"Diarak keliling desa saja, pak RT!"
"Iya, betul itu! Diarak saja!""Iya!""Iya!"Terdengar suara riuh dari depan rumah. Aku, dan ayah yang baru sampai di kebun belakang rumah pun saling pandang dengan wajah terkejut."Ayo, cepat, nak!" Ayah menarik tanganku, dan melangkah cepat menuju ke halaman depan rumah.Aku terkejut melihat ibu, dan paman Tejo berada di tengah-tengah kerumunan warga dengan penampilan yang tragis.Ibu hanya memakai kain jariknya tadi pagi untuk menutupi tubuhnya. Sedangkan paman hanya memakai celana kolor saja.Sungguh pemandangan yang sangat memalukan.Rasanya aku ingin pergi dari sini, dan menyangkal bahwa dia bukan ibuku."Ada apa ini bapak-bapak, ibu-ibu? Ini istri, dan adik saya—" Ayah seakan tak sanggup berkata-kata lagi saat melihat wajah paman Tejo yang sudah babak-belur.Kondisi ibu pun sangat miris. Rambut yang berantakan dengan lelehan kuning telur di sekujur tubuhnya membuat tubuhnya menjadi berbau amis."Istrimu itu sudah selingkuh sama adikmu sendiri. Dasar jal*ng!" Ma*i bi Mira geram."Sudah ku bilang. Kami nggak selingkuh! Kami pasangan sah! Kenapa kalian main hakim sendiri?" Ibu tiba-tiba bersuara. Membuat para warga yang tadi sempat diam, kini kembali melemparinya dengan telur."Nggak usah ngarang! Kalau selingkuh bilang aja selingkuh. Lagian dalam agama pun di larang keras wanita memiliki dua suami," sahut istri pak RT."Demi Allah. Kami nggak selingkuh. Sudah, cukup! Ampun!" Ibu berteriak meminta ampun saat para warga kembali menyerangnya, dan paman dengan telur.Para warga seolah tak ada yang mempercayai ucapan ibu.Hingga ayah maju, dan menarik mereka keluar dari kerumunan warga."Sudah! Cukup, cukup! Istri saya nggak selingkuh. Mereka memang pasangan suami istri yang sah!" Tegas ayah sembari membantu membersihkan tubuh ibu dari cangkang telur.Sementara aku hanya berdiri mematung dengan pikiran was-was melihat perhatian ayah pada ibu.Aku takut ayah tak jadi menceraikan ibu, dan kembali hidup dalam neraka dunia."Kalau dia, dan Tejo nggak selingkuh. Berarti kamu yang selingkuhannya sari, iya? Dasar perempuan. Apa nggak cukup satu terong, sampai-sampai terong abang iparnya pun di embat," tandas bi Irma seraya menatap ibu dengan pandangan jijik."Tolong jaga bicaranya, Bu. Saya juga suami Sari. Nggak ada yang selingkuh disini!" sahut ayah tegas.Lagi-lagi dia membela ibu."Astaghfirullah! Ja-jadi Sari punya dua suami? Du-dua? Nauzubillah," tanya bi Mira dengan menunjukkan kedua jari tangannya."Hah?!" Sontak saja ucapan bi Mira membuat para warga yang lain terkejut. Tak percaya dengan fakta yang baru mereka dengar."Astaghfirullah. Jadi selama ini kami hidup dengan seorang pendosa?" tanya bi Irma dengan wajah syok. Dia melangkah maju mendekati ibu yang tengah berdiri di tengah-tengah kedua suaminya.Sungguh pemandangan yang bagus."Cih! Kaya kamu yang paling suci aja," sahut ibu dengan sewot.Dia bahkan dengan percaya dirinya ikut melangkah maju mendekati bi Irma.Tanpa merasa malu sedikit pun dengan penampilannya yang hanya mengenakan kain jarik.Kain jarik itu hanya mampu menutupi dada hingga batas paha nya saja.Tapi, ibu seolah-olah tak mempunyai urat malu.Dia maju seolah menantang bi Irma. Membuat para warga berbisik mengucap istighfar dengan tubuh yang bergidik geli menatap tingkah laku ibu."Saya memang bukan orang yang suci. Tapi, setidaknya saya hanya memiliki satu orang suami. Sesuai perintah agamaku!" Tandas bi Irma membuat wajah ibu merah padam karena terbakar emosi."Sudah, cukup!" Pak RT langsung menangkap tangan ibu yang hendak menampar bi Irma.Dia melepas tangan ibu, dan menatap para warga yang masih setia menunggu adegan seru