"Saya bukan ingin kurang ajar, saya hanya ingin membantu, Anda, Tuan."
Terbata-bata, Laura bicara demikian, khawatir niat baiknya justru membuat pria yang menolongnya dari para bandit rentenir itu salah paham dan mengira ia kurang ajar.Untuk sesaat, pria berpakaian formal itu diam, seperti berusaha untuk mengatasi dirinya.Sampai akhirnya, ia berhasil dan berdiri dengan benar sambil mengusap wajahnya sesaat."Ikut aku!" katanya dengan suara tegas meskipun tidak membentak."Saya?""Yang ber-utang denganku, kau, kan?""Ah, iya. Maaf, tapi ke mana?""Ikut saja!"Pria itu berbalik dan terpaksa Laura mengikuti. Meskipun langkahnya terseret, karena lututnya yang sakit lantaran terjatuh tadi membuat ia sulit untuk melangkah dengan baik, Laura patuh saja, berjalan di belakang pria itu seperti seorang pelayan yang mengikuti tuannya.Beberapa saat kemudian, pria itu menghentikan langkahnya di depan kamar. Hati Laura mulai tidak nyaman. Ia tidak nyaman jika melihat kamar adalah tempat tujuan mereka.Bayangan perilaku pria tua kaya raya yang menyekapnya tadi mulai bermunculan kembali. Ini membuat Laura seolah ingin melarikan diri, tapi bagaimana dengan utang yang sekarang ia punya pada pria berpakaian formal ini?"Masuk!"Suara pria itu terdengar, membuyarkan lamunan Laura.Laura semakin gelisah. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Melarikan diri, atau masuk? Jika melarikan diri, ia seperti seseorang yang tidak tahu diri, dibantu tapi justru lari, tapi jika tidak melarikan diri, bagaimana jika pria itu ternyata melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan pria tua yang memberikan pinjaman uang pada sang ayah?"Tidak mau masuk?" tanya pria itu membuyarkan lamunan Laura.Laura tertunduk. Spontan laki-laki tersebut paham apa yang ada di dalam otak gadis di depannya."Apa yang kau pikirkan? Aku tidak akan melakukan sesuatu yang buruk seperti yang ada di dalam otakmu, aku bukan pria seperti itu, aku memintamu masuk ke sini, karena ada yang ingin aku bicarakan terkait utang yang aku berikan padamu, kau tidak bermaksud untuk lari, kan?"Wajah Laura merah padam menahan malu karena pria itu mampu menebak apa yang ia pikirkan.Perlahan, Laura melangkah masuk, tapi berusaha untuk siaga agar ia bisa melakukan perlawanan jika ternyata sang pria sama saja seperti pria tua yang menyekapnya tadi.Gadis itu duduk di sofa saat laki-laki itu memintanya duduk.Dua teh botol dingin ia letakkan di atas meja, entah kapan pria itu mengambilnya dari kulkas sampai tahu-tahu diletakkannya di depan Laura.Karena memang haus, Laura meraih satu botol teh tersebut, dan membuka segelnya.Perlahan, Laura meminum teh dingin tersebut. Terasa nikmat, karena memang tenggorokannya sedang kering."Kita harus membuat perjanjian terkait uang yang tadi aku berikan padamu, aku sudah menyelamatkan kamu dari masalahmu, sekarang kau juga harus melakukan hal yang sama padaku."Saat pria itu duduk di samping Laura, ia bicara demikian, hingga Laura menghentikan tingkahnya yang menikmati teh botol di tangannya."Apa yang harus saya lakukan untuk membantu Tuan?" tanya Laura mencoba memberanikan diri."Siapa namamu?""Laura, Laura Ara.""Aku Kenriki, terserah kau memanggilku dengan sebutan Ken, atau Riki, kau tidak usah bersikap terlalu formal denganku, sesuaikan saja di mana kau berada begitu juga caramu bersikap, dengan