Share

Part 3

Auteur: Ricny
last update Dernière mise à jour: 2024-02-22 18:57:45

Suami Miskinku di Ruang Nasabah Prioritas

Part 3

"Kamu kok tahu Rin?" tanya Bang Jayanta dengan mata agak melebar.

"Iya, temen Arin tadi lihat Abang, sampe difotoin segala pas Abang lagi ada di depan teller, emang Abang ngapain sih di sana, Bang?"

Bang Jayanta mendadak diam sambil melirik ke arah ibu mertua dengan ekor matanya.

"Itu ... anu, Abang ...."

"Palingan cuma anterin makanan pesenan orang. Kamu katanya sekarang jadi pengantar makanan paruh waktu di restoran 'kan, Jay?" sambar Ibu mertua.

Bang Jayanta yang sedang kebingungan kontan mengangguk sambil menjentikan jarinya.

"Nah iya bener. Bener apa kata Ibu Rin, tadi Abang lagi anterin makanan buat teller di sana," katanya dengan senyuman yang mendadak merekah.

"Ouuh gitu." Aku manggut-manggut.

Kan bener apa kata aku, Bang Jayanta di sana palingan cuma lagi anterin makanan orang. Hmm.

***

Esok harinya. Aku sudah diantar Bang Jayanta pagi-pagi.

"Kita mau beli baju di mana Rin?"

"Pasar ajalah, Bang."

"Beneran? Gak mau ke mall?"

"Ya maunya sih ke mall, tapi emang Abang punya duit?" candaku.

Dia terkekeh, "ya udah ke pasar ajalah, ke mall mah gampang kalau udah waktunya," katanya.

Hidih, aku menjebik, "kalau udah waktunya mulu perasaan. Kapan dong waktunya itu tiba? Apa-apa tuh Abang selaluuu aja bilang, nanti kalau udah waktunya, nanti kalau udah waktunya, gak bosen apa."

Bang Jayanta lagi-lagi terkekeh.

"Sabaaar, orang sabar jidatnya lebar."

Aku berdecak sambil mencubit pahanya dari belakang.

"Iya kayak Abang. Lebar tuh jidatnya."

"Hahaha."

Kami pun sampai di sebuah pasar. Tanpa ba-bi-bu, karena males lama-lama juga, cepat aku memilih baju yang sekiranya pantas dipakai ke acara arisan keluargaku di sebuah toko.

"Jangan lupa beli jilbab, tas, sendal sama daleman atas bawah bila perlu," kata Bang Jayanta sebelum aku masuk ke dalam.

"Dih, apaan dah. Kocak."

Dia terbahak.

-

Selesai membeli dua potong baju untukku dan untuk Nuna, jilbab dan juga tas, aku gegas keluar. Di luar aku celingukan saat tak kudapati Bang Jayanta di depan toko.

"Kemana itu orang? Motornya ada kok orangnya ngilang? Ah repot aja deh ah."

Aku mencari ke pinggir toko, dan ternyata benar, Bang Jayanta sedang ada di sana. Kuintip sedikit, dia tampak sedang mengobrol dengan seorang wanita seusia Mbak Opi.

"Pak, Si Eceu Alina datang terus tuh ke rumah, dia nanya-nanya terus di mana Bapak. Saya sampe bingung harus jawab apa. Karena kalau saya bilang Bapak sama Ibu udah bangkrut dan pulang kampung, dia gak percaya, sekalinya percaya dia pasti maksa minta alamat Bapak yang di kampung."

"Ck emang dasar gak tahu malu itu perempuan."

"Itulah Pak, saya juga gak habis pikir sama si Eceu. Maunya apa sih?"

"Ya udah, mulai sekarang perketat keamanan, suruh Mang Anwar kunci gerbang 24 jam, dan jangan biarkan terbuka walau hanya ditinggalkan sebentar, supaya perempuan itu gak bisa masuk lagi ke rumah lagi, paham?" tegas Bang Jayanta.

Mataku menyipit, telingaku meruncing. Apaan sih? Mereka lagi ngomongin siapa dah? Perempuan? Alina?

Terus gerbang katanya, gerbang siapa yang mereka maksud? Apa gerbang rumah tempat Bang Jayanta kerja nyambut rumput itu kali ya?

