Share

Keputusan Sulit

"Lo mau ya, Sa. Gua beneran belum mau nikah...!"

 

"Tapi, kak. Aku masih belum menyelesaikan studiku," mohon Raisa agar Raina mau mengerti keadaannya untuk sekali ini saja. Ia belum pernah sekalipun menolak keinginan kakaknya, tapi untuk satu kali ini saja Raisa benar-benar memohon untuk dimengerti.

 

"Nggak bisa. Lo mesti harus nikah sama om-om itu. Gua nggak mau, dan Lo juga tau kan gua udah punya Theo?!" tolak Raina mentah-mentah ketika mendengar keinginannya malah dibantah.

 

"Tapi, kak. Kak Theo itu bukan orang yang baik. Benar kata Daddy, dia hanya akan membuat hid---"

 

"Jadi sekarang Lo udah nggak mau berpihak sama gue lagi???" potong Raina marah.

 

"Bukan gitu, kak. Aku---"

 

"Yodah, kalau gitu Lo aja yang nikah sama om-om itu, lagian Lo juga ngga punya cowok. Lumayanlah biar bisa laku."

 

Begitulah Raina kepada adiknya. Raina selalu melarang Raisa untuk tampil cantik dan mewah, karena ia tak mau memiliki saingan dan lagi wajah mereka itu malah seperti anak kembar. Raina tak ingin orang-orang membagi perhatian mereka pada Raisa juga. Walaupun sebenarnya tanpa disuruh untuk tampil mewah pun Raisa akan tetap menolaknya. Raisa lebih memilih untuk tidak menjadi pusat perhatian, ia akan selalu menundukkan kepala tak ingin dipuji cantik dan apapun sejenisnya itu, yang nantinya akan membuat dirinya tinggi hati. Raisa benar-benar tak ingin hal itu terjadi.

 

Sebenarnya alasan Raisa kali ini tak ingin menuruti keinginan Raina kakaknya adalah karena dulu dirinya telah berjanji pada Mommynya akan menyelesaikan studi kedokteran. Mommy mereka saat sebelum menikah dengan Daddy mereka dulu adalah seorang wanita dari desa. Tak bisa mencoba mencercap bangku perkuliahan, dikarenakan krisis ekonomi dalam keluarganya. Hingga Mommynya bertemu dengan seorang laki-laki yang tak lain dan tak bukan adalah Daddynya mereka sendiri yang tengah berlibur ke Indonesia. Daddy yang tak pernah memandang orang dari segi kasta dan kekayaan terpesona akan keramahan dan kecantikan alami yang ada pada Mommynya. Hingga akhirnya Mommy mereka ikut suaminya ke Jerman hingga akhir hayatnya.

 

Tapi Raisa harus bagaimana? Raisa juga tak ingin kakaknya malah makin membencinya karena tak mau menuruti perkataan kakaknya itu.

 

Tak ingin membuat kakaknya semakin menjauh dan membenci dirinya, karena Raina selalu merasa orang tua mereka lebih menyayangi dirinya. Padahal bukan begitu, tapi entahlah..., Raina selalu merasa begitu. Jadi sebisa mungkin Raisa akan selalu menuruti perkataan kakaknya, agar ia selalu bisa berdekatan dengan saudara satu-satunya itu.

 

"Baiklah, kak. Aca akan menerima pernikahan itu." final Raisa akhirnya.

 

"Nahh, gitu dong. Baru deh Lo adik terbaik gua," kata Raina senang sambil memeluk tubuh Raisa beberapa detik. "Sekarang Lo bilang sama Daddy kalau sebenarnya Lo yang kepengen nikah, bukan gua!"

 

"Iya, kak." Raisa mencoba menampilkan senyum terbaiknya. Bukan bermaksud menipu senyuman pada kakaknya, ia senang telah dipeluk kakaknya setelah sekian lama mereka tak pernah berdekatan sampai sedekat itu, walaupun harus ditebus dengan dirinya yang kini harus meninggalkan cita-cita dan janji pada Mommynya. 'Maafkan Aca, Mommy. Aca ngga bisa bikin kakak kecewa.' batin Raisa merasa bersalah akan janjinya pada Mommynya.

 

***

 

Tok!! Tok!! Tok!!

 

"Masuk,"

 

Raisa lalu masuk ke dalam ruangan kerja Daddynya setelah mendengar suara Daddynya dari dalam.

 

"Daddy, Aca bikin kopi dan cemilan buat Daddy," kata Raisa sambil membawa baki yang berisikan kopi dan cemilan, mendekati meja kerja Daddynya. Lalu berjalan ke arah kursi duduk yang ada di sebelahnya, dan diletakkan baki tersebut di atas meja yang ada.

 

"Wah... Makasih sayangnya Daddy," kata Mr. Abraham sambil tersenyum dan duduk di sebelah Raisa sambil mencomot satu buah cemilan tersebut. "Selalu enak seperti biasanya," puji Mr. Abraham akan cemilan buatan Raisa tersebut.

