Share

Bab 5. Mulai Jujur

* Kamu tahu obatnya malarindu?

* Yap benar, Bodreks-sun ...

***

Aku merasakan kepalaku berat dan tercium aroma yang sangat familiar dengan indera penciumanku. Aroma rumah sakit.

"Bunda."

Aku menghela nafas berat. Dua selang oksigen tertancap di kedua lubang hidung.

"Ganis! Kamu sudah sadar? Apa yang kamu minum sampai seluruh badan kamu dingin semua?" tanya bunda cemas.

"Bunda, Ganis baru saja sadar. Jangan menghujani dia dengan berbagai macam pertanyaan dulu. Biar dia istirahat." 

Terdengar suara ayah yang sedang duduk di sofa ruang rawat inap.

"Tadi Erick dan mamanya kemari menjengukmu. Keluarganya sudah sampai ke penginapan. Mereka tampak sangat mencemaskanmu. Mas tidak mengerti kenapa kamu meminum diazepam secara berlebihan."

Mas Aris membuka suara. Aku menunduk. Ayah dan bunda terkejut.

"Diazepam apa itu?" tanya bunda.

"Obat tidur. Aris menemukannya di laci meja rias. Dulu saat Ganis imsomnia akibat tugas kuliahnya yang menumpuk, dia selalu mengkonsumsi diazepam. Mas baca sebotol isi 100 butir tadi mas lihat isinya tinggal 50 butir. Kamu minum berapa kemarin?" tanya mas Aris.

Aku menunduk. 

"Sudah Ris. Jangan pojokkan adikmu. Kasihan dia. Sudah tertidur dari kemarin dan baru sekarang siuman, jangan dibebani dengan macam-macam pertanyaan." 

Lagi-lagi ayah melindungiku.

"Ti-tidak. Mas Aris benar. Aku menyembunyikan sesuatu tentang mas Erick."

Ayah terlihat memucat.

"Ada apa dengan Erick? Bukankah dia pria yang paling sopan dan paling baik yang pernah kita kenal sebelum ini?" tanya bunda.

Aku tersenyum miring. 

"Mana ponsel Ganis?" tanyaku pada seluruh anggota keluarga yang ada di dalam ruangan yang sama denganku.

"Mas gak bawa. Mungkin di kamar kamu di rumah."

"Tolong bawa kesini, Mas. Ada yang mau Ganis tunjukkan ke mas Aris, Ayah, dan Bunda." 

'Baiklah aku telah memilih untuk memberitahukan seluruh keluargaku tentang rencana Erick dan ibunya. Daripada aku harus sengsara sendiri memikirkan pengkhianatan Erick.'

Mata mas Aris membulat. "Tentang apa sih? Memangnya ada kaitan apa sih antara ponsel kamu, Erick, dan juga tentang kondisi kamu saat ini?" tanya mas Aris.

"Ada! Dan berkaitan erat pula dengan cerita yang dirahasiakan oleh Ayah dan Bunda."

Ayah dan bunda berpandangan. "A-apa yang kamu ketahui, Nis?" tanya ayah lirih.

"Akan kujawab setelah ponsel ku ada disini."

Aku memejamkan mata lagi. Kepala masih merasa pusing dan badan melayang.

"Dan tolong, tinggalkan aku sendiri Yah. Sampai 3 atau 4 jam, Ganis ingin disini sendirian. Tolong jangan biarkan siapapun masuk termasuk mas Erick sekalipun," pintaku. 

"Tapi Ganis, bagaimana pernikahanmu?" tanya Bunda. 

"Ssst, Bund. Kita keluar saja dulu sesuai permintaan Rengganis."

Ayah menarik tangan Bunda menjauh.

"Oh iya, ada seseorang yang sangat mencemaskanmu saat kamu masuk UGD dengan kondisi lemah. Mas gak tahu apa dia selingkuhanmu atau tidak sehingga kamu jadi berubah terhadap Erick. Tapi tolonglah, jangan mudah main hati jika sudah memilih hati yang lainnya."

Aku membuka mata lagi. 'Apa maksud mas Aris? Kenapa aku yang dituduh selingkuh hanya gara-gara sikapku pada Erick telah berubah?'

"Ganis tidak seling ...,"

Belum sempat aku menuntaskan kalimatku, mas Aris meninggalkan kamarku sambil berujar, "namanya Reyhan."

"Apa? Reyhan? Tidak mungkin," gumamku karena aku tahu dengan pasti siapa Reyhan.

***

"Kamu tidak apa-apa, Nis?" tanya mas Erick dengan wajah cemas.

"Gimana dong dengan rencana akad kalian Sayang kalau kamu sakit? Apa kamu belum cuti kerja?" tanya ibu mas Erick seraya mengelus rambutku.

