STATUS WA ADIK IPARKU 32I KNOW WHAT YOU SAW A FEW DAYS AGOSelembar kertas bertuliskan satu kalimat itu berada di dalam kantong kertas tempat makan siangku diantar oleh kurir. Motel ini memang tak memberi layanan makan siang dan malam, pun sarapan pagi hanya sekedarnya. Maklum motel murah. Sesungguhnya aku tak berselera makan. Semua yang masuk ke perutku hanya demi menjaga tubuhku tetap bertenaga. Aku membutuhkannya, karena sejak malam itu, sejak aku melihat Lidya diseret masuk ke dalam mobil, aku merasa hidupku akan semakin terjal. Makanan itu sudah terlanjur kupesan, dan kini bayangan Lidya dimasukkan dalam kantong mayat terus terbayang.Aku dipindahkan ke gedung lain, disebelah, yang masih merupakan satu pekarangan dengan motel yang kini ditutup oleh kepolisian. Semua pengunjung diinterogasi, termasuk aku. Aku hanya bisa mencari aman dengan mengatakan tak tahu apa-apa. Aku terlalu lelah untuk mengamati dan mendengarkan orang lain. Untunglah, kemampuan aktingku masih mumpuni. Polis
Bab 32BRefleks, aku menoleh ke samping, tepat saat dia juga menoleh padaku. Aku membaca dengan jelas keterkejutan di matanya. Keterkejutan yang sama, yang pastinya dia baca dari mataku."Riris…""Mbak Andin?"Sungguh Allah maha besar!Aku mencarinya kesana kemari, melarung kan doa dalam setiap sujud panjang agar dia disadarkan dan kembali meniti jalan pulang. Ternyata begitu mudah bagi Allah menuntun kami agar bertemu kembali. Sygesaat tadi, aku menyadari bahwa dia menempati porsi yang sama besarnya dalam doaku. Dan kini, kami saling tatap, masih mengenakan mukena. Riris tampak cantik sekali dibalut mukena seperti itu. Matanya sembab dan ada sisa-sisa air di ujung ujung matanya.Kami kehilangan kata-kata. Mas Reno yang kemudian berbalik, ikut terkejut melihat siapa yang ada di belakangnya."Ayo kita pulang. Kayla menunggumu."Riris tersedu lagi. Dia beringsut menjauh dariku. Tak ingin kehilangannya, aku langsung meraih tangannya."Sebesar apapun kesalahanmu di masa lalu, jika kau sud
STATUS WA ADIK IPARKU 33Tak ada yang lebih mengharukan dari pertemuan ibu dan anak yang telah terpisah meski hanya beberapa bulan lamanya. Kayla langsung melorot turun dari gendongan Nayla - yang aku tak tahu sejak kapan dia datang - dan berlari memeluk Mamanya. Riris menangis tersedu, menenggelamkan wajahnya di rambut Kayla."Mama kemana aja?"Riris terdiam, tak tahu hendak menjawab apa. Sementara Ibu yang berdiri di sudut ruang, menyusut mata dengan ujung lengan bajunya. Nayla sendiri tertegun, lalu mengundurkan diri dan berdiri di depanku. Aku tahu dia tengah mendekati Kayla, karena rasa sukanya pada Radit. Sejauh ini, mereka cukup akrab. Tapi tentu saja, Riris tak akan pernah bisa hilang dari hati Kayla.Aku menghampiri Ibu, sementara Nayla melangkah ke dapur, mungkin membuat minuman. Dia memang mulai akrab dengan rumah ini meski belum bertemu lagi dengan Radit. Kami duduk di sofa, membiarkan mereka berdua menuntaskan rindu."Dimana kau bertemu Riris, Nak?"Aku menceritakan penca
BAB 33B"Ndin, makanlah duluan. Kasihan bayimu. Mungkin Reno sedang ada halangan di jalan."Aku terdiam, mengusap perut, menenangkan bayiku yang sejak tadi bergerak gerak. Dia tampaknya mengerti kegelisahan hatiku. Bagaimana aku tak cemas? Kami jalan beriringan dari mushola. Mas Reno bilang hanya perlu mengisi bensin sebentar. Dan kini, sudah jam sembilan tiga puluh, dia belum juga tiba, sementara teleponlu tersambung tapi tak diangkatnya. Aku resah, bolak balik menatap ke jalan raya, berharap suamiku segera tiba."Ndin…"Mama berjalan dari dapur sambil membawa piring berisi nasi dan lauk lengkap. Beliau menyorongkannya padaku disertai tatapan mata yang tak ingin ditolak. Aku mendesah, menerima piring itu dan mulai makan. Duduk di seberang kursiku, Riris yang tengah memangku Kayla yang tertidur.Tadi, perlahan lahan, Riris menceritakan kemana saja dia selama ini. Sejak aku dan Radit meninggalkannya di rumah orang tuanya. Kedatangannya ke rumah Hendra, lalu terbangun di rumah bordil. J