Oh iya mungkin aja. Terus bisa jadi perempuan yang lagi ngobrol sama suamiku itu juga si mbak-mbak yang kerja di rumah itu. Eh tapi kok dia manggil ke suamiku bapak sih? Udah kayak ke bos aja, hih.

"Paham, Pak. Paham. Nanti saya bilang ke Mang Anwar."

"Terus ini kamu ngapain belanja jauh-jauh? Sama siapa ke sini?" tanya suami lagi.

"Hehe dianter Mang Anwar Pak, sengaja Mumun belanja jauh, habisan di rumah bete gak ada kerjaan kalau gak ada tuan rumahnya. Makanya udah mau setahun ini Mumun belanja yang jauh biar sekalian healing," jawab wanita bernama Mumun itu lagi sambil cengengesan.

"Oh ya udah sana, saya juga mau jemput istri saya ke dalam, dia lagi belanja baju di toko."

"Walah sama istrinya, Pak? Kenalin dong, Pak. Kenalin yah, yah, yah." Wanita itu bersemangat, membuat senyumku tiba-tiba merekah.

Tapi suami malah mengibas tangan, "ish nanti aja, jangan sekarang. Sekarang belum waktunya," tolaknya.

"Yaaah, belum waktunya terus, Pak. Padahal pengen lihat Nyo-"

Brak!

Tiba-tiba aku ditabrak seseorang sampai belanjaanku jatuh ke lantai. Kontan saja, Bang Jayanta memunculkan diri dari pinggir toko.

"Eh Rin, gak apa-apa?" tanyanya cemas.

"Gak apa-apa, Bang." Aku bangkit dibantu Bang Jayanta, sementara mataku tertuju pada punggung wanita paruh baya yang sedang terburu-buru pergi meninggalkan area toko bersama seorang lelaki yang tadi menabrakku.

"Ayo balik, udah selesai 'kan belanjanya?"

"Tunggu Bang, tadi itu siapa?"

"Siapa?" Bang Jayanta larak-lirik ke kanan kirinya.

"Itu Bang, tadi, yang ngobrol sama Abang di pinggir toko."

Bang Jayanta mengibas tangan, "bukan siapa-siapa. Cuma temen Abang tadi ngajakin ngobrol bentar. Ayo."

-

-

Kami sampai di rumah pukul sebelas siang. Setelah mengisi perut untuk kedua kalinya, aku langsung pamit istirahat karena lumayan capek juga.

"Ya udah gih istirahat, Nuna biar Ibu yang jaga," kata mertuaku sambil berlalu ke teras.

Aku mengangguk dan gegas pergi ke kamar. Setelah sekitar 10 menit aku berbaring, dan baru saja akan masuk dalam lelap saat samar-samar kudengar suami sedang mengobrol bersama mertua di teras.

"Untung tadi ada yang nabrak Arin Bu, hampir aja Arin tahu semuanya karena ternyata tadi dia denger Jaya lagi ngobrol sama Mbak Mumun," katanya.

"Eh yang bener? Tapi Arin gak apa-apa ditabrak gitu?"

"Gak apa-apa, orang pelan doang supaya Jaya berehenti ngobrol."

"Terus-terus Arin nanya soal Mumun gak?"

"Iya, Bu. Jaya bilang dia temen Jaya. Ya emang bener 'kan?"

"Iya. Tapi kok bisa itu anak ketemu sama kamu di pasar? Ngapain dia di sana?"

"Tahu gak jelas banget, katanya sengaja belanja jauh biar sekalian healing."

"Ck ck ck emang bener-bener itu anak. Oh ya, emang tadi kalian ngobrolin apaan? Kira-kira Arin denger gak?"

"Ya biasa Bu, ngobrolin keadaan rumah sama itu si Alina, ternyata dia gak ada kapoknya, gak tahu malu emang dia."

"Astaga, Jayanta. Bisa nggak kamu tuh jangan ceroboh? Kalau di tempat umum gitu apalagi kamu lagi pergi sama Arin, kamu jangan asal ngobrol soal kehidupan kita sama siapa pun. Kemarin kamu keciduk lagi di bank prioritas, sekarang kamu ketahuan lagi ngobrol sama si Mumun, besok apa lagi? Bisa-bisa istri kamu itu tahu siapa kita yang sebenarnya sebelum waktunya tiba," geram Ibu mertua.

