POV Mutia
Akhir-akhir ini tubuhku sering merasa lelah, padahal hanya mengerjakan pekerjaan di rumah saja. Aku juga sering merasa nyeri di bagian perut, terasa seperti kram. Kejadian itu terus berulang, hingga puncaknya pada hari Minggu kedua bulan ini, aku benar-benar tidak kuat menahannya lagi.Ini masih pagi, aku mencoba untuk membangunkan Mas Putra yang tertidur lagi setelah shalat subuh, itu memang sudah menjadi kebiasaannya saat libur kerja. Bermaksud untuk memintanya mengantarkan aku ke dokter, tapi nihil, dia tidak bangun.Aku bingung dengan perubahan sikap Mas Putra, dia tidak peduli lagi padaku, sikapnya yang dulu begitu manis kini terasa sangat hambar, tidak ada lagi perhatian-perhatian kecil yang selalu dia berikan padaku.Aku tahu, sebenarnya dia menyadari bahwa beberapa hari terakhir ini aku tidak baik-baik saja. Tapi dia memilih untuk tidak peduli."Mas, apa kamu bisa mengantarku? Tolong aku, kali ini saja." Ucapku sambil menahan sakit."Hmmh, kamu pergi sendiri saja naik ojek online. Aku capek, semalam habis lembur," ucapnya setengah tidak sadar dengan mata yang masih tertutup.Mungkin benar, saat ini tubuhku sedang merasakan sakit, tapi mendengar penolakan dari Mas Putra hati ini merasa jauh lebih sakit.Ketidak peduliannya padaku, menandakan bahwa cintanya tak lagi sebesar dulu. Hati ini terasa ngilu, air mata pun berlomba ingin segera keluar, sekuat tenaga pula aku mencoba untuk menahannya. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi sendiri.Aku sampai di rumah sakit terdekat dalam waktu tiga puluh menit. Aku memilih dokter umum, karena belum tau apa yang sebenarnya terjadi padaku.Dokter yang kuketahui bernama Siska itu mengajukan serangkaian pertanyaan."Bu, sejak kapan ibu merasa sakit pada bagian perut?""Lumayan lama, Dok. Tapi akhir-akhir ini sakitnya menjalar hingga punggung, seringkali pinggul saya terasa ngilu seperti mendapat tekanan yang kuat.""Baiklah, bagaimana dengan pencernaan ibu beberapa hari terakhir ini?""Nafsu makan saya sedikit berkurang, Dok. Mungkin itulah sebabnya saya sering sembelit dan berat badan saya turun perlahan. Sebenarnya saya ini kenapa, Dok?""Saya tidak bisa menyimpulkannya sendiri, semuanya harus melalui serangkaian tes dan harus di tangani oleh ahlinya, untuk memastikan apakah diagnosa saya ini benar atau tidak." Dokter siska menatapku lembut."Ahh, seperti itu. Tapi saya baik-baik saja 'kan, Dok?" tanyaku cemas."Semoga saja, ya, Bu. Karena menurut penuturan yang ibu sebutkan tadi mengarah pada gejala kangker ovarium. Tapi saya tidak bisa langsung mendiagnosa tanpa adanya tes. Saya akan jadwalkan ibu untuk bertemu dengan dr. Aldian Syahputra, Sp.B(K)Onk. Nanti jadwalnya akan saya kirimkan melalui W******p, ya, Bu."Mendengar penjelasan dari Dokter Siska, duniaku terasa runtuh, mengapa hal semenakutkan ini harus terjadi padaku. Apa dosaku Ya Tuhan, hingga kau memberikan cobaan seberat ini. Air mataku luruh begitu saja, jika benar aku mengidap penyakit itu, maka artinya hidupku tidak akan lama lagi."Saya resepkan obat untuk mengurangi rasa sakitnya, ya, Bu. Silakan ibu tebus di apotek." Dokter Siska memberikan secarik kertas yang tidak bisa kubaca tulisannya.Aku keluar dari rumah sakit dengan tubuh yang terasa melayang, aku seperti kehilangan tempat untuk berpijak, semuanya terasa berat.Perubahan sikap Mas Putra saja sudah membuat dadaku sesak, dan ini apa lagi? Mengapa harus aku, Tuhan? Ini terlalu berat. Aku terus bermonolog dalam hati.Aku ingin segera sampai ke rumah untuk memberitahukan semuanya pada Mas