Empat
"Beraninya kau!"
Mahendra sungguh tidak akan pernah menduga kalau akan ada seseorang yang dengan sangat berani men*yor kepalanya tanpa rasa sungkan sedikitpun, dan tentu saja hal itu membuat pria yang seumur hidupnya hanya selalu mendapatkan rasa hormat dan kekaguman dari semua orang tersebut begitu terkejut, sehingga membuat tubuhnya limbung hampir terjerembab, untung saja tangannya masih sempat berpegangan pada kursi yang ada di sana.
Dan Larasati hampir saja menyemburkan tawanya melihat hal itu.
"Ya, aku akan lebih sangat berani lagi Mahendra, kalau kau tidak menurut apa yang aku katakan." Aha, sepertinya Larasati belum usai dengan segala hal yang telah membuat Mahendra mati kesal itu.
"Jangan lagi, Laras! Sudah kubilang kau tidak akan bisa lagi!" Mahendra telah sepenuhnya menguasai diri, sekarang telunjuknya telah disejajarkan dengan wajah Larasati, sebagai sebuah isyarat agar wanita itu segera berhenti.
"Aku bisa Mahendra. Aku bisa, kau pikir tidak?" Dengan enteng Larasati menepis telunjuk Mahendra. Sudah dua kali sengaja ia tidak memanggil Pria itu dengan Mas lagi, dan ia berpikir untuk tidak lagi penggunakan panggilan itu.
"Tidak. Tidak akan kubiarkan," desis Mahendra berusaha menekan gelombang suaranya, kalau tidak ia mungkin saja akan berteriak sekeras-kerasnya, agar membuat wanita keras kepala dihadapannya ini menjadi takut, tapi akal sehatnya ternyata masih bekerja walau kemarahan hampir meledak.
Bagaimanapun juga Mahendra tidak ingin orang tuanya di balik pintu itu yang bisa saja mendengar keributan ini, dan tentu saja akan sangat gawat jika Papanya mendengar pokok permasalahannya.
Larasati meringis senang melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh suaminya itu saat ini, wajah yang tadi sempat membuat ia terpesona sekarang begitu dekat, tapi garis-garis tampan di sana yang kini tengah merah padam dengan bulir-bulir keringat di sekitar kening, tidak membuat Larasati gugup lagi.
Bahkan Larasati ikut-ikutan memajukan wajahnya, sehingga hampir tidak ada jarak di antara mereka.
Mahendra cukup terpukau melihat irish bulat yang walau di tengah minimnya cahaya saat ini, tapi bola mata besar itu masih terlihat sangat jernih dengan sisa-sisa air mata yang menempel di alisnya yang lentik.
"Akan bagaimanakah caramu menghentikanku?" bisik Larasati, tapi karena jarak mereka yang begitu dekat, nafas lembut gadis itu membelai wajah Mahendra, membuatnya merasa aneh, dadanya yang tadi begitu panas semakin terasa membara lagi, dan pria itu begitu sadar hal tersebut bukan karena sebuah kemarahan lagi.
Untuk beberapa saat, Mehendra tidak bisa menghentikan dorongan aneh dalam dirinya yang seakan memaksa mata untuk meneliti raut wajah di depannya...
"Kau tidak mengenalku Larasati, kau tidak tahu apa yang bisa kulakukan padamu," tekan Mahendra tanpa meredupkan tatapan sedikit pun.
"Oh, aku takut sekali." Larasati segera menjauhkan wajahnya dari Mahendra, menangkup kedua pipinya dengan telapak tangannya.
"Bagaimana ini? Oh, suamiku maafkan aku, aku telah melakukan kesalahan besar, maukah kau memaafkanku? Ampuni aku ya? Aku mohon..."
Bukannya merasa senang mendengar penuturan Larasati yang terkesan sedang memohon padanya, malah Mahendra semakin gemas, bagaimana tidak? Istrinya itu mengucapkan kalimat tersebut dengan mimik wajah takut yang dibuat-buat.
"Kau tidak mengampuniku? Oh habislah aku. Sudah pasti kau akan menghukumku kan? Entah hukuman seperti apa, kemungkinan terburuknya mungkin kau akan segera mel*ny*pkanku ...
