Di antara riuhnya obrolan para karyawan di jam makan siang, Misha nampak gelisah. Padahal saat itu dia sedang tidak makan sendirian melainkan bersama beberapa rekan kerja dan Joshua yang duduk di depannya sembari mengoceh panjang lebar entah menceritakan apa.
Misha berusaha menikmati makanannya, namun fokusnya berada di tempat lain. Pada pria yang juga sedang menikmati makan siangnya duduk beberapa meja darinya sembari di ganggu oleh rekan kerjanya. “Kamu tahu, Misha. Aku harap kita akan dapat bonus dari proyek…” Misha mengangguk-anggukan kepalanya, seakan merespon ucapan Joshua agar pria itu tidak curiga kalau dia sejak awal mencuri-curi pandang ke arah Zayden. Berusaha dibuat senatural mungkin agar tidak ada yang menyadari kemana perhatiannya berada. Kunyahan demi kunyahan yang ditelannya, tidak begitu terasa oleh Misha. Hatinya merasa tidak tenang. Batinnya kembali bergejolak, seperti malam itu. Saat Zayden diganggu oleh rekan kerjanya yang lain. Namun di sisi lain, Misha masih merasa kesal dengan sikap Zayden yang memintanya untuk melupakan malam panas mereka. Kedua hal yang bertentangan itu membuat Misha penuh kebimbangan. “Bisa-bisanya Zayden memintaku untuk melupakan semuanya? Memangnya dia siapa? Yang seorang atasan itu aku!” Gerutu Misha dalam hati, mengunyah makanannya setengah hati. Padahal makanan hari ini adalah menu favoritnya. Kalau memikirkan tentang hal itu, ingin sekali Misha memaki-maki Zayden. Moodnya jadi berantakan hingga dia tidak fokus bekerja setengah harian ini. Bayangan mereka bercinta tadi malam tidak bisa lepas dari pikirannya. Sementara pria itu, malah sebaliknya bisa menyelesaikan semua pekerjaannya dengan sempurna seakan-akan tidak terganggu sama sekali dengan hubungan intim yang telah mereka lakukan. “Bukankah aku benar, Misha…” ucap Joshua, entah membicarakan apa. “Iya, benar.” Misha mengangguk-angguk, mengiyakan. Padahal dia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan. Misha menatap makanannya sesaat sebelum menegakkan pandangan dan melayangkan tatapannya ke arah lain terpusat pada wajah Zayden. Melihat dengan lekat bagaimana pria itu menelan makanannya hingga jakunnya naik turun berirama. Memindai tubuh tegap berbalut kemeja yang menyembunyikan lekukan otot menonjol yang membuatnya makin terlihat seksi yang tadi malam bisa dia jamah tanpa pelindung apapun. Misha merasakan hawa panas tiba-tiba kembali menerpa tubuhnya. Adegan percintaan malam itu seakan terulang kembali di kepalanya. Semua sentuhan dan leguhan mereka yang menjadi satu dengan udara malam menerjang pikirannya tanpa bisa dicegah. Misha mengunyah sisa makanannya dengan sedikit menggebu saat tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan mata Zayden yang balik memandangnya hingga membuatnya tersedak. “Uhuk….” “Astaga, Misha.” Joshua kaget, buru-buru mengambilkan minum milik Misha yang diminumnya hingga habis tak bersisa. “Apakah kamu baik-baik saja?” Misha mengangguk, meletakkan gelasnya dan mencoba menenangkan diri sembari meredakan emosinya. “Iya, aku tidak apa-apa. Terima kasih.” “Tidak masalah.” Joshua tersenyum, Misha hanya membalas dengan senyum singkat dan sibuk dengan piringnya yang isinya sudah habis tak bersisa. Misha tadi hanya kaget hingga tersedak saat Zayden menangkap basah tatapannya. Seakan-akan adegan bercinta yang ada di kepalanya juga bisa dilihat oleh Zayden. Misha pura-pura membersihkan sisa makannya sembari mencoba melirik Zayden dengan hati-hati yang ternyata sedang fokus mengupas buah jeruk. “Sialan pria itu. Mengagetkanku saja,” decak Misha dalam hati. “Apa yang sedang kamu pikirkan dari tadi?” Tanya Joshua tiba-tiba. “Tidak ada. Kenapa?” “Kamu terlihat tidak fokus seakan-akan sedang memikirkan hal besar. Apa ada yang sedang kamu khawatirkan?” Misha menggelengkan kepala. “Tidak. Itu hanya perasaanmu saja.” Alis Joshua terangkat. “Benarkah?” “Ya. Sudahlah, tidak usah pedulikan aku. Sampai mana pembicaraan kita tadi?” “Tidak ada.” Misha mengeryit. “Tidak ada? Bukankah kamu sedari tadi membicarakan sesuatu?” “Iya. Hanya aku yang