Share

Bab 4

POV Mutia

Akhir-akhir ini tubuhku sering merasa lelah, padahal hanya mengerjakan pekerjaan di rumah saja. Aku juga sering merasa nyeri di bagian perut, terasa seperti kram. Kejadian itu terus berulang, hingga puncaknya pada hari Minggu kedua bulan ini, aku benar-benar tidak kuat menahannya lagi.

Ini masih pagi, aku mencoba untuk membangunkan Mas Putra yang tertidur lagi setelah shalat subuh, itu memang sudah menjadi kebiasaannya saat libur kerja. Bermaksud untuk memintanya mengantarkan aku ke dokter, tapi nihil, dia tidak bangun.

Aku bingung dengan perubahan sikap Mas Putra, dia tidak peduli lagi padaku, sikapnya yang dulu begitu manis kini terasa sangat  hambar, tidak ada lagi perhatian-perhatian kecil yang selalu dia berikan padaku.

Aku tahu, sebenarnya dia menyadari bahwa beberapa hari terakhir ini aku tidak baik-baik saja. Tapi dia memilih untuk tidak peduli.

"Mas, apa kamu bisa mengantarku? Tolong aku, kali ini saja." Ucapku sambil menahan sakit.

"Hmmh, kamu pergi sendiri saja naik ojek online. Aku capek, semalam habis lembur," ucapnya setengah tidak sadar dengan mata yang masih tertutup.

Mungkin benar, saat ini tubuhku sedang merasakan sakit, tapi mendengar penolakan dari Mas Putra hati ini merasa jauh lebih sakit.

Ketidak peduliannya padaku, menandakan bahwa cintanya tak lagi sebesar dulu. Hati ini terasa ngilu, air mata pun berlomba ingin segera keluar, sekuat tenaga pula aku mencoba untuk menahannya. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi sendiri.

Aku sampai di rumah sakit terdekat dalam waktu tiga puluh menit. Aku memilih dokter umum, karena belum tau apa yang sebenarnya terjadi padaku.

Dokter yang kuketahui bernama Siska itu mengajukan serangkaian pertanyaan.

"Bu, sejak kapan ibu merasa sakit pada bagian perut?"

"Lumayan lama, Dok. Tapi akhir-akhir ini sakitnya menjalar hingga punggung, seringkali pinggul saya terasa ngilu seperti mendapat tekanan yang kuat."

"Baiklah, bagaimana dengan pencernaan ibu beberapa hari terakhir ini?"

"Nafsu makan saya sedikit berkurang, Dok. Mungkin itulah sebabnya saya sering sembelit dan berat badan saya turun perlahan. Sebenarnya saya ini kenapa, Dok?"

"Saya tidak bisa menyimpulkannya sendiri, semuanya harus melalui serangkaian tes dan harus di tangani oleh ahlinya, untuk memastikan apakah diagnosa saya ini benar atau tidak." Dokter siska menatapku lembut.

"Ahh, seperti itu. Tapi saya baik-baik saja 'kan, Dok?" tanyaku cemas.

"Semoga saja, ya, Bu. Karena menurut penuturan yang ibu sebutkan tadi mengarah pada gejala kangker ovarium. Tapi saya tidak bisa langsung mendiagnosa tanpa adanya tes. Saya akan jadwalkan ibu untuk bertemu dengan dr. Aldian Syahputra, Sp.B(K)Onk. Nanti jadwalnya akan saya kirimkan melalui W******p, ya, Bu."

Mendengar penjelasan dari Dokter Siska, duniaku terasa runtuh, mengapa hal semenakutkan ini harus terjadi padaku. Apa dosaku Ya Tuhan, hingga kau memberikan cobaan seberat ini. Air mataku luruh begitu saja, jika benar aku mengidap penyakit itu, maka artinya hidupku tidak akan lama lagi.

"Saya resepkan obat untuk mengurangi rasa sakitnya, ya, Bu. Silakan ibu tebus di apotek." Dokter Siska memberikan secarik kertas yang tidak bisa kubaca tulisannya.

Aku keluar dari rumah sakit dengan tubuh yang terasa melayang, aku seperti kehilangan tempat untuk berpijak, semuanya terasa berat.

Perubahan sikap Mas Putra saja sudah membuat dadaku sesak, dan ini apa lagi? Mengapa harus aku, Tuhan? Ini terlalu berat. Aku terus bermonolog dalam hati.

Aku ingin segera sampai ke rumah untuk memberitahukan semuanya pada Mas Putra. Siapa tahu dengan begini dia akan simpati dan kembali memperhatikanku, berharap sikapnya akan barubah manis seperti dahulu.

Namun, apa yang aku dapatkan? Baru saja tangan ini meraih pegangan pintu, terdengar suara tawa Mas Putra dari ruang tamu, aku penasaran, hal apakah yang bisa membuatnya tertawa sebahagia itu. Sekian lama aku tidak melihat wajah ceria suamiku, dan kini tawa itu berderai begitu renyah, terlebih itu bukan denganku.

Aku membuka gagang pintu perlahan, berjalan tanpa menimbulkan suara. Mendekat menuju ruangan tempat Mas Putra berada.