selanjutnya."Saya minta dengan sangat. Tolong semuanya bubar. Saya akan bicarakan ini dengan pihak yang bersangkutan, dan mantan kepala desa kita!" seru pak RT."Huuuuu!" Sorak para warga sebelum membubarkan diri dari halaman rumah.Kini hanya ada ayah, ibu, paman Tejo, aku, dan pak RT saja di halaman rumah."Mari masuk kedalam, pak," ucap ayah dengan sopan kepada pak RT.Sedangkan ibu, dan paman Tejo sudah masuk kedalam rumah terlebih dahulu. Tanpa menghiraukan keadaan sekitar."Duluan saja, pak. Saya ingin menghubungi pak Salim selaku kades lama di desa ini. Saya yakin dia pasti tau hal ini. Saya akan mengundangnya kesini juga untuk membicarakan hal ini," sahut pak RT ramah.Tangannya terlihat merogoh saku celana kainnya, dan mengeluarkan ponsel lalu melangkah menjauh dari tempatku, dan ayah berdiri."Maaf atas kejadian tadi, nak. Ayah tau kamu merasa malu, dan juga pasti batin mu terpukul. Tapi, ayah janji. Ini yang terakhir kalinya. Setelah ini ayah akan langsung menceraikan ibumu, seperti janji ayah tadi."Dengan mata berkaca-kaca ku tatap wajah ayah.Memang betul ucapannya tadi. Aku malu, mentalku pun rasanya di hantam habis-habisan karena kejadian-kejadian yang mengejutkan.Tapi, aku tau. Ayah pun sama sepertiku.Dia pun merasa malu, dan sakit hati atas kejadian tadi.Namun, di satu sisi aku merasa lega karena ayah tetap bertekad untuk menceraikan ibu."Kita masuk, ya." Aku, dan ayah melangkah bersama memasuki rumah.Di ruang tamu sudah ada ibu, dan paman Tejo yang tengah duduk bermesraan kembali.Mereka seakan lupa dengan kejadian memalukan yang baru saja terjadi.Paman duduk dengan pongahnya seraya meletakkan kedua kakinya di atas meja. Sedangkan ibu duduk bersandar di dada paman.Paman sudah berganti pakaian. Sedangkan ibu masih tetap dengan kain jarik yang melilit tubuhnya."Ganti dulu pakaian mu, dek. Sebentar lagi ada pak Salim, dan pak RT kemari. Nggak baik kamu berpakaian seperti itu," ucap ayah mengingatkan ibu.Tapi sayang, ibu malah bersikap cuek.Dia bertingkah seperti tak melihatku, dan ayah di ruangan ini."Ganti pakaianmu dulu, sayang. Badanmu bau amis karena telur ayam tadi," ucap paman seraya mengelus rambut ibu.Namun, respon ibu di luar dugaanku."Ihhh. Malas, mas. Capek. Kamu dari semalam hajar aku habis-habisan." Ibu merengek seperti anak kecil yang meminta jajan pada orang tuanya.Bahkan dia menggerakkan tubuhnya dengan manja.Dirinya sama sekali tak merasa malu. Sedangkan aku bergidik ngeri melihat tingkah ibu yang seperti anak kecil."Kamu mau aku mandiin?" tanya paman menatap ibu.Terlihat ibu mengangguk manja. Paman pun segera menurunkan kedua kakinya dari tas meja, dan menggandeng tangan ibu menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur.Mereka sama sekali tak mengindahkan kehadiran kami disini.Aku, dan ayah bagaikan makhluk yang tak kasat mata.Kuusap pelan tangan ayah yang mengepal kuat.Aku tak bagaimana perasaannya sekarang.Yang aku tau hanyalah hatinya sedang tidak baik-baik saja sekarang."Silahkan masuk, pak." Ayah berdiri menyambut mantan kades dengan senyum merekah. Dia mempersilahkan pak Salim, dan pak RT duduk di sofa. Pak Salim, dan ayah saling berjabat tangan. Usia mereka terlihat tak jauh berbeda. Hanya warna kulit ayah terlihat lebih gelap karena sering berjemur di bawah sinar matahari untuk mengurus kebun.Tak lama ibu, dan paman Tejo pun datang dari kamar mandi. Tapi sayang, penampilan ibu yang hanya mengenakan handuk membuat pak Salim, dan pak RT langsung membuang pandangannya. Aku, dan ayah hanya bisa menunduk diam. Karena seperti tadi, ibu sama sekali tak menghiraukan kami."Kamu masuk pake pakaian dulu, ya." Paman mendorong pelan tubuh ibu kearah kamar, dan tanpa menyapa kami. Paman langsung melangkah menuju sofa tunggal yang terletak di dekat tv. Paman terlihat cuek memangku kakinya dengan santai. "Bagaimana kabarnya mas Tejo?" Entah karena merasa tak enak hati. Pak RT pun berinisiatif mengajak paman berbincang."Seperti yang anda lihat," sahutny
