“Ayolah Zayden, ini baru permulaan!”
Dalam pesta kecil yang diadakan oleh kantor, salah satu pegawai baru menjadi fokus perhatian. “Masa sudah menyerah dalam hitungan gelas? Ayo minum lebih banyak lagi!” “Tidak! Aku sudah terlalu banyak minum.” “Yah, cemen! Baru juga tiga gelas sudah menyerah begitu saja.” Misha Maheswara—atasan team 1 di divisi pemasaran, mendengus mendengar ucapan meremehkan yang ditujukan untuk bawahannya itu. Tangannya terkepal. Namun, ia berusaha untuk tetap diam. Meski ketenangannya sedang terganggu saat ini. Tangan Misha mencengkeram gelas beernya saat melihat Satria—member dari tim 2 — mendorong gelas lain yang terisi penuh ke arah Zayden—member baru tim Misha. Pria itu terus memaksanya, meski tiga gelas beer telah dihabiskan. Satria selalu bersikap keterlaluan pada Zayden. Pria itu tidak pernah membiarkan Zayden tenang meski sehari. Tidak terkecuali hari ini. Hari ini, Misha benar-benar muak melihat Zayden, salah satu tim membernya diperlakukan seperti itu. “Ayo Zay, tambah lagi! Tunjukkan kalau kamu bukan laki-laki cupu!” Kalimat paksaan itu kembali terdengar di telinga Misha. Kali ini bukan dari Satria, melainkan salah satu tim member dari tim Saras yang ia tak ingat siapa namanya. Sepertinya semua orang kompak ikut menyudutkan Zayden setelah Satria yang memulainya. Entah apa yang pernah dilakukan oleh Zayden pada mereka hingga semua orang seakan berlomba-lomba mengerjainya. “Aku benar-benar tidak bisa. Kalian saja yang minum,” tolak Zayden, untuk yang kesekian kalinya. Misha berharap jika Zayden sekali saja bisa bersikap tegas pada mereka agar tidak semena-mena. “Satu gelas lagi! Kali ini benar-benar satu gelas.” Mata Misha menyipit, helaan napasnya berat seiring gerakan tangannya yang mencengkram erat gelas di tangannya. Perlakuan teman satu tim Zayden tidak ada yang benar. Terus memaksa meski Zayden menolak. Sedangkan Zayden sendiri hanya diam tanpa perlawanan. Melihat itu hatinya menjadi bergejolak, antara ingin membantu atau tidak. Ini bukan pertama kalinya Misha melihat Zayden diperlakukan kurang baik. Mungkin melihat Zayden yang tidak pernah membalas dan selalu menuruti permintaan mereka, membuat mereka meremehkan laki-laki itu. Jika dulu dia abai, maka kali ini hatinya berteriak keras. Sebagai atasan Zayden, Misha ingin sekali memukul satu persatu orang-orang itu dan berteriak lantang, bahwa perbuatan mereka lebih mirip seperti pecundang. Perundungan ini sangat mengganggu hatinya dan membangkitkan sisi hatinya yang penuh perhatian. “Nah, gitu dong. Ini baru Zayden yang keren. Bukan si cupu!” Satria menepuk pundak Zayden, puas karena berhasil mengerjainya. “Keren? Bagian mana yang bisa disebut keren. Teman kalian tertekan. Tidakkah kalian kasihan!” gerutu Misha dalam hati. Ia lantas menenggak minumannya dengan kasar hingga habis. “Habiskan! Kata orang tua jaman dulu membuang-buang sesuatu itu mubazir,” imbuh Satria yang kembali memaksa Zayden. Misha kembali minum bersamaan dengan Zayden yang berusaha menghabiskan minumannya. Entah sudah berapa gelas yang ia minum malam ini. Hatinya cukup terganggu oleh sikap Satria kepada Zayden dan ia membutuhkan sesuatu untuk membuat dirinya tetap tenang. “Anak pintar!” puji Satria ketika Zayden menghabiskan minumannya. Satria tersenyum miring. Melihat Zayden yang baik-baik saja dan belum mabuk, ia kembali menuangkan beer ke dalam gelas. Tatapan Zayden yang terlihat datar dan dingin, tapi tidak terima, membuatnya semakin bersemangat untuk mengerjai habis-habisan rekan kerjanya itu. “Satu gelas lagi. Kali ini bersama denganku.” “Lagi, lagi, lagi!” Teriakan dan sorakan dari teman yang lainnya membuat Satria di atas angin. Ia kembali menyodorkan gelas minuman pada Zayden yang terlihat enggan. “Minum!” Misha menggeram kesal. “Sialan! Apa kamu tidak bisa lihat temanmu tidak ingin minum! Satu gelas lagi? Itu hanya trik saja kan! Dasar orang-orang tidak punya hati. Kalian baru akan puas saat melihat Zayden terkapar kan!” gerutu Misha dalam hati. Misha menuangkan kembali minum ke dalam gelasnya lalu meneguknya sekali tandas. Diusapnya kasar sisa-sisa cairan yang membasahi bibirnya. Hatinya terbakar amarah. “Sepertinya kamu minum terlalu banyak. Bagaimana kalau jangan