LOGIN୨ৎ D E R R I N જ⁀➴
Tadi siang aku sama Marlin pulang ke Pecang, dan sekarang aku malah mengurung diri di rumah. Semua saudara-saudaraku lagi nongkrong di Brine & Barrel, Bar milik kakakku. Soalnya malam ini, adalah malam terakhir sebelum musim turis resmi dimulai. Dan semua orang di kota pasti mengadakan pesta. Harusnya, sih aku ikut, tapi masalahnya Mama sudah menelepon dua kali dan meninggalkan pesan suara, menyuruhku untuk segera menghubungi dia. Itu pertanda buruk, jelas pasti dia sudah tahu. Dan parahnya, kabar ini pun muncul saat semua keluargaku berkumpul malam ini. Timing-nya pas banget. HP aku berbunyi lagi. 📩 Marlin: Ditungguin Mamamu, tuh! Aku keluarkan napas panjang, terus menatap diriku di kaca. Rambut sudah rapi, makeup on point, terlihat sama persis seperti sebelum kita berangkat liburan, beberapa hari yang lalu waktu aku masih jomblo. Dan sekarang aku malah sudah jadi istri orang. Aku: Aku otw. Marlin: Pasukan Sunya semua udah pada ngumpul. Aku: Ada yang udah ngomongin sesuatu? Marlin: Belum, tapi Alzian terus aja nanyain soal liburan kita. Alzian itu bukan tipe orang penyebar gosip, jadi aku yakin dia enggak akan jadi masalah. Mungkin dia cuma basa-basi, agar orang-orang enggak menyerbu dia sama Khalisa tentang honeymoon mereka. Mereka kan juga baru pulang. Aku: aku kesana bentar lagi. Aku ambil tas selempang, keluar dari rumah yang aku tempati bersama saudara-saudaraku. Rumah itu tepat di seberang jalan dari rumah besar di bukit, tempat Mama dan Papa tiriku tinggal, rumah warisan dari Connie Sunya, nenek angkatku. Lokasi rumah kita di pinggiran alun-alun, jadi aku bisa hanya dengan berjalan kaki ke mana saja, termasuk ke stasiun radio tempat aku bekerja. Aku malas banget membayangkan harus kembali kerja besok pagi dan kemungkinan semua orang sudah tahu kabar tentang pernikahanku. "Kenapa sih aku enggak bisa nikah sama orang biasa saja?" Aku jalan melewati beberapa kerumunan orang yang sedang nongkrong di depan toko-toko di sepanjang jalan. Semua orang menyapaku, senyum, dan bilang halo. Tapi enggak ada yang bilang “Selamat ya.” Itu pertanda bagus, artinya berita ini belum sampai sejauh itu. Sepuluh menit kemudian, perutku langsung mual, saat aku buka pintu Brine & Barrel. Semua keluarga besarku sudah berkumpul di meja panjang sebelah kiri Bar. Aku pun menyapa orang-orang sambil menyelip di antara kerumunan. Marlin sudah siapkan segelas bir untukku, jadi aku langsung duduk di depan dia. Aku condongkan badan, dan berbisik kepadanya, "Menurutmu, Mama udah tahu?" Marlin melirik ke arah Mama yang sedang asyik bersama keluarga. "Dia enggak ngomong apa-apa, tuh, tapi jelas pingin ngobrol sama kamu." Aku duduk tegak di bangku. "Derrin!" Mama berdiri, memanggilku sambil melambai. Saat Mama menghampiriku, sekumpulan orang yang masuk pun menutupi jalan. Marlin langsung gigit bibir, menahan tawa. Aku harus berpikir cepat. Kakakku, Danny, muncul di belakang Bar di samping Marlin, membawa setumpuk gelas kosong. "Sial, kamu enggak bakal percaya siapa yang barusan masuk," katanya. "Ya ampun, aku harus tahu enggak, nih?" ledek Karin, sahabatnya kakak tiriku, Alvaro. "Cie-cie, jangan-jangan mantan di SMA dulu, ya?" "Bukan." Danny masih memandang ke arah pintu. Sebelum aku sempat menengok, kakak tiriku, Aldani, sewot. "Derrin, aku bayar Marlin tuh buat kerja, kamu ngerti, kan?" "Derrin!" Mama melambai heboh. Untung saja ada nenek-nenek pakai tongkat yang menghalangi jalannya. "Hey, Derrin, kita