Share

Bab 2

STATUS WA ADIK IPARKU 2

"Ada apa ini?"

Aku menghela nafas. Di hadapan Ibu, aku tak bisa bersuara keras. Ibuku adalah wanita yang lembut hati dan pengalah. Itu jugalah yang membuat rumah tangga orang tuaku langgeng hingga dua puluh lima tahun lamanya, sampai Ayah dipanggil Tuhan setahun yang lalu. Tapi sayang, sifat Ibu itu ternyata juga dimanfaatkan oleh adik iparku ini untuk kepentingan pribadinya.

"Mbak Andin berusaha mengadu domba aku dengan Bang Radit, Bu."

Riris menangis, mengadu lebih dulu.

"Mentang-mentang keluargaku orang susah, Mbak Andin menuduh aku yang bukan-bukan."

Playing victim. Jika kita berhadapan dengan musuh yang memang menunjukkan kejahatannya, itu lebih baik bagiku. Berbeda jika seseorang yang pura-pura terzolimi, nyatanya dia menusuk dari belakang.

Ibu menghela nafas, menatapku sejenak.

"Aku nggak pernah nuduh ya. Aku cuma mau klarifikasi. Aku malu baca status WA-mu itu. Seolah-olah, adikku nggak menafkahi kamu."

Riris makin kencang menangis. Mungkin merasa terpojok dan tak tahu harus menjawab apa, dia malah makin mengumbar air mata. Dia menarik tangan Kayla masuk dan menurunkan tas dari atas lemari. Lalu memasukkan baju-bajunya secara asal-asalan.

"Eehh… kenapa ini? Kamu mau kemana Ris?"

Ibu ikut masuk ke kamar, mengambil Kayla yang masih sesenggukan.

"Aku mau pulang ke rumah orang tuaku aja, Bu. Disini aku dianggap benalu sama Mbak Andin. Padahal kan aku disini nemenin Ibu. Gimana coba kalau Ibu masuk angin? Atau sakit tengah malam? Siapa yang nolongin kalau Ibu sendirian?"

"Gampang. Ibu bisa tinggal sama aku."

"Andin…" Ibu menegurku. Aku tahu beliau tersentuh oleh kata-kata Riris barusan. Padahal, cuci piring saja dia tak mau. Boro-boro mengurus Ibu.

"Sudah jangan dibahas lagi. Kamu tahu Ibu nggak bisa meninggalkan rumah ini."

Aku mendesah. Selalu begitu. Pembicaraan kami akan mentok setiap kali opsi membawa Ibu tinggal di rumahku, ku lontarkan. Ibu tak pernah mau meninggalkan rumah penuh kenangan ini. Bersama Ayah, beliau membangun rumah ini mulai dari sebidang tanah sampai menjadi rumah permanen. Aku dan Radit lahir dan dibesarkan disini, dan di rumah ini juga Ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Riris tahu benar sejarah rumah ini dari Radit sehingga dia memanfaatkan keengganan Ibu untuk pindah. Sementara aku, tak mungkin memaksa Mas Reno tinggal serumah dengan Ibu. Dia lelaki yang punya harga diri tinggi.

"Sudah… sudah… ini pasti cuma salah paham. Ibu nggak mau anak menantu Ibu nggak akur. Ayo Kayla ikut Nenek. Tante Andin bawa puding."

Kali ini Riris membiarkan saja Ibu membawa Kayla ke dapur. Sementara aku masih berdiri di ambang pintu, menyaksikan dia menekuri tas yang baru diisinya dengan beberapa lembar baju. Tampak sekali dia gelisah melihatku tak juga beranjak. Selama ini aku diam karena menghormati Ibu dan juga menghargai adikku. Tapi teringat chat WA terakhir Radit membuatku mulai meradang.

(Kata Riris, dia sering bantu Ibu nambah modal warung Mbak, makanya tak pernah punya uang lebih. Ya wajarlah kalau dia ambil apa-apa dari warung. Kan ada uang Riris juga disitu.)

Wanita yang pandai berdusta dan berakting ini telah membohongi adikku ternyata, entah sudah berapa lama.

Riris bangun dari lantai, membiarkan tasnya tergeletak, lalu melangkah mendekat padaku.

"Mbak ngapain masih disini?"