Putra. Siapa tahu dengan begini dia akan simpati dan kembali memperhatikanku, berharap sikapnya akan barubah manis seperti dahulu.Namun, apa yang aku dapatkan? Baru saja tangan ini meraih pegangan pintu, terdengar suara tawa Mas Putra dari ruang tamu, aku penasaran, hal apakah yang bisa membuatnya tertawa sebahagia itu. Sekian lama aku tidak melihat wajah ceria suamiku, dan kini tawa itu berderai begitu renyah, terlebih itu bukan denganku.Aku membuka gagang pintu perlahan, berjalan tanpa menimbulkan suara. Mendekat menuju ruangan tempat Mas Putra berada."Entah bagaimana jika tak ada dirimu Maura, terimaksih telah membuat hidupku lebih berwarna." Dengan bangga Mas Putra mengatakannya, tak ada keraguan saat dia mengucapkannya.Sebuah derai tawa kecil kembali terdengar bersahutan, ternyata dia sedang berbicara dengan wanita bernama Maura melalui sambungan telepon.Nyess, ada luka baru yang kembali tergores dalam hatiku, mendapati kenyataan bahwa suamiku memiliki wanita lain. Entah sudah sejauh mana hubungan mereka. Yang pasti hatiku sudah terlanjur terluka.Kusandarkan tubuh pada dinding, berusaha meraih kesadaranku kembali. Kuhapus air mata yang entah sejak kapan membasahi pipi ini.Tidak, aku tidak ingin terlihat lemah di depan Mas Putra, aku harus kuat. Jangan sampai Mas Putra meremehkanku dan menganggap aku lemah. Aku putuskan untuk menelan sendiri pil pahit kehidupan ini.Aku keluar lagi dengan perlahan, lalu masuk kembali dan membuka pintu seolah aku baru saja datang."Mas, sudah bangun? Siapa yang telepon?" tanyaku pura-pura tidak tau. Mas Putra gelagapan dan menutup sambungan teleponnya."Mutia, sejak kapan kamu datang?" Mas Putra malah balik bertanya, dia terlihat gugup."Baru saja, kenapa kaget begitu? Hayoo, siapa yang barusan telepon?" Aku tersenyum jahil berusaha menggodanya."Apaan, sih, kamu. Barusan itu Yudi, dia ngajak aku travelling bareng kalo ada cuti bersama," jawabnya ketus.Sejak kapan Yudi berganti nama jadi Maura, ucapku dalam hati. Baiklah, kau benar-benar berniat mengkhianatiku. Aku tidak akan menyerah, Mas. Akan kurebut kembali hatimu, aku akan berusaha membuatmu kembali mencintaiku. Aku bergumam dalam hati.Sejak saat itu, aku lebih perhatian pada Mas Putra, hal sekecil apapun tak kulewatkan. Aku selalu mengingatkan apapun yang menurutku penting dan akan dibutuhkan Mas Putra suatu saat jika aku sudah tidak lagi bersamanya. Seperti makanan apa saja yang tidak boleh dia konsumsi, karena takut asam lambungnya kumat, tata letak pakaiannya dimana, karena selama ini selalu aku yang menyiapkannya. Aku ingin Mas Putra tidak merasa kesulitan saat aku benar-benar tidak disampingya. Meskipun dia selalu berkata bahwa aku yang sekarang lebih cerewet, tapi semua itu aku lakukan karena aku menyayangimu, Mas.*****Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, tiga bulan sudah semenjak aku dinyatakan mengidap kanker ovarium stadium tiga, dan sampai saat ini suamiku tidak tau. Aku tidak menjalani pengobatan apapun, karena rasanya akan sia-sia saja. Penyakit ini tetap akan berakhir pada kematian. Aku hanya mengonsumsi obat pereda nyeri yang diberikan Dokter Aldiansyah.Lalu pada malam itu, aku memberitahunya kembali hal yang sama. Mengingatkannya agar terbiasa mandiri. Karena aku merasa tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Namun, dia kembali berkata bahwa aku ini cerewet.Aku tidak marah, aku mendekat padanya. Menawarkan diriku untuk disentuhnya, karena sudah tiga bulan ini Mas Putra tidak menyentuhku. Aku tidak tau alasannya, kadang aku