Share

BAB 2

"Nomor tidak dikenal?" Selena mendatangi ponselnya yang sejak tadi bergetar, dia baru sempat melihatnya karena baru saja melepas masker lengket yang menutupi wajahnya.

Jemarinya masih tertahan di udara, membaca satu persatu deretan angka yang sudah belasan kali memenuhi daftar panggilan tidak terjawab, Betapa terkejutnya Selena setelah memencet tombol hijau lalu terdengar suara familiar di balik panggilan.

"O-orang itu, bagaimana bisa?" Selena masih shock melihat ponselnya dari kejauhan yang sekarang mendarat bebas di atas lantai tanpa peduli barang baru itu retak atau tidak.

Padahal ponselnya yang kemarin, ponsel yang menjadi alasan dia menemui orang itu, dia tidak benar-benar mengembalikannya. Sekarang mau apalagi dia menelepon?

"Apa kau tidak ingin berbicara lagi denganku?" sekarang suara Billy terdengar lebih jelas karena tidak sengaja tadi Selena memencet tombol speaker. Sial! Bulu kuduk Selena benar-benar meremang sekarang.

Selena ragu apakah harus kembali berbicara atau mendiamkannya. Bagaimana bisa pria itu tahu nomor ponselnya? Oh, shit! Selena baru ingat dia menyimpan nomor yang sekarang ini di ponsel lamanya, nomor yang dia gunakan untuk mendaftarkan akun sosial media dengan menggunakan nomor ponsel.

Tanpa berpikir panjang lagi Selena mengemasi seluruh barangnya dari lemari ke koper, melihat siapa Billy sekarang, Selena merasa dia harus pergi jauh-jauh tanpa harus terlihat lagi di kota kota ini, sejauh mungkin.

Benar! Billy tidak akan melepas mainannya kecuali dia sendiri bosan lalu akan mencampakkannya begitu saja.

Huh! Di sisi lain sepertinya Selena harus menyiapkan alasan yang tepat pada Nancy sebagai pemilik rumah sekaligus sahabat yang menampungnya selama ini.

"Nancy, sepertinya aku harus pindah. Saudaraku menawarkanku tempat tinggal, katanya karena dia akan pergi dalam waktu yang lama lalu menawarkannya kepadaku." Selena menghambur ke arah Nancy, sahabat sekaligus orang yang telah menganggapnya adik. Kebohongan ini harus dia tutupi setenang mungkin walau nyatanya ia ingin segera berlari, lari dari kenyataan ini.

"Benarkah, bukankah ini terlalu mendadak?" Nancy cukup terkejut melihat Selena keluar dengan membawa semua barangnya, Nancy menatap netra Selena dalam, ada masalah di sana, tapi apa? Dia samasekali tidak mengetahuinya.

"Kalau kau punya masalah ceritalah padaku, ayolah Selene?" bujuk Nancy pada Selena.

"A-aku hanya ingin mandiri, itu saja." Selena merasa gugup karena seakan Nancy mengetahui bahwa Selena menyemhunyikan masalahnya sendiri.

"Ini ambillah, kuharap kau mau menerimanya." Selena memberikan pada Nancy sebuah amplop coklat berisi uang dari tasnya.

"Apa-apaan ini? Kenapa kau memberikan pesangon untukku?" Nancy menaikkan satu alisnya dengan wajah skeptis. "Bukankah selama ini kau memang wanita mandiri, bahkan kau sering membuatkanku sarapan. Bagiku itu sudah membuktikan kau cukup mandiri karena kau bahkan tidak pernah merugikanku secara finansial. "

"Ini ambillah kembali" Nancy mengembalikan amplop coklat pada Selena, "Aku merasa diremehkan sebagai dokter gigi yang cukup populer di kota ini bukan?"

"Ehm–Nancy, maksudku, saudaraku ingin aku menempati rumahnya karena dia telah menikah. Rumah itu adalah rumah peninggalan bibiku. " ucap Selena merangkai semua kebohongan dalam otaknya.

"Baiklah kalau begitu, aku tetap menghargai keputusanmu. Kapanpun kau ingin kembali, pintu ini akan selalu terbuka lebar untukmu." ucap Nancy terakhir kali, wanita berambut pendek itu mengurai pelukannya sembari mengusap air mata yang meleleh membasahi pipinya.

"Dan, ya. Aku akan mengirim uang jajan bulananmu nanti." Nancy merasa Selena pasti akan kembali lagi, Selena tetap dianggap adiknya yang membutuhkan uang jajan bulanan.