See? Sebagai seorang adik ipar, dia tak punya rasa hormat padaku. Oke fine, aku masih bisa menerimanya. Tapi kalau dia memanfaatkan Ibu, apalagi memeras tenaganya dan menjadikan Ibuku kambing hitam, dia akan tahu berhadapan dengan siapa.

"Aku tidak peduli kemana semua uang yang diberikan adikku padamu. Tapi sekali lagi aku melihatmu memfitnah Ibu dan menjadikannya alasan atas perginya uangmu itu, aku tak akan tinggal diam. Ingat itu baik-baik."

Riris terdiam. Wajahnya memerah, tapi dia tahu percuma berdebat denganku. Dia akan mencari cara lain, seperti biasa, seolah olah menjadi orang yang paling tersakiti. Namun, aku telah siap untuk itu.

Kutatap wajahnya yang tertunduk, lalu membalikkan langkah. Dapat kurasakan dia menatap punggungku dengan tatapan benci.

"Oh ya." Aku berbalik. Dan benar saja, dia segera menunduk lagi. "Satu lagi, jangan perlakukan Ibuku seperti pelayanmu. Segera ke dapur dan bereskan piring bekas makanmu. Sekarang."

Aku menatapnya sekian detik, menegaskan maksudku. Ibu mungkin terlalu lemah dan pengiba, tapi aku tak bisa diam saja. Mungkin suatu saat, Radit perlu tahu kelakuan istrinya ini.

***

Aku meninggalkan rumah Ibu dengan perasaan gelisah. Teringat bagaimana Riris melanjutkan cucian piring Ibu dengan gerakan kasar. Suara denting piring yang beradu dengan sendok, juga suara panci dan wajan yang sengaja diadu keras-keras menandakan dia tak ikhlas mengerjakannya.

"Kalau kerja yang ikhlas. Masa piring bekas makanmu, mertua yang nyuci. Bahkan pindah dari meja aja nggak. Kalau kamu jadi menantuku, udah kupecat kamu." Bisikkku. Aku sudah nggak peduli lagi dengan imej ku yang anggun selama ini. Kalau dia bisa main kotor, maka aku juga bisa.

Sisa hariku di rumah Ibu kuhabiskan dengan berbelanja kebutuhan warung. Kuajak Kayla ikut serta Indo Grosir, sekalian menyetok susu UHT untuknya. Ya, meski ibunya sering bikin jengkel, aku tetap sayang pada Kayla.

"Ini jangan lupa dicatat Bu, setiap ada barang yang keluar, biar capeknya Ibu nggak sia-sia."

Ibu mengangguk. Berdua kami menata isi warung sementara Kayla sudah kembali ke kamarnya.

"Jangan terlalu keras sama Riris. Kasihan dia, sudah jauh dari Radit."

Aku mendesah, kupegang tangan Ibu.

"Ibu, Andin nggak akan keras padanya kalau dia memperlakukan Ibu dangan baik. Mulai sekarang, tolong jangan mencucikan piring bekas makannya, apalagi bajunya. Nggak elok Bu. Kalau Ibu sayang padanya, didik dia jadi istri, Ibu dan menantu yang baik. Seperti Ibu mendidik Andin dulu."

Kini, membayangkan Ibu bertiga saja dengannya dan Kayla di rumah itu membuatku gundah. Ibuku belum terlalu tua. Usianya masih lima puluh lima tahun. Tapi beliau orang yang sangat lembut dan penyayang. Ibu menerima saja semua perkataan Riris. Misalnya, ketika dia mengaku tangannya luka hingga tak bisa mencuci piring. Masuk angin dan membiarkan pakaian kotornya dan Kayla berhari-hari di keranjang baju kotor, hingga Ibu mesti turun tangan. Padahal aku tahu semua itu hanya alasan untuk menutupi kemalasannya.

Tiba di rumah, Mas Reno masih belum pulang. Aku duduk di sofa, memandangi rumah yang sunyi tanpa celoteh anak-anak. Iseng, kubuka akun F*-ku, kadang suka kutemukan video anak-anak yang lucu, yang kerap menghibur hati. Tapi kali ini, lagi-lagi, status Riris lewat di beranda paling atas.

(Ipar jahat dan julid itu beneran ada gaes. Pantas aja nggak hamil-hamil dia. Padahal anak itu pengikat hati suami. Hati-hati loh, suamik digondol pelakor.)

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Maida Fatmawati
dasar ipar kurang ajar
goodnovel comment avatar
Isabella
ingin ku jitak aja palanya si riris
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status