Bang Jayanta hanya diam. Sementara mataku kontan menyipit, "emang mereka sebenarnya siapa?"

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (1)
goodnovel comment avatar
hadis wijaya
cerita ny oke
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • SUAMI MISKINKU DI RUANG NASABAH PRIORITAS    Part 48 B (End)

    Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 48 B"Iya, Mbak."Mulutku menganga, kusingkap selimut yang menutup kakiku. Dan jantungku langsung terasa ditarik ke dasar perut."K-kakiku? Nggaaak!" Aku teriak dan mengamuk.Cepat mereka mendorongku keluar. Ibuku langsung menyambut di depan pintu."Wita, tenang Wit, tenang.""Bu, kaki Wita Bu, kaki Wita. Kenapa dipotong?""Karena kamu terluka parah Juwita. Gak apa-apa kamu bisa pakai kaki palsu. Gak usah khawatir."Aku melotot, kaki palsu?"Nggak! Nggak! Nggaaak!" Aku kembali histeris dan berontak.Dalam sekejap, duniaku seperti hancur berkeping-keping. Amblas dan tak tersisa. Bagaimana nggak? Kakiku dipotong sebelah? Astaga itu artinya aku gak akan bisa hidup normal lagi.***"Semua ini gara-gara kamu Opi! Tanggung jawab kamu! Kamu yang sudah membuat aku kehilangan kakiku sebelah!" Aku menjambak rambutnya ketika dia kutemui di kantor polisi."Mbak Juwita! Apaan sih. Mbak sendiri yang salah, kenapa jadi Opi yang disalahin? Coba aja dulu

  • SUAMI MISKINKU DI RUANG NASABAH PRIORITAS    Part 48 A

    Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 48 ALagi pula, ide ini 'kan bukan ideku, melainkan ide si Opi. Jadi kalau andai ada apa-apa, maka si Opi yang akan ditambah hukumannya, bukan aku yang akan diseret ke dalam penjara. Hmm bener. Anggap aja, ini adalah harga yang harus dia bayar untuk mengganti uang yang dikeluarkan untuk membayar pengacaranya nanti."Oke. Kalau gitu Mbak coba pakai cara kamu Pi, tapi sekali lagi Mbak ingatkan, pengacara yang akan Mbak sewa nanti bukan untuk membebaskanmu dari tuduhan, dia hanya membantu kamu membela diri, paham?"Dia mengangguk setuju. Aku lalu pergi dari sana.Setelah dari kantor polisi itu, aku mulai membuat strategi penculikan si Arin. Beberapa Minggu kemudian, setelah sidang putusan si Opi dilakukan, aku baru menjalankan idenya."Mbak harus berhasil membuatnya mati, aku bener-bener benci sama," desis si Opi sambil mencengkram kuat-kuat besi sel.Hmh, dasar bodoh. Tanpa dia suruh pun aku akan melakukannya, tapi tentu aku tak akan gegab

  • SUAMI MISKINKU DI RUANG NASABAH PRIORITAS    Part 47

    Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 47POV Juwita."Suamimu kemana Rin?" tanyaku pada Arini, yang tak lain adalah adik iparku.Hari itu Mas Lukman disuruh ke rumah ibunya untuk mengantarkan beras atau uang katanya. Hah, aku malas sebetulnya. Baru juga pulang dari luar kota udah disuruh-suruh aja ke rumah mertua.Aku tuh udah jengah juga sebetulnya. Makin hari mereka itu makin gak berguna aja. Ibu mertua bisanya cuma minta-minta, anaknya juga bisanya cuma numpang hidup. Mentang-mentang aku kaya, enak banget mereka hidup gratisan.Makanya udah beberapa minggu ini tak kuberikan Mas Lukman uang seperti biasanya, karena aku tahu dia selalu pakai uang itu untuk memuaskan keinginan ibunya yang tak habis-habis itu."Ibu butuh uang katanya buat belanja sehari-hari Wit.""Ya terus? Ibumu yang butuh kok ngomong sama aku?""Ya bukannya gitu, tapi 'kan biasanya emang kita yang ngasih.""Sekarang gak lagi."Kesel banget. Serasa diperas dan dimanfaatkan terus rasanya, apalagi si nenek tua

