Share

STATUS WA ADIK IPARKU
STATUS WA ADIK IPARKU
Penulis: Yazmin Aisyah

Bab 1

STATUS WA ADIK IPARKU 1

(Aku kira, ipar jahat hanya ada di sinetron dan cerita KBM, nyatanya aku mengalaminya sendiri. Kuat Ris, kuat ya kamu)

Aku mengerutkan dahi membaca status WA Riris, adik iparku yang lewat dan tak sengaja terbaca. Bukannya apa, aku adalah satu-satunya ipar yang dia punya karena Radit, adik bungsuku menikah dengannya. Radit sedang tugas di pulau lain, meninggalkan Riris bersama Ibu di rumah. Sementara kecamatan tempatku tinggal berjarak satu jam perjalanan dari rumah Ibu.

Ah, mungkin ipar yang dia maksud adalah ipar dari keluarganya. Tak ingin berprasangka buruk, aku meneruskan kegiatanku memasukkan makanan yang baru saja selesai kumasak ke dalam kotak-kotak tupperware. Rendang kesukaan Ibu dan puding coklat untuk Kayla, keponakanku, anak Radit dan Riris yang berusia dua tahun. Rencananya, hari ini aku ingin mengunjungi Ibu.

(Kalau ada apa-apa itu tanya langsung ke aku. Jangan suka adu domba deh)

Statusnya lewat lagi ketika aku membuka WA dan hendak mengabari kedatanganku pada Ibu. Aku ingin bilang supaya Ibu tak perlu masak, tapi status WA Riris membuatku melupakan niatku. Seperti ada yang aneh. Sepertinya dia sengaja agar aku membaca status WA-nya itu. Tiba-tiba saja aku teringat percakapan via WA dengan adikku Radit kemarin.

(Dit, kamu sebetulnya kasih uang nggak ke istrimu? Meski semua kebutuhan ambil di warung Ibu, tetap saja kasihan dia kalau nggak pegang uang.)

(Loh, ya aku kasih lah Mbak. Tujuh juta setiap bulan. Kenapa memangnya?)

(Oh, syukurlah kalau kamu kasih. Mbak cuma takut adik Mbak melalaikan kewajibannya sebagai kepala keluarga.)

Kini, aku benar-benar tertegun di depan meja makan. Tujuh juta setiap bulan, tanpa membayar uang kontrakan, tanpa keluar uang sama sekali karena listrik, beras dan bahkan jajan Kayla Ibu yang menanggung. Tapi kenapa selama ini Riris kerap mengeluh tak punya uang? Status WA nya kadang membuatku tak enak hati. Dia memang eksis di hampir semua media sosial. Dan kebanyakan statusnya hanya berkeluh kesah.

(Punya suami tapi nggak pernah punya uang. Itulah aku. Sabar sabar biar subur.)

Aku pernah membaca statusnya seperti itu. Saat itu aku mengabaikannya saja. Kupikir memang Radit kurang memberinya nafkah.

Aku menghela nafas. Sudahlah, nanti mungkin bisa kutanyakan langsung. Sekarang, aku harus bergegas ke rumah Ibu. Usai memasukkan makanan ke dalam bagasi, aku mengeluarkan mobil sedan matic hadiah Mas Reno. Pernikahanku yang menginjak tahun ke lima memang belum membuahkan seorang anakpun.

***

Sampai di rumah, aku terkejut melihat warung Ibu kosong melompong. Padahal baru minggu lalu aku memenuhi warung itu dengan uang pribadiku karena kasihan melihat Ibu kehabisan modal. Ibuku memang membuka warung sembako di rumah lama kami. Isinya cukup lengkap. Tapi kini, warung itu terlihat nelangsa sekali.

"Loh Andin datang kok nggak telepon Ibu dulu?"

Ibu datang tergopoh-gopoh dari dapur. Beliu mengelap tangannya dengan baju daster, membuat jejak telapak tangan di dasternya. Sepertinya Ibu sedang mencuci piring ketika aku datang.

Aku tersenyum, meraih tangan Ibu yang basah dan menciumnya. Lalu teringat bahwa aku memang belum mengabari Ibu. Aku lupa karena sejak tadi sibuk memikirkan maksud status WA Riris.

"Andin lupa, Bu. Ini Andin bawakan rendang kesukaan Ibu. Oh ya, Riris dan Kayla mana?"

Ibu meraih kantong plastik berisi kotak makanan yang ku sodorkan dengan wajah bahagia. Membaui isinya sebentar dan menarik tanganku ke belakang.

"Wah kebetulan Ibu belum makan." Ujarnya. "Ada. Riris lagi tidur siang kayaknya. Baru aja kok masuk kamar."