harus bicara." "Toyi The Rock," kata Danny dan aku langsung pucat. "Siapa?" tanya Dhea, adikku. "Petarung MMA itu?" celetuk Alvaro. "Enggak mungkin!" Luno, sahabatnya Almorris, kakak tiriku langsung menengok ke arah pintu. Sementara aku panik, sepanik-paniknya. "Ngapain dia ada di Pecang?" Althaf memekik, "Oh, ya, ampun. Dia cakep banget." Itu langsung bikin Luno kasih tatapan tajam. "Aldani, kamu diam deh. Aku butuh pendapatnya." Aku berusaha santai, padahal kesalahan terbesarku sebentar lagi akan terbongkar di depan semua orang. "Derrin," panggil Marlin, matanya melebar saat melihat ke arah belakangku. Aku angkat tangan ke arah Marlin. "Kenapa, sih Mamamu itu?" Aldani masih sewot. "Kayaknya ada hal penting, tuh? "Derrin," panggil Marlin lagi, lebih kencang. Sumpah, aku bisa merasakan energinya di belakangku. "Derrin!!" Marlin makin keras lagi. "Apa, sih?" sahutku akhirnya, dan Marlin langsung tunjuk ke belakangku. Aku bukannya bodoh, aku tahu persis siapa yang ada di sana. Aku putar bangku, dan di situ ada Toyi The Rock. Pakai Jeans, kaus, hoodie. Sama seperti terakhir aku lihat, tapi sekarang dia sudah cukur rapi dan rambutnya tertata. Dia terlihat keren. Kelewat keren malah. Danny akhirnya menyapanya, "Eh, bro, ada yang bisa aku bantu?" Toyi menggeleng, tatapannya enggak lepas dari mataku. "Siapa cowok ini?" Donna pun menyenggolku pakai siku, baru aku sadar kalau dia sudah di sampingku. "Aku suaminya." kata Toyi. Seisi Bar pun langsung mengheningkan cipta. Dia bego banget. Dia seharusnya enggak mengumumkan itu di sini, di depan semua orang. "Enggak, kok." sahutku cepat-cepat, memperhatikan wajah kaget seluruh keluarga. "Derrin!" Mama akhirnya menyusul, tersengal-sengal seperti habis lari maraton. "Kita harus bicara." Aku lempar tatapan ke Mama, terus ke Toyi. "Nanti ya, Ma." Aku berdiri, menyambar tangan Toyi, terus tarik dia keluar Bar. Aku tarik dia ke trotoar, dan kita langsung berhadapan. "Kamu ngapain ke sini?" "Kamu kabur dari aku." jawabnya. "Eh … kita tuh mabuk, Toyi. Kamu pasti enggak benaran pingin nikah sama aku kalau kamu waras." Dia maju selangkah ke arahku. "Aku kira aku udah jelas kan tadi pagi aku bilang kalau aku pingin ngobrolin ini, kenapa kabur?" Aku tarik napas panjang, menyilangkan tangan di dada. "Ini tuh kesalahan, ya." Dia menengok ke kanan, naikkan alis. Aku ikuti arah tatapannya, keluargaku sedang menonton kita dari balik jendela. Aku buru-buru tarik dia lebih jauh, sampai kita berhenti di depan toko bukunya Maya. "Aku enggak merasa ini kesalahan." katanya. Aku angkat tangan. "Kamu bahkan enggak kenal sama aku." Dia senyum, dan perutku langsung berbunga-bunga. Pasti itu juga yang bikin aku kemarin bisa kelewat tolol untuk setuju menikah sama dia. "Tapi aku pingin kenal kamu." Aku pelototi dia, tapi dia malah tertawa. Kenapa sih dia seperti merasa semua ini lucu? "Oke, aku akuin, itu jelas keputusan karena alkohol." "Benar." Dia cuma angkat bahu santai. "Terus gimana kamu bisa nemuin aku di sini?" Beberapa orang lewat, aku bisa dengar bisikan yang menyebut namaku. "Kamu, kan harus nulis alamat di surat nikah kita." Ya ampun, kenapa aku enggak kepikiran sampai ke situ? "Kalau aja kamu enggak kabur, aku udah niat kasih surat itu ke kamu buat kenang-kenangan." Dia berkedip. Aku menyipit. "Enggak lucu!" Dia angkat tangan. "Aku enggak bilang itu lucu." "Aku yakin kamu bisa dapatin nomor HP aku, dan kamu enggak perlu sampai samperin aku ke sini." "Emangnya kamu bakal