Share

7. Di grebek

"Diarak keliling desa saja, pak RT!"

"Iya, betul itu! Diarak saja!"

"Iya!"

"Iya!"

Terdengar suara riuh dari depan rumah. Aku, dan ayah yang baru sampai di kebun belakang rumah pun saling pandang dengan wajah terkejut.

"Ayo, cepat, nak!" Ayah menarik tanganku, dan melangkah cepat menuju ke halaman depan rumah.

Aku terkejut melihat ibu, dan paman Tejo berada di tengah-tengah kerumunan warga dengan penampilan yang tragis.

Ibu hanya memakai kain jariknya tadi pagi untuk menutupi tubuhnya. Sedangkan paman hanya memakai celana kolor saja.

Sungguh pemandangan yang sangat memalukan.

Rasanya aku ingin pergi dari sini, dan menyangkal bahwa dia bukan ibuku.

"Ada apa ini bapak-bapak, ibu-ibu? Ini istri, dan adik saya—" Ayah seakan tak sanggup berkata-kata lagi saat melihat wajah paman Tejo yang sudah babak-belur.

Kondisi ibu pun sangat miris. Rambut yang berantakan dengan lelehan kuning telur di sekujur tubuhnya membuat tubuhnya menjadi berbau amis.

"Istrimu itu sudah selingkuh sama adikmu sendiri. Dasar jal*ng!" Ma*i bi Mira geram.

"Sudah ku bilang. Kami nggak selingkuh! Kami pasangan sah! Kenapa kalian main hakim sendiri?" Ibu tiba-tiba bersuara. Membuat para warga yang tadi sempat diam, kini kembali melemparinya dengan telur.

"Nggak usah ngarang! Kalau selingkuh bilang aja selingkuh. Lagian dalam agama pun di larang keras wanita memiliki dua suami," sahut istri pak RT.

"Demi Allah. Kami nggak selingkuh. Sudah, cukup! Ampun!" Ibu berteriak meminta ampun saat para warga kembali menyerangnya, dan paman dengan telur.

Para warga seolah tak ada yang mempercayai ucapan ibu.

Hingga ayah maju, dan menarik mereka keluar dari kerumunan warga.

"Sudah! Cukup, cukup! Istri saya nggak selingkuh. Mereka memang pasangan suami istri yang sah!" Tegas ayah sembari membantu membersihkan tubuh ibu dari cangkang telur.

Sementara aku hanya berdiri mematung dengan pikiran was-was melihat perhatian ayah pada ibu.

Aku takut ayah tak jadi menceraikan ibu, dan kembali hidup dalam neraka dunia.

"Kalau dia, dan Tejo nggak selingkuh. Berarti kamu yang selingkuhannya sari, iya? Dasar perempuan. Apa nggak cukup satu terong, sampai-sampai terong abang iparnya pun di embat," tandas bi Irma seraya menatap ibu dengan pandangan jijik.

"Tolong jaga bicaranya, Bu. Saya juga suami Sari. Nggak ada yang selingkuh disini!" sahut ayah tegas.

Lagi-lagi dia membela ibu.

"Astaghfirullah! Ja-jadi Sari punya dua suami? Du-dua? Nauzubillah," tanya bi Mira dengan menunjukkan kedua jari tangannya.

"Hah?!" Sontak saja ucapan bi Mira membuat para warga yang lain terkejut. Tak percaya dengan fakta yang baru mereka dengar.

"Astaghfirullah. Jadi selama ini kami hidup dengan seorang pendosa?" tanya bi Irma dengan wajah syok. Dia melangkah maju mendekati ibu yang tengah berdiri di tengah-tengah kedua suaminya.

Sungguh pemandangan yang bagus.

"Cih! Kaya kamu yang paling suci aja," sahut ibu dengan sewot.

Dia bahkan dengan percaya dirinya ikut melangkah maju mendekati bi Irma.

Tanpa merasa malu sedikit pun dengan penampilannya yang hanya mengenakan kain jarik.

Kain jarik itu hanya mampu menutupi dada hingga batas paha nya saja.

Tapi, ibu seolah-olah tak mempunyai urat malu.

Dia maju seolah menantang bi Irma. Membuat para warga berbisik mengucap istighfar dengan tubuh yang bergidik geli menatap tingkah laku ibu.

