Lima
Untuk pertama kalinya dalam hidup seorang Mahendra Malik, ia merasa benar-benar tidak berdaya. Hanya satu alasan yang membuatnya begini, yaitu baktinya sebagai seorang anak, kalau tidak, entah apa yang akan ia lakukan ...Tentu dunia tidak akan percaya begitu saja jika seseorang yang selama ini dikenal sebagai pribadi yang ar0gan penuh intimidasi itu telah takhluk begitu saja, tanpa melihatnya dengan mata kepala sendiri.Lihatlah sekarang, pria yang biasanya penuh aura kepemimpinan, kepala selalu terangkat dan dada yang membusung, kini hanya bisa tertunduk dengan bahu melorot. Kedua tangannya terkepal erat sehingga buku-buku jemarinya memutih, nafasnya terdengar berat dan memburu.Pria berusia 30 tahun itu, duduk di sofa empuk bernuansa putih gading di ujung ranjang, kedua tangannya yang terkepal itu tertumpu pada kedua lutut, mata itu yang semakin berkobar karena emosi terpendam terasa begitu panas seakan siap menghanguskan apa saja, tapi hanya berakhir tanpa daya pada karpet beludru yang melapisi lantai."Apa yang kau inginkan?" Mahendra membuka suara, setelah beberapa lama seseorang yang telah berhasil membuatnya jadi pecundang belum juga mengatakan apa maunya.Larasati, matanya yang dari tidak luput mengawasi Mahendra, memasang wajah datar. Telapak tangannya telah memerah karena dari tadi tidak henti meremas kelopak mawar yang tersebar di ranjang."Aku ingin kau menjadikanku istri sebenarnya." ujar Larasati pelan tapi dengan nada penuh kepastian.Mahendra terkekeh tanpa suara, lalu ia mulai mengangkat pandangan tepat pada wajah Larasati."Sudah kuduga, kau pasti akan meminta itu." Mahendra tergelak sinis.Larasati tersenyum datar,"Pastinya kau akan mengabulkannya kan?" "Tentu saja aku akan mengabulkannya, kalau tidak bisa-bisa kau akan berlari lagi ke kamar orang tuaku." ucap Mahendra sembari menarik ujung kausnya, meloloskan dari kepala dan sekejap perut kotak-kotak, dada yang bidang bahu lebar dengan otot-otot kuat terpampang di pandangan Larasati.Larasati manarik nafas melihat tingkah Mahendra yang ternyata menyalahkan artikan maksud perkataannya, tapi ia belum berniat untuk meluruskan."Mari kita lakukan sekarang," Mahendra telah berada dalam sekejap di sisi Larasati, jemarinya meraih kasar dagu wanita itu."Aku sudah katakan akan melakukan semua maumu Larasati, tapi aku tidak menyangka kau akan meminta hal ini, sungguh murhan sekali, kau membahayakan nyawa Papaku dan memper taruhkan hati seorang gadis rapuh hanya untuk ini? Sebegitu besarkah rasa sukamu itu padaku?"Mahendra menjepit dagu istrinya cukup kuat, tatapannya semakin menyala bertemu dengan tatapan sayu Larasati."Sudah kubilang aku akan melakukan apa saja untuk diriku sendiri." ucap Larasati lugas dengan senyum masih menghiasi bibirnya, sakit hatinya tidak terkatakan ketika mendengar vonis murahan dari Mahendra, tapi ia harus bisa menguasai diri."Kalau begitu cepat selesaikan sekarang juga, aku bisa mati sesak kalau berlama-lama melihat wajah tanpa malumu itu." Mahendra telah menaiki ranjang dengan kedua lutut, tangan k3 karnya pun sudah siap merangkul Larasati untuk membawa rebah bersama.Namun Larasati sigap menangkis rangkulan itu."Aku memintamu untuk menjadikanku isteri seutuhnya Mahendra, bukan menjadi pelyan ra njangmu, berpikirlah sedikit!"Larasati berteriak kesal, ia lantas memeluk tubuhnya sediri dan bergeser ke sudut ranjang, lalu air matanya pun kembali luruh. Larasati tidak berusaha lagi menghapusnya, ia merasa akan lebih leluasa untuk bicara dengan sesak di dada yang sedikit menguar bersama rembesan hangat itu.Mahendra menatap Larasati, bibirnya terkatup rapat, tidak mengerti apa yang dimaksudkan. "Apalagi maksudmu, bukankah