Share

BAB 8

Author: Linsara
last update Last Updated: 2023-01-08 12:12:26

Aku memaksa tubuh dan hati ini untuk istirahat sejenak. Percuma saja meneruskan pertengkaran dengan Mas Dani, yang ada aku akan semakin sakit hati. Cara berpikirnya, tingkah lakunya, sungguh membuat aku lelah. Belum lagi semua omongan yang keluar dari mulutnya, begitu menyakiti hatiku.

Aku tidak pernah membayangkan kalau orang yang kupercayakan hidup dan matiku di tangannya, justru dialah yang selalu menyakitiku. Hidup berumah tangga ternyata tidak seperti bayanganku. Kulihat rumah tangga kedua orang tuaku begitu bahagia, saling melengkapi, saling menyayangi. Kenapa rumah tanggaku seperti ini?

Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Apakah aku salah bila tak sanggup bertahan? 

Adzan ashar berkumandang. Kubuka mata perlahan, mengusap air mata yang masih tersisa. Ternyata Ari sudah bangun, tapi tidak menangis, sedang memainkan ludahnya. Senyumku mengembang melihat kelucuan anakku. Hanya Ari yang membuatku mampu bertahan, hanya Ari yang menjadi pelipur laraku.

Kulihat sekitar, Mas Dani tidak ada. Mungkin sedang keluar, entah kemana. Biarlah, aku lagi malas melihat wajahnya.

Kutunaikan kewajibanku, sholat ashar empat rakaat. Ari berulang kali mengeluarkan suara, memperhatikan aku. Selesai sholat, kugendong Ari. Doa-doa terbaik kupanjatkan untuknya.

Ceklek. Terdengar suara kunci pintu dibuka. Mas Dani pulang, entah dari mana.

“Assalamu’alaikum,” ucap Mas Dani.

“Wa’alaikumussalam,” jawabku.

“Kamu sudah sholat?” tanyanya.

“Sudah,” jawabku.

“Ya sudah, aku mau sholat dulu,” ucap Mas Dani.

“Hm …,” balasku malas.

*********

Derrt … derrt … derrt.

Hp Mas Dani berbunyi, tanda ada panggilan masuk. Kulirik, Nita memanggil. Hh … bikin hatiku dongkol melihat nama itu. Kubiarkan saja berbunyi karena Mas Dani masih sholat. Tidak lama berhenti sendiri panggilan teleponnya.

Derrt … derrt … derrt.

Bunyi lagi panggilan telepon dari Nita. Mau apalagi sih tuh orang, heran aku.

Mas Dani selesai sholat, buru-buru menjawab telepon dari Nita.

“Halo!” ucap Mas Dani.

Entah apa yang diucapkan Nita, aku tidak dengar, hanya wajah Mas Dani yang terlihat kesal.

“Iya, iya, iya. Nanti aku transfer. Tapi gak bisa banyak seperti biasa,” ucap Mas Dani.

Aku melotot ke arah Mas Dani, dibalasnya dengan membuang muka, melihat ke arah lain. Benar-benar menyebalkan kakak beradik ini. Aku dianggap apa?

“Tidak bisa! Tidak boleh transfer!” Aku berteriak sekencang-kencangnya supaya Nita mendengar.

Mas Dani menoleh, terlihat kaget dengan perkataanku barusan.

“Bu⎼ bukan apa-apa,” ucap Mas Dani pada Nita. Mungkin Nita bertanya apa yang aku katakan.

“Mas Dani tidak boleh transfer! Dengar kamu Nita. Tidak boleh transfer!” Teriakku ke arah hp Mas Dani.

“Kamu ini apa-apaan Mawar? Teriak-teriak begitu. Bikin malu saja,” sentak Mas Dani.

“Aku tidak malu mempertahankan hakku dan Ari, Mas. Tidak pantas kamu berbuat seperti ini kepadaku, Mas,” ucapku emosi.

“Kamu cuma gara-gara uang teriak-teriak seperti itu. Apa pantas begitu?” Mas Dani pun emosi.

“Pantas … aku pantas berbuat seperti. Ini hak aku dan Ari, Mas,” jeritku. Aku sudah tidak peduli apa kata tetangga mendengar pertengkaran kami. “Kalau kamu masih mengirim uang ke Nita, aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Lebih baik aku hidup bersama orang tuaku yang penuh kasih sayang. Tidak pernah memarahiku seperti kamu, Mas.”

