"Kamu kenapa sih, mas? Kok, kaya nggak senang gitu tau aku hamil." Wajah ibu memberengut."Bukan begitu, sayang. Tapi, selama ini kan kamu selalu suntik KB. Masa bisa kebobolan, sih?" "Sebenarnya aku sudah lama nggak suntik, mas. Aku mau cepat hamil anak kamu. Biar bisa lepas dari dia," ungkap ibu seraya menunjuk ayah dengan dagunya."Astaga, matilah aku!" seru paman menepuk keningnya. " Kamu kenapa nekat Banget, sih?! Kan aku sudah bilang pake KB dulu kalau belum pisah sama Bang Dayat!" Nada bicara paman terdengar mulai meninggi. Membuat ibu langsung menunduk. "Aa-aku lakuin ini biar cepat lepas dari dia, dan kita bisa hidup berdua seperti impian kita, mas." "Tapi aku nggak tau anak itu murni anakku atau anak bang Dayat!" bentak paman. "Ini murni anak kamu, mas. Aku nggak pernah campur lagi sama dia." Ibu meraih tangan paman, namun segera di tepis dengan kasar oleh sang empunya. "Halah, omong kosong! Dulu sebelum menikah saja kamu mau dijamah sama dia. Apa lagi sekarang? Aku ngga
Sudah dua bulan sejak kepergian ibu, dan paman dari rumah ini. Sikap ayah jadi berubah murung. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di kebun belakang dengan melamun. Ibu, dan paman Tejo pun tak pernah kelihatan lagi. Mereka seolah hilang bak ditelan bumi. Padahal mereka tinggal di desa sebelah. Aku kasihan melihat ayah yang terus-terusan murung. Dirinya seolah-olah kehilangan semangat hidupnya setelah kepergian ibu.Bahkan, dirinya sudah tak pernah lagi berkunjung ke kebun. Entah bagaimana nasib padi, dan sayur-sayuran di sana. Mungkin sudah habis di makan monyet. Begitu besar pengaruh ibu dalam hidup ayah. Dulu, biarpun ibu tak memperlakukannya dengan baik. Ayah selalu semangat, dan tak pernah terlihat murung seperti ini.Ayah, dan ibu pun sudah resmi bercerai secara hukum. Sepertinya ibu, dan paman yang mengurus surat perceraian itu. Sebab, ayah tak pernah terlihat keluar dari rumah ini. "Sandra!" Terdengar suara ayah yang berteriak memanggilku dari kebun belakang. Aku
Sesuai kesepakatan beberapa hari yang lalu. Kini aku, dan ayah sedang dalam perjalanan menuju desa tempat ayah di besarkan dulu. Wajah ayah pun sudah tak terlalu suram. Setelah perbincangan kami sore itu. Keesokan harinya ayah langsung berangkat ke kebun, dan melakukan kegiatan seperti biasanya. "Ayo turun, nak. Kita sudah sampai," ucap ayah seraya mengangkat tas yang berisi pakaian, dan beberapa buah tangan untuk sang bibi. Lalu dia pun bergegas turun dari angkot. Aku pun mengikuti langkahnya dari belakang dengan hati-hati agar kepalaku tak terantuk langit-langit mobil. Setelah turun dari angkot tadi, ayah langsung menyebrang jalan menuju sebuah warung makan. "Rumah nenek dimana, Yah?" tanyaku begitu tiba di dekatnya. Warung itu tampak lengang, hanya ada beberapa orang saja yang sedang menikmati makan siang mereka. "Ada di sebelah sana. Nanti kita kesana jalan kaki saja, ya. Dekat, kok," sahut ayah seraya menunjuk ke arah depan sana. Aku mengangguk, dan ikut duduk di sampingn
POV Tejo. ___"Mas, kamar kamu masih yang waktu itu, kan?" tanya Sari antusias begitu turun dari atas motor. Kami baru saja sampai di rumah peninggalan almarhum ibu. Aku mengangguk mengiyakan, dan lanjut memarkirkan motor disamping rumah agar tak terkena hujan nanti malam. Sekarang memang lagi musim hujan. Tiap malam menjelang subuh pasti hujan akan turun. "Eh! Kamu mau kemana?" Aku sungguh terkejut melihat Sari yang hendak masuk kedalam kamar yang biasa ku tempati. Dengan cepat aku melangkah ke arahnya, dan menepis tangan yang hendak membuka pintu kamar itu sedikit kasar. "Loh, kenapa sih, mas?" Tanyanya dengan wajah heran bercampur kaget. "Kamu mau ngapain masuk kesini? Ini kamar aku. Kamar kamu yang itu." Ku tunjuk sebuah kamar yang terletak di samping ruang tamu. "Maksudnya?" tanyanya lagi. Rupanya dia belum juga mengerti apa yang aku ucapkan barusan."Kamar kamu yang di depan sana. Ini kamar aku. Udah paham?" Aku menjelaskan dengan tegas. Agar dia tak lagi bertanya. "A
