Mahendra bersedia menikahi Larasati semata-mata hanya untuk menyenangkan hati Ayahnya yang tengah sakit parah. Namun dibalik itu, mahendra telah menyiapkan sebuah rencana untuk memanipulasi Larasati yang terlihat lugu.
View MoreSatu
"Jangan sok ke-PD an dulu kamu, tidak perlu tidur di lantai begitu. Aku juga tidak tertarik untuk menyentuhmu."
Larasati menghentikan kegiatannya yang sedang membentangkan selimut di lantai, ketika mendengar ucapan lelaki yang siang tadi telah men-sahkannya menjadi seorang istri.
Wanita berwajah sendu itu tertegun sejenak. Lalu sontak wajahnya memerah.
"A-apa?"
Mahendra terkekeh mencemooh, melihat reaksi Larasati.
"Kamu pikir apa? Aku berpuluh-puluh kali tidak sudi menikahimu. Aku hanya mengalah demi kelangsungan hidup papaku," dengus Mahendra angkuh.
Larasati mengerjap.
"Sekarang hentikan drama yang ingin kau pentaskan ini. Tidak perlu tidur terpisah, aku tidak mau jika ada orang rumah yang tahu kalau kita tidak tidur seranjang maka aku akan dapat masalah. Satu yang pasti, aku tidak akan pernah menyentuhmu."
Kelu lidah Larasati mendengar ucapan tegas dari lelaki rupawan dengan tubuh proposional di depannya ini.
Ah, seharusnya Larasati senang bukan? Toh bukan ia saja yang merasa terpaksa untuk menikah, Mahendra ternyata juga sama tidak maunya, bahkan terlihat lebih.
Namun rasanya kok begitu lain, ada ngilu di sudut terdalam hati Larasati.
"Sudahlah. Tadinya aku berpikir akan sedikit sungkan untuk menjelaskan padamu. Tapi melihat apa yang barusan kamu lakukan aku jadi lega. Sekarang kita jalani kehidupan masing-masing.
Tentu saja kita harus bersandiwara menjadi suami istri yang bahagia dalam beberapa bulan ke depan. Setelah segalanya normal kembali, kita akan berpisah.
Kita pasti akan menjadi tim yang solid."
Mulut Larasati akan membuka untuk menanggapi ucapan Mahendra, tapi Mahendra mengangkat tangannya, pertanda Larasati tidak harus bicara apa-apa lagi.
"Aku rasa cukup. Semuanya sudah jelas."
Lalu Mahendra bergerak ke kamar mandi yang menyatu dengan kamar mewah tersebut.
Tinggal Larasati yang terbengong, ia butuh beberapa saat untuk menenangkan perasaannya yang bergejolak.
Ia tidak percaya dengan yang barusan ia dengar.
Larasati pikir hanya dia yang tidak menginginkan pernikahan ini. Tidak sebenarnya bukan begitu, Larasati hanya tidak menginginkan pernikahan di usia yang masih terbilang muda, tapi saat ia melihat Mahendra untuk pertama kali di acara pernikahannya tadi, sebagian hatinya mulai berubah haluan.
Mahendra membuat ia terpesona dalam pandangan pertama.
Tanpa disadarinya, alam bawah sadarnya diam-diam bersujud syukur mendapatkan Mahendra sebagai suaminya.
Tetapi sebagai seorang wanita modern yang memiliki ego dan harga diri yang tinggi, Larasati merasa harus jual mahal dulu. Ia tidak akan terang-terangan memperlihatkan rasa tertarik pada seseorang yang baru sekali bertemu. Ya, walaupun Mahendra sudah sah menjadi suaminya.
Makanya Larasati berinisiatif untuk membentang selimut di lantai. Ia akan berpura-pura tidak menyukai Mahendra, lalu Lelaki itu akan merayunya dengan penuh cinta agar Larasati mau menerimanya.
