Share

Bab 2. Kedekatan Ibu, dan paman yang tak lazim.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Aku duduk dengan gelisah di ruang tamu.

Aku ingin segera pergi ke rumah untuk mencari tau apa benar paman akan datang atau tidak malam ini.

Tapi aku tak berani meminta izin pada bibi Wati.

"Sand, ayo makan dulu. Tolong panggilin Wiwin sekalian, ya." Suara bibi terdengar dari arah dapur.

"Iya, Bi," sahutku segera bergegas memanggil Wiwin.

"Win, di panggil bibi, suruh makan." Gadis berjilbab coklat itu mengangkat kepalanya melihatku.

Dia mengangguk lalu merapikan kembali peralatan belajar nya yang berserakan di atas tempat tidur, dan melangkah cepat ke arahku.

"Ayo. Aku udah lapar banget." Dia menarik tanganku agar tak tertinggal di belakang.

"Nanti selesai makan, kalian tolong antar makanan buat paman di pos ronda, ya. Sandra tolong temani Wiwin," pintah bibi seraya menuangkan air minum ke dalam gelas kaca.

"Ya, ibu. Wiwin lagi banyak tugas. Sandra aja yang antar, ya," ucap Wiwin memelas.

Dia melempar tatapannya padaku, seakan meminta persetujuan dariku.

"Biar Sandra aja yang ngantar makanan buat paman."

"Kamu serius? Ini udah malam, loh." Bibi bertanya dengan nada yang kurang yakin.

Aku mengangguk mantap." Nggak papa. Sandra bisa sendiri." Tentu saja aku berani.

Ini adalah kesempatan ku untuk bisa ke rumah setelah mengantar makanan untuk paman.

Kebetulan jalan menuju pos ronda, dan rumahku searah.

Uuhuk, uuhuk, uuhuk!

Aku tersedak akibat makan dengan terburu-buru.

"Kamu kelaparan atau doyan, sih, San? Makannya pelan-pelan. Nih, air," omel Wiwin sambil menyodorkan segelas air yang dia ambil dari sampingnya.

Aku segera meneguk air itu agar menetralkan rasa perih, dan juga sakit di dada akibat tersedak tadi.

Aku kembali makan dengan terburu-buru, karena takut terlambat mengintai rumahku sendiri.

"Sandra sudah selesai makan, Bi. Bekal untuk paman yang itu, ya?" Aku menunjuk kotak makan yang terletak di samping teko air.

Bibi mengangguk, dan menggeser kotak makan itu ke tengah meja makan.

"Kamu hati-hati, ya. Kalau sudah, langsung pulang," ucap bibi.

Aku mengangguk, dan mencium tangan bibi untuk berpamitan.

Namun, sebelum berangkat, aku terlebih dahulu masuk kedalam kamar mengambil jaket.

Karena suhu di desa ini akan sangat dingin pada malam hari.

Aku bisa mati kedinginan kalau tak memakai jaket.

"Sandra berangkat, bi. Assalamualaikum." Dengan tergesa-gesa aku memakai jaket, lalu berjalan keluar tanpa menunggu jawaban salam dari bibi.

"Wa'alaikumussalam. Hati-hati, nak!" Samar-samar terdengar suara bibi membalas salamku.

Aku terus mengayun langkah dengan cepat menuju pos ronda yang tak terlalu jauh dari rumah bibi.

Hanya berjarak kurang lebih 500 meter saja.

Tapi aku tak puas bila hanya berjalan saja. Aku memutuskan untuk berlari agar lebih cepat sampai tujuan.

Kotak makan milik paman, ku genggam dengan erat lalu berlari cepat.

Beruntung lampu jalanan di desa ini sudah aktif. Aku jadi bisa leluasa berlari.

Dalam dada ini sudah menggebu-gebu, ingin segera pergi ke rumah, dan melihat apa yang terjadi di sana.

Selama ini aku terlalu masa bodo jika ibu menyuruhku menginap di rumah bibi Wati.

Tapi untuk kali ini, aku harus mencari tau.

Rasa penasaranku meronta-ronta setelah mendengar obrolan ibu-ibu tadi sore.

Aku semakin cepat berlari saat pos ronda sudah terlihat.

Dari kejauhan tampak paman, dan dua orang teman rondanya tengah asik mengobrol.

Aku berhenti di dekat pos ronda sebentar untuk mengatur nafasku yang memburu karena berlari jauh.

Setelah merasa cukup. Aku melangkah mendekati pos ronda, dan memberikan kotak bekal itu pada paman.

Tanpa berlama-lama aku langsung berpamitan.

Ku abaikan pesan paman yang memintaku untuk langsung pulang kerumahnya.

Ada hal yang lebih penting yang harus aku urus.

Aku pura-pura melangkah ke arah jalan menuju rumah paman, dan saat sampai di tempat yang pencahayaan nya kurang. Aku langsung memutar langkah menuju rumah.