kau ingin menjadi istriku seutuhnya?""Ya.""Lalu apa lagi, tidur bersama adalah jalan satu-satunya,""Aku ingin jadi istrimu seutuhnya bukan di atas ra njang, Mahendra. Tapi aku ingin kau menunjukkan pada seseorang kalau kau benar-benar telah menjadikanku istri sebenarnya,""Apa?" "Besok aku ingin kau membawaku bertemu dengan kekasihmu, di sana kau harus katakan padanya kalau kau sudah memulai hidup baru denganku dan ...""Larasati!" Mahendra benar-benar tidak menyangka gadis itu merencanakan hal sejahat itu."Apa Mahendra? Kau tidak mau? Aku juga tidak akan memaksa, tapi seperti yang kukatakan tadi aku juga tidak bisa hidup dalam nerakamu.""Kau jangan menguji kesabaranku Larasati, jangan lagi...""Aku tidak merasa sedang menguj! kesa baranmu, justru kesa baranku yang hampir terkuras di sini.""Tidak, kau pikir aku akan melakukannya? Kau tidak tahu seberapa besar aku men cintai Zara ...""Maka dari itu kau harus mematahkan hatinya, buat cintamu yang besar itu tidak lagi ada di matanya.""Kenapa kau begitu sekejam ini Laras? Kau tidak punya hati, kau mempermainkan kehidupanku.""Kejam katamu? Kau pikir aku yang kej4m di sini!?" Larasati merasa telah tersulut, kesabaran dan suara pelan yang tadi dipertahankan tidak lagi ada.Ia mend0r0ng kuat tubuh Mehendra hingga terjung kal ke kasur, lalu ia segera beranjak dari ranjang."Aku yang kejam di sini Mahendra? Begitukah kamu berpikir? Tidakkah kau sadar kalau di sini aku adalah korban keegoisanmu!Seandainya tadi kau berpura-pura saja, seandainya kau bilang kita butuh waktu untuk menerima p3r n!k4 han ini, seandainya kau tidak membawa-bawa nama wanita yang kau cintai itu di ma lam p3r n!ka han kita, seandainya kau tidak minta diriku menenangkannya, aku juga tidak akan melakukan ini.Tapi kau menunjukkan keangkuhanmu, dengan pon gah dan tidak berpeasaan kau men yentuh harga diriku sebagai wanita yang membawa harapan begitu besar akan sebuah pernikahan.Lalu dengan cara ini aku bisa menenangkan hatiku kembali Mahendra, kalau aku tidak melakukan apa-apa, aku takut akan menyakiti diriku sendiri.Karena aku begitu mencintai diriku, dan kau tidak diperkenankan menyakitiku semaumu.Lakukan apa yang kuinginkan atau pernikahan ini akan segera berakhir.Kau hanya diberi dua pilihan.Papamu atau wanitamu itu!"Mahendra tertegun, penjelasan panjang yang disertai segukan karena derasnya air mata dari gadis itu seakan membe kukan mulutnya."Kau memintaku mempertahankan pernikahan ini selama 6 bulan bukan? Baiklah aku akan menurutinya. Dengan catatan selama waktu yang ditentukan itu, kau harus memperlakukanku layaknya Ra tu!Kau harus menjadikanku prioritas utamamu, tanpa ada To xic. Kau dan wa nitamu itu tentu bisa menunggu bukan? Kelihatannya cinta kalian begitu besar, jangankan 6 bulan, 60 tahun pun untuk cinta sehebat itu tidak akan terasa lama.""Larasati kau ..." Tentu saja Mahendra sedikit merasa lega mendengar kalimat terakhir Larasati ... Benar 6 bulan tidak akan lama..."Benarkah?" Mahendra menarik nafas lega, ternyata dibalik sikap keras kepalanya wanita ini punya pikiran yang bijaksana, batinnya. Larasati menggangguk mantap, air matanya yang masih merebak ikut berjatuhan mengikuti gerakan kepalanya, Mahendra cukup tersentuh lantas ia bergerak menuju Larasati dan mengulurkan tangan untuk mengusap pipi basah itu.Untuk memperlakukannya Larasati seperti Ratu bukan hal yang sulit untuk Mahendra, uangnya yang berlimpah akan sangat membantunya untuk melakukan itu.Dan Zara ... Mahendra akan segera menghubungi kekasihnya itu agar bersabar selama 6 bulan.Air mata Larasati sudah mulai mereda, jemarinya meraih tangan Mahendra yang masih berada di pipinya, lalu menggenggamnya erat dengan