"Siapa yang tega membunuh Yang Jin?" Nyonya Yang berbisik lirih, jari jemarinya meremas saputangan sutranya. "Dia tak pernah memiliki musuh.""Mungkin bukan karena Yang Jin memiliki musuh," Yun Hao melangkah ke tengah ruangan, "tapi karena ia mengetahui sesuatu." Ia berpaling ke arah Yang Ming. "Apa yang kau cari di kamar kakakmu? Mengapa kabur saat aku datang?"Keringat dingin mengalir di pelipis Yang Ming. Tangannya mengusap tengkuk dengan gelisah. "Aku ... aku sedang mencari pakaianku yang dipinjam Kakak Jin.""Untuk apa mengenakan pakaian serba hitam dan kabur ketakutan bila hanya mencari pakaianmu sendiri?""Apakah kau sedang menuduhku sebagai pembunuh?" Yang Ming melangkah maju, suaranya meninggi berusaha menutupi kegugupan di dalamnya."Aku hanya bertanya," Yun Hao tetap bersikap tenang, "Kau tinggal menjawabnya saja ... apa yang kau lakukan di dalam kamarnya?"Yang Ming membuang muka, "Aku tidak mau menjawab karena kau pasti sedang berusaha mencari celah untuk menyalahkanku!"
Yun Hao berlutut di samping jenazah Yang Jin, jemarinya menyusuri bekas luka di leher korban. "Lihat bekas cakaran ini," ia menunjuk ke bekas luka tipis yang melintang. "Orang yang mencekik Yang Jin memiliki kuku panjang. Sedangkan Yang Ming …," ia melirik tangan pemuda itu, "kukunya pendek seperti laki-laki pada umumnya."Ia beralih ke belakang kepala Yang Jin, menyibak rambutnya dengan hati-hati. "Luka di sini bukan dari hantaman kursi. Bentuknya memanjang dan mulus, seperti dipukul dengan benda panjang berujung tumpul." Yun Hao berdiri, matanya tertuju pada tongkat di tangan Nyonya Yang. "Boleh saya melihat tongkat Anda?"Wajah Nyonya Yang memerah seketika. "Apa kau sudah gila menuduhku membunuh anak sendiri?" bentaknya dengan suara bergetar."Berikan tongkat Anda, Nyonya Yang! Tidak perlu takut bila memang bukan alat itu yang digunakan untuk membunuhnya!" Yun Hao menatapnya tajam.Dengan enggan, Nyonya Yang menyerahkan tongkatnya. Yun Hao memeriksanya dengan teliti, namun tak me
“Pernahkah kau bertanya pada ibumu mengapa kau dibiarkan buta huruf?” Pertanyaan Yun Hao menghujam tepat ke jantung Yang Ming.Pertanyaan itu adalah pertanyaan sama yang pernah ia lontarkan pada ibunya ketika masih kecil. Ia ingin seperti Yang Jin yang bisa membaca dan menulis sedangkan dirinya dituntut belajar ilmu bela diri.“Yang Ming, kau memiliki tulang dan otot yang sempurna,” jawab Nyonya Yang, “kau ditakdirkan menjadi pendekar hebat. Membaca dan menulis hanya akan mengganggu fokusmu dalam berlatih. Apakah kau tak ingin menjadi pelindung Ibu saat dewasa nanti?”“Tentu saja aku ingin menjadi pelindung Ibu, aku sayang Ibu!” sahut Yang Ming kecil penuh semangat.Nyonya Yang mengusap puncak kepala putra bungsunya sambil tersenyum, “Anak pintar, sekarang berlatihlah dengan rajin. Ibu hanya bisa mengandalkanmu saja.”Sejak itu, ia tak pernah bertanya lagi pada ibunya. Apapun permintaan sang Ibu adalah titah yang harus dijalankan.“Karena Ibu tahu yang terbaik untukku,” Yang Ming menj
Keesokan harinya, pagi-pagi benar sebelum matahari benar-benar terbit di ufuk timur, serombongan kecil prajurit terlihat keluar dari kediaman Hakim Yang. Rombongan itu terdiri dari kepala prajurit dan beberapa prajuritnya yang bersenjata lengkap, ada juga Nyonya Janda Yang dan putra bungsunya.Nyonya Yang dan Yang Ming, kini dalam balutan pakaian tahanan kasar, berjalan tertatih dengan tangan terikat ke belakang dan kaki dirantai. Dua prajurit mengapit masing-masing dari mereka, senjata tombak teracung siaga untuk menjaga segala kemungkinan.Yang Ming menoleh ke arah Nyonya Yang yang berjalan tak jauh darinya. Meski sudah mengetahui kenyataan siapa wanita itu sebenarnya, tak urung ia merasa iba menyaksikan wajah kusut dan muram perempuan yang telah membesarkannya. "Ibu," Yang Ming setengah berbisik, suaranya nyaris tenggelam di antara derap langkah kaki prajurit di kanan kiri mereka. "Sebelum kita dibawa ke pengadilan dan divonis hukuman mati, kabulkanlah satu permintaan terakhirku."
