"Kayaknya Mas tidak ikut berangkat kerja, Di."Kedua saudara itu tengah duduk di depan ruang rawat sang bapak. Sedangkan Sheila dan Rafa berada di dalam kamar tengah bercerita bersama Pak Wito. Keadaan pria tua itu sudah mulai membaik, hanya tangan kirinya saja yang belum sepenuhnya bisa digerakkan dengan sempurna."Memangnya kenapa, Mas?" Ardi menatap sang kakak yang mulai tertunduk dengan memijit keningnya pelan."Kalau soal bapak, Mas tidak perlu khawatir. Ardi bisa merawat bapak dengan baik. Lagi pula, sore nanti bapak sudah diperbolehkan pulang dan bisa rawat jalan. Mas fokus bekerja saja," sambung lelaki bertubuh tinggi itu.Aldo menggelengkan kepala dengan pelan. "Bukan itu. Semalam Mas merasakan kejadian aneh lagi. Mas takut jika tak ada Mas di rumah, gangguan-gangguan itu akan terjadi terus-menerus. Mas tak ingin keluargaku kenapa-kenapa." Aldo menghela napas dalam, lalu menghembuskan secara perlahan."Tetapi, hutangku juga sudah menumpuk di tempat juragan. Mas takut sewaktu-
"Mungkin musang yang memakan ayam-ayam ini, Bu." Rafa berjalan mendekat dan hendak membantu sang ibu yang sibuk membersihkan semua kekacauan itu."Biarkan ibu yang membereskan semuanya. Kamu mandi sana," usir Sinta. Rafa pun menurut dan pergi meninggalkan Sinta sendirian.Wanita itu melepas ayam betina yang masih tersisa, setelahnya mengumpulkan bangkai ayam yang nampak masih segar. Bau amis dan anyir sangat menyengat, tangan dan kaki Sinta pun penuh dengan lelehan darah.Ia memasukkan tulang belulang serta bulu-bulu yang masih menempel pada kulit ayam itu ke dalam karung. Saat ia mencoba meraih dan menarik ayam yang terjepit di antara kandang. Pegangannya terlepas sehingga membuat ayam yang telah koyak itu terpental mengenai wajahnya.Sinta terdiam merasakan darah ayam yang terciprat mengenai area mulutnya. Amis, akan tetapi, mengapa baunya membuat Sinta menjadi tergoda? Wanita itu melirik sekitar, tak ada siapa pun di sini. Otaknya tiba-tiba memikirkan hal gila."Kenapa bangkai ayam
Mata yang tadinya menghitam, wajah yang penuh dengan darah ayam serta mulut dan sela-sela gigi dipenuhi dengan tulang itu, berubah bersih tanpa noda. Gaun malam yang Sinta kenakan pun sudah bersih tanpa noda sedikitpun. Sebelum menoleh ke belakang, wanita itu terlebih dahulu menetralkan detak jantung yang berdegup kencang. Mencoba menarik sudut bibirnya untuk tersenyum."Rafa sendiri ngapain malam-malam ke dapur?" Sinta tak menjawab pertanyaan anak lelakinya itu dan justru dirinya balik bertanya.Anak itu berjalan mendekati sang ibu. "Rafa kebelet," ucap bocah lelaki itu dan melewati Sinta begitu saja. Rafa dengan cepat masuk ke dalam bilik kamar mandi dan segera menuntaskan hajatnya.Sementara Sinta, wanita itu buru-buru membersihkan sisa bulu-bulu ayam sebelum Rafa menyadari semuanya. Dengan gerakan cepat, Sinta memasukan ke dalam kantong plastik hitam dan segera melemparnya ke dalam tong sampah yang berada di sudut dapur.Wanita itu berjalan menuju wastafel dan mencuci mukanya hin
Mata Sinta membulat sempurna dengan mulut menganga. Lelaki yang ada di hadapannya itu merubah wujud.Bak seorang bidadara yang turun dari kayangan. Lelaki itu memiliki rahang tegas, mata yang indah, bulu halus nan tipis yang memenuhi area dagu dan senyum terukir yang membuat siapa saja akan betah berlama-lama memandangnya."Siapa kamu?" Sinta memiringkan wajahnya, memperhatikan setiap detail keindahan yang terpampang nyata di wajah itu. "Kamu dari mana? Wajah aslimu jauh lebih tampan," sambungnya. Sinta tertipu, itu bukanlah wujud asli melainkan hanyalah bayangan semu untuk memikat dirinya."Tenangkan dulu anakmu, lalu balik lagi ke sini. Aku tak akan ke mana-mana dan tetap menunggumu," ucapnya dengan pelan namun tegas. Suara baritonnya mampu menyihir otak wanita itu.Sinta mengangguk lalu bangkit dari atas ranjang. Meraih apapun yang ada di dekatnya untuk menutupi tubuh polosnya.Kreekkk ...Sinta sedikit membuka pintu dan hanya kepalanya saja yang melongok keluar. Rafa yang sedari