sebuah senyum tulus di bibir."Tapi tentu saja semua itu tentu harus ada aturannya, Mahendra.Seperti yang kubilang, besok kita akan menemui kekasihmu, kau akan mengatakan padanya semua telah berakhir di antara kalian, dan kau akan memulai hidup baru denganku.Dan itu akan menjadi komonikasi terakhir kalian untuk 6 bulan ke depan.Ponselmu harus terhubung dengan ponselku, aku akan memasang pada ponselmu dan gps pelacak agar aku selalu tahu di mana pun kau berada.Aku sangat tahu tidak akan mampu mengen dalikan orang sepertimu seperti yang kumau Mahendra, tapi aku akan melakukan sebisaku, dan jika kau terdeteksi melanggar salah satu perjanjian ini, maka kesepakatan berakhir begitupun p3r n!k 4han ini.Dan pada saat itu walaupun kau memohon bahkan sn jnd di kakiku, aku tidak akan lagi memberimu kesempatan." Larasati mengakhiri kalimat panjang sembari meraih ponsel Mahendra yang tergeletak di meja rias."Untuk malam ini menjelang ponsel ini terhubung denganku, aku akan menyitanya. Besok kita akan ke kou nter, untuk meminta orang-orang sana melakukannya.Sekarang mari kita tidur, oh ya, kau tidur di lantai saja, aku sedang butuh ruang untuk mencerna semua ini." ujar Larasati lagi sembari melemparkan bantal serta selimut ke pangkuan Mahendra.Mahendra hanya bisa ter tegun, beberapa saat kemudian ia tersadar kalau wanita itu benar-benar telah menguaainya.
55"Bisa-bisa aku mati kerena stress! Entah kemana pergi si Bos besar, apa ia tidak takut perusahaannya yang besar itu kocar-kacir ditinggalkannya begitu saja!" Narendra meluapkan kekesalannya pada semua orang yang tengah bersiap menikmati sarapan pagi."Tanpa berpikir dia meninggalkanku tanggung jawab yang nggak main-main besarnya, pada anak bawang sepertiku.Bahkan kalaupun aku sudah berada di perusahaan itu berpuluh tahun, aku tetap tidak punya bakat untuk memimpin, lha ini, bahkan sejak Papa meninggalkan belum sekalipun aku menginjakkan kaki di sana!" Pemuda yang ketampanannya melebihi Abangnya itu menghempaskan bokongnya pada kursi, tanpa menghentikan omongannya."Tiba-tiba saja aku harus seperti orang gila, melakukan pertemuan-pertemuan dengan orang-orang yang tidak kukenal, membicarakan hal-hal yang bahkan tidak kumengerti!" Ia kemudian meraih segelas susu lalu menenggak hingga tandas.Semua orang yang berada di meja makan tersebut hanya terdiam mendengar umpatan kekesalan Nar
49Larasati termanggu menatap pantulan wajahnya di kaca. Ia gelisah, merasa suasana kamarnya saat ini terasa begitu lain dari biasanya.Tentu saja, saat ini bukan dia dan Ammar yang tengah terlelap saja yang berada dalam ruangan temaram itu, suara gemercik air dari kamar mandi seakan memacu detak jantungnya.Perlahan Larasati meraba wajahnya, bias lampu tidur yang memang sengaja telah di pasang tidak mampu menyembunyikan rona kemerahan di kedua pipinya.Dan kemudian debar di dada Larasati semakin menyentak, ketika ia tidak lagi mendengar suara gemercik air, pertanda seseorang di dalam sana sudah akan segera selesai.Benar saja, tidak berapa sesudah itu, pintu kamar mandi telah terbuka, menampilkan sosok bertelanj*ng dada dengan handuk melilit di bawah pusar.Malangnya Larasati tidak bisa untuk tidak melihat ke arah itu, alhasil tenggorokannya seakan kering dengan mata yang seperti lupa cara untuk berkedip. Mahendra menyadari kalau Larasati begitu gugup, tapi lewat tatapan mata bulat