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 34PoV EMILY"Em, ini beneran kamu punya hubungan sama Pak Arfan? Serius?""Ish, masih nanya. Masa nggak liat gimana bos kalau sama Emi."Bukan aku yang menyahut, tapi Riana. Dengan sadis, dia menyodok bahu Raya dengan sikutnya. Membuat si pemilik bahu meringis kesakitan. Aku tertawa, entah sejak kapan mereka sedekat ini. Tapi aku senang melihatnya. Keinginanku dulu agar Bang Arga jadi pacarnya Riana saja, sepertinya harus ku pupus. Cinta tak bisa dipaksakan. Aku justru selalu teringat pada Winda, yang sampai kini, nyaris sebulan lamanya tak juga ada kabar. Mas Arfan masih berusaha dan menyuruhku bersabar. Kami harus berhati-hati kalau tak ingin dikenakan pasal penculikan."Yaahh, benar-benar musnah harapan gue."Raya menyandarkan kepalanya di sandaran kursi dengan ekspresi sedih yang berlebihan. Riana melotot."Kan ada gue."Raya melirik dengan sadis. "Males lah. Ntar lo bucin sama gue, kelar idup gue."Aku tertawa sementara Riana mencubit Raya tak terima. Se
Mobil berhenti di depan sebuah rumah mungil bercat putih bersih. Halamannya kecil, hanya muat satu mobil saja. Tapi meski begitu, beragam pot bunga tertata dengan apik di teras, sehingga teras kecil ini terlihat segar dan enak di pandang mata."Ini rumah siapa, Mas?"Mas Arfan tidak menyahut. Dia menarik tanganku masuk ke dalam rumah yang tak terkunci. Ruang tamunya kecil, dengan satu set sofa minimalis yang berwarna putih bersih. Aku tertegun sejenak mendapati rumah sepi sekali. Kakiku kaku, tak mau diajak bergerak. Aku menatap punggung Mas Arfan yang menarik tanganku, tapi tertahan karena aku tak mau bergerak."Kenapa?"Aku menarik tanganku dengan sekali sengak."Mau apa Mas ngajak aku kesini? Aku… aku memang mencintai Mas. Tapi aku bukan cewek murahan."Matanya melebar sesaat. Lalu tak lama, tawanya berderai. "Ya Tuhan, jadi kamu pikir…?"Aku menatapnya, lalu memandang pintu depan yang tertutup, dengan hati tak menentu. Aku rasa, kalau dia macam-macam, aku bisa lari dan kabur dari
STATUS WA ADIK IPARKU 35PoV RIRISAku menunggu sampai acara pemakaman selesai, menelusup di antara para pelayat yang luar biasa banyaknya. Satpam dan para penghuni rumah ini tak ada yang menyadari. Aku ikut ke pemakaman, ikut menangis dari balik bahu orang lain, menunduk menyembunyikan air mata. Bagaimana aku tak menangis? Lelaki ini, meski perkenalanku dengannya amat singkat, memberi banyak perubahan dalam hidupku. Dia melepaskanku dari sangkar Mami Dewi, memberiku hidup layak meski belum bisa memberi hidup yang terhormat. Melimpahiku dengan uang. Uang yang banyak, yang aku yakin menjadi alasan istrinya ingin membunuhku.Pukul lima sore, rumah mulai sepi. Para pelayat, saudara dan teman yang datang telah pergi. Mas Luki berusia empat puluh tahun. Dua anaknya sedang kuliah di luar negeri sehingga rumah ini hanya dihuni Nyonya Arlene istrinya dan beberapa pelayan. Sangat banyak pelayan berseragam. Saat sang tuan rumah sibuk bersalaman dengan tamu-tamu yang pamit usai mengucapkan bela
Bab 35B"Kau mantan adik ipar Andin kan? Kenapa kesini?"Ibu mertua Mbak Andin yang membuka pintu rumah menatapku dengan pandangan penuh selidik."Saya ingin bertemu Vira.""Vira tidak tinggal disini. Dia di rumah suaminya.""Apakah Ibu tidak tahu bahwa Mas Reno hilang?""Apa?!"Sesaat, aku merasa bersalah karena menanyakan hal itu. Mungkin saja, Mbak Andin memang sengaja merahasiakan hilangnya Mas Reno. "Apa maksudmu Reno hilang?""Saya… oh… ceritanya panjang. Tapi tolong beritahu saya dimana rumah Vira. Mungkin saja, Mas Reno ada bersamanya."Sang ibu mertua menggeleng."Tak mungkin, Vira tinggal bersama suaminya."Aku menatap wanita setengah baya itu dengan ragu."Apa Ibu tak tahu bahwa Vira dendam pada Mbak Andin? Aku pikir, dia menculik Mas Reno."Sang Ibu tiba-tiba tertawa. "Kau ini kebanyakan nonton sinetron. Sudahlah, pergi saja. Kalau kau masih penasaran, cari Vira di Villa Anggrek nomor Enam. Itu rumahnya."Lalu pintu tertutup di depan mataku. Aku mendesah, merogoh saku cel