih luar biasa, Mas," ucapnya santai tanpa beban. Apa benar dia telah ikhlas melepaskan aku untuk menikah lagi.

Aku terdiam mendengar penuturan Mutia, tiba-tiba saja moodku menurun. Ada apa sebenarnya dengan diriku. Kemarin-kemarin aku begitu dingin padanya meskipun Mutia selalu berusaha dekat denganku, sampai-sampai aku merasa jenuh dan jengah dengan sikapnya. Aku dengan bangga menyakitinya, tapi saat ini melihat kepedulian Mutia yang tidak lagi sebesar dulu, aku merasa kecewa.

Ponselku berbunyi, menandakan ada chat yang masuk.

[ M❤️ : Mas, jemput aku, ya. Lagi males naik ojol.] Pesan dari Maura.

[Oke, sayang. Tunggu aku tiga puluh menit lagi, aku sarapan dulu.] Aku tersenyum membacanya, lalu dengan cepat membalas.

Kuletakan ponsel di atas meja makan. Mutia melirik ke arah benda pipih itu. Aku tau dia sedang mencurigai sesuatu, tatapannya menyelidik, tapi biarlah. Bukankah dia sudah tau tentang Maura dan sudah mengizinkan aku untuk menikahinya. Jadi untuk apa aku gelisah.

Cepat saja kuhabiskan sarapanku. Lalu dengan terburu-buru pergi untuk menjemput Maura setelah pamit pada Mutia.

Saat tiba di kediaman Maura, terlihat dari jauh dia sudah menunggu di depan gerbang dan melambaikan tangannya dengan senyum merekah. Ah, gadis itu benar-benar, dia mampu menaikan moodku hanya dengan melihat senyumannya.

"Pagi, sayang." Maura masuk kedalam mobil lalu mengecup pipiku sekilas.

"Pagi, udah siap untuk meeting hari ini?" tanyaku dengan senyuman lembut.

"Siap, dong. Mas, gimana Kak Mutia? Ini sudah lebih dari tiga hari, dia udah kasih jawaban, dong."

"Emmh, dia udah kasih jawabannya semalam." Aku mengangguk pelan.

"Terus? Dia gak mau di madu 'kan? Pasti dia memilih mundur 'kan, Mas?" tanyanya antusias.

"Awalnya aku juga berpikir begitu."

"Maksudnya? Yang jelas, dong, Mas. Arrggh." Maura terlihat kesal.

"Mutia bersedia untuk dimadu, dia memilih untuk tetap bertahan. Meskipun dengan beberapa syarat," jawabku akhirnya.

Maura tidak lagi menyahut, aku menoleh padanya sekilas lalu kembali fokus ke jalanan. Dia melipat tangannya di depan dada dengan pipi yang mengembung, bibirnya yang cemberut membuatku semakin gemas saja.

"Kenapa cemberut gitu? Minta di gigit, ya?" Aku mencubit pipinya gemas.

"Aku jadi yang kedua dong?" Maura merengut.

"Bukannya dari awal kamu sudah setuju? Kenapa sekarang tiba-tiba jadi bete?"

"Aku pikir Kak Mutia akan mundur. Tidak banyak wanita yang bersedia dimadu. Ternyata dia tidak termasuk salah satunya."

"Tapi aku puas dengan pilihannya, karena aku juga belum benar-benar siap kehilangan Mutia."

"Maksud kamu apa, sih, Mas, ngomong gitu? Ya, sudah, jangan nikahi aku kalau tidak ingin kehilangannya." Maura kembali merajuk. Ah, aku salah bicara lagi.

"Bukan gitu maksudnya, ya 'kan kalo ada Mutia nanti ada yang nyiapin segala keperluan kita sebelum berangkat kantor. Jadi kamu tidak perlu repot." Aku menjawabnya asal, padahal sebelumnya aku tidak berniat seperti itu. Maafkan aku Mutia.

"Beneran?"

Aku hanya mengangguk, mataku tetap fokus ke depan.

"Mas, syarat yang di ajukan Kak Mutia apa?" Sepertinya Maura sudah tidak marah lagi sekarang.

"Aku belum tahu, dia belum mengatakannya. Tapi aku sudah terlanjur menyetujuinya apapun itu permintaan Mutia."

"Kamu gegabah, Mas. Gimana kalo ternyata itu merugikan kita?"

"Semoga tidak, aku tahu Mutia orangnya seperti apa. Dia wanita baik, tidak akan berani berbuat macam-macam apalagi sama suami sendiri," ucapku percaya diri.

"Kalo Kak Mutia wanita baik, lalu menurutmu aku wanita seperti apa?" tanyanya manja.

"Tentu saja kamu juga wanita terbaik yang sangat aku sayangi." Aku tersenyum manis padanya.