angkat telpon aku?" Dia naikkan sebelah alis. Dia ada benarnya. Jelas aku enggak bakal angkat. Tiba-tiba ada yang memanggil namaku dari seberang jalan, aku langsung menutup mata. Dosa apa sih aku di kehidupan sebelumnya, sampai harus mengalami hal ini? Aku balik badan, peluk nenek angkatku. "Nek." Aku mengangguk juga ke arah sahabatnya. "Shaenette." "Oh, kamu pendatang baru, ya?" kata Connie ke Toyi. Dia ulurkan tangan. "Toyi The Rock, Oma." Connie mengibaskan tangan. "Jangan panggil Oma, bikin aku tambah tua aja." Setelah itu, Connie menyalaminya juga. Kepalanya langsung mondar-mandir antara aku sama Toyi. "Jadi kalian kenal dari mana?" "Cuma temanan aja," bohongku , sambil memelototi Toyi. "Temenan?" sahut Shaenette. "Bukan itu yang kita dengar." Dia ulurkan tangan ke Toyi. "Aku fans berat kamu." Aku harusnya sudah menebak. Mereka pasti nongkrong bareng di Panti Jompo, buat menonton pertarungan Toyi. "Makasih." Toyi jabat tangan dia. "Boleh foto bareng? Cucu-cucu aku bakal histeris kalau aku kasih lihat." Shaenette menyodorkan HP ke aku. "Ayo, Connie!" Aku mengatur posisi HP buat foto, sementara Connie mencolek Toyi. "Aku ini nenekmu, by the way." Toyi menyeringai. "Ya, ampun. Beruntung banget aku, Nek." Semua orang langsung mandang ke arahku, jadi aku cepat-cepat jepret foto dan kembalikan HP ke Shaenette. Tapi efeknya malah bikin beberapa orang Pecang mulai menggosip, bisikan namaku pun semakin ramai. "Yuk, kita rayain!" Lengan Shaenette tersangkut di lengannya Toyi, terus memutar badan, bawa dia kembali ke Bar. "Hey, aku sama Toyi belum selesai ngobrol," protesku ke punggung mereka yang sudah jalan. Connie merangkulku. "Santai aja, have fun. Walau terakhir aku dengar, sepertinya kamu sudah kelewat have fun akhir-akhir ini." Dia menengok ke depan. "Pantatnya besar." "Connie!" teriakku. Dia tertawa. "Jangan bikin aku harus masukkin Xanax ke minuman kamu biar kamu lebih lepas." "Astaga, nenek macam apa coba yang tega kasih obat itu?" "Jelas nenek tiri lah, jadi lebih seru, kan?" Dia berkedip. Kita masuk ke Bar, di mana Shaenette sudah duduk bersama Toyi di meja keluargaku. Dia menengok ke belakang, dan Marlin langsung menghampiriku saat Connie berkeliling menyapa semua orang. "Jadi?" tanya Marlin. "Aku enggak tahu kenapa dia ada di sini. Kita belum ngobrol lama sebelum tiba-tiba disamperin sama dua nenek sihir itu." "Ah, semua orang juga tahu kenapa dia di sini. Dia ke sini gara-gara kamu." Aku menengok ke sahabatku. "Enggak mungkin lah." "Kenapa enggak? Ayo akui itu, Derrin. Atlit ganteng MMA ngejar kamu karena dia pingin dapat kesempatan dari kamu. Itu romantis banget, tahu?" Danny tiba-tiba muncul di sebelah kita. "Selamat ya, adik. Minimal kamu milih cowok yang bagus." Aku mendengus. "Gosip cepat banget nyebarnya." "Selamat datang di Karma-town, hahaha," celetuk Aldani sambil bawa sepiring kebab melewati salah satu meja. Aku ingin teriak, ingin manyun seperti anak kecil. Tapi saat aku lihat mata biru Toyi yang berkilau mengarah ke aku, ucapan Marlin mulai masuk ke kepala. Dia datang sejauh ini gara-gara aku tapi masalahnya aku sama sekali enggak tahu apa-apa soal suami aku sendiri. "Sana gih, tolongin tuh cowok kasihan!" kata Danny sambil menyenggolku. Aku jalan pelan melewati ruangan. Tatapan Toyi enggak pernah lepas dari aku, bahkan saat dia lagi ngeles dari pertanyaan-pertanyaan keluargaku. "Ceritain soal pernikahannya, dong," kata Dhea, dan aku ingin banget tendang tulang keringnya saat aku