"Tidak mungkin," Yun Hao menggeleng kuat-kuat. Matanya menatap Nyonya Hong lekat-lekat, berusaha mencari tanda-tanda kebohongan, "Ming Mei tidak mungkin pergi begitu saja, apalagi dengan laki-laki lain."Nyonya Hong mencibir, "Kau pikir gadis-gadis di sini punya pilihan? Seorang pejabat datang semalam, tertarik padanya dan langsung menawarnya dengan seribu tail emas." Dengan enteng, wanita yang mengenakan riasan berlebihan itu mengangkat bahu. "Siapa yang bisa menolak?"“Anda bohong!” teriak Yun Hao marah, “aku tahu Ming Mei masih ada di wisma ini. Biarkan saya menemuinya sebentar saja," "Sudah terlambat, anak muda!" Nyonya Hong menggeleng, "Mereka sudah berangkat sejak dini hari tadi." "Lupakan saja Ming Mei!” Wanita itu mengibaskan tangannya, “carilah gadis baik-baik yang bisa kau nikahi dengan terhormat."Selesai berkata-kata, jendela kamar ditutup rapat, meninggalkan Yun Hao sendirian dengan kenyataan pahit bahwa cinta pertamanya telah menghilang, terjual ke tangan orang lain s
"LARI!" Prajurit jangkung mengomando lalu melesat kabur mendahului, diikuti yang lain. Mereka menarik Nyonya Yang dan Yang Ming dengan tali kekang yang dililitkan ke tubuh keduanya."Ugh!" Yang Ming tersandung akar pohon besar, membuatnya jatuh menggelosor dan kakinya terkilir. Ia berusaha bangkit tapi jatuh lagi, mengerang kesakitan."Cepat bangun!" Si Prajurit menarik talinya dengan kasar."Tinggalkan saja dia!" teriak yang lain. "Lagipula dia akan mati juga setelah diadili di pengadilan kota!"Prajurit itu pun melepaskan tali kekang, lalu segera bergabung dengan rombongan yang berlari tunggang langgang. Nyonya Yang yang terseret arus pelarian sempat menoleh ke belakang. Setetes air mata mengalir di pipi saat melihat anak tirinya tertinggal dalam kondisi tak berdaya.Yang Ming menyeret tubuhnya mundur, tangannya yang terikat ke belakang menggesek tanah dan dedaunan kering. Setiap gerakan mengirimkan gelombang rasa sakit dari pergelangan kakinya yang membengkak seperti ruas bambu mud
Pemuda itu menoleh, senyum misterius tersungging di bibirnya yang tipis. Matanya yang tajam namun hangat mengingatkan Yang Ming pada seseorang. "Kau boleh panggil aku Du Fei," ia menimang botol arak di tangannya. "Aku bukan hantu. Dan kau juga bukan.""Tapi Hantu Penunggu Hutan seharusnya sudah memangsaku," gumam Yang Ming masih tak percaya dengan keselamatannya.Du Fei terkekeh geli, "Anggap saja kau diberi kesempatan kedua oleh Dewa Langit."Ia mengangkat botol arak itu sekilas, cahaya biru di dalamnya berpendar lemah. "Dia menyuruhku menyelamatkanmu dan membelenggu hantu jahat ini ke dalam botol arak kemudian menyegelnya agar tak bisa melakukan kekejian lagi."Yang Ming menatap penolongnya dengan takjub - sosoknya seperti dewa yang turun dari nirwana, namun ada sesuatu yang tak asing dalam senyumnya, sesuatu yang mengingatkannya pada Yun Hao.Yang Ming menatap penolongnya dengan takjub. Di bawah cahaya fajar yang mulai merayap masuk ke dalam hutan, sosok Du Fei tampak seperti dewa