POV Tejo.___Sudah dua hari Sari tinggal di rumah ini. Aku menyuruhnya berpura-pura menjadi pembantu jika Gina datang nanti.Walau awalnya dia sempat menolak, dan berteriak-teriak tak mau. Tapi, perlahan dia mulai mau mengerjakan tugas pembantu. Tentunya dengan sebuah ancaman dariku. Dia akan ku usir dari rumah ini jika tak mau menuruti perintahku. "Mas." Dia memanggilku dengan manja saat aku tengah duduk santai sambil menonton tv. Aku menoleh padanya dengan alis yang menukik tajam. "Jangan panggil aku, mas. Biasakan dirimu untuk memanggilku TUAN!" tandasku penuh penekanan.Sudah berulang-ulang ku jelaskan tapi, dirinya seolah batu yang sangat keras. Tak pernah menurut.Aku tak mau Gina tau hubungan kami. Aku malu kalau sampai Gina tau aku berbagi istri dengan abangku sendiri. "Kan si pel4k0r itu nggak ada,"ujarnya dengan nada manja. "Emm, maaf. Maksudku Gina." Dia buru-buru meralat ucapannya saat ku pelototi dengan tajam. Dia mendudukan bobotnya diatas pahaku. Aku membiarka
POV Sari. ___Aku pikir setelah meminta mas Tejo mengurus surat perceraian ku, dan mas Dayat, hubungan kami akan kembali baik.Tapi, semua tak berjalan baik. Setelah selesai mengurus surat perceraian itu, hubungan kami memang sudah cukup dekat, dan aku pun sudah mulai berani lagi bermanja padanya.Namun sayangnya, itu tak bertahan lama karena kedatangan Gina, wanita yang sudah berani merebut mas Tejo dariku. Ingin rasanya aku berteriak di hadapannya mengatakan bahwa akulah istri sah mas Tejo, dan dia hanyalah pel4k0r tak tau diri. Tapi, nyaliku tak sebesar itu. Aku hanya bisa gigit jari melihat kemesraan yang mereka suguhkan setiap hari. Sedangkan aku di perlakukan seperti pembantu di rumah ini. "Loh, mas. Kok, pembantunya masih muda banget," protes Gina saat baru pertama kali melihatku. Dia menatapku dengan pandangan tak sukanya.Aku terkekeh senang dalam hati, melihatnya iri dengan kecantikan ku."Sudahlah, sayang. Dia hanya pembantu disini. Dia nggak bisa saingi kamu," sahut
POV Sari.____Ku dekati mas Tejo yang sedang duduk merenung di sofa ruang tamu setelah mengusir wanita tadi. Dirinya terlihat kacau sekali. Dan ini saatnya aku maju sebagai pahlawan untuknya. "Ini kopinya, mas." Ku letakkan segelas kopi hitam kesukaannya di atas meja, dan perlahan aku duduk di sampingnya. "Sudahlah, mas. Jangan terlalu dipikirkan. Wanita seperti dia nggak pantas mas pikirkan. Buang-buang waktu saja," ucapku seraya memberikan pijatan lembut di tangannya. "Kenapa dia bisa berkhianat? Apa kurangnya aku? Aku bahkan memberikan cintaku seutuhnya untuk dia. Tapi dia, dia selingkuh." Racau mas Tejo dengan air mata yang menetes. Deg! Ada yang tergores di dalam dada ini saat mendengar mas Tejo berkata dia mencintai Gina.Dia bahkan sampai meneteskan air matanya hanya karena wanita itu. Padahal sudah jelas-jelas wanita itu berkhianat, dan pantas mendapatkan perlakuan seperti tadi.Aku berusaha menguasai hati yang sudah terlanjur sakit, dan terus menenangkan mas Tejo.Dia
POV Sandra.___Sudah tiga hari lamanya kami menginap di rumah nenek Atun.Dan Alhamdulillah, ayah sudah mulai tersenyum kembali. Kegiatan ayah disini sama seperti di rumah. Yaitu, memberi makan ayam, dan kelinci peliharaan nenek.Dan teman-teman ayah sering datang berkunjung kesini. Itu membuat hatiku sedikit tenang. Ya, hanya sedikit. Sebab, sudah 3 hari kami disini. Tapi, tak juga aku menemukan wanita yang dulu ayah tolak demi ibu. Ah, bukan apa-apa. Aku hanya ingin ayah punya teman curhat.Karena sepertinya dengan teman prianya, ayah kurang terbuka. Atau aku cari saja wanita yang masih lajang, atau wanita janda untuk ayah?"Sudah siap, nak? Kalau sudah, kita berangkat sekarang. Takut kesiangan." Suara nenek terdengar dari depan pintu kamar. "Sebentar, nek!" sahutku lantas segera menyisir rambut dengan cepat, dan langsung meraih jaket yang tergantung di balik pintu. "Sudah, nek. Ayo!" ujarku antusias. Jam masih menunjukkan pukul 5 subuh. Tapi aku, dan nenek sudah rapi.Aku