berbicara sementara kamu tidak, jadi tidak ada pembicaraan di antara kita.” “Oh.” Hanya itu yang bisa Misha katakan karena perkataan Joshua memang benar. Tubuhnya seakan sedang mendengarkan Joshua tapi pikirannya ada pada pria menyebalkan itu. “Zayden sepertinya sedang diganggu lagi?” ucap Joshua tiba-tiba sembari memperhatikan Zayden. Misha ikut memperhatikan Zayden yang kikuk nampak berdiri sembari membawa nampan makanannya dan berusaha keras undur diri dari sana. Setelah perdebatan kecil, Zayden berlalu meninggalkan kantin di bawah tatapan Misha hingga punggung tegap itu berlalu di balik pintu. “Siapa suruh dia bekerja terlalu ambisius,” decak Joshua. “Hingga banyak orang yang tidak suka padanya.” “Ambisius bagaimana maksudmu?” Misha nampak kesal mendengarnya. “Hei, kenapa kamu nampak marah? Jangan ulangi lagi sikapmu tadi malam yang membuat semua orang kaget.” “Aku hanya membela bawahanku, Joshua,” ucap Misha penuh penekanan. “Ya, ya, aku tahu. Hanya saja semua itu karena sikapnya sendiri yang merasa bisa melakukan semua tugasnya dengan sempurna.” “Dia memang bisa melakukannya, aku akui itu. Lalu di mana letak masalahnya?” “Yang lain tidak suka karena dia karyawan baru.” “Mereka hanya iri!” decak Misha. “Yah, memang begitulah dunia kerja.” Misha diam, tahu kalau hal seperti itu memang permasalahan yang umum. Ada saja senior yang tidak suka dengan kinerja juniornya yang dia anggap bisa menjadi ancaman kariernya hingga bisa bertindak semena-mena. Berharap juniornya tidak betah dan mundur dari kantor. Benar-benar permainan yang licik. Kalau Misha pribadi, jika itu pencapaian yang dilakukan oleh usaha sendiri bukan dengan cara yang kotor, maka hal itu patut untuk diapresiasikan dan Misha sebagai atasan ikut merasa senang. Bawahan yang dia bimbing bisa bekerja dengan baik dan penuh prestasi. Sepertinya, hanya dia yang berpikir seperti itu. Karena Misha tahu bagaimana kerasnya berjuang di dunia kerja yang seperti hutan rimba. “Oh ya, siapa yang nantinya akan menjadi pengawas intern di team kamu?” Tanya Joshua. “Zayden. Dia yang akan menjadi pengawas intern,” jawab Misha tanpa ragu. ***Misha gelisah seharian ini. Dia tidak tahu apakah Zayden akan mendengarkan sarannya untuk tidak datang ke klub bersama Satria dan teman-temannya. Pria itu hanya mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.Bagaimana bisa Misha tidak khawatir dengan perangai Satria yang seperti itu yang terlihat suka sekali membully Zayden?Misha berusaha mencari tahu klub mana yang akan mereka datangi namun nihil. Dia tidak tahu pasti siapa saja orang kantor yang akan datang. Jika terpaksa, Misha akan bertanya pada Joshua. Meskipun dia tahu pria itu mungkin akan bertanya banyak hal.Misha hanya ingin memastikan Zayden tidak datang ke sana agar dia tidak terus merasa gelisah. “Kenapa kamu terus melihat ponselmu?” Tanya Dena, saat mereka berada di minimarket mencari bahan untuk membuat sushi di apartemen. “Apa ada seseorang yang sedang kamu tunggu? Bawahanmu itu?”Misha berdecak. “Aku seperti ini mungkin dia juga tidak akan peduli. Bodoh sekali aku yang terlalu mengkhawatirkan dia.”Dena berdecak mel
Misha semalam agak kurang tidur setelah berendam agak lama di dalam bath up untuk menenangkan diri. Kembali mengulang-ulang adegan di dalam mobil kalau saja tidak ada yang menelepon saat itu. Mungkin mereka akan melakukannya di sana di area apartemennya.Misha hanya bisa menyebut dirinya sendiri gila kalau sampai hal itu terjadi.Semalaman Misha berpikir, kalau dia merasa jika selama ini Zayden juga menginginkannya sama seperti dirinya yang menginginkan pria itu. Misha berniat untuk menanyakannya nanti jika ada kesempatan.Misha masuk ke dalam ruangan sambil menyesap kopi panas yang dia beli di cafe dalam perjalanan pergi ke kantor. Kaget mendapati Zayden ternyata sudah berada di mejanya dan balik menatapnya. Misha malu, buru-buru berjalan ke tempat duduknya dengan langkah agak dipercepat. Misha merasa seperti sedang kepergok melakukan perbuatan dosa dan sedang menghindar.Misha menyalakan monitornya dan meletakkan barang-barangnya seperti biasa saat Zayden ternyata sudah berdiri di