berpikir apakah pria bisa bertahan selama itu. Atau justru wanita bernama Maura itulah yang menjadi alasan sebenarnya.Akan tetapi, pada malam saat aku menawarkan diriku, justru hal mengenaskan yang aku dapatkan. Dia berkata sudah tidak lagi mencintaiku. Yang membuatku semakin terpuruk, dia berkata akan menikah lagi, walau tanpa restu dariku.Aku tetap tidak bisa marah pada Mas Putra, aku tahu hal ini akan terjadi. Hanya saja aku belum benar-benar siap. Jiwaku terkoyak, disaat aku mati-matian mempertahankan cintaku, sendirian.Sungguh, aku hanya perlu waktu beberapa hari untuk berpikir. Tiga hari pun kurasa cukup, dan akan segera kuberi tahu jawabannya.Aku yakin, di luaran sana pun banyak wanita kuat dan memilih untuk bertahan di tengah badai yang menerjang kehidupannya, bukan hanya aku seorang.Sudah cukup diriku hancur karena penyakit mengerikan ini, tidak ingin lagi dengan hatiku. Suatu hari aku akan mengikhlaskan Mas Putra, sampai aku tau dia akan baik-baik saja tanpaku. Maka saat itulah aku akan melepaskannya.Sebesar itu rasa sayangku padamu, Mas. Andai kamu menyadarinya.POV 3 (AUTHOR)Setelah tragedi panas yang terjadi pada malam itu, Putra sibuk mengurus perceraiannya dengan Maura.Siapa sangka seorang Putra yang jumawa dan mengaku bangga karena memiliki dua istri, kini harus menjadi duda dua kali dari dua perempuan yang berbeda, dan hal itu terjadi dalam waktu berdekatan. Apalagi yang bisa dia banggakan sekarang? Istri pertamanya yang memiliki hati seluas samudera serta kebaikan dan ketulusan yang tiada batas, telah di sia-siakannya. Hingga takdir harus membawanya untuk pergi dan tidak akan pernah kembali. Hanya penyeselan lah yang dia dapat.Lalu Maura, wanita cantik yang selalu dia puja akan kemolekan wajah dan tubuhnya, nyatanya tidaklah sebaik yang dia kira, tidaklah setulus sangkaannya. Kisah masa lalunya yang kelam dan belum usai, membuat kehidupan pernikahan mereka berakhir pula dengan perceraian.Setelah semua kehancuran yang terjadi pada kehidupannya, Putra memutuskan untuk kembali tinggal bersama orang tuanya. Rumah yang sempat dia belik
Aku pulang kerumah saat hari sudah hampir larut. Sepertinya Ayah dan Ibu menemani Maura selama aku sibuk dengan urusan Mutia. Tidak mungkin mereka meninggalkan Maura sendiri.Aku hendak membuka pintu, sebelum akhirnya kudengar Ayah berteriak dengan lantangnya."Maura, apa benar yang dikatakan laki-laki itu? Bagaimana mungkin dia mengaku sebagai Ayah dari anak yang jelas-jelas terlahir dari pernikahan kamu dan Putra." Dapat kutangkap kali ini Ayah benar-benar sedang emosi.Bahkan, aku yang baru saja mendengarnya pun ikut merasa panas. Apakah benar anak itu bukan darah dagingku? Hatiku terus bertanya-tanya. Kuurungkan niatku untuk masuk, aku ingin mendengar jawaban pasti dari Maura."Ayah, maafkan aku. Aku juga tidak tahu siapa ayah dari bayiku. Karena ... karena aku ...." Maura tak melanjutkan ucapannya."Karena apa Maura? Apa kau sudah berzina dengan lelaki itu sebelum kamu menikah dengan Putra?" Kini Ibu pun ikut berteriak pada putrinya."Ibu ... maafkan Maura. Maura salah." Kali in