Ibu meletakkan kotak makanan dariku di atas meja. Meja tampak berantakan. Ada satu piring bekas makan yang penuh tulang ikan. Nasi berserakan di dekatnya. Di atas meja, semangkok sayur sup yang tinggal sayurnya saja. Masih ada sepotong tulang hingga aku tahu bahwa tadinya itu sup ayam. Sementara ikan ikan di atas meja tersisa kepalanya. Aku meneguk ludah, teringat kata-kata Ibu barusan kalau Ibu belum makan. Jadi, siapa yang baru saja membuat kekacauan di meja ini? Sementara di atas wastafel cuci piring, tumpukan piring kotor yang baru disabuni tampak memenuhi tempat itu.

Tanpa banyak bicara, kubantu Ibu membersihkan meja makan, menyingkirkan semua yang kotor, mengelap meja sampai bersih dan meletakkan makanan yang baru saja kubawa di atas meja. Selain rendang, aku juga membawa berbagai sayuran rebus kesukaan Ibu beserta sambal terasi. Kumasukkan puding untuk Kayla ke dalam kulkas, yang lagi-lagi membuatku heran karena kosong. Padahal aku rutin mengisinya seminggu sekali.

Setelah meja rapi, aku mengambil piring dan menyendok nasi. Sesungguhnya emosiku mulai naik menyadari seseorang yang tinggal disini telah berubah menjadi parasit yang menggerogoti Ibuku. Namun aku menahannya. Momen pertemuanku dengan Ibu adalah momen yang menyenangkan. Aku tak ingin melihat Ibu bersedih.

"Ayo Bu, kita makan. Andin sengaja nggak makan di rumah mau nemanin Ibu."

Ibu mengangguk, memindahkan sepotong rendang ke piringnya, mengambil sayuran dan juga sambal. Senang sekali rasanya melihat Ibu makan masakanku dengan antusias.

"Rendangmu sudah mulai sempurna, persis bikinan nenek dulu." Ujar Ibu.

Tiba-tiba saja terdengar suara anak kecil menangis dari ruang tengah, dari dalam kamar yang selama ini ditempati Riris dan Kayla.

"Jangan jajan terus dong, Kay. Mama nggak punya uang. Nanti kita dimarahin loh kalau ngambil jajan di warung Nenek."

Terdengar suara Riris memarahi Kayla. Ibu menghentikan suapannya, memandangku. Sementara tangis Kayla makin keras. Bahkan kini anak itu terdengar menjerit seperti kena cubit.

Aku meletakkan makanan yang baru separuh kumakan, mencuci tangan dan bergegas menghampiri kamar Riris. Kuketuk pintunya pelan. Suara tangis Kayla seketika berhenti.

Pintu terbuka, wajah Riris yang cemberut menyembul dari dalam.

"Ada apa?" Tanyanya datar. Wajahnya sangat tak enak dilihat. Kuredam emosiku dalam-dalam melihat sikapnya yang sangat tak menghargaiku sebagai kakak iparnya.

"Mbak bawa puding untuk Kayla. Bawalah Kayla keluar."

"Nggak usah!" Sentaknya langsung dengan suara keras, membuatku terkejut.

"Loh? Kenapa?"

"Mbak nggak usah munafik deh. Mbak sebetulnya nggak suka kan aku tinggal disini? Sampai tanya-tanya ke Bang Radit segala? Tahu nggak Mbak, gara-gara Mbak tanya ke Bang Radit itu, kami bertengkar."

Aku terdiam. Rupanya Radit menegur Riris, padahal aku sudah bilang padanya agar tak usah menegur Riris. Nanti saja kalau dia pulang supaya tidak terjadi salah paham. Tapi kalimat Riris berikutnya justru membuatku makin terkejut.

"Untung saja aku sadap WA Bang Radit. Kalau nggak entah Mbak ngomongin aku apa di belakangku, menjelek-jelekkan aku, aku nggak bakalan tahu."

Akh menyipitkan mata. Adik iparku ini pelan-pelan mulai menunjukkan tajinya.

"Kamu menyadap WA Radit?"

"Iya. Aku nggak mau dia melakukan hal-hal aneh di belakangku."

"Oke. Karena kamu sudah tahu, kalau begitu sekalian saja aku tanya. Selama ini Radit memberimu nafkah tujuh juta sebulan, sementara untuk kebutuhanmu dan Kayla, semua Ibu yang menanggung. Tapi kenapa kau selalu membuat status di F* dan WA seolah-olah adikku tidak pernah memberimu uang?"

"Eh…" Dia tampak terkejut. Mungkin tak menyangka aku akan langsung mengkonfrontasi pernyataannya. Sudah lama aku merasa ada yang janggal dengan adik iparku ini. Sikapnya yang tak pernah menghormatiku dan Ibu, bahkan cenderung memanfaatkan ibuku.

Tiba-tiba saja dia menangis, memeluk Kayla yang muncul dari dalam kamar.

"Tuh lihat Tantemu, Kay. Semua keluarga Papamu itu sama. Cuma pura-pura sayang. Ayo, Nak. Ikut Mama. Kita pergi dari rumah ini."

Aku tertegun sejenak, menatap wanita di depanku, adik iparku yang kini mulai kulihat wujud aslinya. Seekor ular berbisa yang sangat pandai bersandiwara.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status