Sebuah senyuman mengembang di bibirnya yang sensual. Andai aku boleh mengecupnya, pasti sudah kulakukan dari kemarin-kemarin, tapi aku bukan laki-laki seperti itu. Aku ingin semuanya terjadi saat Maura sudah benar-benar halal untuk kusentuh.

*******

Hari ini semuanya berjalan dengan lancar, pemimpin besar puas dengan laporan yang aku buat.

Aku menjabat sebagai bendahara utama di sini dan Maura adalah salah satu staffku. Dulu saat pertama aku masuk di perusahaan ini, jabatanku hanya staff biasa. Karena kinerjaku yang semakin lama semakin membaik akhirnya aku naik jabatan. Ini semua tak lepas dari doa Mutia, dia berperan besar dalam kemajuan karirku. Semoga setelah aku menikahi Maura, jabatanku bisa naik lagi. Karena akan ada dua wanita hebat di sampingku yang selalu mendukungku.

Aku pulang dengan hati yang gembira.

"Mutia, Mas pulang." Aku berteriak memanggilnya, tapi tak ada jawaban.

"Mutia."

"Mutia, kamu dimana." Tetap tak ada jawaban. Aku melihatnya ke dapur, dia tidak ada di sana, tapi makanan sudah siap terhidang di meja makan.

Akhirnya aku masuk ke kamar, di dalam kamar mandi kudengar mutia seperti muntah-muntah. Aku buka pintunya.

"Mutia, kamu kenapa? Sakit?"

"Emmh, euh ... sepertinya aku masuk angin, semalam kan kurang tidur." Mutia keluar dari kamar mandi melewatiku. Aku pun mengikutinya.

"Wajah kamu pucat, mau Mas kerokin?"

"Tidak perlu, Mas juga cape abis kerja. Nanti dikasih minyak angin juga sembuh." Tolaknya lembut. Dia berjalan ke arah lemari laci, membuka bagian paling atas. Lalu menyodorkan sebuah kertas yang bertulis tangan di sertai dua buah materai di bawahnya.

"Apa ini?" Aku bertanya karena bingung.

"Itu syarat yang aku ajukan, Mas. Dibaca dulu, kalo udah, langsung tanda tangan." jawabnya pelan sambil mengusap sisa air di bibirnya menggunakan lengan baju.

Aku membacanya dengan seksama, yang pertama dan kedua bisa aku pahami, tapi yang ketiga aku tidak menyangka dia akan berpikir begitu.

"Aku keberatan di poin nomor tiga."

"Sudah tidak bisa di rubah, Mas. Itu syarat yang terbaik untuk kita nantinya. Biar aku baca satu persatu dan akan aku jelaskan maksud dari setiap poinnya," pintanya.

Aku menyerahkan kertas itu pada Mutia.

"Syarat yang pertama, setelah resmi menikah dengan Maura, aku ingin rumah kita di pisah, tinggal sendiri-sendiri, tidak satu atap. Ini untuk menghindari adanya kecemburuan antara aku dan Maura."

"Padahal tadinya aku ingin kita bertiga tinggal bersama, tapi baiklah aku setuju."

"Yang kedua, Mas membagi waktu dengan adil untuk kami berdua. Satu minggu bersamaku dan satu minggu bersam Maura. Dengan aturan, selama berada di rumah Maura, Mas tidak boleh berkunjung ke rumahku apalagi sampai menginap. Kecuali dalam keadaan yang sangat darurat. Begitu pun sebaliknya, alasannya untuk bisa menghargai dan menikmati waktu saat bersamaku atau bersama Maura."

"Ya, aku paham. Setuju."

"Yang ketiga, setelah menikah dengan Maura, aku tidak ingin kamu menyentuhku selama dua bulan. Alasannya ...,"

"Aku tidak setuju apapun alasannya." Cepat kupotong pembicaraan Mutia.

"Mas, dengar dulu." Pinta Mutia

"Tidak."

"Mas." Mutia memelas, aku jadi tidak tega.

"Baiklah, jelaskan alasannya."

"Supaya kamu bisa menikmati kebersamaan dengan Maura, layaknya pengantin baru yang baru saja menikah. Hanya menyentuh istri yang baru di nikahinya. Kalau kamu tidur denganku, pasti tidak terasa nuansa pengantinnya."

"Tapi dua bulan terlalu lama, Mutia." Aku merengek seperti anak kecil.

"Kemarin kamu bisa bertahan sampai tiga bulan, Mas. Itu bukanlah hal yang mustahil, apalagi dengan adanya Maura, dua bulan tidak akan terasa lama." Alasannya masuk akal, tapi aku merasa ada sesuatu dibalik ketiga syarat yang dia ajukan. Sayangnya, aku tidak tahu apa maksudnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status