เข้าสู่ระบบAndre menariknya turun ke lantai bawah, langkahnya dingin dan tegas.
“Ini kamarmu sekarang,” katanya sambil membuka pintu kamar tamu. “Enggak! Aku gak sudi! Mending aku pulang ke rumah Ayah!” Andre menatapnya tanpa ekspresi. “Oke kalau begitu, silakan.” Ia membuka pintu lebar-lebar. Larissa terpaku. Tenggorokannya terasa kering, lidahnya kelu. Sepulang dari Italia, ia pulang ke rumah ayahnya — seorang konglomerat ternama — tapi ia tidak lagi dianggap keluarga. Ia sudah diusir oleh keluarga Jihan. Maka ia kembali. Kembali untuk satu-satunya tempat yang pasti masih menerimanya. Andre. Tapi lagi lagi ia kesal karena Andre malah memiliki orang lain sebagai penggantinya. Larissa memelas, suaranya lirih tapi penuh desakan. "Tapi aku mau balik sama kamu, Ndre... apa kamu udah gak cinta sama aku?" Dia berlari ke arah Andre, ingin memeluknya—tapi segera ditahan. Andre menatapnya tajam, rahangnya mengeras. Ada amarah besar dalam dirinya yang hampir pecah. "Aku nunggu kamu, sampe aku gak bisa berharap lagi, Larissa. Kamu gak pernah mikir, gimana perasaan aku waktu itu?" Larissa menatapnya dengan air mata yang siap jatuh. "Iya... iya aku tahu. Maaf, Ndre. Aku janji kali ini aku akan berubah. Aku emang bodoh... gak ada orang yang lebih baik dari kamu." Suaranya pecah di ujung kalimat, air matanya benar-benar jatuh. "Aku bodoh... butuh waktu lama buat sadar. Butuh waktu lama buat ngaku kalo aku salah. Maafin aku, Ndre..." Larissa menunduk, tak berani menatapnya lagi. Andre yang melihatnya tak bisa tidak merasa iba. Ada rasa bersalah menghantam dadanya, terutama pada Soraya. Tapi Larissa... dia masih ada di hatinya. Sakit, marah, dan rindu bercampur jadi satu. Akhirnya Andre menyerah. Ia menarik Larissa ke pelukannya. Rindu yang lama tertahan pecah di sana, di antara dada yang bergetar dan air mata yang jatuh tanpa suara. Larissa pun tak kalah menyesal. Selama ini hidupnya hancur oleh kebodohannya sendiri. "Aku janji, Ndre... kali ini aku bener-bener berjanji. Aku akan berubah... aku bakal jadi istri yang baik." Tapi bagi Andre, kalimat itu lebih seperti tamparan ketimbang harapan. Kepercayaan itu sudah hilang. Ia memeluk, tapi tak tahu apakah masih ingin memiliki. Rasa yang dulu menghangat kini terasa asing. --- Sementara di kamar, Soraya menatap sekeliling dengan mata sembab. Kamar itu kacau, sama seperti hatinya. "Apa yang harus aku lakukan sekarang...? Apa aku harus menyerah?" Namun hatinya berbisik pelan, keras kepala seperti dirinya. "Aku yakin Mas Andre udah mencintaiku. Dan aku harus membuktikannya. Selama dia masih mau aku ada di sisinya, aku akan bertahan sekuat mungkin." Tapi hatinya terlalu sakit. Rasanya remuk, seperti kamar yang berantakan di sekitarnya. Inah baru pulang dari belanja, heran karena rumah sangat sepi. Ia masuk pelan-pelan, dan mendapati pintu kamar tamu terbuka. Ketika ia melihat siapa yang ada di dalamnya, matanya membesar kaget. "Ya Allah... itu Nyonya Larissa..." Ia segera mencari Soraya, dan menemukannya di lantai kamar, menangis lemah. "Nyah... Nyah bangun..." ucapnya panik sambil membantu Soraya duduk. "Kenapa ada Nyonya Larissa di sini, Nyah?" Soraya menggeleng lemah, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku akan tidur sama Alex malam ini... tolong beresin ya, Bi." Inah hanya mengangguk cepat, menahan haru melihat nyonyanya selemah itu. --- Pagi datang. Biasanya Soraya sudah menyiapkan segalanya untuk Andre—sarapan, pakaian, bekal. Tapi pagi ini hatinya dingin. Larissa keluar dari kamar, menguap pelan dengan baju tidur yang seksi. “Hem... benar-benar istri yang baik,” katanya sinis sambil mengangguk kagum pura-pura. Soraya diam, hanya menatapnya sekilas. Larissa tersenyum tipis. “Hari ini sepertinya Andre bakal bangun siang... soalnya tadi malam jadi malam yang penuh kerinduan buat kami.” Kata-kata itu menampar Soraya tanpa