"Kamu mau ke mana, Dek?" Aldo terus berjalan mengejar sang istri dari belakang.Tak ada sahutan dari wanita itu. Kakinya terus berayun dengan tatapan lurus ke depan. Rambutnya berkibar di terpa angin serta tetesan hujan kian membasahi sekujur tubuhnya."Hujannya semakin lebat. Ayo kita pulang!" seru Aldo. Dirinya sedikit meringis dan memegangi dadanya saat guntur serta petir terdengar menggelegar.Sinta tak menggubris ucapan sang suami. Ia terus melangkah menuju hutan. Aldo pun turut mempercepat langkah kakinya, kilatan cahaya petir menerangi jalan setapak yang ia lalui."Dek, tunggu!" Kini, lelaki itu berlari. Sesekali dirinya hampir terjatuh, tergelincir tanah yang licin akibat air hujan."Dek, berhenti. Ngapain malam-malam begini ke sana!?" Aldo berteriak. Guyuran air hujan membuat pandangan matanya sedikit terganggu. Namun tidak dengan wanita itu.Hap!Akhirnya Aldo berhasil mengejar sang istri dan menangkap tubuh yang basah kuyup itu. Sinta memberontak berusaha melepaskan tubuhny
Krek ...Daun pintu terbuka, menampilkan sosok sang ibu yang nampak acak-acakan khas orang baru terbangun dari tidur."Halo, Pak. Ini ibu sudah bangun," ucap Rafa pada sang bapak."Ponselnya kasihkan ke ibu ya? Dan Rafa bangunkan adik Sheila setelah itu segera tunaikan ibadah," titah Aldo dari seberang telepon."Baik, Pak." Usai mengucapkan itu, Rafa memberikan ponsel yang berada di genggamannya kepada Sinta yang masih diam berdiri di ambang pintu."Ada apa, Mas?" Suara Sinta terdengar pelan."Tidak. Mas hanya kangen saja dengan mu, Dek. Kamu baru bangun? Bersih-bersih dan ambil wudhu jangan lupa sholat." Aldo mengingatkan."Aku lagi PMS," jawab Sinta singkat."Oh. Ya sudah kalau begitu. Mas tutup teleponnya ya. Jaga diri baik-baik, Dek. Assalamualaikum." Sinta tak menjawab salam dari suaminya itu. Tangannya dengan cepat menggeser layar dengan gambar gagang ponsel yang berwarna merah. Sinta menyeret kakinya ke dapur, dan meletakkan ponsel itu di atas meja. Menarik kursi dan mendarat
Kabut hitam begitu pekat, kedua bocah itu semakin histeris dan saling berpelukan satu sama lain. Badan terasa lemas hingga keduanya terduduk tak mampu hanya untuk sekedar menopang tubuhnya.Sesosok bayangan besar muncul di tengah kepulan asap serta kabut hitam. Mata keduanya terpejam erat tak berani untuk melihat. Tak mungkin jika itu ibunya, karena itu begitu tinggi dan besar.Hingga perlahan bayangan itu mendekat, angin tiba-tiba berhembus begitu kencang. Cairan yang keluar dari sela pintu mengenai kaki Sheila hingga terasa dingin."Kakak ...!!" jeritnya. Sheila mempererat pelukan hingga membuat Rafa memberanikan diri untuk membuka mata."Astaghfirullah ... pergi! Jangan ganggu kami!" Suara bocah itu bergetar karena menahan rasa takut.Ia teringat akan ucapan sang bapak jika manusialah mahluk yang paling sempurna dan jangan lah takut dengan apapun itu kecuali sama yang Maha Kuasa. Namun, bagaimana pun itu, Rafa tetaplah anak kecil yang masih mempunyai rasa takut yang tinggi."Tolong
"Pergi ... Pergi ...!!" teriak Rafa. Kaki dan tangannya terus bergerak mencoba menghalau tangan yang kini menyentuh pundaknya. Terasa dingin sekali saat tangan itu menyentuh kulit Rafa yang berkeringat.Mata bocah itu masih terpejam erat. Sungguh, dirinya tak berani hanya untuk sekedar mengintip, sebab beberapa waktu lalu ia melihat sesuatu yang amat mengerikan.Tubuhnya di goncang dengan pelan, hingga suara yang amat ia kenali terdengar di gendang telinganya. Perlahan bocah lelaki itu berhenti menendang dan berteriak."Kamu kenapa Rafa?" Suara itu, Rafa mengenalinya. Tubuhnya yang tidak terlalu gemuk terus di goncang."Rafa bangun. Ini ibu. Kenapa kalian berdua tidur di sini?" Tak salah lagi, itu suara ibunya. Gegas Rafa membuka perlahan kelopak mata dan melihat sang ibu yang berada tepat di depannya. Sedangkan sang adik-Sheila berbaring di sampingnya dan masih memejamkan mata.Rafa tak lantas menjawab pertanyaan sang ibu sebab dirinya pun masih bingung. Bocah lelaki itu mengedarkan