“Silahkan kamu pulang! Aku tidak peduli. Istri macam apa yang tidak bisa berbagi sama saudara?! Tidak mengerti kesusahan saudara!” Bentakan Mas Dani membuat Ari menangis keras.

Emosi telah menguasaiku sepenuhnya. Dadaku bergemuruh, siap menumpahkan seluruh amarah yang telah kusimpan selama ini.

“Kesusahan saudara katamu, Mas? Kesusahan yang mana? Mana ada orang susah yang punya kartu kredit?” Balasku lantang. “Kamu itu hanya memikirkan saudaramu, berbagi untuk saudaramu. Sedangkan istri dan anakmu tidak kamu pikirkan. Aku yang setiap hari berbakti kepadamu, selalu kamu marahi. Suami macam apa kamu?”

Plak.

Sekali lagi tangan kekar Mas Dani mendarat di pipiku. Cukup sudah! Aku tidak akan bertahan lagi dengan semua perlakuannya. Aku akan pulang ke rumah orang tuaku sekarang juga.

“Cukup! Ini terakhir kali tangan jahatmu menyakitiku. Jangan pernah kamu sentuh aku lagi. Aku akan pulang sekarang. Kamu telah melanggar janjimu di depan penghulu dan kepada Tuhan. Aku berhak mengajukan keberatan di mata hukum dan agama,” ucapku.

“Apa maksud kamu?” tanya Mas Dani.

Aku sudah tidak mau menanggapi lagi pertanyaannya. Kuraih hp untuk menghubungi bapak. 

“Assalamu’alaikum, Pak,” ucapku sambil terisak.

“Wa’alaikumussalam, Mawar. Lho, ada apa? Kamu menangis, Nak?” tanya bapak.

“Tolong jemput aku, Pak. Aku mau pulang ke rumah Bapak,” ucapku serak karena tangis.

“Baik, Nak. Berikan alamat kamu atau bagikan lokasi, ya!” ucap bapak tanpa banyak bertanya lagi.

“Baik, Pak,” kataku.

“Mawar … kamu serius mau pulang?” tanya Mas Dani.

Aku tetap diam. Aku berusaha menenangkan Ari yang masih saja menangis. Sambil menggendong Ari, kumasukkan semua keperluan Ari dan baju-bajuku ke dalam koper. Sambil menunggu bapak, kususui Ari hingga tertidur.

Kulihat hp, ternyata ada beberapa pesan wa. Dari bapak, yang mengatakan posisinya sudah dekat, agar aku bersiap-siap. Ada pesan juga dari Nita. Mau apa lagi dia?

[Mbak, kenapa larang mas Dani transfer uang ke aku?]

[Ingat, ya Mbak. Aku ini adik mas Dani satu-satunya. Aku berhak mendapatkan uang dari mas Dani.]

[Mbak itu baru masuk ke keluarga kami. Jadi jangan sok kuasain uang mas Dani!]

[Cepat bilang mas Dani suruh transfer sekarang juga!]

[Dasar kamu kakak ipar pelit, Mbak!]

Astaghfirullah. Kata-kata Nita sungguh menyayat hatiku yang sudah terluka ini. Geram sekali aku membaca pesannya.

[Silahkan kamu makan semua uang Mas Dani! Aku sudah tidak peduli,] balasku.

Aku segera bersiap karena sebentar lagi bapak datang. Aku letakkan koper di depan pintu.

“Mawar. Kamu benar-benar keterlaluan, ya! Kamu itu istriku, harus ikut aturan suami!” Mas Dani berbicara. “Masa, baru bertengkar begini saja, kamu langsung pulang ke rumah orang tua,”

Aku menoleh ke arahnya, kutatap matanya dengan penuh kemarahan. Tidak ada kata yang kuucapkan. Aku tidak mau membuang energiku lagi untuk orang toxic seperti dia.

“Kalau kamu mau pulang, jangan bawa Ari. Biar Ari nanti ibuku yang urus!” Mas Dani berusaha meraih Ari dari gendonganku.

Segera kutepis tangannya kasar. “Enak saja kamu bicara, Mas. Ari ini masih menyusu. Butuh aku, ibunya. Bukan butuh neneknya,” ketusku.

“Ah … gampang. Dikasih susu formula juga bisa,” Mas Dani masih berusaha merebut Ari dariku.

“Berhenti! Menjauh dariku dan Ari! Atau aku tidak akan segan berteriak minta tolong pada warga sekitar!” ancamku.