ampun. Dada terasa diremas, air mata pun jatuh tanpa bisa ditahan. Larissa tersenyum puas, kemenangan kecil terpancar di wajahnya. “Kali ini aku akan mengalah, aku akan membiarkan kamu jadi istrinya. Tapi itu gak akan lama. Aku pasti merebut kembali hati Andre.” Soraya mengangkat wajahnya, suaranya lembut tapi penuh keyakinan. “Dan aku akan tetap bertahan... selama Mas Andre menginginkanku.” Tangan Larissa terkepal, wajahnya menegang. “Kita lihat saja,” balasnya dengan sinis, lalu berbalik pergi. Tak lama kemudian, Andre keluar tergesa. “Raya, aku ada meeting hari ini. Aku gak sempat sarapan, aku berangkat ya.” Soraya mengangguk tanpa menatapnya. Andre terdiam sejenak, tahu ini berat untuk Raya. Ia lalu mendekat, mencium tangan istrinya dengan lembut, lalu mengecup keningnya. “Aku akan pulang cepat, dan kita bicara setelah ini, sayang.” Soraya berusaha tersenyum tegar, menatapnya dengan mata yang basah. Namun pandangannya jatuh pada sesuatu di leher Andre—memar kemerahan yang membuat dadanya seketika sesak. “Cepat pergilah,” katanya pelan sambil menyerahkan kotak bekal. Andre sempat menatapnya, tapi suara lain memotong dari arah pintu. “Sayang, ayo kita pergi sekarang!” Soraya menoleh, dan matanya menangkap Larissa yang entah sejak kapan sudah ada disana ia sudah siap dengan blazer putih elegan, riasan sempurna, rambut terurai rapi—terlalu serasi berdiri di samping Andre. Andre menatapnya tajam. “Apa maksudmu, Larissa?” “Aku ikut ke kantor. Aku harus tunjukin dunia... kalau aku sudah kembali.” “Aku gak ada waktu untuk ini,” Andre mendengus kesal, berjalan cepat keluar menuju mobil. Namun Larissa tetap mengikuti langkahnya tanpa ragu. "Tunggu sayaang.." manjanya sengaja untuk membuat Soraya kesal.Andre menariknya turun ke lantai bawah, langkahnya dingin dan tegas. “Ini kamarmu sekarang,” katanya sambil membuka pintu kamar tamu. “Enggak! Aku gak sudi! Mending aku pulang ke rumah Ayah!” Andre menatapnya tanpa ekspresi. “Oke kalau begitu, silakan.” Ia membuka pintu lebar-lebar. Larissa terpaku. Tenggorokannya terasa kering, lidahnya kelu. Sepulang dari Italia, ia pulang ke rumah ayahnya — seorang konglomerat ternama — tapi ia tidak lagi dianggap keluarga. Ia sudah diusir oleh keluarga Jihan. Maka ia kembali. Kembali untuk satu-satunya tempat yang pasti masih menerimanya. Andre. Tapi lagi lagi ia kesal karena Andre malah memiliki orang lain sebagai penggantinya.Larissa memelas, suaranya lirih tapi penuh desakan."Tapi aku mau balik sama kamu, Ndre... apa kamu udah gak cinta sama aku?"Dia berlari ke arah Andre, ingin memeluknya—tapi segera ditahan.Andre menatapnya tajam, rahangnya mengeras. Ada amarah besar dalam dirinya yang hampir pecah."Aku nunggu kamu, sampe aku ga
“Kenapa? Kenapa kamu balik disaat aku udah mulai melupakanmu?” suara Andre parau, nyaris pecah. “Apa maksud semuanya? Kenapa kamu harus kembali?”Larissa menatapnya lama. Ada sesal di matanya, tapi juga keyakinan yang berbahaya.“Karena aku tau aku salah, aku tau cuma kamu yang mencintai aku dengan tulus, Ndre. Gak pernah ada lelaki sebaik kamu. Dan aku tau, kamu pasti akan selalu terima aku lagi.”Andre menggeleng pelan, menahan amarah yang hampir meledak.“Aku sudah memutuskan untuk bahagia tanpa kamu. Gimana bisa aku mencintai seorang wanita yang tega meninggalkan putra kecilnya? Apa kamu gak peduli sama Alex?”Larissa melangkah satu langkah lebih dekat, matanya berkilat.“Justru karena itu aku balik, Ndre. Plis, sekarang kamu udah gak butuh wanita jelek itu. Sekarang kamu udah punya aku.”Andre menarik napas dalam-dalam, suaranya berat.“Aku gak akan memilih. Kalian berdua istriku… dan aku akan berusaha adil.”“GAK!! Aku gak terima!!” teriak Larissa, suaranya pecah.Andre menatapn