'Hih, pura-pura segala. Najis!' umpatku dalam hati.

Aku telah tidur nyenyak selama 5 jam. Dan begitu bangun tahu-tahu Mas Erick dan ibunya sudah ada di sofa tempat aku dirawat bersama keluargaku.

"Mana ponselku?" tanyaku lemah.

"Ada di laci bufet samping kamu tidur," jawab mas Aris pendek. 

"Apa ada yang menyentuhnya selain mas Aris?" tanyaku cemas. 

"Tidak ada. Kenapa sih bangun tidur malah Hp saja yang dipikirkan. Coba pikirkan tentang pernikahan kita?" tanya mas Erick mengelus rambutku.

'Hilih, pura-pura! Sekarang kamu mengelus rambutku setelah semalam kamu tidur dengan Anin. Untung saja sebelum menelan diazepam kemarin, passwordnya sempat kuganti.'

"Kita akan tetap menikah sesuai jadwal yang tertera di undangan."

Mas Erick dan ibunya langsung tersenyum lebar. 

'Ya Tuhan, apa sebegitu inginnya kamu menikahiku dan membuatku menderita, Mas? Lalu apa artinya perhatian kamu selama ini? Apa semua itu hanya omong kosong saja?'

Hatiku terasa nyeri mengingat rencana mas Erick dan ibunya.

"Kalau kamu masih sakit, jangan dipaksa menikah." 

Ibu Mas Erick tersenyum lalu mengelus rambutku. "Mama sangat berharap kamu bisa menjadi menantu Mama. Karena selama ini sudah begitu akrab dengan mu, Nis," kata ibu Mas Erick sambil memegang tanganku dan mengelusnya.

"Wah, setuju sekali. Ingat nggak Nis saat kamu dan Mama rujakan bareng, ke mall bareng, sudah seperti Bunda loh," timpal mas Erick.

Ayah dan Bunda tersenyum melihat akting Mas Erick dan ibunya. 

"Ini diminum dulu teh manisnya. Pasti kamu merasa haus dan lapar kan setelah pingsan begitu lama," tukas mas Erick lalu mengambilkan segelas teh hangat yang memang disiapkan oleh rumah sakit.

Mas Aris lalu memutar tuas yang ada di ujung ranjang pasien tempatku berbaring sehingga posisiku menjdi setengah duduk.

"Nah, ayo diminum dulu. Biar kamu merasa lebih segar." Mas Erick mendekatkan bibir gelas teh hangat ke mulutku.

Hoekkk! 

Kesel amat melihatnya! Tapi tak urung juga di depan keluargaku, kuminum teh hangat itu sedikit.

Aku mengulas senyum. "Ganis kuat kok Ma, Mas. Hanya ada sedikit masalah. Tapi besok Ganis minta pulang, karena sudah sehat."

"Kamu bisa cerita semua tentang masalah kamu sama aku. Kita kan setelah ini resmi menjadi suami istri. Jadi masalahmu adalah masalahku juga," kata mas Erick sambil mengembalikan gelas di atas nakas.

Mas Erick mengelus bahuku. Aku hanya bisa menanggapinya dengan tersenyum kecil. 

'Prettt! Ini masalahnya berkaitan dengan kamu, Bambang!'

"Iya, nanti mas Erick juga tahu tentang masalahku kok saat waktunya tepat."

Tiba-tiba ponsel yang ada di saku mas Erick berbunyi. Mas Erick segera meraih ponselnya lalu keluar dari kamar rawat inapku sebelum menerima panggilan telepon di ponselnya.

'Itu pasti dari perempuan itu. Kelihatan sekali dari ekspresi wajahnya.'

Tak lama kemudian mas Erick kembali ke kamar lalu berbisik ke telinga ibunya.

Ibunya mengangguk dan menatapku serta seluruh anggota keluargaku.

"Rupanya kami harus pulang. Ada urusan mendadak yang harus kami selesaikan," kata ibu mas Erick.

"Kami pamit dulu dan semoga lekas sehat ya Sayang."

Mas Erick dan ibunya berpamitan padaku.

Setelah mereka tak tampak lagi, aku meminta tolong mas Aris untuk mengambil ponsel yang ada di laci nakas.

"Paswordnya tanggal lahirku, silakan buka file rekaman, Mas. Ayah dan Bunda silahkan ikut mendengar apa yang telah Ganis rekam."

Mas Aris melakukan apa yang kupinta dan ayah bundapun mendekat untuk mendengarkan rekaman suara mas Erick dan mamanya.

Dan wajah merekapun terkejut!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
gitu dong bilang biar mereka tahu masalahnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status