Tentu saja dengan berlari.

___

Dengan nafas yang memburu aku berhenti di belakang pohon mangga di pekarangan rumahku.

Kuedarkan pandangan pada jalan yang sudah sepi.

Disini memang jarang para tetangga bercengkrama di luar rumah bila sudah malam.

Hanya ada satu atau dua orang saja yang berlalu-lalang dengan motornya.

Samar-samar terdengar suara motor dari ujung jalan sana.

Aku bergegas bersembunyi di balik pohon mangga saat suara motor itu semakin mendekat.

Apa itu suara motor paman?

Deg!

Benar saja. Motor itu berbelok masuk ke pekarangan rumah.

Dari pencahayaan lampu teras aku bisa melihat dengan jelas bahwa orang itu ternyata paman.

Ceklek.

Belum habis rasa terkejut ku karena kedatangan paman.

Tiba-tiba pintu depan terbuka, dan ibu terlihat keluar menyambut paman.

' astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah.' aku terus beristighfar demi untuk mengusir pikiran buruk ini.

Obrolan ibu-ibu tadi sore ternyata benar adanya.

Tapi, bisa saja paman hanya datang untuk bertamu.

Namun sayangnya pikiran buruk yang coba ku halau semakin menjadi saat melihat adegan ibu, dan paman selanjutnya.

Setelah memarkirkan motornya di belakang rumah, paman langsung mencium bibir ibu, setelah sebelumnya dia menengok keadaan sekitar. Persis seperti seorang pencuri.

Mata ini menatap tak percaya dengan apa yang sedang terjadi di hadapanku.

Dengan mulut yang menganga, aku melihat ibuku di jamah oleh orang lain selain ayahku.

"Lama banget, sih. Kemana aja?" Ibu bertanya dengan wajah kesal setelah paman melepas ciumannya.

"Ada urusan sebentar tadi. Masuk, yuk. Mas udah nggak tahan."

Ucapan paman sukses membuat ibu tersenyum malu.

Dengan bergandengan tangan mereka berjalan masuk kedalam rumah, dan menutup pintu.

Dibalik pohon mangga ini aku berdiri mematung melihat kelakuan ibu, dan adik iparnya yang tak lazim.

Rasa terkejut, sedih, dan kecewa melebur jadi satu dalam hati.

Membuat air mata ini menetes karenanya.

Bisa-bisanya ibu menjalin hubungan dengan adik dari suaminya sendiri?

Ya, paman Tejo adalah adik bungsu ayah.

Mereka hanya berdua saja. Tidak ada saudara lainnya.

Setahuku, paman belum menikah sampai sekarang.

Dia hidup sendiri di rumah peninggalan almarhum kakek, dan nenek. Yang berada di kampung sebelah.

Dan paman tak pernah datang bertamu kesini bila aku ada di rumah. Kecuali saat lebaran saja.

Itupun hanya sebentar, dan tak ada yang aneh dengan sikap mereka.

Apa ini alasan ayah menyuruh ku menginap di rumah bibi Wati?

Apa ayah sudah tau tentang hubungan ibu, dan paman?

Semoga saja ayah belum tau. Aku tak bisa membayangkan serapuh apa hatinya nanti jika tau kebenarannya.

Aku memutuskan untuk kembali ke rumah bibi. Karena rasa penasaranku sudah terjawab.

Entah langkah apa yang ku ambil nanti. Aku pun bingung.

Saat kaki ini hendak melangkah, tiba-tiba saja ada cahaya senter berasal dari belakang rumah.

Aku bisa mengenali lampu senter itu. Itu senter milik ayah.

Tak lama kemudian ayah muncul dari samping rumah. Dia mematikan senternya, dan melangkah menaiki teras.

Untuk apa ayah kesini?

Ingin rasanya aku berlari, dan membawa ayah pergi dari sini.

Aku takut ayah mengetahui kelakuan istri, dan adiknya.

Tapi itu semua buyar ketika suara aneh terdengar samar dari dalam rumah itu.

Suara yang mirip seperti rintihan.

Ayah terlihat berdiam diri di depan pintu. Bahunya tiba-tiba saja bergetar.

Aku menangis menatap bahu ayah yang semakin kuat bergetar.

Betapa bodohnya aku yang baru mengetahui masalah ini.

Dapat disimpulkan bahwa ayah sudah lama mengetahui semua ini.

Itu sebabnya ayah melarangku tidur di rumah jika ia tak ada.

Tak lama tangan ayah terangkat mengetuk pintu dengan perlahan.

Niatku untuk segera kembali ke rumah bibi terpaksa aku urungkan.

Aku ingin mencari tau lebih banyak lagi rahasia yang mereka simpan.

Tidak akan ada asap jika tak ada api.

Semuanya pasti ada sebabnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status