Maka dari itu, sebaik segera aku mengakhiri semua ini. Setelahnya aku akan kabur dari sini, tentu saja untuk menyelamatkan diriku dari hukum*n j*hatmu itu." Masih dengan mimik wajah takut yang dibuat-buat, Larasati segera berjalan ke arah pintu yang berada tepat di belakang Mahendra, ia menyenggol bahu yang sejatinya sangat liat itu begitu saja.
Sadar dengan apa yang akan dilakukan Larasati, dengan sigap Mahendra mencengkram lengan Larasati.
"Apa lagi yang akan kau lakukan?"
"Mengakhiri semuanya, aku tidak akan sanggup hidup dalam ner*ka yang kau ciptakan." ujar Larasati tanpa menoleh.
"Heh! Bukankah aku sudah menuruti semua perkataanmmu tadi, aku sudah melukai hati kekasihku seperti yang kau sarankan, lalu kenapa kau masih ..."
"Hush diamlah kau pria l*bil!"
"Apa?" Kali ini darah Mahendra sudah begitu mendidih.
Gadis di depannya telah mengatai Mahendra sebagai pria l*bil? Benar-benar gadis ini tidak memandangnya sama sekali, dan ia bukanlah seseorang yang memiliki kesabaran yang cukup.
"Bukankah kau sendiri yang katakan beberapa saat lalu, terserah aku mau hidup seperti apa, aku hanya d*bu, kotor*n bahkan samp*h di matamu. Jadi aku akan segera menyingkir dari hidupmu ..."
"Kalau begitu pergi, menghilanglah dari hidupku."
"Pasti. Tapi tentu saja itu harus melalui prosedur, Pak. Kita akan berpisah malam ini juga, dan harus diketahui oleh kedua belah pihak keluarga kita, agar tidak ada kesalah pahaman nantinya."
Larasati menyentak cengkraman di lengannya, lalu kembali pada niat semula, yaitu mengetuk pintu kamar mertuanya.
Ya, Larasati memang telah mantap, setelah ia merasa cukup mempermainkan emosi pria arogan yang ia rasa tidak punya rasa kemanusiaan terhadapnya sedikitpun, pernikahan yang baru beberapa jam terjadi itu tidak akan ada masa depan.
K*toran, d*bu, s*mpah! Tiga kata yang terucap dari bibir tipis pria di depannya itu telah melekat permanen sanubari terdalam Larasati! Dan baginya kalimat itu sudah cukup mewakili kalau Mahendra memang sangat tidak menginginkannya.
"Jangan gil* Laras, kau sedang bermain-main dengan ny*wa P*paku!" Mahendra panik, ia dengan segera meraih tubuh Larasati lantas memposisikan tubuhnya menutupi daun pintu.
"Kau juga sedang bermain-main dengan kehidupanku." Pelan suara Larasati, tapi Mahendra tahu gadis ini tidak sedang mengancamnya saja.
"Laras, mari kita bicara di kamar, kita akan buat kesepakatan, tenang saja tidak ada di antara kita yang akan dirugikan ..."
"Aku tidak akan membuang waktuku lagi, Mahendra. Sudah cukup seharian ini aku terlibat pernikahan k*nyol yang dibaliknya ada niat terselubungmu.
Seperti yang kau bilang aku hanyalah wanita kampung, aku juga bodoh telah mau saja mengikuti permintaan ayahku untuk menikah denganmu.
Tapi kau harus tahu, aku menerima pernikahan ini bukan dalam sekejap, aku berpikir cukup lama, aku sujud di malam-malam sunyiku memohon petunjuk pada Tuhanku.
Lalu hatiku pun melunak, dan aku merasa yakin kalau kamu memang jodohku, aku bahkan tidak merasa ragu lagi kalau aku akan menikah dengan orang yang sama sekali belum kutemui.
Tapi ... ternyata hidupku yang berharga sedang kau permainkan, Mahendra." Larasati sesak setelah mengeluarkan kalimat panjang, lalu Mahendra pun menyaksikan air mata yang luruh begitu deras.