"Entah bagaimana jika tak ada dirimu Maura, terimaksih telah membuat hidupku lebih berwarna." Dengan bangga Mas Putra mengatakannya, tak ada keraguan saat dia mengucapkannya.

Sebuah derai tawa kecil kembali terdengar bersahutan, ternyata dia sedang berbicara dengan wanita bernama Maura melalui sambungan telepon.

Nyess, ada luka baru yang kembali tergores dalam hatiku, mendapati kenyataan bahwa suamiku memiliki wanita lain. Entah sudah sejauh mana hubungan mereka. Yang pasti hatiku sudah terlanjur terluka.

Kusandarkan tubuh pada dinding, berusaha meraih kesadaranku kembali. Kuhapus air mata yang entah sejak kapan membasahi pipi ini.

Tidak, aku tidak ingin terlihat lemah di depan Mas Putra, aku harus kuat. Jangan sampai Mas Putra meremehkanku dan menganggap aku lemah. Aku putuskan untuk menelan sendiri pil pahit kehidupan ini.

Aku keluar lagi dengan perlahan, lalu masuk kembali dan membuka pintu seolah aku baru saja datang.

"Mas, sudah bangun? Siapa yang telepon?" tanyaku pura-pura tidak tau. Mas Putra gelagapan dan menutup sambungan teleponnya.

"Mutia, sejak kapan kamu datang?" Mas Putra malah balik bertanya, dia terlihat gugup.

"Baru saja, kenapa kaget begitu? Hayoo, siapa yang barusan telepon?" Aku tersenyum jahil berusaha menggodanya.

"Apaan, sih, kamu. Barusan itu Yudi, dia ngajak aku travelling bareng kalo ada cuti bersama," jawabnya ketus.

Sejak kapan Yudi berganti nama jadi Maura, ucapku dalam hati. 

Baiklah, kau benar-benar berniat mengkhianatiku. Aku tidak akan menyerah, Mas. Akan kurebut kembali hatimu, aku akan berusaha membuatmu kembali mencintaiku. Aku bergumam dalam hati.

Sejak saat itu, aku lebih perhatian pada Mas Putra, hal sekecil apapun tak kulewatkan. Aku selalu mengingatkan apapun yang menurutku penting dan akan dibutuhkan Mas Putra suatu saat jika aku sudah tidak lagi bersamanya. 

Seperti makanan apa saja yang tidak boleh dia konsumsi, karena takut asam lambungnya kumat, tata letak pakaiannya dimana, karena selama ini selalu aku yang menyiapkannya. Aku ingin Mas Putra tidak merasa kesulitan saat aku benar-benar tidak disampingya. Meskipun dia selalu berkata bahwa aku yang sekarang lebih cerewet, tapi semua itu aku lakukan karena aku menyayangimu, Mas.

*****

Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, tiga bulan sudah semenjak aku dinyatakan mengidap kanker ovarium stadium tiga, dan sampai saat ini suamiku tidak tau. Aku tidak menjalani pengobatan apapun, karena rasanya akan sia-sia saja. Penyakit ini tetap akan berakhir pada kematian. Aku hanya mengonsumsi obat pereda nyeri yang diberikan Dokter Aldiansyah.

Lalu pada malam itu, aku memberitahunya kembali hal yang sama. Mengingatkannya agar terbiasa mandiri. Karena aku merasa tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Namun, dia kembali berkata bahwa aku ini cerewet.

Aku tidak marah, aku mendekat padanya. Menawarkan diriku untuk disentuhnya, karena sudah tiga bulan ini Mas Putra tidak menyentuhku. Aku tidak tau alasannya, kadang aku berpikir apakah pria bisa bertahan selama itu. Atau justru wanita bernama Maura itulah yang menjadi alasan sebenarnya.

Akan tetapi, pada malam saat aku menawarkan diriku, justru hal mengenaskan yang aku dapatkan. Dia berkata sudah tidak lagi mencintaiku. Yang membuatku semakin terpuruk, dia berkata akan menikah lagi, walau tanpa restu dariku.

Aku tetap tidak bisa marah pada Mas Putra, aku tahu hal ini akan terjadi. Hanya saja aku belum benar-benar siap. Jiwaku terkoyak, disaat aku mati-matian mempertahankan cintaku, sendirian.

Sungguh, aku hanya perlu waktu beberapa hari untuk berpikir. Tiga hari pun kurasa cukup, dan akan segera kuberi tahu jawabannya.

Aku yakin, di luaran sana pun banyak wanita kuat dan memilih untuk bertahan di tengah badai yang menerjang kehidupannya, bukan hanya aku seorang.

Sudah cukup diriku hancur karena penyakit mengerikan ini, tidak ingin lagi dengan hatiku. Suatu hari aku akan mengikhlaskan Mas Putra, sampai aku tau dia akan baik-baik saja tanpaku. Maka saat itulah aku akan melepaskannya.

Sebesar itu rasa sayangku padamu, Mas. Andai kamu menyadarinya.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Isabella
mewek gaesss mana tisunya
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Nyesek banget bacanya
goodnovel comment avatar
aluna
aku nangiiisss
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status