siapa kau bicara, sesuaikan saja, tapi denganku, jangan terlalu formal, karena kau bukan rekan bisnisku.""Ah, baik, Tu-""Jangan panggil aku dengan sebuah tuan, kau bukan asisten rumah tangga di rumahku!" potong pria yang menyebut namanya dengan sebutan Kenriki tersebut."Baik. Baiklah!"Laura semakin gugup karena ia seperti diinterview di sebuah kantor di mana ia memasukkan lamaran.Kenriki menghela napas panjang, seperti berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri, karena tidak seharusnya ia bersikap galak pada gadis seperti di sampingnya ini.Dilihat dari aura tubuhnya, Laura sepertinya bukan gadis yang sulit diatur begitu pikir pria tersebut, hingga ia berusaha untuk memperbaiki sikapnya."Kau sudah punya suami? Pacar?" tanyanya sambil menatap wajah Laura yang langsung merah ketika mendengar pertanyaan itu dilontarkannya."Be-belum....""Baiklah, jadi perjanjian kita tidak akan menyakiti siapapun jika kita sama sama masih sendiri.""Maksud, Tuan, eh maksudmu?" tanya Laura belepotan."Karena kau sekarang berhutang padaku, kau harus menikah denganku, tapi ada syarat yang harus kau patuhi selama jadi istriku, kita, hanya menjadi suami istri di depan penghulu, keluarga besar, dan publik saja, jika di rumah, apalagi di kamar, kau dan aku tetap seperti orang yang tidak menikah, dan jangan menyentuhku apalagi mengharapkan nafkah batin dariku, karena aku hanya akan memenuhi nafkah lahirmu saja!"Laura nyaris membeku di tempatnya setelah mendengar apa yang diucapkan oleh Kenriki padanya.Menikah? Dengan pria ini? Pria asing yang tadi menolongnya?"Saya, eh, aku tidak paham maksudmu, apakah yang akan kamu katakan itu kita menikah kontrak?""Bukan. Aku tidak mengajakmu menikah kontrak, kita menikah seperti layaknya pasangan yang saling mencintai, hanya saja ada beberapa aturan yang harus kau patuhi saat kita menikah nanti. Aku tidak butuh persetujuan darimu. Mengerti?"Laura terdiam. Berpikir keras. Sebenarnya, tidak ada yang buruk jika menerima tawaran pria di sampingnya itu, Kenriki pria yang tampan dan sepertinya juga bukan pria yang jahat, persyaratan utama juga tidak memberatkan, bagaimana mungkin bisa berhubungan intim dengan seseorang yang baru dikenal?Masalahnya, apakah jika menerima tawaran itu, Laura sudah memutuskan pilihan yang tepat? Jika menolak, bagaimana cara ia membayar uang yang dikeluarkan pria itu agar ia terbebas dari rentenir yang memeras ayahnya?"Kau tidak mau menikah denganku? Ataukah kau tipe wanita yang lebih suka menyelesaikan sesuatu dengan cinta satu malam saja?"Suara Kenriki terdengar mengusik lamunan Laura."Tidak!" jawab Laura cepat.Laura tidak suka dengan ucapan terakhir Kenriki, cinta satu malam buatnya tidak ada di dalam kamusnya, sesulit apapun kehidupannya, Laura sangat menghindari hal itu sedapat mungkin."Tidak untuk apa? Tidak untuk menikah denganku, atau tidak untuk cinta satu malam itu?""Aku tidak suka dengan kalimat terakhirmu itu!" sergah Laura cepat."Jadi?"Wajah Laura semakin tidak karuan sekarang. Apakah seorang pria ada yang melamar dengan cara seperti Kenriki? Dingin, dan tidak romantis sama sekali. Meskipun hanya pernikahan terpaksa, tapi apa salahnya berbicara sedikit lembut, agar ia benar-benar merasa dilamar.Apakah dilamar rasanya seperti ini?Laura tidak pernah pacaran, apalagi dilamar seorang pria, latar belakangnya