Andrea menatap lekat mantan istrinya yang sudah setahun ini pergi tanpa kabar, menghilang bersama seorang pria tanpa pernah memikirkan perasaannya. "Apa yang membuatmu kembali?" "Aku ingin kembali pada anak dan suamiku, apa aku salah?" "Kau bertanya apa kau salah?" Andrea mencibir. "Ya tentu kau salah!! Apa aku ini tempat sampah dimana kau bisa pergi dan kembali sesukamu?" Andrea menatapnya dengan marah Larissa menengguk saliva menatap suaminya yang kini benar-benar marah, Andrea yang selalu menerimanya sudah berubah. "Aku tidak percaya wanita itu yang membuatmu bisa berkata begini padaku." "Jangan selalu salahkan orang lain. Salahkan dirimu!" Andrea membuang wajahnya tak tahan melihat wajahnya yang terus memelas dan melelehkan hatinya. Berusaha keras ia melupakan wanita itu, disaat ia mulai bisa tidak memikirkannya dia muncul seenaknya. Larissa tertawa kecewa, "Kita belum bercerai Andrea, aku ingin kembali." Di balik pintu, Soraya mendengar semuanya. Mimpi yang mulai terbangu
Andrea berhenti sejenak, menatap wanita yang kini ada di hadapannya, wajahnya merona dan butir air mata membasahi pipinya. "Kau menangis?" Andrea terkejut, "Apa aku menyakitimu?" Ia segera menyeka air mata itu dari wajah Raya. Raya tersenyum dengan sedikit tawa, ia menggeleng. "Aku bahagia." Ia menatap suaminya. "Aku bahagia akhirnya kau datang." Kini Raya meraihnya dan mengecup bibir Andrea manja. Kecupan itu seperti menyalakan sesuatu, desiran dalam darahnya menjadi lebih cepat, Andrea menginginkan wanita di hadapannya, sangat menginginkannya. Andrea menciumi tangannya terus naik hingga ke bahu, dan mendarat pada bibir lembut Soraya, ia menekankan ciuman dengan kuat dan mendorong Soraya di tempat tidur dan kini ia dengan mantap naik ke atas tubuhnya. Soraya pasrah, ia menikmati setiap sentuhan yang setiap malam menjadi khayalannya. Kini, setelah setahun, malam ini tiba, setelah malam ini dia adalah istri Andrea yang sebenarnya. Tengah malam, Soraya terbangun, percaya tak perca
Pernikahan sebelumnya bersama Larissa adalah impiannya. Ia sudah mencintai Larissa sejak lama sekali, sampai suatu hari, ia menemukan Larissa patah hati dan berhasil meluluhkan wanita itu, bahkan mempersuntingnya. Bagi Andrea, Larissa adalah cinta pertama, dan terakhir. Kini, Soraya sudah menjadi istrinya selama setahun, tapi di hatinya tidak pernah ada nama itu, melihatnya dengan tulus menjadi ibu sambung Alex dan mengurusnya lebih baik, Andrea mulai sadar, ia harusnya bisa melanjutkan hidup, dan bahagia seperti sekarang Larissa juga pasti sudah bahagia bersama pria yang membawanya lari, sampai tega meninggalkan putranya yang saat itu baru berusia 7 bulan. Soraya, wanita malang itu terpaksa menikahi Andrea karena ibunya, Lisa Tamson yang sudah membiayai semua pengobatan ibu Soraya yang bahkan masih berjalan sampai hari ini. Bagi Andrea, Ibu Hera sudah ia anggap seperti ibunya sendiri, melihat ibu asuhnya selama ini terkapar ia pun tidak bisa diam saja. Ibu Hera adalah sahabat Nyo
Malam itu, seperti biasa, tepat jam 10 malam, Soraya akan mengantar secangkir kopi panas untuk suaminya, Andrea Tamson. Pria yang sudah sah menjadi suaminya dari setahun lalu, tapi ia tidak pernah sedikitpun tertarik pada Soraya. "Ini kopinya mas." Dengan lembut Soraya meletakkan cangkir panas yang masih mengepulkan asap. Setahun sudah mereka menikah, dan malam mereka hanya terus berjalan seperti ini. Tapi apa boleh buat, Andrea adalah suaminya, dan kewajiban seorang istri adalah melayaninya, sejauh ini hanya ini yang ia lakukan sebagai istri. "Terima kasih, Raya." Ucap Andrea yang masih terus sibuk dengan layar di hadapannya. Raya tidak pernah mengerti apa yang membuat suaminya sangat dingin, walau ia telah melakukan semua yang terbaik, apa yang membuat pria ini begitu terluka dan tidak bisa melupakan mantan istrinya? Yang bahkan meninggalkan dia dan juga putranya yang masih bayi. Apa ada wanita yang tega seperti itu? Kenapa sikap lembut Raya bahkan tidak bisa meluluhkan hati An