(Oh, pikiran yang naif ya ...)
Setidaknya begitulah yang dipikirkan oleh otak Larasati, karena instingnya sebagai wanita mengatakan kalau Mahendra juga terpesona melihatnya, Larasati merasa sepanjang acara tadi ia merasa Mahendra terus menatapnya.
Namun ternyata apa yang barusan Mahendra katakan telah membuat Larasati jatuh mental.
Tidak ada lagi wajah ramah yang menghiasi raut tampan itu, hanya kesan dingin dan arogan.
Pintu kamar mandi terbuka. Mahendra keluar dari sana dengan handuk yang hanya melilit pinggang.
Mata Larasati melebar melihat pemandangan itu. Ia ingin segera membuang pandangan tapi sepertinya bola matanya mendadak kram.
Tubuh liat dengan kotak-kotak di perut, bulu halus di d4d4 yang bidang, bahu kokoh, lengan berotot. Bulir-bulir bekas guyuran air masih menempel di kulit sawo matang itu membuat Larasati tanpa sadar menelan ludah.
"Jaga pandanganmu, Laras."
Oh, Larasati sungguh malu. Dengan susah payah ia akhirnya bisa mengalihkan pandangan.
Mahendra meraih kaos dan celana pendek dari dalam lemari. Berbekal pintu lemari yang terbuka ia tanpa sungkan memakai pakaiannya di sana tanpa menghiraukan menghiraukan Larasati yang ketar-ketir melihatnya.
Setelahnya Mahendra menyugar rambut basahnya dengan kedua telapak tangan, meraih ponsel yang dari tadi nada deringnya disilent.
Begitu banyak notif chat serta panggilan tidak terjawab.
Sementara Larasati sudah beranjak naik ke atas r4nj4ng sambil matanya terus mengawasi suaminya yang terlihat sangat serius menscroll layar ponsel di depan meja rias.
Ah, sepertinya sosok Mahendra adalah lelaki idaman Larasati selama ini.
Terlihat Mahendra mendekatkan ponsel ke telinganya. Ia akan menelpon seseorang.
Larasati terus mengawasi ...
"Hallo sayang ... tenanglah semuanya akan baik-baik saja. Aku dan dia telah sepakat. Oh ya? sepertinya kamu harus berbicara dengannya."
Larasati mendengar suara prihatin dari Mahendra untuk seseorang di seberang sana. Lalu tanpa Larasati duga Mahendra telah berjalan menujunya.
Mendekap ponsel dengan telapak tangannya, Mahendra mendekat ke Larasati.
"Aku butuh bantuanmu. Zara adalah kekasihku, ia sangat terpukul dengan pernikahan kita ini. Jadi tolong kamu katakan pada kalau kita hanya bersandiwara."
Mahendra kemudian menyodorkan ponsel ke Larasati.
Larasati diam sesaat, tapi kemudian ia meraih juga ponsel itu.
Membawa ponsel ke telinga, lalu menyapa seseorang di sana. Hati Larasati memanas mendengar suara mengandung tang!s.
Larasati menatap Mahendra sejenak, wajah tegas dan angkuh tapi sayangnya sangat tampan ini ternyata telah dimiliki seseorang.
"Ayolah, katakan ..." Mahendra tidak sabar.
Larasati menarik nafas.
"Hai, aku Larasati. Seperti yang kamu tahu aku dan Mahendra sudah menikah.
Kamu tidak perlu sedih begitu ... tangismu seperti mengandung penderit44n yang sangat berat.
Tenanglah, hanya itu yang bisa kamu lakukan sekarang supaya hatimu tidak semakin terp*ruk. Aku sungguh mengerti perasaanmu."
Mahendra tersenyum miring mendengar kata-kata Larasati yang terdengar begitu lembut dan pastinya menenangkan kekasihnya di seberang sana.