minum lagi? Kita pulang saja, ya. Aku akan mengantarmu.” Joshua— atasan di team 2— yang sejak tadi memperhatikan, mencoba memegang tangan Misha bermaksud untuk menghentikannya, tapi nihil. Joshua hanya bisa menghela napas panjang ketika melihat Misha kembali minum. Entah apa yang mengganggu pikiran wanita cantik itu hingga membuatnya tidak seperti biasanya. Sebelumnya, Misha selalu bisa mengendalikan dirinya terhadap minuman, tahu kapan harus berhenti agar tidak mabuk, namun sepertinya tidak untuk malam ini. Sampai detik ini, tidak ada tanda-tanda Misha ingin berhenti. “Ini yang terakhir.” Misha menoleh saat mendengar Zayden bersuara, nadanya sedikit penuh harap. “Aku akan memikirkannya,” balas Satria dengan seringai di wajahnya. “Itu semua tergantung toleransimu terhadap alkohol. Jika kamu masih kuat, kita akan minum kembali. Malam masih panjang.” Satria ikut menenggak minumannya bersamaan dengan Zayden, sebelum melanjutkan, “Makan-makan tim tidak akan menyenangkan jika kita kembali dalam keadaan sadar. Masih ada ronde ke dua, Zay. Setelah ini kita akan pergi ke karaoke, di sana kita bisa melakukan apa saja. Termasuk memesan wanita. Kamu bisa melakukannya, kan?” Misha marah mendengar jawaban Satria. Lagi-lagi hatinya bergejolak. Ingin membantu tapi takut terlihat berlebihan. “Apa yang dikatakan Satria benar. Kita bisa ke karaoke setelah ini. Tidak akan susah bagimu untuk memikat wanita meski wajahmu—” Saras yang ikut angkat bicara menghentikan ucapannya. Matanya menyipit menilai penampilan Zayden dari atas sampai bawah. “Biasa-biasa saja.” Beberapa orang terkekeh mendengar ucapan merendahkan Saras. “Meski begitu, pakaianmu selalu bagus. Dari desainer brand ternama semua lagi, padahal kamu baru mulai kerja satu bulan. Itupun kamu masih junior.” Saras— atasan di team 3— menyentuh dasi Zayden sambil menggerak-gerakkannya, seolah tengah menilai penampilan Zayden. “Bermodalkan itu semua, wanita yang ada di sana akan menganggapmu orang kaya. Itu cukup untuk menarik perhatian. Tapi tunggu dulu….jangan-jangan kamu simpanan tante-tante, ya?” Gelak tawa kembali menggelegar. Apa yang dikatakan oleh Saras sukses membuat semua tim pemasaran tertawa puas. Namun tidak dengan Zayden. Pria itu hanya diam, wajahnya tetap datar, benar-benar terlihat tak terganggu sama sekali. Byur …. Hanya dalam hitungan detik, baju Saras nampak basah. Dia ternganga, lalu tangannya mengepal diiringi suara teriakan marah. “Arrrgghh, sialan!” ***“Kenapa harus berpapasan lagi,” desah Misha dalam hati saat berdiri berdua bersisian dengan Zayden saat menunggu lift datang. Misha berusaha tetap tenang, dengan wajah dingin seperti biasanya dan tanpa senyuman. Seakan-akan tidak ada Zayden di sana.Kedok yang berusaha dia pertahankan meski hatinya berdebar tidak karuan.“Tenang, Misha. Rileks,” Misha berusaha menyabarkan diri.Tidak ada yang berbicara, hanya ada keheningan dan riuhnya beberapa percakapan dari dalam ruangan yang terdengar sampai lorong sebagai latarnya. Misha juga enggan untuk berbicara duluan.Lift akhirnya tiba, yang terasa begitu lama bagi Misha. Keduanya masuk bersamaan ke dalam lift yang kosong dengan tujuan yang sama yaitu lobbi.Pintu lift tertutup, menampilkan pantulan sosok mereka berdua di sana dengan jelas.“Zayden.”Misha akhirnya buka suara.Zayden meliriknya sekilas sebelum menjawab. “Iya, Bu Misha.”“Senin besok akan ada anak intern di team kita. Kamu yang akan menjadi pengawasnya ya.”Zayden sontak me
Di antara riuhnya obrolan para karyawan di jam makan siang, Misha nampak gelisah. Padahal saat itu dia sedang tidak makan sendirian melainkan bersama beberapa rekan kerja dan Joshua yang duduk di depannya sembari mengoceh panjang lebar entah menceritakan apa.Misha berusaha menikmati makanannya, namun fokusnya berada di tempat lain. Pada pria yang juga sedang menikmati makan siangnya duduk beberapa meja darinya sembari di ganggu oleh rekan kerjanya.“Kamu tahu, Misha. Aku harap kita akan dapat bonus dari proyek…”Misha mengangguk-anggukan kepalanya, seakan merespon ucapan Joshua agar pria itu tidak curiga kalau dia sejak awal mencuri-curi pandang ke arah Zayden. Berusaha dibuat senatural mungkin agar tidak ada yang menyadari kemana perhatiannya berada. Kunyahan demi kunyahan yang ditelannya, tidak begitu terasa oleh Misha. Hatinya merasa tidak tenang. Batinnya kembali bergejolak, seperti malam itu. Saat Zayden diganggu oleh rekan kerjanya yang lain.Namun di sisi lain, Misha masih m