duduk di sebelah Toyi. Toyi merangkul kursiku dari belakang. "Derrin itu pengantin yang cantik banget." Aku geleng kepala. "Enggak usah bohong deh!" Aku sampai memutar mata. "Itu pernikahan yang paling enggak masuk akal, selama aku di Bandung. Kita berdua mabuk, dan enggak ada satu pun dari kita yang ingat. Udah deh, sekarang kalian semua tahu, kan?" Alzian cekikikan keras, dan Khalisa langsung menyikut dia di rusuk sampai dia pura-pura kesakitan. Beberapa keluargaku pun tampak terkejut, meskipun sebagian besar malah terlihat senang karena Toyi, Petinju idola mereka mau duduk di meja bersama. Sampai-sampai aku enggak yakin kalau mereka mendengar apa yang aku katakan. "Jadi sekarang, ceritain dong soal istri aku, ini!" Toyi memajukan badan, sikutnya bersandar di meja saat Danny membawakan dia segelas bir. Aku geser jari ke leher, kode ke keluarga supaya diam, sambil melempar tatapan mematikan. Tapi namanya juga keluarga besar Sunya, enggak ada satu pun dari mereka yang mau diam, semuanya malah buka mulut.୨ৎ D E R R I N જ⁀➴ “Aku enggak nyangka butuh boots buat kencan ini. Dan aku juga enggak nyangka bakal ngos-ngosan gini.” Hiking, jelas bukan tipe kencanku, tapi aku enggak mau merusak momen. Toyi terlihat excited banget saat dia chat aku dari gym tadi, kasih tahu apa yang harus aku pakai. “Dikit lagi kok, habis itu kamu bisa copot. Tapi aku suka pemandangannya,” katanya. Aku tengok ke belakang dan menemukan dia lagi fokus memperhatikan pantatku. “Kayaknya masih kepagian deh buat pantatku muncul terus di depan mukamu.” Bangun dari ranjang Toyi pagi ini rasanya enak banget. Mencium aroma dia di sarung bantal, teringat bagaimana badannya menempel sama aku. Tangannya semalam yang enggak berhenti menjelajahi tubuhku. Aku menyesal banget kenapa enggak dari dulu mengambil langkah ini. “Sorry nih harus aku jujur, tapi aku udah naksir pantat kamu dari pertama kali kita ketemu.” Aku goyangkan pantat dan dia langsung maju dari belakang, kedua tangannya menekan bokongku. “Kalau kamu terus
Keesokan harinya, alarm HP-ku berbunyi. Aku tepok layar buat mematikannya. Derrin bergerak sedikit di pelukanku, dan aku kecup keningnya."Tidur lagi aja," bisikku, terus aku pelan-pelan turun dari ranjang.Aku enggak berharap banyak dari sesi latihan hari ini. Badanku masih pegal gara-gara “latihan” yang Derrin kasih tadi malam. Film yang kita tonton cuma bertahan lima belas menit sebelum dia mencium dadaku dan akhirnya berubah jadi hal lain.Ujung-ujungnya kita balik lagi ke shower, terus turun ke dapur jam dua pagi buat cari camilan. Aku enggak yakin berapa kali kita nge-seks di malam pernikahan di Bandung, tapi aku cukup yakin tadi malam jumlahnya mengalahi itu.Aku bohong kalau bilang enggak kepikiran bagaimana perasaan dia saat bangun pagi ini. Aku cuma berharap dia masih ada di titik yang sama kayak tadi malam, kalau akhirnya dia sudah berhasil menyebrangi jembatan traumanya.Setelah pakai celana latihan, kaos, sama hoodie, aku gos
୨ৎ T O Y I જ⁀➴ Aku benar-benar berharap ini bukan cuma mimpi gara-gara aku jatuh di shower, terbentur di kepala, terus berhalusinasi. Aku merangkak di kasur, hati-hati biar enggak menindih Derrin sepenuhnya, rasanya seperti mimpi. Apalagi setelah aku terus dihantui memori tentang memepetnya ke kaca di suite hotel waktu itu. Dia melilitkan tangannya ke leherku, jemarinya bermain di rambut basahku, menarikku turun biar bibir kita bertemu lagi. Tubuhnya lembut banget, licin seperti sutra, membuatku susah menahan diri untuk enggak langsung masuk ke dalam rahimnya. "Bentar, aku ambil kondom dulu," gumamku, melepas ciuman, meski aku enggak mau beranjak dari atas dia. Aku meraih ke meja samping tempat tidur, tempat aku menaruh kondom, karena memang aku sudah berharap dia bakal masuk kamarku suatu saat nanti. "Kamu tahu, kotak ini aku beli khusus buat kita." Aku ambil bungkusnya dan buka. Dia senyum, terus berlutut, membantuku memasangnya di sepanjang Juniorku. Gila, dia benar-