"Larasati aku tidak bermaksud ..."
"Kalau kau tidak bermaksud, lalu kenapa kamu setuju untuk menikah denganku? Bukankah kau mempunyai wanita yang kau cintai? Kenapa tidak menikah dengannya saja." Larasati menyusup air matanya dengan punggung tangan, lalu ia mendongak menatap wajah yang sama sekali tidak menunjukkan simpati akan dirinya.
"Aku terpaksa ... karena Papaku sudah terlanjur berjanji dengan Ayahmu untuk menikahkanku denganmu, dan dia tidak pernah mau melihat Zaraku."
"Zaramu, ya? Kau tahu Mahendra, kau benar-benar pria yang lem*h. Kalau aku jadi kau, aku akan berusaha memperjuangkan 'Zaraku tanpa harus melibatkan seorang gadis kampungan yang mal*ng.'" Larasati menggigit bibir, sungguh hatinya seakan tercabik mendengar Mahendra mengucapkan kalimat 'Zaraku'.
"Kau tahu Papaku punya penyakit jantung kronis, aku harus melakukan perkataannya supaya ia tetap hidup ..."
"Lalu kau lebih memilih untuk mempermainkan kehidupanku? Demi nyawa ayahmu dan juga cinta Zaramu itu? Tidak Mahendra, aku tidak ingin jadi korban keegoisanmu, jadi menyingkirlah, semua ini harus berakhir malam ini.
"Laras ..."
"Berdoalah semoga saja ayahmu baik-baik saja ketika mendengar semuanya, dan kau bisa bersama Zaramu lagi." Dengan kekuatan penuh Larasati mendorong Mahendra dari depan pintu.
"Kau tidak boleh melakukan ini Laras, kau akan segera memb*nuh Papaku." Mahendra memegang kuat kedua tangan Larasati.
"Lepas Mahendra!"
"Apa kau sungguh ingin jadi p*mb*nuh?"
"Sudah kubilang aku bisa melakukan apapun untuk diriku sendiri!" Larasati berteriak keras, sambil meronta dari sergapan kuat Mahendra.
"Tidak, kau tidak akan melakukan itu." Mahendra segera merengkuh tubuh Larasati.
Larasati hampir kehabisan akal, kekuatannya tidak ada apa-apa dibanding Mahendra yang sekarang telah mengangkat tubuh mungilnya menjauh dari pintu kamar mertuanya.
Lalu di tengah kepanikan Larasati pun mendapatkan sebuah ide untuk mendaratkan melakukan g*gitan keras pada leher Mahendra.
"Aah!" Sebuah suara kesakitan khas seorang pria terdengar kasar, pagutan tangan kekarnya pada tubuh Larasati pun terlepas, Mahendra memegang lehernya dengan raut meringis, bersamaan dengan itu pintu kamar terbuka, menampakkan raut bingung khas bangun tidur kedua orang tuanya.
"Mahendra, Larasati, ada apa ini, kenapa kalian di sini, dan terdengar heboh?" Papa Mahendra bertanya bingung sambil mengucek mata.
"Maafkan kami Pa, Ma, mengganggu waktu istirahat kalian. Tapi ada hal penting yang ingin Laras sampaikan." Larasati segera cepat tanggap, ia benar-benar tidak akan membuang waktu lagi.
"Wah pasti itu sangat penting, Nak. Hingga pengantin baru seperti kalian rela melewatkan waktu di kamar." Mama Mahendra tersenyum menggoda tapi mimik wajahnya begitu heran.
Pasangan setengah baya itu serempak berjalan ke arah anak menantunya.
Mahendra pucat, tapi otaknya masih bekerja.
Ia meraih pinggang ramping Larasati hingga gadis itu jatuh kepelukannya.
"Aku mohon ..." pintanya berbisik di sekitar kepala Larasati.
"Sudah kubilang, aku tidak akan membuang waktu lagi." tegas Larasati.
"Apa maumu? Aku akan menuruti segalanya, aku janji." Mahendra memejamkan mata, dagunya tertumpu pada pucuk kepala Larasati.
Larasati tersenyum sinis, mendongak meneliti raut Mahendra, wajah tampan itu benar-benar terlihat menyedihkan sekarang.
Larasati sepertinya harus memberikan kesempatan pada pria s*mbong ini sekali saja. Bukan karena ia kasihan pada Mahendra atau takut akan penyakit Papa mertuanya akan kambuh, melainkan karena kesungguhan janji yang baru saja terucap dari bibir yang beberapa saat lalu telah mengatainya debu, kotoran dan sampah.
Larasati merasa harus membalas sakit hatinya atas pengh*n*an suaminya itu, dan janji Mahendra yang akan menuruti semua maunya adalah jalan yang tengah terbuka.
"Baiklah, kau memiliki satu kesempatan Mahendra. Mari kita bicarakan sebaik-baiknya di kamar."
Sementara Papa dan Mama Mahendra hanya geleng-geleng kepala sembari menatap bingung kepada anak menantunya yang kelihatan begitu mesra itu.
"Mahendra, Larasati! kami sudah menyiapkan kamar pengantin yang luar biasa untuk kalian, jadi kenapa harus pamer kemesraan pada kami begitu? hei, kami juga pernah jadi pengantin baru dulu!"
55"Bisa-bisa aku mati kerena stress! Entah kemana pergi si Bos besar, apa ia tidak takut perusahaannya yang besar itu kocar-kacir ditinggalkannya begitu saja!" Narendra meluapkan kekesalannya pada semua orang yang tengah bersiap menikmati sarapan pagi."Tanpa berpikir dia meninggalkanku tanggung jawab yang nggak main-main besarnya, pada anak bawang sepertiku.Bahkan kalaupun aku sudah berada di perusahaan itu berpuluh tahun, aku tetap tidak punya bakat untuk memimpin, lha ini, bahkan sejak Papa meninggalkan belum sekalipun aku menginjakkan kaki di sana!" Pemuda yang ketampanannya melebihi Abangnya itu menghempaskan bokongnya pada kursi, tanpa menghentikan omongannya."Tiba-tiba saja aku harus seperti orang gila, melakukan pertemuan-pertemuan dengan orang-orang yang tidak kukenal, membicarakan hal-hal yang bahkan tidak kumengerti!" Ia kemudian meraih segelas susu lalu menenggak hingga tandas.Semua orang yang berada di meja makan tersebut hanya terdiam mendengar umpatan kekesalan Nar
49Larasati termanggu menatap pantulan wajahnya di kaca. Ia gelisah, merasa suasana kamarnya saat ini terasa begitu lain dari biasanya.Tentu saja, saat ini bukan dia dan Ammar yang tengah terlelap saja yang berada dalam ruangan temaram itu, suara gemercik air dari kamar mandi seakan memacu detak jantungnya.Perlahan Larasati meraba wajahnya, bias lampu tidur yang memang sengaja telah di pasang tidak mampu menyembunyikan rona kemerahan di kedua pipinya.Dan kemudian debar di dada Larasati semakin menyentak, ketika ia tidak lagi mendengar suara gemercik air, pertanda seseorang di dalam sana sudah akan segera selesai.Benar saja, tidak berapa sesudah itu, pintu kamar mandi telah terbuka, menampilkan sosok bertelanj*ng dada dengan handuk melilit di bawah pusar.Malangnya Larasati tidak bisa untuk tidak melihat ke arah itu, alhasil tenggorokannya seakan kering dengan mata yang seperti lupa cara untuk berkedip. Mahendra menyadari kalau Larasati begitu gugup, tapi lewat tatapan mata bulat
53Sore dengan lembayung jingga kemerahan di langit, di sebuah lapangan rumput yang cukup luas, yang difungsikan sebagai tempat permainan anak-anak. Tenda-tenda raksasa tersedia, menyediakan bermacam-macam aneka wahana ala temzone, di bawah naungan pohon-pohon kanopi yang rindang.Di antara kerumunan anak-anak dan para orang yang tengah menemani para buah hati mereka bermain, nampak dua orang pria dewasa yang terlihat paling mencolok dan menjadi pusat perhatian yang lainnya.Dari segi pakaian saja sudah bisa ditebak kalau mereka bukan berasal dari kalangan biasa-biasa saja, tapi dua orang itu tidak begitu memperdulikan tatapan keingin tahuan berpasang-pasang mata. Mereka yang tidak lain adalah Mahendra dan Ruhan, saling mengawasi Ammar yang tenggelam dalam keasyikan menikmati puluhan wahana permainan.Setelah agak beberapa lama, mereka merasa Ammai sudah mulai bodami dan terlihat lelah, lalu mereka mengajak bocah itu menepi dari hiruk pikuk, membawanya last sebuah ayunan yang terpa
52Mahendra menatap bangunan sederhana tapi begitu ekstetik yang sepertinya sembilan puluh sembilan persen sepertinya terbuat dari kayu gaharu. Bertingkat dua dengan desain minimalis, yang nampak terdecorasi sedemikian rupa elegan, sehingga rumah yang kelihatannya merangkap sebagai cafe itu terlihat begitu nyaman untuk disinggahi.Memiliki halaman yang cukup luas, di setiap sudut terdapat berbagai macam tanaman serta bunga-bunga. Tidak ketinggalan bunga-bunga bonsai yang serupa sanggul besar dan pohon-pohon Bougenville bermekaran bermacam ragam warna. Dan kala angin semilir berhembus, beberapa kuntum bunga berjatuhan di meja-meja yang tertata rapi di sana.Cafe itu terletak tidak jauh dari danau buatan yang dulu disinggahi Mahendra. Hanya satu belokan dari sana. Tempat itu terlihat misterius di mata Mehendra, karena di sana Larasati menyembunyikan dirinya selama bertahun-tahun. Tidak sedikitpun terendus oleh Mahendra, walau nyatanya ia sudah sering sekali melewatinya setiap pulang d
51"Pak, hari ini adalah jadwal meeting tahunan dengan presiden direktur Lucindo group. Aku harap anda tidak lupa." Angga mematut punggung lebar Bosnya yang tengah berdiri di dinding kaca, yang menampilkan pemandangan dari ketinggian gedung 30 lantai tersebut."Aku ingin mengakhiri segala kerja sama dengan Lucindo group. Apa itu memungkinkan?" Tatapan Mahendra jauh keluar hinggap di puncak-puncak gedung pencakar langit di sekitar.Angga membeliak, tidak menyangka Bos-nya akan bicara seperti itu."Atur pertemuanku dengan Ruhan, tanpa staf, hanya aku dan dia.""Pak, anda tidak bisa ....""Aku bisa, perusahaan ini tidak akan bangkrut hanya karena aku memutuskan segala kesepakatan dengannya, tapi kalau aku tetap bekerja sama dengannya maka aku yang akan hancur setiap saat setiap waktu."Angga hanya geleng-geleng kepala mendengar keputusan tiba-tiba Mahendra. Sementara dia tahu, kalau beberapa tahun ini, Corpotion group sangat ketergantungan dengan Lucindo group. Mereka telah bekerja sam
50Mahendra merasa tidak ada lagi manfaat nyawanya masih melekat di badan, setelah apa yang terjadi, tidak ada gunanya lagi dia tetap hidup. Jiwanya seakan terpental jauh, isi dadanya terasa hangus, seakan sekeping daging merah yang bersemayam di sana telah berhenti berdetak, menghitam setelah terbakar oleh kobaran luka di mata Larasati.Sekarang pria itu seakan hidup tanpa hati, tanpa tujuan, hampa dan berlumur kesakitan. Ia bergerak tapi seakan lumpuh, matanya terbuka tapi seakan terpejam, ia masih bernafas tapi seakan mati.Malam telah merangkak, mobilnya terus bergerak pelan membelah jalan, matanya kosong menatap lurus ke depan, tiada emosi yang tersimpan di raut wajahnya, selain sebuah kehambaran.Gerbang rumah besar itu segera terbuka saat para penjaga menyadari kedatangannya, mobil itupun berbelok memasuki perkarangan.Mahendra menoleh pada beberapa mobil yang berderet di sana, lalu matanya menatap pintu utama rumah yang tengah terbuka.Matanya tiada berkedip, nafasnya kembali