"Terimakasih banyak, aku sungguh berhutang padamu, kau yang terbaik Nancy." Selena sedikit berteriak sembari menyeret kopernya, dia juga tak kalah sedih berpisah dengan orang yang menganggapnya saudara. Ini memang tidak mudah tapi Selena tidak bisa tetap tinggal di sana. Kalau sesuatu terjadi padanya tentu saja itu akan menyulitkan Nancy, Selena tidak mau terus-menerus menyusahkan.

Setelah berjalan 20 menit ke arah jalan besar, Selena menghentikan langkah pada sebuah halte.

Dia memesan taxi online untuk mengantarnya pada terminal yang pastinya tujuan bus di sana menuju kota yang jauh.

Rasanya Selena tidak percaya dia akan benar-benar meninggalkan pekerjaannya sebagai modeling dalam setahun terakhir.

Selena mulai berdiri saat dirasa kendaraan beroda empat berwarna kuning mendekatinya, jemputannnya telah tiba.

Setelah supir taxi bergelagat aneh membantunya memasukkan barang ke bagasi akhirnya Selena menyandarkan punggung ke bangku, sinar matahari siang ini sungguh membuatnya berkeringat.

Selena berhasil membasahi tenggorokannya dengan air sampai dia tersedak saat supir taksi tersebut mengambil jalur yang salah.

"Maaf bung, sepertinya Anda salah jalan." seru Selena dari belakang, pria itu tidak merespon.

"S-siapa kau?! Aku bilang berhenti!"

"Bukankah kau ingin berpergian ke tempat yang jauh, nona Ginn?"

Suara itu terdengar familiar, mendadak kerongkongan Selena terasa kering sehingga menyulitkannya hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan singkat barusan.

"Baiklah kalau kau tidak menjawab itu artinya kau setuju ikut denganku, iya 'kan?"

"Tidak, hentikan mobilnya sekarang!" Selena berteriak keras setelah diam cukup lama.

"Terlambat, aku sudah berubah pikiran. Padahal tadi aku berusaha bertanya baik-baik," jawab Billy disertai tawa.

Selena benar-benar tidak menyukai ini, entah kenapa lelaki itu terus saja mengganggunya.

Akhirnya kendaraan berhenti di depan gerbang, seorang penjaga keluar membukanya lalu sedikit membungkuk pada akhirnya. Di dalam seseorang berpakaian rapi sudah menanti lengkap dengan kacamata yang baru ia sentuh di batang hidungnya.

Pria itu membukakan pintu dimana Billy berada, "Silahkan tuan," ucapnya kemudian dengan nada sopan.

Tanpa menoleh ke belakang lagi, Billy melangkahkan kakinya menuju bangunan bak istana itu, meninggalkan Selena yang kebingungan di bangku penumpang.

Dan setelah kepergian Billy, pria berkacamata itu mendekati Selena melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya pada Billy tadi.

"Mari, silahkan nona." ucapnya setelah membukakan pintu.

"Baiklah nona, ikuti saya." pinta pria itu setelah tadi mengeluarkan barang bawaan Selena di tangannya.

Selena mengedarkan pandangan pada area yang luas ini, bisa dikatakan bangunan besar di depannya sangat memanjakan mata, bagai di negeri dongeng, terkesan mewah dengan aksen jaman kerajaan dahulu ditambah hamparan halaman luas nan hijau.

"Nona," suara datar yang sedikit dikeraskan cukup menusuk gendang telinga Selena, sepertinya pria berkacamata itu sudah memanggil Selena beberapa kali.

Selena mengedipkan kelopaknya beberapa kali, dia baru menyadari kalau langkahnya terhenti cukup jauh dari pria itu. Selena kembali berjalan mendekatinya. Ah, bukankah ini bisa dibilang sebuah kunjungan ke bangunan bersejarah, seperti museum atau semacamnya, dan pria itu adalah tour guide yang memimpin jalan di depan. Pikiran konyol Selena akhirnya mencuat ke permukaan.

Di meja panjang yang menampilkan deretan kursi, di bagian kepala meja ternyata orang itu sudah duduk di sana, menanti Selena.

Duduk tegak, dari wajahnya memancarkan aura ketegasan, datar, dingin, sekaligus tidak suka. Ya, Selena bisa menangkapnya, ketegangan macam apa ini?

Billy mengibaskan tangannya agar asistennya hengkang dari sana menandakan tuannya itu hanya ingin berbicara empat mata pada Selena.

"Aku ingin membuat kesepakatan." ucapnya kemudian.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status