Share

Tak Ingin Menikah

Jerman, 20xx

"Tapi kenapa harus aku...??" Suara yang naik beberapa oktaf itu mendominasi ruang kerja yang kini menjadi sunyi.

 

"Dia lebih baik dari pada lelaki berandalan yang membawa pengaruh buruk untuk kamu."

 

"Daddy belum mengenal Theo dengan baik!!!" Lagi-lagi ego wanita berusia dua puluh dua tahun itu menolak untuk dinasehati. 

 

Laki-laki setengah abad itu menarik nafas pelan.

 

"Dulu kamu tidak seperti ini Raina. Semenjak kamu berteman dengan anak berandalan itu, sikapmu sekarang sudah tak ubahnya dengan gadis tak beradab. Coba kamu lihat adikmu Raisa, sekalipun ia tak pernah membantah apa yang Daddy katakan."

 

"Raisa.... Raisa... Raisa..., kenapa bukan Raisa saja yang dinikahkan? Aku masih belum mau menikah Dad! Dan lagi aku sudah punya The---" perkataan Raina langsung dipotong Daddynya.

 

"Adikmu masih butuh menyelesaikan pendidikan kuliah kedokterannya. Ini lebih baik untuk kamu Raina. Jauh dari pergaulan bebas, dan intinya sampai kapan pun Daddy tidak pernah menyetujui adanya hubungan intim sebelum menikah!" Tegas sang kepala keluarga yang tak ingin diganggu gugat.

 

Brak!!

 

Raina menggebrak meja kerja yang ada di ruangan kerja Daddynya.

 

"Lalu apa bedanya dengan aku Dad? Aku sudah dewasa dan bisa memutuskan mana yang terbaik buat aku. Jangan jadikan kuliahku yang di DO menjadi alasan Daddy untuk menghakimi jalan hidupku!"

 

Setelah mengatakan hal tersebut, Raina langsung memilih keluar dan tak lupa juga menutup pintu tersebut dengan bantingan yang keras.

 

Bukan tanpa alasan Mr. Abraham memberi perintah kepada putri sulungnya untuk segera menikah. Ia hanya takut putri sulungnya akan semakin jauh terperosok dalam dunia pergaulan bebas. Mungkin salahnya juga dalam tiga tahun belakangan ini kurang memperhatikan putri-putrinya. 

 

Kepergian sosok istri sekaligus ibu dari anak-anaknya, membuat Mr. Abraham dilanda kesedihan dan memilih menjadi seorang work holic agar tak larut dalam kesedihan. Tenggelam dalam tumpukan berkas kerja, pulang larut malam dan bahkan ada juga sampai tak sempat pulang ke rumah, sangking terlalu larut dalam tumpukan pekerjaan.

 

Mr. Abraham memiliki dua orang putri yang cantik seperti mendiang istrinya terkasihnya. Yang sulung bernama Isabella Raina Putri Abraham. Gadis cantik dan mempesona. Sedikit keras, mungkin turunan sifat dari Daddynya, serta manja pada orang-orang terdekatnya, selayaknya Mommy mereka dulu. Sungguh perpaduan yang sangat butuh ekstra sabar apabila ego wanita itu mulai kambuh.

 

Putri kedua Mr. Abraham bernama Isabella Raisa Putri Abraham. Cantik dan tentunya saja juga sangat mempesona. Berjarak satu tahun lebih muda dari Raina, tapi bila disandingkan mereka berdua tampak seperti anak kembar. Jika Raina keras kepala, maka Raisa adalah kebalikannya. Ia penurut dan sangat paling peka akan keadaan. Sangking sangat pekanya, Raisa selalu rela dinomor duakan bila kakaknya Raina menginginkan apapun jika ada yang dia inginkan dari milik Raisa.

 

***

 

"Benar, Mr. Carter. Wanita yang Mr. lihat tadi adalah anak dari sahabat Nyonya besar yang telah meninggal. Tapi dulu saat Nyonya besar masih duduk di bangku sekolah, mereka pernah membuat janji akan menikahkan anak mereka apabila dapat berlawanan jenis." jelas orang kepercayaan Aaron Ashab Carter.

 

Aaron lalu duduk kembali pada kursi kebesarannya, sembari melihat selembar foto yang diberikan oleh Bundanya dua hari yang lalu. Dirinya rela terbang sejauh ini keluar negeri, hanya ingin untuk melihat calon istrinya secara langsung dengan mata kepalanya sendiri.

 

Satu kata yang sampai detik ini masih melalang buana di kepala Aaron setelah melihatnya; mempesona. Aaron terpesona akan pancaran senyuman yang terpatri pada calon istrinya itu. Apa mungkin bisa disebut calon istri? Berbicara saja ia tak pernah dengan wanita itu. Hanya dari selembar foto saja bisa membuat seorang Aaron Ashab Carter terbang sejauh ini.

 

Aaron kini sudah berusia tiga puluh tahun, dan hal itu membuat ia harus dijodohkan oleh orang tuanya. Sebab sesuai kesepakatan dengan ayahnya Mr. Ashab Carter, bahwa apabila saat usia Aaron sudah mencapai tiga puluh tahun dan masih melajang, maka Mr. Ashab memiliki wewenang akan menjodohkan anaknya dengan sepengetahuan oleh Mrs. Carter yang tak lain adalah Bundanya Aaron.

 

Satu tahun terakhir ini Aaron selalu membuat beribu cara agar pernikahan dengan wanita-wanita yang disediakan orang tuanya gagal. Tapi ajaibnya saat diperlihatkan foto wanita keturunan keluarga Mr. Abraham, tanpa banyak membantah Aaron malah mengangguk menyetujui dan tersenyum. Sungguh sangat diluar dugaan.

 

"Baiklah. Kalau begitu kita pulang malam ini juga!" Perintah Aaron pada bawahannya.

 

"Pulang? Maksud Mr. ke Indonesia atau lebih tepatnya ke rumah orang tua Mr.?" tanya bawahan Aaron memastikan. Sebab bukan tanpa alasan ia bertanya demikian, mereka baru saja menginjakkan kaki ke tanah Jerman ini dua puluh lima menit yang lalu, dan sekarang harus take off lagi ke Indonesia. Dan yang lebih mengejutkan adalah Aaron ingin 'pulang?' Pulang adalah kata-kata yang sangat bisa dikatakan tak pernah ada dalam kamus hidup Aaron. 

 

Seorang laki-laki yang lebih senang tinggal sendirian di apartemen mewahnya ketimbang pulang ke rumah orang tuanya, yang tentunya tak kalah lebih mewah dan megahnya.

 

"Iya. Aku ingin pernikahanku segera dipercepat," jawab Aaron mantap, dan jangan lupakan senyuman yang masih bertengger manis di wajah tampannya itu.

 

"Siap, Mr."

 

Hanya butuh waktu beberapa detik saja bagi Aaron untuk melihat calon istrinya secara langsung dan nyata. Ia tak mau mengulur waktu lagi, wanita itu harus menjadi istrinya. Wanita yang telah mencuri hatinya hanya dengan sekejap pandang mata saja.

 

'Raina.... Tunggulah kedatanganku...'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status