"Namun, aku ingin memberimu satu saran ... cobalah untuk melepaskan Mahendra dengan ikhlas, itu akan membantumu sedikit rasa sak!tmu itu.
Sekarang Mahendra sudah menjadi suamiku, dan kami akan memulai hidup baru. Kamu sekarang hanyalah masa lalu suamiku, aku harap kamu mengerti....""Larasati!" Mahendra terkejut mendengar kata-kata Larasati yang di luar dugaannya.
"Kita tidak bisa memilih takdir, teman. Kita juga tidak bisa menolak takdir yang telah diberikan Tuhan. Dan Mahendra adalah takdirku sekarang. Jadi kau harus melupakannya ..."
..
55"Bisa-bisa aku mati kerena stress! Entah kemana pergi si Bos besar, apa ia tidak takut perusahaannya yang besar itu kocar-kacir ditinggalkannya begitu saja!" Narendra meluapkan kekesalannya pada semua orang yang tengah bersiap menikmati sarapan pagi."Tanpa berpikir dia meninggalkanku tanggung jawab yang nggak main-main besarnya, pada anak bawang sepertiku.Bahkan kalaupun aku sudah berada di perusahaan itu berpuluh tahun, aku tetap tidak punya bakat untuk memimpin, lha ini, bahkan sejak Papa meninggalkan belum sekalipun aku menginjakkan kaki di sana!" Pemuda yang ketampanannya melebihi Abangnya itu menghempaskan bokongnya pada kursi, tanpa menghentikan omongannya."Tiba-tiba saja aku harus seperti orang gila, melakukan pertemuan-pertemuan dengan orang-orang yang tidak kukenal, membicarakan hal-hal yang bahkan tidak kumengerti!" Ia kemudian meraih segelas susu lalu menenggak hingga tandas.Semua orang yang berada di meja makan tersebut hanya terdiam mendengar umpatan kekesalan Nar
49Larasati termanggu menatap pantulan wajahnya di kaca. Ia gelisah, merasa suasana kamarnya saat ini terasa begitu lain dari biasanya.Tentu saja, saat ini bukan dia dan Ammar yang tengah terlelap saja yang berada dalam ruangan temaram itu, suara gemercik air dari kamar mandi seakan memacu detak jantungnya.Perlahan Larasati meraba wajahnya, bias lampu tidur yang memang sengaja telah di pasang tidak mampu menyembunyikan rona kemerahan di kedua pipinya.Dan kemudian debar di dada Larasati semakin menyentak, ketika ia tidak lagi mendengar suara gemercik air, pertanda seseorang di dalam sana sudah akan segera selesai.Benar saja, tidak berapa sesudah itu, pintu kamar mandi telah terbuka, menampilkan sosok bertelanj*ng dada dengan handuk melilit di bawah pusar.Malangnya Larasati tidak bisa untuk tidak melihat ke arah itu, alhasil tenggorokannya seakan kering dengan mata yang seperti lupa cara untuk berkedip. Mahendra menyadari kalau Larasati begitu gugup, tapi lewat tatapan mata bulat
53Sore dengan lembayung jingga kemerahan di langit, di sebuah lapangan rumput yang cukup luas, yang difungsikan sebagai tempat permainan anak-anak. Tenda-tenda raksasa tersedia, menyediakan bermacam-macam aneka wahana ala temzone, di bawah naungan pohon-pohon kanopi yang rindang.Di antara kerumunan anak-anak dan para orang yang tengah menemani para buah hati mereka bermain, nampak dua orang pria dewasa yang terlihat paling mencolok dan menjadi pusat perhatian yang lainnya.Dari segi pakaian saja sudah bisa ditebak kalau mereka bukan berasal dari kalangan biasa-biasa saja, tapi dua orang itu tidak begitu memperdulikan tatapan keingin tahuan berpasang-pasang mata. Mereka yang tidak lain adalah Mahendra dan Ruhan, saling mengawasi Ammar yang tenggelam dalam keasyikan menikmati puluhan wahana permainan.Setelah agak beberapa lama, mereka merasa Ammai sudah mulai bodami dan terlihat lelah, lalu mereka mengajak bocah itu menepi dari hiruk pikuk, membawanya last sebuah ayunan yang terpa