Zayden melihat layar ponselnya menyala. Dia menoleh ke Misha yang ternyata tertidur di kursinya dengan kepala menunduk. Setelah memastikan Misha memang tidur,Zayden mengangkat panggilan dari seseorang.“Bagaimana?” Ucapnya tanpa salam pembuka. “Filenya aman?”“Aman,Pak. Saya sudah mengembalikannya.”“Kerja bagus. Kirim email.”“Baik,Pak.”Panggilan ditutup. Zayden melihat waktu sudah menunjukkan hampir jam sembilan malam. Digerakkannya kepalanya ke kanan dan ke kiri yang terasa pegal, mematikan layar monitornya dan selama menunggu,dia melakukan satu lagi panggilan yang lain.“Pastikan tidak ada orang di lantai bawah. Dan bawa mobil ke area parkir samping.”Setelah menutupnya, Zayden berdiri dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Layar monitornya sudah mati, dia mendekati meja Misha dan membereskan barang-barang wanita itu.Zayden memegang tas Misha lalu menghampiri wanita yang terlihat tidur nyenyak itu setelah salah tingkah menghadapi ciumannya. Zayden mengangkatnya ala brid
“Jadi, katakan apa yang sebenarnya terjadi, Hana?” Tanya Misha.Hana nampak gelisah,berdiri saling meremas kedua tangannya di depan meja Misha sementara Zayden mencoba untuk mencari file tersebut bersama Doni dan Juno.“Saya tidak sengaja,Bu Misha,” suaranya pelan.Misha mencoba untuk menahan emosinya. Sebelum menjawab, dia menghela nafas panjang membuat Hana makin merunduk.“Ini adalah sebuah kecerobohan. Apa kamu mengakui kesalahanmu?”“Iya,Bu.”Doni dan Juno di belakang memandangi Hana sembari berdecak dan menggelengkan kepala. Zayden yang sejak datang tadi langsung memeriksa server kantor untuk mencari filenya hanya diam dengan tatapan serius. Dia lantas berdiri dan mendekati meja Misha, berdiri di samping Hana.“Tidak ada. Terpaksa kita harus lembur untuk membuat ulang.” Zayden menoleh ke Hana. “Waktunya masih cukup.” “Rasanya seperti membuang-buang waktu. File kampanye itu sudah hampir selesai dan sekarang kita harus kembali membuatnya,” decak Juno, nampak kesal melihat Hana da
Misha kembali ke ruangan setengah jam kemudian setelah berdiam beberapa saat di kamar mandi untuk menenangkan diri sekaligus memeriksa penampilannya. Joshua sudah ada di sana, menunggu di dekat mejanya seraya memeriksa berkas di tangannya.Misha berjalan ke arah mejanya, melewati Zayden yang sedang berdiri di samping Hana yang fokus pada layar komputernya seperti sedang memberikan arahan. Namun, saat Misha lewat, dia bisa merasakan tatapan Zayden pada dirinya.Misha berusaha keras untuk tidak menatap balik.“Kamu dari mana saja?” Tanya Joshua saat dia duduk di kursinya. “Aku mencarimu sejak tadi.”“Apa ada yang penting sampai kamu mencariku?” Tanya Misha.Joshua tersenyum. “Kita dapat jawaban klien yang kita datangi kemarin.”Misha fokus mendengarkan Joshua. “Mereka meminta kita datang untuk beberapa pembenahan.”“Datang langsung?” “Iya.”Misha mengangguk, pasti ada yang harus ditinjau ulang hingga mereka menyuruh untuk kembali datang.“Kapan?”“Besok. Aku akan menjemputmu karena me
Seperti dugaan Misha, keduanya makan siang di meja yang sama. Misha hanya melihat dari luar, tidak lagi berselera untuk makan dan masuk ke sana apalagi harus satu ruangan. Misha berdecak, merasa menyesal telah mengikuti kata hatinya seperti ini karena pada akhirnya, dialah yang merasa sakit sendiri.Misha berbalik, namun seseorang menyenggolnya dari belakang dengan cukup keras.“Aduh,” erangnya, dilihatnya pria itu tidak berhenti untuk meminta maaf malah berjalan terus saja tanpa memperdulikan sekitarnya.“Hei!” Misha menegur, namun pria itu tidak mendengar. Dia menyipitkan mata mencoba untuk mengenali gesturenya dari belakang, sebelum pria itu berbelok, Misha menyadari jika pria itu adalah bawahannya Joshua yaitu Satria. Pria itu terlihat nampak kesal dari kepalan tangannya yang kemudian sosoknya menghilang di lorong.“Kenapa dia?” Misha bertanya-tanya sembari mengelus lengannya. “Sikapnya menyebalkan.”Misha berjalan menuju ke arah lift dan memutuskan untuk membeli roti isi kesuka