Musim ujian negara sudah dekat, membuat Kotaraja seperti sarang lebah yang berdengung. Para pelajar dari berbagai penjuru daerah berduyun-duyun memenuhi jalan-jalan. Jubah sutra mereka panjang nyaris menyentuh lantai, masing-masing memanggul keranjang rotan berisi gulungan-gulungan karya sastra. Mata mereka berbinar penuh pengharapan akan kesempatan menjadi pejabat pemerintahan.Rumah Makan Berkah berdiri kokoh di persimpangan jalan utama Kotaraja. Asap mengepul dari cerobong dapurnya, membawa aroma masakan yang membuat perut berkeruyuk. Lantai kayunya yang mengkilap hasil dipoles setiap pagi memantulkan cahaya matahari yang masuk melalui jendela-jendela besar.Siang itu empat pemuda pelajar berasal dari keluarga terhormat, memasuki rumah makan tersebut. Jubah mereka terbuat dari sutra terbaik, rambut tertata rapi dengan hiasan jade mahal. Pemuda yang berjalan paling depan membawa kipas gading berukir, sementara yang lain menenteng gulungan-gulungan dengan gagang emas."Ah, selamat da
Di istana, Raja Yu Ping terbaring gelisah di pembaringannya. Mimpi-mimpi buruk terus menghantui tidurnya—bayangan wajah-wajah yang menderita, jeritan-jeritan yang tak terdengar, dan sosok naga hitam yang mengintai dari kegelapan."Zhen Yi…," sang Raja mengigau, keringat dingin membasahi dahi. "Di mana... kau?"Xiao Lan, yang duduk di samping tempat tidur, mengelap keringat raja dengan kain lembap. Ekspresinya kosong, matanya hampa seolah jiwanya tidak hadir di sana.Pintu kamar terbuka perlahan, dan Qi Lung melangkah masuk. Ia mengenakan jubah tidur mewah berwarna biru tua dengan sulaman emas, tapi wajahnya tampak segar seolah belum akan tidur dalam waktu dekat."Bagaimana kondisinya?" tanya Qi Lung lirih, mendekati tempat tidur ayahnya."Masih sama," jawab Xiao Lan datar. "Racunnya bekerja seperti yang direncanakan. Ia terus bermimpi buruk, membuatnya tidak bisa beristirahat dengan tenang."Qi Lung mengangguk puas, "Sempurna. Sekarang di mana Yun Hao? Aku tidak melihatnya sejak sore
Hujan rintik-rintik membasahi jalanan kotaraja saat Yun Hao memacu kudanya menyusuri lorong-lorong sempit yang menjauh dari istana. Matahari nyaris terbenam sepenuhnya, menyisakan semburat oranye keunguan di langit barat. Ia mengenakan jubah hitam sederhana dengan tudung menutupi kepalanya—bukan pakaian yang biasa dikenakan seorang pangeran, tetapi sempurna untuk seseorang yang ingin bergerak tanpa menarik perhatian.Di belakangnya, istana megah dengan atap-atap merahnya berdiri angkuh, semakin mengecil seiring jarak yang ia tempuh. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Yun Hao merasa istana bukan lagi rumahnya—bukan lagi tempat yang aman. Sejak Qi Lung mengambil alih kekuasaan, dinding-dinding istana seolah menyimpan mata-mata di setiap sudutnya.Yun Hao membimbing kudanya memasuki wilayah kota yang lebih tua, di mana bangunan-bangunan kayu berjejer rapat dan papan-papan nama toko bergoyang tertiup angin malam. Jalanan semakin sepi, hanya beberapa pedagang yang sedang membereskan dag
Matahari sudah mulai terbenam saat kereta tahanan berhenti di sebuah pos jaga di perbatasan antara wilayah hijau dan gurun pasir. Para pengawal menurunkan Zhen Yi, yang kakinya terasa kaku setelah seharian duduk di kereta yang sempit."Kita akan bermalam di sini," kata komandan pengawal. "Besok pagi-pagi sekali kita akan melanjutkan perjalanan ke Istana Pasir."Zhen Yi mengangguk. Ia tidak melihat gunanya melawan atau mencoba melarikan diri. Enam pengawal bersenjata lengkap mengawalnya, dan tidak ada tempat untuk bersembunyi di padang pasir yang terbentang luas di hadapannya.Komandan pengawal, seorang pria setengah baya, menatap Zhen Yi dengan ekspresi antara iba dan "Anda akan ditempatkan di kamar belakang, Pangeran," katanya, suaranya terdengar sedikit lebih lunak. "Tidak terlalu nyaman, tapi setidaknya lebih baik daripada sel tahanan.""Terima kasih," jawab Zhen Yi tulus. "Bolehkah tanganku dilepaskan? Sudah hampir sehari penuh terikat, dan aku tidak merasa nyaman."Komandan tamp