"Kamu kenapa sih, mas? Kok, kaya nggak senang gitu tau aku hamil." Wajah ibu memberengut."Bukan begitu, sayang. Tapi, selama ini kan kamu selalu suntik KB. Masa bisa kebobolan, sih?" "Sebenarnya aku sudah lama nggak suntik, mas. Aku mau cepat hamil anak kamu. Biar bisa lepas dari dia," ungkap ibu seraya menunjuk ayah dengan dagunya."Astaga, matilah aku!" seru paman menepuk keningnya. " Kamu kenapa nekat Banget, sih?! Kan aku sudah bilang pake KB dulu kalau belum pisah sama Bang Dayat!" Nada bicara paman terdengar mulai meninggi. Membuat ibu langsung menunduk. "Aa-aku lakuin ini biar cepat lepas dari dia, dan kita bisa hidup berdua seperti impian kita, mas." "Tapi aku nggak tau anak itu murni anakku atau anak bang Dayat!" bentak paman. "Ini murni anak kamu, mas. Aku nggak pernah campur lagi sama dia." Ibu meraih tangan paman, namun segera di tepis dengan kasar oleh sang empunya. "Halah, omong kosong! Dulu sebelum menikah saja kamu mau dijamah sama dia. Apa lagi sekarang? Aku ngga
Sudah dua bulan sejak kepergian ibu, dan paman dari rumah ini. Sikap ayah jadi berubah murung. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di kebun belakang dengan melamun. Ibu, dan paman Tejo pun tak pernah kelihatan lagi. Mereka seolah hilang bak ditelan bumi. Padahal mereka tinggal di desa sebelah. Aku kasihan melihat ayah yang terus-terusan murung. Dirinya seolah-olah kehilangan semangat hidupnya setelah kepergian ibu.Bahkan, dirinya sudah tak pernah lagi berkunjung ke kebun. Entah bagaimana nasib padi, dan sayur-sayuran di sana. Mungkin sudah habis di makan monyet. Begitu besar pengaruh ibu dalam hidup ayah. Dulu, biarpun ibu tak memperlakukannya dengan baik. Ayah selalu semangat, dan tak pernah terlihat murung seperti ini.Ayah, dan ibu pun sudah resmi bercerai secara hukum. Sepertinya ibu, dan paman yang mengurus surat perceraian itu. Sebab, ayah tak pernah terlihat keluar dari rumah ini. "Sandra!" Terdengar suara ayah yang berteriak memanggilku dari kebun belakang. Aku
Sesuai kesepakatan beberapa hari yang lalu. Kini aku, dan ayah sedang dalam perjalanan menuju desa tempat ayah di besarkan dulu. Wajah ayah pun sudah tak terlalu suram. Setelah perbincangan kami sore itu. Keesokan harinya ayah langsung berangkat ke kebun, dan melakukan kegiatan seperti biasanya. "Ayo turun, nak. Kita sudah sampai," ucap ayah seraya mengangkat tas yang berisi pakaian, dan beberapa buah tangan untuk sang bibi. Lalu dia pun bergegas turun dari angkot. Aku pun mengikuti langkahnya dari belakang dengan hati-hati agar kepalaku tak terantuk langit-langit mobil. Setelah turun dari angkot tadi, ayah langsung menyebrang jalan menuju sebuah warung makan. "Rumah nenek dimana, Yah?" tanyaku begitu tiba di dekatnya. Warung itu tampak lengang, hanya ada beberapa orang saja yang sedang menikmati makan siang mereka. "Ada di sebelah sana. Nanti kita kesana jalan kaki saja, ya. Dekat, kok," sahut ayah seraya menunjuk ke arah depan sana. Aku mengangguk, dan ikut duduk di sampingn