  • SUAMI MISKINKU DI RUANG NASABAH PRIORITAS    Part 46 B

    Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 46 BIbunya Mbak Juwita yang juga tengah bersama mereka sempat menatap kami tajam sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan rawat inap."Kenapa dia, Bang? Kenapa Mbak Juwita teriak-teriak gitu?""Kakinya diamputasi.""Apa? Emangnya separah itu?""Iya. Kemarin Ibu juga sempet jenguk dia sebelum operasi. Memang kepadanya parah," kata Ibu.Astagfirullah. Aku bergidig ngeri. Padahal selama ini aku tahu Mbak Juwita orang baik, tapi entah kenapa dia jadi terjerumus dalam tindakan yang gegabah seperti itu. Hanya karena perasaannya pada Bang Jaya dia sampai tega mengurungku selama tiga bulan lamanya. Dan bahkan kemarin dia tega akan menyakiti anak sekecil Nuna.Naudzubillah. Semoga dengan balasan yang Allah kasih ini dia bisa bertaubat dan menyesali semua perbuatannya.__Sampai di rumah aku disambut begitu baik oleh ibu mertua dan Nuna yang terlihat sangat ceria."Yeey Mamam dan adik utun udah pulaaang," sorak Ibu mertua memeragakan Nuna.Aku ce

  • SUAMI MISKINKU DI RUANG NASABAH PRIORITAS    Part 46 A

    Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 46 AAku mengerjap, "oh iya, boleh kok, Mbak. Silakan aja datang, gak usah sungkan."Aku dan Mbak Juwita emang gak pernah ada masalah. Selama dia menjadi kakak iparku, dia juga baik dan hubungan kami selalu akur."Makasih ya Rin." Mbak Juwita menepuk pundakku.Dia lalu izin membawa Nuna main ke luar. Sementara itu aku dan Bang Jaya, juga ibu mertua aktivitas seperti biasa._Syukurlah Nuna benar-benar anteng di tangan Mbak Juwita. Seharian ini aku dan ibu mertua jadi bisa istirahat dengan tenang."Rin, Nuna ngantuk kayaknya. Dia rewel tapi kayaknya minta minum susu. Bisa kamu ke bawah buatin dia susu?" pinta Mbak Juwita. Dia berdiri di bibir pintu kamarku yang memang sengaja kubuka lebar. Habis diajak main Nuna rupanya rewel, mungkin ngantuk dan dia emang biasa minum susu sebelum tidur."Oh iya Arin bikinin dulu, Mbak." Aku bangkit dari kasur karena Bang Jaya kebetulan sedang gak ada di rumah. Mumun juga tadi katanya lagi pergi belanja

  • SUAMI MISKINKU DI RUANG NASABAH PRIORITAS    Part 45

    Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 45Kutengok sekeliling. Benar ternyata, aku sudah mengenali tempat itu sekarang. Walau gelap tapi aku tahu, kami ada di dekat stasiun kereta sekarang."Ini di dekat stasiun 'kan, Mas?" tanyaku memastikan."Iya Mbak. Turunlah di sini, karena di depan ada cctv. Saya gak mungkin antar Mbak sampai ke sana. Oh ya, dari sini, Mbak bisa naik taksi atau ojek saja. Oke?"Aku mengangguk dan buru-buru turun sebelum orang itu berubah pikiran. Walau bagaimana pun dia orang suruhan pria yang sudah mengurungku selama tiga bulan ini, bagaimana kalau tiba-tiba dia berubah pikiran atau kembali punya pikiran jahat? Nauzubillah.Dengan langkah lebar-lebar aku menyebrang ke pangkalan ojek yang tak jauh dari sana."Bang, ke komplek perumahan Buana Permai ya, jalan Nurul Huda 12."Kang ojek mengangguk dan segera melajukan motornya setelah aku duduk di belakang dengan aman.Sampai di depan pos, ojek tak diizinkan masuk karena memang portal perumahan sudah ditut

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status