“Ari itu anakku. Aku ayahnya yang paling berhak. Aku mampu membesarkannya karena aku punya uang. Kalau kamu kan pengangguran, mana ada uang untuk membiayai Ari,” Mas Dani mencebik melihatku.

Tok … tok … tok.

Suara pintu diketuk. Itu pasti bapak sudah datang. Alhamdulillah, aku bisa segera pergi dari sini bersama Ari.

“Jangan berani kamu pergi membawa Ari!” ancam Mas Dani.

“Tolong … tolong … tolong …,” Aku berteriak sekeras mungkin. Kubuktikan kalau aku tidak main-main akan berteriak minta tolong.

Bug … bug … bug.

Suara pintu digedor dari luar.

“Dani, cepat buka pintunya! Atau saya dobrak!” Suara Bapak berteriak.

Bug … bug … bug.

Lagi pintu digedor oleh Bapak.

“Apa-apaan kamu, berteriak-teriak. Benar-benar bikin susah aku,” Mas Dani mengangkat tangannya tinggi, ingin menamparku.

“Bapak … toloooong!” Aku berteriak lebih keras lagi.

BRAK!

Pintu didobrak dari luar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI TOXIC   BAB 38

    Taksi online yang kutumpangi telah sampai di depan rumah. Aku segera turun sambil menggendong Ari. Kulihat di halaman tidak ada mobil mas Zaki. Hmm, tadi katanya lagi ada di rumah.Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Kuucapkan salam, tapi keadaan rumah sepi. Tidak ada yang menjawab salam. Kulihat baby shop juga sepi, hanya ada dua orang pekerja. Nisa tidak terlihat keberadaannya.“Ibu! Bapak! Assalamu’alaikum!”Tidak ada yang menjawab. Ke mana perginya ibu dan bapak?Kuputuskan untuk bertanya pada pekerja di baby shop. Tapi saat aku baru saja membalikkan badan, tiba-tiba ponselku berdering. Ada panggilan masuk dari ibu.“Assalamu’alaikum, Bu. Ibu sama bapak di mana ? Kok rumah sepi sekali? Tadi katanya mas Zaki ada di rumah, kok sekarang gak ada, sih Bu?” Aku langsung memberondong ibu dengan pertanyaan.“Wa’alaikumussalam. Justru itu, Mawar. Tadi tiba-tiba mas Zaki mengeluh sakit kepala hebat. Ibu sampai tidak tega melihatnya. Sekarang kami ada di rumah sakit, mas Zaki masuk ICU karena

  • SUAMI TOXIC   BAB 37

    Waktu ini telah lama kunantikan. Dua minggu yang lalu, hakim pengadilan agama telah mengetuk palu putusan cerai antara aku dan Mas Dani.Hari ini adalah hari pembacaan ikrar talak di muka sidang. Dengan suara bergetar dan mengeluarkan air mata, Mas Dani mengucapkan ikrar talak.Sah, aku kini resmi menyandang status seorang janda. Ada rasa lega, namun tidak kupungkiri sedih pun menghampiri. Sebuah status yang tidak pernah aku bayangkan ketika dulu memutuskan menikah.Mungkin ini memang sudah suratan takdirku. Aku harus ikhlas, harus kuat, ada Ari yang membutuhkanku.Semua proses hari ini berjalan lancar. Aku ditemani Bapak berjalan menuju tempat parkir motor.“Mawar! Mawar!” Terdengar suara Mas Dani memanggilku.Kuhentikan langkah dan menoleh ke belakang. Mas Dani nampak berlari kecil menghampiriku.Begitu dia tiba di hadapanku, tiba-tiba saja bersimpuh dan memeluk kedua kakiku. Aku refleks menghentakkan kaki hingga terlepas dan mundur tiga langkah ke belakang.“Maafkan aku, Mawar. Aku