Di sinilah aku berada, duduk termenung di samping gundukan tanah merah yang masih basah. Bunga segar bertaburan di atasnya.Kupeluk nisan yang bertuliskan nama Mutiara. Tak ada lagi air mata yang keluar, namun rasa sakit ini masih saja terbenam dalam hatiku. Ini lebih perih dari saat aku mendengar tiga kali ketukan palu hakim yang secara sah memutus hubunganku dengan Mutiara. Aku telah kehilangan Mutiara untuk selamanya. Yang lebih membuatku terluka, adalah kenangannya yang masih saja membekas dalam ingatan."Putra, ayo kita pulang, Nak." Dapat kurasakan jemari ibu menyentuh lembut bahuku."Tidak, Bu. Biarkan aku di sini, Mutia harus tahu bahwa aku belum benar-benar siap untuk kehilangannya. Masih banyak kesalahan dan dosa yang belum aku tebus pada Mutia." Tanganku tak hentinya mengusap nisan Mutia."Terlambat Putra, ini benar-benar sudah terlambat. Biarkan saja semuanya seperti ini. Ibu yakin, dia telah memaafkanmu. Hatinya yang seluas samudra, tidak akan mampu menyimpan dendam unt
Tanpa berpikir panjang, aku segera pergi dari ruang persalinan Maura. Tak kuhiraukan lagi teriakannya yang memanggil namaku. Karena saat ini, pikiranku hanya tertuju pada Mutia.Semoga Mutia dalam keadaan baik-baik saja.*********Hatiku sedikit lega, karena Maura sudah melahirkan dengan selamat. Beban pikiranku sedikit berkurang. Namun, belum juga sepenuhnya tenang, karena aku belum tahu apa yang terjadi pada Mutia saat ini.Terakhir, saat melihat kondisi Mutia yang memburuk pagi tadi, mau tak mau prasangka buruk menguasai hati dan pikiranku. Aku mengemudi dengan kecepatan sedang, ini sudah hampir sore, jalanan pun lumayan macet.Setelah perjalanan yang cukup panjang, aku akhirnya sampai di Panti Asuhan Pelita Bunda. Baru saja tiba, bahkan aku belum turun dari mobil, jantungku tiba-tiba berpacu dengan cepat. Hatiku benar-benar dipenuhi perasaan takut, takut kehilangan Mutiara sepenuhnya. Takut tak lagi bisa memandang teduh wajahnya yang mampu mengobati rasa rinduku akan hadirnya.Ak
"Putra, bagaimana Maura?" Ayah langsung bertanya begitu aku keluar dari ruangan. Ibu pun langsung berdiri dan menatap ke arahku menanti jawaban."Belum, Yah. Masih pembukaan empat. Putra mau memberitahu Ayah dan Ibu dulu, karena tadi belum sempat." ********Aku menghubungi nomor telepon Bapak. Tak berselang lama , panggilan pun terhubung."Assalamu'akaikum, Pak."[Wa'alaikumsalam warohmatulloh.] Terdengar Bapak menjawab salam dengan suara sendu."Pak, maaf Putra baru sempat menghubungi. Sekarang Putra sedang di rumah sakit, Maura mau melahirkan. Baru pembukaan empat, kalau bisa Ibu dan Bapak datang kesini. Putra ingin kalian menyaksikan kelahiran cucu kalian." Dengan sedikit gugup aku menjelaskannya pada Bapak. Selain karena khawatir pada keadaan Maura yang sedang berjuang di ruang persalinan, juga pikiranku melayang pada kondisi Mutia, mantan istriku yang saat ini sedang di bawa ke rumah sakit oleh Aldiansyah. Mungkin saat ini mereka sudah sampai. Sungguh aku ingin tahu bagaimana ke
Sudah hampir dua bulan aku terjebak dalam situasi seperti ini. Setiap seminggu sekali aku selalu menyempatkan waktu untuk melihat kondisi Mutia. Walau hanya mampu dari jauh, tapi itu sudah cukup mengobati kerinduanku. Meskipun terkadang aku tidak beruntung karena Mutia sedang tidak berada di luar.Sesekali aku akan membelikan sebuah hadiah kecil untuknya yang biasa aku titip kepada anak panti yang sedang bermain di dekat pagar. Tentu saja Mutia tidak akan tahu bahwa itu dariku.Seperti hari ini, aku datang membawa sebuah coklat untuk Mutia. Aku berharap bisa melihat wajahnya lagi hari ini. Sudah hampir setengah jam, tapi aku belum melihat dimana keberadaan Mutia. Namun, aku melihat beberapa orang anak yang terlihat begitu panik. Tidak lama kemudian terlihat Aldiansyah datang dengan tergesa-gesa memasuki panti, ada beberapa anak yang menangis juga. Entah apa yang sedang terjadi di dalam sana, tapi hal itu membuatku sangat khawatir terhadap kondisi Mutia.Atau jangan-jangan? Mutia? A