yang bukan dari sebuah keluarga berada, apalagi dibandingkan kakaknya Lyoudra yang lebih pandai bergaul, Laura termasuk pasif dan introvert benar-benar tidak membuat Laura menonjol di mata kaum Adam.Sikap Laura yang cenderung menarik diri dari pergaulan membuat ia seperti berlian yang terkubur di dalam pasir. Tidak seorangpun yang melihat kecuali rentenir yang memeras ayahnya sampai pria tua itu menginginkan Laura sebagai gadis penebus utang ayahnya tersebut."Kau tidak mau menikah denganku? Baiklah, kalau tidak, aku juga tidak akan memaksamu, tapi bagaimana caramu untuk membayar uang dua milyar yang aku keluarkan untuk kamu tadi?""Iya, kamu benar, aku juga berharap seperti itu, lagipula apa yang bisa kita takutkan? Anak ini anak kita, dites berapa kali juga tetap saja anak kita."Kenriki menarik napas lega mendengar ucapan sang istri, artinya istrinya tidak lagi merasa tertekan karena situasi yang baru saja mereka alami. Genggaman tangannya di telapak tangan istrinya semakin erat seolah menegaskan, ia tidak akan meninggalkan istrinya apapun keadaannya nanti di masa depan. "Aku tadi sedikit terkejut mendengar kata-kata kamu tadi pada Kak Lyoudra, seperti bukan kamu, tapi aku tahu kamu melakukan itu karena kamu ingin membuat kakakmu sadar sudah terlalu berlebihan pada kita."Kenriki bicara, dan Laura tersenyum tipis mendengarnya."Kamu juga, enggak seperti biasanya, merespon perkataan dia yang tadi, aku cuma mengimbangi, karena kurasa kamu sedang merencanakan sesuatu jadi aku hanya ikut saja meskipun aku tidak tahu apa yang sebenarnya kamu rencanakan.""Istri cerdas. Terima kasih, dan semoga saja itu membuat K
Telapak tangan Laura mengepal mendengar apa yang diucapkan oleh sang kakak, jika tadi ia berniat untuk diam saja tanpa ingin ikut campur apa yang mungkin menjadi rencana Kenriki, sekarang, Laura sudah hilang kesabaran. Mungkin Kenriki yang merespon cemoohan kakaknya itu benar kakaknya memang harus sekali-kali dijawab dengan sombong agar perempuan itu juga bisa menghargai ia dan suaminya mulai sekarang."Untuk Kenriki, aku memang menanggalkan semua perasaan malu atau pasifku selama ini, Kak! Kalau aku tidak berinisiatif untuk menyentuhnya, dengan berbagai cara, aku tidak akan membuat dia bisa disentuh, mungkin selamanya dia tetap menjadi suami tak tersentuh, jadi untuk sebuah hal yang mendesak, aku memang tidak seperti Laura yang biasanya, tapi bukankah itu baik? Aku agresif pada suamiku sendiri!"Kenriki dan juga Lyoudra dibuat kaget ketika tiba-tiba saja, Laura bicara seperti itu pada Lyoudra. Apalagi Lyoudra, ia terlihat tidak hanya kaget, tapi juga merasa marah karena wajahnya jadi
"Kamu serius?" tanya Kenriki saat usai mendengar harapan sang istri.Laura mengangguk, dan Kenriki tersenyum melihat anggukan kepala istrinya."Kau tidak malu kalau ada yang bilang aku aneh karena aku yang seperti itu?" Kembali Kenriki melontarkan pertanyaan, dan Laura memeluk tubuh Kenriki yang masih polos seolah meyakinkan apa yang ia putuskan benar -benar sebuah harapan yang ia inginkan."Tapi, kalau aku ingin kamu seperti itu, aku pasti akan membuat kamu tersiksa, jadi semua aku kembalikan sama kamu, di luar dari pada itu tentu saja kamu yang sehat adalah sebuah harapan untukku, keinginan aku itu hanya sebuah keinginan bahwa aku tidak rela ada perempuan lain yang merebut kamu dariku."Laura bicara sambil memeluk suaminya, dan Kenriki balas memeluk sang istri sambil sesekali mengecup kening istrinya seolah menegaskan bahwa ia senang dengan apa yang diucapkan oleh Laura padanya."Sebenarnya, apa yang kamu harapkan itu pernah aku pikirkan sebelumnya....""Benarkah? Kau juga berharap