53Sore dengan lembayung jingga kemerahan di langit, di sebuah lapangan rumput yang cukup luas, yang difungsikan sebagai tempat permainan anak-anak. Tenda-tenda raksasa tersedia, menyediakan bermacam-macam aneka wahana ala temzone, di bawah naungan pohon-pohon kanopi yang rindang.Di antara kerumunan anak-anak dan para orang yang tengah menemani para buah hati mereka bermain, nampak dua orang pria dewasa yang terlihat paling mencolok dan menjadi pusat perhatian yang lainnya.Dari segi pakaian saja sudah bisa ditebak kalau mereka bukan berasal dari kalangan biasa-biasa saja, tapi dua orang itu tidak begitu memperdulikan tatapan keingin tahuan berpasang-pasang mata. Mereka yang tidak lain adalah Mahendra dan Ruhan, saling mengawasi Ammar yang tenggelam dalam keasyikan menikmati puluhan wahana permainan.Setelah agak beberapa lama, mereka merasa Ammai sudah mulai bodami dan terlihat lelah, lalu mereka mengajak bocah itu menepi dari hiruk pikuk, membawanya last sebuah ayunan yang terpa
52Mahendra menatap bangunan sederhana tapi begitu ekstetik yang sepertinya sembilan puluh sembilan persen sepertinya terbuat dari kayu gaharu. Bertingkat dua dengan desain minimalis, yang nampak terdecorasi sedemikian rupa elegan, sehingga rumah yang kelihatannya merangkap sebagai cafe itu terlihat begitu nyaman untuk disinggahi.Memiliki halaman yang cukup luas, di setiap sudut terdapat berbagai macam tanaman serta bunga-bunga. Tidak ketinggalan bunga-bunga bonsai yang serupa sanggul besar dan pohon-pohon Bougenville bermekaran bermacam ragam warna. Dan kala angin semilir berhembus, beberapa kuntum bunga berjatuhan di meja-meja yang tertata rapi di sana.Cafe itu terletak tidak jauh dari danau buatan yang dulu disinggahi Mahendra. Hanya satu belokan dari sana. Tempat itu terlihat misterius di mata Mehendra, karena di sana Larasati menyembunyikan dirinya selama bertahun-tahun. Tidak sedikitpun terendus oleh Mahendra, walau nyatanya ia sudah sering sekali melewatinya setiap pulang d
51"Pak, hari ini adalah jadwal meeting tahunan dengan presiden direktur Lucindo group. Aku harap anda tidak lupa." Angga mematut punggung lebar Bosnya yang tengah berdiri di dinding kaca, yang menampilkan pemandangan dari ketinggian gedung 30 lantai tersebut."Aku ingin mengakhiri segala kerja sama dengan Lucindo group. Apa itu memungkinkan?" Tatapan Mahendra jauh keluar hinggap di puncak-puncak gedung pencakar langit di sekitar.Angga membeliak, tidak menyangka Bos-nya akan bicara seperti itu."Atur pertemuanku dengan Ruhan, tanpa staf, hanya aku dan dia.""Pak, anda tidak bisa ....""Aku bisa, perusahaan ini tidak akan bangkrut hanya karena aku memutuskan segala kesepakatan dengannya, tapi kalau aku tetap bekerja sama dengannya maka aku yang akan hancur setiap saat setiap waktu."Angga hanya geleng-geleng kepala mendengar keputusan tiba-tiba Mahendra. Sementara dia tahu, kalau beberapa tahun ini, Corpotion group sangat ketergantungan dengan Lucindo group. Mereka telah bekerja sam
50Mahendra merasa tidak ada lagi manfaat nyawanya masih melekat di badan, setelah apa yang terjadi, tidak ada gunanya lagi dia tetap hidup. Jiwanya seakan terpental jauh, isi dadanya terasa hangus, seakan sekeping daging merah yang bersemayam di sana telah berhenti berdetak, menghitam setelah terbakar oleh kobaran luka di mata Larasati.Sekarang pria itu seakan hidup tanpa hati, tanpa tujuan, hampa dan berlumur kesakitan. Ia bergerak tapi seakan lumpuh, matanya terbuka tapi seakan terpejam, ia masih bernafas tapi seakan mati.Malam telah merangkak, mobilnya terus bergerak pelan membelah jalan, matanya kosong menatap lurus ke depan, tiada emosi yang tersimpan di raut wajahnya, selain sebuah kehambaran.Gerbang rumah besar itu segera terbuka saat para penjaga menyadari kedatangannya, mobil itupun berbelok memasuki perkarangan.Mahendra menoleh pada beberapa mobil yang berderet di sana, lalu matanya menatap pintu utama rumah yang tengah terbuka.Matanya tiada berkedip, nafasnya kembali