"Saya memang bukan orang yang suci. Tapi, setidaknya saya hanya memiliki satu orang suami. Sesuai perintah agamaku!" Tandas bi Irma membuat wajah ibu merah padam karena terbakar emosi.

"Sudah, cukup!" Pak RT langsung menangkap tangan ibu yang hendak menampar bi Irma.

Dia melepas tangan ibu, dan menatap para warga yang masih setia menunggu adegan seru selanjutnya.

"Saya minta dengan sangat. Tolong semuanya bubar. Saya akan bicarakan ini dengan pihak yang bersangkutan, dan mantan kepala desa kita!" seru pak RT.

"Huuuuu!" Sorak para warga sebelum membubarkan diri dari halaman rumah.

Kini hanya ada ayah, ibu, paman Tejo, aku, dan pak RT saja di halaman rumah.

"Mari masuk kedalam, pak," ucap ayah dengan sopan kepada pak RT.

Sedangkan ibu, dan paman Tejo sudah masuk kedalam rumah terlebih dahulu. Tanpa menghiraukan keadaan sekitar.

"Duluan saja, pak. Saya ingin menghubungi pak Salim selaku kades lama di desa ini. Saya yakin dia pasti tau hal ini. Saya akan mengundangnya kesini juga untuk membicarakan hal ini," sahut pak RT ramah.

Tangannya terlihat merogoh saku celana kainnya, dan mengeluarkan ponsel lalu melangkah menjauh dari tempatku, dan ayah berdiri.

"Maaf atas kejadian tadi, nak. Ayah tau kamu merasa malu, dan juga pasti batin mu terpukul. Tapi, ayah janji. Ini yang terakhir kalinya. Setelah ini ayah akan langsung menceraikan ibumu, seperti janji ayah tadi."

Dengan mata berkaca-kaca ku tatap wajah ayah.

Memang betul ucapannya tadi. Aku malu, mentalku pun rasanya di hantam habis-habisan karena kejadian-kejadian yang mengejutkan.

Tapi, aku tau. Ayah pun sama sepertiku.

Dia pun merasa malu, dan sakit hati atas kejadian tadi.

Namun, di satu sisi aku merasa lega karena ayah tetap bertekad untuk menceraikan ibu.

"Kita masuk, ya." Aku, dan ayah melangkah bersama memasuki rumah.

Di ruang tamu sudah ada ibu, dan paman Tejo yang tengah duduk bermesraan kembali.

Mereka seakan lupa dengan kejadian memalukan yang baru saja terjadi.

Paman duduk dengan pongahnya seraya meletakkan kedua kakinya di atas meja. Sedangkan ibu duduk bersandar di dada paman.

Paman sudah berganti pakaian. Sedangkan ibu masih tetap dengan kain jarik yang melilit tubuhnya.

"Ganti dulu pakaian mu, dek. Sebentar lagi ada pak Salim, dan pak RT kemari. Nggak baik kamu berpakaian seperti itu," ucap ayah mengingatkan ibu.

Tapi sayang, ibu malah bersikap cuek.

Dia bertingkah seperti tak melihatku, dan ayah di ruangan ini.

"Ganti pakaianmu dulu, sayang. Badanmu bau amis karena telur ayam tadi," ucap paman seraya mengelus rambut ibu.

Namun, respon ibu di luar dugaanku.

"Ihhh. Malas, mas. Capek. Kamu dari semalam hajar aku habis-habisan." Ibu merengek seperti anak kecil yang meminta jajan pada orang tuanya.

Bahkan dia menggerakkan tubuhnya dengan manja.

Dirinya sama sekali tak merasa malu. Sedangkan aku bergidik ngeri melihat tingkah ibu yang seperti anak kecil.

"Kamu mau aku mandiin?" tanya paman menatap ibu.

Terlihat ibu mengangguk manja. Paman pun segera menurunkan kedua kakinya dari tas meja, dan menggandeng tangan ibu menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur.

Mereka sama sekali tak mengindahkan kehadiran kami disini.

Aku, dan ayah bagaikan makhluk yang tak kasat mata.

Kuusap pelan tangan ayah yang mengepal kuat.

Aku tak bagaimana perasaannya sekarang.

Yang aku tau hanyalah hatinya sedang tidak baik-baik saja sekarang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status