Kenriki gugup, hingga hal itu membuat dirinya langsung menangkap tangan istrinya lalu ia membalikkan tubuhnya ke arah sang istri. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya seperti orang bodoh dengan jantung yang berdebar kencang. Padahal, mereka sudah sering melakukan hal yang sangat intim namun tetap saja Kenriki seperti baru berdekatan dengan sang istri dengan perasaan dan hati yang tidak tenang, disertai debaran jantung yang juga tidak bisa membuat dirinya rileks."Melakukan tugas yang harus aku lakukan...."Laura menjawab dengan wajah yang merona, dan Kenriki geleng-geleng kepala mendengar hal itu. "Tidak perlu memaksakan diri, kamu tertekan dengan situasi sekarang yang tidak memungkinkan kita untuk -""Riki! Laura! Kalian di dalam?"Tiba-tiba saja, suara Tante Keisya terdengar, memotong ucapan Kenriki yang tadi sudah separuh kalimat. "Ya! Ada apa, Mi!" sahut Kenriki dengan suara sedikit terbata lantaran terkejut ibunya tiba-tiba berteriak. "Mami mau nyusul Papi dulu, ada yang harus k
"Soal apa itu?" tanya Kenriki dengan wajah yang terlihat tegang. Tidak ingin melihat istrinya khawatir seperti itu.Mendengar pertanyaan Kenriki, Laura bukannya langsung menjawab, perempuan itu mengalihkan pandangannya ke arah lain menghindari tatapan mata suaminya yang sedang menatapnya dengan sorot mata yang tajam karena khawatir dengan apa yang diucapkannya tadi."Sayang, kenapa tidak bicara? Kamu khawatir soal apa? Apakah karena obat itu, Erna menekan kamu?" tanya Kenriki lagi dan pertanyaan keduanya kini membuat Laura menatapnya sesaat dengan wajah yang terlihat sedikit salah tingkah. Membuat Kenriki semakin penasaran."Wajahmu merah, apakah yang kau khawatirkan itu bukan hal yang berbahaya tapi.....""Ah! Tidak! Aduh, gimana ya, ngomongnya, aku enggak tahu, apakah aku harus percaya atau tidak, tapi mungkin untuk masalah ini, kita bisa konsultasikan pada Dokter Linda kalau kita sudah punya uang.""Sampai harus konsultasi? Memangnya ada apa? Apa yang dikatakan Erna padamu?" Kenr
"Ya.""Kamu serius?""Serius, tapi, bukannya kamu sekarang enggak suka lagi sama aku? Percuma aja, kan? Lupakan aja.""Aku selalu suka sama kamu, Erna, meskipun kamu tidak menyukaiku karena di hatimu hanya ada Riki, tapi buat aku kamu tetap seseorang yang aku sukai.""Kenapa? Aku sudah banyak membuat kesalahan, aku bikin hidup Kenriki rusak, aku juga membuat perusahaan orang tuanya bangkrut, aku, ah! Kamu akan malu kalau kamu bersama dengan aku.""Asalkan kamu berubah, aku tidak akan malu, kamu sudah menyerahkan obat penawar itu pada Riki, artinya, kamu sudah berubah dan sadar kesalahan, sekarang, tiba waktunya kamu belajar melupakan dia, karena masih ada seseorang yang tulus untuk kamu."Erna bungkam. Perasaan dan hatinya bergejolak, rasanya sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata, sampai akhirnya...."Kalau begitu, apakah sekarang kita jadian?" tanya Erna sambil berpaling dan menatap wajah Sakti dengan sorot mata penuh arti."Asalkan kamu berjanji untuk merelakan Riki dengan Laura.