 

"Kalau gitu, Daddy habiskan ya," kata Raisa senang.

 

"Pastinya," Mr. Abraham menepuk-nepuk pundak Raisa.

 

"Daddy..., Aca mau mengatakan sesuatu---"

 

Mr. Abraham menganggukkan kepalanya mempersilahkan putri bungsunya untuk mengatakan keinginannya.

 

"Eumm..., apa boleh Aca saja yang menikah dengan anak sahabat Mommy itu, Dad?"

 

"Uhuukk... uhuukk..."

 

Mr. Abraham langsung terbatuk-batuk mendengar penuturan Raisa barusan. Karena saat Raisa mengatakan hal tersebut, Mr. Abraham tengah meminum kopi buatan anaknya itu.

 

"Apa yang Daddy dengar barusan hanya bualan atau hayalan Daddy saja? Ini tidak lucu Aca. Aca tau itu, kan?" Mr. Abraham terkejut dan memastikan apa arti dari perkataan Raisa barusan.

 

"Iya, Dad. Apa boleh Aca saja yang menikah dengan anak sahabat Mommy?" Raisa bertanya dengan tampang yang bersungguh-sungguh.

 

"Apa kamu mendapatkan tekanan dari Kakakmu, Nak?"

 

'Sebenarnya iya, Dad!' batin Raisa rasanya ingin berteriak jujur pada Daddynya. Tapi kata-kata itu tak bisa keluar hanya menyangkut dikerongkongan saja. Lidahnya kelu untuk berkata jujur. 'Maafkan Aca harus berbohong pada Daddy...'

 

"Tidak Dad, Aca memang ingin menikah sekarang. Aca ingin refreshing dulu dari kuliah. Kuliah bisa ditunda dulu kan, Dad?" Raisa bertanya dengan senyum yang dicoba ditampilkan dengan sekuat tenaga agar tampak tak ada beban terpatri disana.

 

****

 

Katanya cinta itu menyakitkan, lalu mengapa masih banyak yang bertahan?

 

Mengapa masih banyak yang berjuang padahal sudah disia-siakan?

 

Kebanyakan alasannya adalah semua akan indah pada waktunya, padahal nyatanya hari demi hari yang terasa justru semakin menyakitkan.

 

Kamu berharap ia akan menjadi milikmu, padahal ia mengetahui keberadaanmu pun tidak.

 

Kamu berharap kamu akan bahagia bersamanya, tetapi dia berharap akan bahagia bersama orang lain.

 

Kamu sedang menginginkan dia yang sama sekali tidak menginginkan kamu.

 

Sadarlah, ini bukan dunia mimpi yang semuanya akan terasa sangat menyenangkan. Ini bukan dunia drama dimana kamu akan bertemu dengan seseorang lalu akan bahagia pada akhirnya.

 

Nyatanya, kamu hanya berangan-angan dan menolak kenyataan jika memang dirimu tak bisa bersatu dengan dirinya....

 

***

 

Tiga tahun telah berlalu semenjak janji suci itu diucapkan dari bibir laki-laki yang kini telah menjadi tujuan berpindah tempat surga yang ia nantikan. Surga dimana setiap istri berharap bisa untuk dicapai, melewati semua masalah bahtera rumah tangga dengan penuh cinta dan kasih sayang.

 

Kisah cinta yang semenjak remaja selalu ia baca di buku novel-novel romansa. Berharap kisah cinta bak wanita-wanita Solehah seperti Aisyah, Zulaikha, Maryam, dan wanita-wanita Soleha lainnya. Sungguh sangat menyejukkan hati bila itu semua bisa terjadi. 

 

Tapi nyatanya ia tak bisa sekuat, setegar, sesabar dan sebaik wanita Solehah yang dinantikan surga. Ia hanya secercah cuilan kecil dari sekian banyak wanita Solehah, dan ia juga bukalah wanita yang diharapkan untuk bisa membantu nahkoda kapal untuk bisa menerjang mengarungi lautan bahtera rumah tangga. Ia bukan wanita yang diharapkan oleh suaminya...

 

Setelah menulis sedikit keluh kesahnya pada lembaran kesekian dalam buku hariannya, Raisa kemudian kembali mengambil kerudung instan yang terlampir di atas tempat tidurnya. Keluar dari kamar yang tak begitu besar dibandingkan kamar-kamar lainnya yang ada di rumah ini, bergegas menyiapkan sarapan pagi untuk sang kepala rumah tangga.

 

Di sini, di kota yang dikatakan tempat lahirnya sang ibunda, sepertinya tak begitu menginginkan kehadirannya. Bukan dirinya yang diharapkan sang suami. Entah apa yang membuat sang imam rumah tangga ini untuk tetap melanjutkan pernikahan, Raisa pun sampai kini tak tahu.

 

Karena pada dasarnya, siapalah Raisa ini. Wanita yang tak bisa berbuat banyak. Kebahagiaan ayah dan saudarinya nampaknya lebih begitu berharga dibandingkan kebahagiaannya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status