୨ৎ D E R R I Nજ⁀➴Aku duduk di ranjang, memandang kosong ke tembok. Bayangan mata biru Toyi yang biasanya penuh dengan ketulusan, tadi jatuh jadi putus asa setelah aku bilang aku enggak bisa. Itu terukir jelas di otakku.Aku copot sepatu, kesal sendiri karena Papaku lagi-lagi menghancurkan hidupku dengan masalah trust issue yang enggak selesai-selesai.Aku ambil HP, menelepon Marlin. Dia angkat di dering pertama.📞“Eh, girl!” Suaranya terdengar masih ramai, kayaknya dia masih di bar.“Kamu sibuk?” tanyaku sambil buka legging dan dalaman, terus ganti pakai celana piyama.“Kalau buat kamu, jelas enggak.”“Jadi, apa masalahnya?” tanyanya.“Kenapa kamu langsung mikir kalau ada masalah?” Aku nyalakan speaker, copot kaus, terus ganti pakai piyama model kancing depan. Dalam hati aku berpikir, setelah tidur nyenyak mungkin besok aku bisa baikan lagi sama Toyi.“Kamu punya nada khas, Derrin.”“Nada apa?”“Nada yang bilang, ‘aku lagi kenapa-kenapa.’ Ayo, cerita. Aku udah jadi sahabat kamu da
୨ৎ T O Y I જ⁀➴Begitu aku bilang ke Derrin kalau ini malam terbaik selama aku di sini, dia langsung bengong. Aku menunjukan beberapa gerakan ke para lansia, tapi sebenarnya mereka lebih pintar pakai pisau sama semprotan merica.Ada ibu-ibu yang bilang kalau dia bawa stun gun segala. Saat kita semua lagi makan es krim bareng, aku sempat kepikiran harusnya komplek ini pasang papan peringatan agar para penjahat berpikir dua kali sebelum macam-macam.Kita duduk melingkar di meja, aku bersama satu kakek namanya Lanon sama satu lagi Shanon.Topik obrolan mereka?Cuma peduli apakah payudaranya cewek-cewek yang pegang papan skor di ring itu asli atau bohongan.“Aku benaran enggak tahu,” jawabku lagi sambil melirik ke Derrin, yang masih sibuk menjelaskan ke Pingkan kalau "Tea" itu sebenarnya bukan teh benaran.Shanon bersandar ke depan. “Kita enggak bakal bilang ke Derrin atau Connie, kok. Ngaku aja, kamu benaran enggak pernah tidurin salah satu dari mereka? Gila, enggak percaya aku.”Aku meng
୨ৎ D E R R I N જ⁀➴Jam enam sore, Toyi turun dari kamarnya, dia habis mandi dan wangi banget."Eh, aku kira aku bakal siap duluan dari kamu." Dia berhenti di meja depan, masukkan dompet sama kunci ke kantong.Aku memutar badan ke arah pintu. "Kamu kelihatan rapi banget buat sekadar pergi ke panti jompo. Apalagi kamu mau ngajar bela diri."Dia membuatku merasa malu dengan outfitku, legging sama hoodie. Nenek Connie pasti bakal mengomentari bajuku di depan geng nenek-neneknya."Aku pakai baju olahraga, kok." Dia melihat ke dirinya sendiri seperti lupa apa yang dia pakai."Iya, tapi rambut kamu rapi, dan kamu wangi."Dia senyum. "Jadi, maksud kamu sebenarnya, kamu ngakuin kalau aku seksi ... dan wangi?"Aku memutar mata, pura-pura kesal karena dia berhasil menangkapku. "Ayo, lah."Aku buka pintu terus kita keluar ke halaman depan."Aku bisa nyetir kok," katanya."Aku kan udah bilang aku yang nyetir.""Yah, aku pingin nyetir aja. Aku harus hafalin lokasi-lokasi sekitar, dan aku juga belum