52Mahendra menatap bangunan sederhana tapi begitu ekstetik yang sepertinya sembilan puluh sembilan persen sepertinya terbuat dari kayu gaharu. Bertingkat dua dengan desain minimalis, yang nampak terdecorasi sedemikian rupa elegan, sehingga rumah yang kelihatannya merangkap sebagai cafe itu terlihat begitu nyaman untuk disinggahi.Memiliki halaman yang cukup luas, di setiap sudut terdapat berbagai macam tanaman serta bunga-bunga. Tidak ketinggalan bunga-bunga bonsai yang serupa sanggul besar dan pohon-pohon Bougenville bermekaran bermacam ragam warna. Dan kala angin semilir berhembus, beberapa kuntum bunga berjatuhan di meja-meja yang tertata rapi di sana.Cafe itu terletak tidak jauh dari danau buatan yang dulu disinggahi Mahendra. Hanya satu belokan dari sana. Tempat itu terlihat misterius di mata Mehendra, karena di sana Larasati menyembunyikan dirinya selama bertahun-tahun. Tidak sedikitpun terendus oleh Mahendra, walau nyatanya ia sudah sering sekali melewatinya setiap pulang d
51"Pak, hari ini adalah jadwal meeting tahunan dengan presiden direktur Lucindo group. Aku harap anda tidak lupa." Angga mematut punggung lebar Bosnya yang tengah berdiri di dinding kaca, yang menampilkan pemandangan dari ketinggian gedung 30 lantai tersebut."Aku ingin mengakhiri segala kerja sama dengan Lucindo group. Apa itu memungkinkan?" Tatapan Mahendra jauh keluar hinggap di puncak-puncak gedung pencakar langit di sekitar.Angga membeliak, tidak menyangka Bos-nya akan bicara seperti itu."Atur pertemuanku dengan Ruhan, tanpa staf, hanya aku dan dia.""Pak, anda tidak bisa ....""Aku bisa, perusahaan ini tidak akan bangkrut hanya karena aku memutuskan segala kesepakatan dengannya, tapi kalau aku tetap bekerja sama dengannya maka aku yang akan hancur setiap saat setiap waktu."Angga hanya geleng-geleng kepala mendengar keputusan tiba-tiba Mahendra. Sementara dia tahu, kalau beberapa tahun ini, Corpotion group sangat ketergantungan dengan Lucindo group. Mereka telah bekerja sam
50Mahendra merasa tidak ada lagi manfaat nyawanya masih melekat di badan, setelah apa yang terjadi, tidak ada gunanya lagi dia tetap hidup. Jiwanya seakan terpental jauh, isi dadanya terasa hangus, seakan sekeping daging merah yang bersemayam di sana telah berhenti berdetak, menghitam setelah terbakar oleh kobaran luka di mata Larasati.Sekarang pria itu seakan hidup tanpa hati, tanpa tujuan, hampa dan berlumur kesakitan. Ia bergerak tapi seakan lumpuh, matanya terbuka tapi seakan terpejam, ia masih bernafas tapi seakan mati.Malam telah merangkak, mobilnya terus bergerak pelan membelah jalan, matanya kosong menatap lurus ke depan, tiada emosi yang tersimpan di raut wajahnya, selain sebuah kehambaran.Gerbang rumah besar itu segera terbuka saat para penjaga menyadari kedatangannya, mobil itupun berbelok memasuki perkarangan.Mahendra menoleh pada beberapa mobil yang berderet di sana, lalu matanya menatap pintu utama rumah yang tengah terbuka.Matanya tiada berkedip, nafasnya kembali
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments