Share

SUAMI AROGAN
SUAMI AROGAN
Penulis: NadNadia28

Terlalu Cantik

Tok.... tok.... tok....! Suara hak sepatunya beradu dengan kayu tua anakan tangga.

 

Sampai di depan pintu kamarnya, wanita cantik itu memasukkan anak kuncinya. Ternyata, pintu tidak di kunci. Berarti dia masih belum tidur.

 

"Aku pulang!" kata Raisa begitu melongokkan kepalanya.

 

Raina yang berdiri di dekat dengan jendela, menatapnya dan tersenyum. Raisa menjadi merasa aneh sendiri. Raina tersenyum? Namun Raisa malah menyalahkan dirinya sendiri yang terlalu curiga. Mungkin saja hari ini Raina bermaksud untuk berbuat baik. Dan itu tidak ada ruginya, bukan?

 

Raisa mengunci pintu di belakangnya. Diletakkannya barang belanjaannya di atas meja. Raisa menunjukkan majalah yang baru dibelinya pada Raina.

 

"Majalah kesayanganmu edisi terbaru, Dolly! Terlambat lima menit saja, mungkin aku akan kehabisan."

 

Raina tersenyum dan berkata, "Terima kasih!"

 

Raisa terdiam. Ia mengangkat kepalanya menatap saudarinya. Benarkah yang ia dengar barusan? Raina mengucapkan TERIMA KASIH? 

 

Benar-benar aneh!

 

Tapi tak urung Raisa tersenyum. Meskipun aneh, namun menyenangkan bila Raina selalu bersikap seperti ini.

 

"Eumm...., kamu kelihatan begitu ceria hari ini ada apa?"

 

Raina mengedikkan bahunya.

 

"Rahasia," sahut Raina pendek. Ia meraba saku celana piyamanya. Dingin.

 

"Tapi benarkah aku melihat kamu bahagia hari ini?"

 

Raina tertawa renyah. Nilai seratus untuk aktingnya kali ini. Kapan-kapan pencari bakat Hollywood harus melihatnya.

 

"Iya!"

 

Raisa mengelus dadanya. "Syukurlah!"

 

"Iya...! Mulai hari ini aku akan sangat bahagia!" batin Raina dalam hati.

 

 

***

 

 

"Eumm...., aku mau mandi dulu! Tapi janji, setelah ini kamu cerita apa yang membuatmu jadi sebahagia ini!"

 

Raina tidak menjawab. Namun ia mengangkat tangannya, menautkan ibu jari dengan jari tengahnya ---membentuk huruf O.

 

"Ini pasti akan menyenangkan...," kata Raisa sambil melepaskan kerudungnya. Digeletakkan surat dari Zulaikha di atas meja. Otot-ototnya benar pegal. Mandi air panas akan membuatnya merasa segar kembali.

 

Raina berjalan mendekati Raisa yang tengah berbalik meninggalkan ruang tamu diam-diam. Sekonyong-konyong....

 

Duuaaarrrrrrrrr!!!! Kilat menyambar di luar. Mereka berdua memekik dan menutup telinga mereka. Celaka bagi Raina, karena ia sudah terlanjur memegang pisaunya. Dan kini pisau itu keluar, terpegang tangannya yang dipakainya untuk menutupi telinganya.

 

"A... apa yang ada di tanganmu itu?" tanya Raina tercekat.

 

Muka Raina memucat. Ia baru sadar, telah memperlihatkan pisaunya.

 

"I... ini...." Ah..., sudah kepalang tanggung, pikir Raina. "Ini tidak akan lama, aku janji Raisa!"

 

Jarak antara Raisa dan Raina sedemikian dekatnya, hingga dengan sekali kibasan, tangan Raina dapat menjangkaunya. Namun dengan cepat, Raisa yang ternyata telah siaga, cepat berkelit. Ia mundur ke belakang. Terhuyung-huyung.

 

"A.... apa yang kau lakukan, Na? Sadarlah!"

 

Raina tertawa bengis. "Ha... ha... ha...., kau tahu kenapa aku lakukan ini?!?!" teriak Raina seperti orang frustasi. Tangannya diangkat tinggi-tinggi. Pisau tampak berkilat ditimpa cahaya lampu, dan sempat membuat mata Raisa silau beberapa saat.

 

"Karena kamu terlalu cantik, dan aku tidak!!!"

 

Raisa mengangkat tangannya. "Te... tenanglah Raina! Kamu sedang kalut!!" Ia membayangkan bagaimana Dr. Robert Stark menghadapi pasien yang mendadak kambuh. Ia akan bersikap tenang. Raisa mencobanya. Tetapi tetap saja ia tidak bisa menguasai ketakutannya.

 

Raina mulai menerkam lagi. Didahului dengan teriakan yang menggirisikan.

 

Raisa tak sempat berkelit karena di belakangnya ada tembok. Disambarnya apa saja yang ada di atas meja dekat dengannya. Kemudian dilemparkan ke arah Raina.

 

"Aaarrggghhhh....!" jerit Raina. Luka di wajahnya selama bertahun-tahun itu terkena lemparan botol plastik Raisa. Raina meraba wajahnya. Rasanya nyeri.

 

Raisa mempergunakan kesempatan itu dengan meloncat ---melewati Raina yang membungkuk di lantai. Ia mencincing rok panjangnya.

 

Tak mau menyerah begitu saja, Raina meraih pergelangan kaki Raisa dengan tangannya. Dan lalu ia menariknya kuat-kuat.

 

Bruukkk!!

 

Raisa terjatuh ke lantai.

 

"Lepaskan, Raina!" kata Raisa memohon. Ia berkali-kali membaca basmallah dalam hati.

 

Tangan Raina mencekram kaki Raisa kuat-kuat. Raisa yang tenaganya banyak terkuras hari ini karena kesibukannya, tidak dapat menandingi tenaga Raina. Raisa menjejak-jejakkan kakinya. Tangannya berpegangan pada bulu-bulu karpet untuk menahan agar tubuhnya tidak tertarik oleh Raina.

 

"Lepaskan!" teriak Raisa lagi. Dengan usahanya yang maksimal, ia meronta.

 

Creessss!!!

 

Raina menggoreskan pisaunya pada tumit Raisa. Raisa menjerit kesakitan. Darahnya mengucur dan mengenai karpet. Dalam kesakitannya itu, ia meraih bangku kayu ---satu-satunya barang yang dapat ia raih dalam kedudukannya yang tidak menguntungkan itu. Dilemparkannya pada Raina.

 

Raina terkena telak kursi itu, meski sempat menangkis dengan tangannya. Tangannya kini memar membiru, dan terlihat sedikit darah menetes. Raina geram. Ia tidak menyangka saudarinya masih memiliki sisa tenaga untuk melawannya. Raina sudah tidak peduli rasa sakit di wajahnya ataupun memar di tangannya. Ia segera menerjang maju, dengan segala kemarahan yang membuncah di dadanya.

 

"Aku benci kamu!!!!!" teriak Raina menerjang.

 

Waktu yang sempit itu, dipergunakan Raisa sekali lagi untuk berlari menjauh. Namun pintu keluar apartemennya ada di belakang Raina, sehingga tidak mungkin melarikan diri. Ia memutuskan untuk berlari ke belakang ruang tengah. Langkahnya tertatih-tatih. Kakinya nyeri, dan darah masih saja menetes ---membuat bercak darah pada karpetnya yang berwarna sage green. Sesampainya di ruang tengah, ia menyambar gagang telepon. Tombol empat, untuk memanggil penjaga apartemen di lantai bawah. Tidak ada bunyi. Reisa melirik ke bawah. Panik. Ternyata Raina telah memotong kabel teleponnya.

 

"Kamu tidak akan bisa lari dariku, Raisa!!! Aku sudah lama menantikan ini!!" Raina berjalan cepat menuju Raisa.

 

Menerkam.

 

Tapi Raisa pun tak kalah sigap. Ditangkapnya tangan Raina yang memegang pisau. Tubuh mereka saling bertabrakan, membuat keduanya limbung, dan akhirnya jatuh ke lantai. Mereka berguling-guling. Tangan Raisa yang satu menahan tangan Raina, sedangkan tangan yang satunya menarik rambut Raina kuat-kuat.

 

"Hentikan, kataku, Raina!! Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan!!" pekik Raisa.

 

"Tidak!!!" kata Raina mengerang. Mereka berguling-guling lagi. Menyebrangi ruangan ini, dari sudut satu ke sudut satunya. Raisa berusaha menjauhkan tangan Raina dari tubuhnya.

 

Mereka masih saja bergulingan. Raina di atas, kemudian berbalik Raisa yang di atas, dan berlanjut seperti itu terus. Mereka menabrak apa saja. Kursi dan meja. Kertas-kertas berhamburan. Tiang lampu duduk jatuh dan lampunya pecah.

 

Mereka membuat ruangan jadi berantakan.

 

Brak-brak!!!

 

Suaranya gaduh.

 

Dalam hati Raisa berharap ada orang yang mendengarnya, kemudian segera menolongnya. Ia memang sengaja membuat kegaduhan ini.

 

Akhirnya tubuh Raisa terantuk lemari keras sekali. Ia mengeluh. Rasanya nyeri sekali. Tubuhnya serasa lumpuh.

 

Dirinya telah terpojok. Ditatapnya Raina yang kini berada di atas tubuhnya. Ia melihat nyala api di mata Raina. Raisa ketakutan setengah mati.

 

Raina berhasil melepaskan cekalan tangannya Raisa. Tubuh Raisa dikunci dengan kakinya. Raisa tergeletak di lantai, lalu ditindihnya dengan berat tubuh Raina. Raina telah  berhasil membuat Raisa tak bisa lagi berkutik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status