POV Tejo. ___"Mas, kamar kamu masih yang waktu itu, kan?" tanya Sari antusias begitu turun dari atas motor. Kami baru saja sampai di rumah peninggalan almarhum ibu. Aku mengangguk mengiyakan, dan lanjut memarkirkan motor disamping rumah agar tak terkena hujan nanti malam. Sekarang memang lagi musim hujan. Tiap malam menjelang subuh pasti hujan akan turun. "Eh! Kamu mau kemana?" Aku sungguh terkejut melihat Sari yang hendak masuk kedalam kamar yang biasa ku tempati. Dengan cepat aku melangkah ke arahnya, dan menepis tangan yang hendak membuka pintu kamar itu sedikit kasar. "Loh, kenapa sih, mas?" Tanyanya dengan wajah heran bercampur kaget. "Kamu mau ngapain masuk kesini? Ini kamar aku. Kamar kamu yang itu." Ku tunjuk sebuah kamar yang terletak di samping ruang tamu. "Maksudnya?" tanyanya lagi. Rupanya dia belum juga mengerti apa yang aku ucapkan barusan."Kamar kamu yang di depan sana. Ini kamar aku. Udah paham?" Aku menjelaskan dengan tegas. Agar dia tak lagi bertanya. "A
POV Tejo.___Sudah dua hari Sari tinggal di rumah ini. Aku menyuruhnya berpura-pura menjadi pembantu jika Gina datang nanti.Walau awalnya dia sempat menolak, dan berteriak-teriak tak mau. Tapi, perlahan dia mulai mau mengerjakan tugas pembantu. Tentunya dengan sebuah ancaman dariku. Dia akan ku usir dari rumah ini jika tak mau menuruti perintahku. "Mas." Dia memanggilku dengan manja saat aku tengah duduk santai sambil menonton tv. Aku menoleh padanya dengan alis yang menukik tajam. "Jangan panggil aku, mas. Biasakan dirimu untuk memanggilku TUAN!" tandasku penuh penekanan.Sudah berulang-ulang ku jelaskan tapi, dirinya seolah batu yang sangat keras. Tak pernah menurut.Aku tak mau Gina tau hubungan kami. Aku malu kalau sampai Gina tau aku berbagi istri dengan abangku sendiri. "Kan si pel4k0r itu nggak ada,"ujarnya dengan nada manja. "Emm, maaf. Maksudku Gina." Dia buru-buru meralat ucapannya saat ku pelototi dengan tajam. Dia mendudukan bobotnya diatas pahaku. Aku membiarka
POV Sari. ___Aku pikir setelah meminta mas Tejo mengurus surat perceraian ku, dan mas Dayat, hubungan kami akan kembali baik.Tapi, semua tak berjalan baik. Setelah selesai mengurus surat perceraian itu, hubungan kami memang sudah cukup dekat, dan aku pun sudah mulai berani lagi bermanja padanya.Namun sayangnya, itu tak bertahan lama karena kedatangan Gina, wanita yang sudah berani merebut mas Tejo dariku. Ingin rasanya aku berteriak di hadapannya mengatakan bahwa akulah istri sah mas Tejo, dan dia hanyalah pel4k0r tak tau diri. Tapi, nyaliku tak sebesar itu. Aku hanya bisa gigit jari melihat kemesraan yang mereka suguhkan setiap hari. Sedangkan aku di perlakukan seperti pembantu di rumah ini. "Loh, mas. Kok, pembantunya masih muda banget," protes Gina saat baru pertama kali melihatku. Dia menatapku dengan pandangan tak sukanya.Aku terkekeh senang dalam hati, melihatnya iri dengan kecantikan ku."Sudahlah, sayang. Dia hanya pembantu disini. Dia nggak bisa saingi kamu," sahut
POV Sari.____Ku dekati mas Tejo yang sedang duduk merenung di sofa ruang tamu setelah mengusir wanita tadi. Dirinya terlihat kacau sekali. Dan ini saatnya aku maju sebagai pahlawan untuknya. "Ini kopinya, mas." Ku letakkan segelas kopi hitam kesukaannya di atas meja, dan perlahan aku duduk di sampingnya. "Sudahlah, mas. Jangan terlalu dipikirkan. Wanita seperti dia nggak pantas mas pikirkan. Buang-buang waktu saja," ucapku seraya memberikan pijatan lembut di tangannya. "Kenapa dia bisa berkhianat? Apa kurangnya aku? Aku bahkan memberikan cintaku seutuhnya untuk dia. Tapi dia, dia selingkuh." Racau mas Tejo dengan air mata yang menetes. Deg! Ada yang tergores di dalam dada ini saat mendengar mas Tejo berkata dia mencintai Gina.Dia bahkan sampai meneteskan air matanya hanya karena wanita itu. Padahal sudah jelas-jelas wanita itu berkhianat, dan pantas mendapatkan perlakuan seperti tadi.Aku berusaha menguasai hati yang sudah terlanjur sakit, dan terus menenangkan mas Tejo.Dia