Misha yakin, dia tidak salah dengar. “Zay? Apa kamu baru saja berdecak padaku?”Pria itu nampak bergeming, ekspresinya sedatar biasanya hingga Misha harus menyipitkan mata untuk mencari celah.Zayden menggeleng. “Tidak, Bu. Mungkin Anda salah dengar.”“Benarkah salah dengar?” Batin Misha penuh keraguan. “Sepertinya tidak.”Misha sangat yakin dia mendengar pria itu berdecak tadi. Namun sepertinya, percuma saja jika memaksa pria itu mengakuinya. Zayden pandai mengatur ekspresinya untuk mengelabui orang-orang. Setelah melihat sisi lain Zayden yang liar tadi malam, Misha tidak bisa lagi melihat pria itu seperti biasanya. Tatapan mata Zayden mengisyaratkan jika ada banyak hal yang disembunyikan olehnya. Teringat tentang hal semalam, tanpa sadar Misha merasa malu sendiri dan mengalihkan pandangan dari Zayden yang tengah menatapnya.Misha mencoba untuk mengalihkan pembicaraan mereka kembali ke pekerjaan. “Kalau begitu, tolong kamu lakukan riset untuk mencari beberapa bahan campaign besert
“Zayden, kemarilah!” Misha memanggil Zayden ke mejanya. Ia sedikit meninggikan suara karena posisi duduk Zayden yang terpisah cukup jauh dengannya. Merasa dipanggil, Zayden dengan sigap menghampiri meja Misha. Dia berdiri dengan sopan di samping Misha. Menunggu atasannya memberikan instruksi untuk dikerjakan. Sepertinya Misha sudah tidak terganggu dengan yang mereka lakukan tadi malam. Mungkin baginya, hal itu memang bukan apa-apa.“Ini, kerjakan semuanya dan berikan lagi ke saya setelah selesai sebelum makan siang!” perintahnya.Misha menyodorkan tumpukkan kertas yang harus dikerjakan oleh Zayden. Dari beberapa tumpukkan kertas itu, ada yang sebagian adalah pekerjaannya. “Baik, Bu Misha.”Misha tersenyum puas melihat Zayden yang dengan mudah mengiyakan perintahnya. Memang seperti itulah Zayden—penurut dan tidak bisa membantah.“Apa kamu juga sepenurut ini ketika di atas ranjang,” batin Misha diiringi senyum tipis. Matanya diam-diam menatap tubuh Zayden. Bayangan tubuh seksinya
“Astaga! Apa yang telah aku lakukan?!” Misha memegang kepalanya yang terasa berdenyut. Semalam ia terlalu banyak minum. Saat hendak bangun untuk memulai aktivitasnya, matanya membulat lebar. Zayden— pria culun yang juga bawahannya itu ada di sampingnya dan bertelanjang dada!Misha menjambak rambutnya, frustasi. Tidak seharusnya ia tidur dengan bawahannya. Bahkan jika dia mabuk, seharusnya dia bisa menahan diri.“Tenang Misha, jangan panik!” batin Misha kembali menoleh ke samping, di mana Zayden masih tidur.Misha menggigit bibirnya sambil mencoba berpikir apa yang harus dilakukannya. “Baiklah, kamu bisa mengatakannya pada Zayden untuk melupakan semua ini.” Misha menarik napas panjang, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa semua ini bukanlah apa-apa. Namun, di tengah kepanikannya, Zayden justru bangun. Pria itu menatapnya sambil tersenyum tipis.“Selamat pagi, Bu Misha,” sapa Zayden.Misha berdeham, mencoba menyembunyikan kegusarannya. Matanya menatap gelisah Zayden yang menyandarka
Zayden menghela napas panjang. Ia baru keluar dari kamar mandi setelah tadi Misha mengotori pakaiannya dengan muntahan.“Bisa-bisanya dia tertidur pulas setelah memuntahkan hampir seluruh isi perutnya ke anak buahnya sendiri.”Zayden berdecak kesal, menatap Misha yang masih terlelap di atas kasur motel. Pakaian wanita itu masih bersih, kontras dengan miliknya yang basah dan bau—yang sudah ia buang ke tempat sampah kamar mandi. Sepertinya ia harus menelepon seseorang untuk membawakannya pakaian ganti. Di tubuhnya, hanya ada handuk yang melilit dari pinggang ke bawah. Badannya masih setengah basah. Saat berjalan sambil mengeringkan rambut, ia terkejut karena melihat Misha yang terbangun. Misha duduk di pinggir kasur, setengah limbung karena mabuk. Namun ia belum menyadari keberadaannya. “Syukurlah, ternyata masih mabuk.”Zayden menghela napas lega, ia tak terlalu malu karena sedang setengah telanjang. Ia akhirnya berjalan ke arah nakas di samping tempat tidur, berencana menelepon ses