Kereta tahanan bergerak lambat meninggalkan gerbang kota, roda kayunya berderit membelah jalanan berbatu. Di dalam kereta, Zhen Yi duduk bersandar pada dinding kayu yang kasar, tangannya masih terikat di belakang punggung.Melalui celah kecil di jeruji jendela, ia melihat kotaraja yang semakin mengecil di kejauhan—istana megah dengan atap-atap merah dan dinding putih yang selama ini menjadi rumahnya. Semua kenangan, semua kehidupannya, kini hanya tinggal titik kecil di cakrawala. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk."Kenapa, Qi Lung?" bisiknya pada diri sendiri. "Apa salahku padamu?"Kereta berguncang keras saat melewati lubang di jalan, membuat Zhen Yi terlempar ke depan. Pengawal yang duduk di ujung kereta menatapnya tanpa ekspresi, seolah membawa seorang pangeran ke pembuangan adalah tugas biasa."Bisakah tanganku dilepaskan?" tanya Zhen Yi dengan suara tenang. "Aku tidak akan kabur."Pengawal itu mendengus. "Maaf, Pangeran. Perintah langsung dari Pa
Di antara para pejabat, beberapa mulai berbisik-bisik. Beberapa menunjukkan ekspresi ragu, sementara yang lain tampak terkejut dan kecewa."Siapa yang menjebakmu, Pangeran Zhen Yi?" tanya Menteri Wei dengan sikap hati-hati. "Dan untuk tujuan apa?"Sebelum Zhen Yi bisa menjawab, terdengar keributan di luar aula. Suara teriakan dan hentakan langkah kaki saling bersahutan."Aku ingin masuk! Lepaskan aku!" Suara Yun Hao terdengar dari balik pintu. "Aku berhak menghadiri pengadilan saudaraku!""Lanjutkan sidang!" perintah Qi Lung dengan tenang. "Pengawal, pastikan tidak ada gangguan dari luar!"Suara keributan terus berlanjut beberapa saat sebelum akhirnya mereda—tanda bahwa Yun Hao telah berhasil disingkirkan dari area tersebut."Kau tidak bisa melakukan ini, Qi Lung," kata Zhen Yi, matanya menatap lurus ke arah saudaranya. "Ayah akan mengetahui kebenaran. Semua orang juga akan tahu bahwa aku tidak bersalah."Qi Lung tersenyum tipis. "Ayahanda sedang sakit parah, Adikku. Dan sulit dipasti
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen
Zhen Yi kembali berlutut, kali ini lebih dekat dengan tempat tidur. "Ibu, jangan berkata seperti itu. Zhen Yi hanya memiliki satu orang Ibu. Meskipun... meskipun Ibu mungkin tidak selalu memperlihatkan kasih sayang, Zhen Yi tahu Ibu peduli."Air mata Qi Yue makin deras mengalir, musuh besarnya melahirkan sosok pangeran berhati emas. Sementara dirinya melahirkan sosok pangeran berhati iblis. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia ingin memperbaiki semuanya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur.***Setelah keluar dari kamar Putri Qi Yue, Zhen Yi tampak merenung. Ia melangkah pelan menyusuri koridor panjang istana yang dihiasi lampion-lampion merah. Tatapannya kosong, seolah pikirannya berada di tempat yang jauh.Yun Hao menepuk pundak Zhen Yi, menyadarkannya dari lamunan. "Apa yang kau pikirkan, adikku? Sejak keluar dari kamar Ibu, kau seperti orang yang kehilangan arwah."Zhen Yi menghela napas panjang. "Aku merasa Ibu ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi tidak bisa mengatakannya de