  • SUAMI TOXIC   BAB 36

    Kami semua hendak masuk ke dalam mobil. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggil namaku. Siapa yang memanggilku?Aku menoleh ke arah suara. Lho, Mbak Mira? Mau apa dia memanggilku?Mbak Mira menggendong Dio, tergesa berjalan ke arahku. Apakah dia akan memanas-manasiku lagi seperti dulu?Aku bersiap menghadapi kedatangan Mbak Mira. Setelah apa yang terjadi pada dirinya dan juga Mas Dani, bukan tidak mungkin kalau dia akan melampiaskan kemarahannya padaku.Mbak Mira semakin dekat, napasnya memburu. Matanya lekat memandangku.“Mbak Mawar … maafkan aku! Huhuhuhu ….” Mbak Mira bersimpuh di hadapanku. Dia menangis tersedu, air matanya mengalir deras.Aku tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Aku hanya diam, terkejut dengan apa yang dilakukan Mbak Mira.“Mbak, tolong aku!” Mbak Mira menengadahkan wajahnya.“Mbak Mawar, tolong beritahu dimana Mas Dani! Aku mohon, Mbak! Huhuhuu ….”Tangisannya semakin kencang dan menarik perhatian orang yang lalu lalang.“Mbak. tolong

  • SUAMI TOXIC   BAB 35

    Bu Puspa selesai dengan teleponnya. Kami pun bersiap untuk pergi belanja. Salon sudah mulai ramai dengan pelanggannya, yang semuanya adalah kaum perempuan, karena memang ini salon khusus muslimah.Aku membukakan pintu untuk Bu Puspa keluar. Begitu aku melangkah keluar, ternyata ….“Assalamu’alaikum,” Mas Zaki mengucap salam dan tersenyum padaku.“Oh … wa’alaikumussalam,” jawabku sedikit kaget.“Kamu tidak praktek?” Bu Puspa bertanya pada Mas Zaki.“Tadi aku minta gantikan sama temanku, Ma,” jawab Mas Zaki mengulum senyum.“Ooh. Ada apa ke sini? Ada hal penting yang ingin kamu bicarakan sama mama?”“Eng … hmm … gak ada, Ma. Cuma mau titip ini untuk Ari,” Mas Zaki memberikan sebuah tas kertas padaku.“Oh … apa ini, Mas?” tanyaku.“Mainan untuk Ari,” jawab Mas Zaki.“Tidak perlu repot-repot, Mas.”“Tidak repot, kok. Semoga Ari suka, ya.”“Terima kasih,” ucapku.“Ehem!” Bu Puspa berdehem.“Eh … eng, Mama apa sih? Pakai berdehem segala,” Mas Zaki seperti anak kecil yang merajuk.“Duuh, ana

  • SUAMI TOXIC   BAB 34

    Tepat pukul delapan pagi aku sampai di depan salon milik bu Puspa. Tampak sepi, sepertinya memang belum buka. Hmm, pantas saja, ternyata jam buka mulai dari pukul 10 pagi hingga delapan malam. Begitu yang tertulis di papan berwarna putih yang tergantung di pintu masuk.[Assalamu’alaikum, Bu. Saya sudah sampai di depan salon,] Kukirim pesan pada bu Puspa.Tiba-tiba pintu salon terbuka.“Mbak Mawar, ya?” tanya seorang gadis berparas ayu.“Oh. Iya, Mbak,” jawabku.“Silahkan masuk, Mbak! Ibu sudah menunggu,” Gadis itu membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkanku untuk masuk.“Iya, Mbak. Terima kasih,” Aku masuk mengikuti gadis itu.Gadis itu menunjuk sebuah ruangan dari kaca, terlihat di dalamnya ada bu Puspa. Aku mengucapkan terima kasih dan segera menuju ruangan tersebut.Langkah ini belum sampai ke sana, namun bu Puspa sudah menyadari kehadiranku. Beliau melambaikan tangannya, memberi tanda supaya aku segera masuk. Aku tersenyum dan mengangguk tanda mengerti.“Assalamu’alaikum, Bu,” Kuu

  • SUAMI TOXIC   BAB 33

    Hari ini benar-benar melelahkan. Banyak sekali pesanan yang masuk. Aku anggap semua ini adalah hikmah di balik cobaan yang aku alami.Aku belum bicara dengan ibu dan bapak mengenai video viral mas Dani. Tapi tadi sempat bertemu ibu, sepertinya banyak yang ingin ibu tanyakan tapi tidak enak karena melihat aku sibuk bekerja.Pasti nanti saat makan malam akan banyak pertanyaan dari mereka. Aku hanya berharap hal ini tidak menambah kesedihan mereka.Kugendong Ari keluar kamar, menuju meja makan. Tampaknya ibu dan bapak sudah menunggu kami. Makanan pun sudah terhidang di meja.“Wah, makan apa nih, Bu? Mawar sudah lapar sekali,” tanyaku.“Sayur lodeh dan ikan goreng. Ayo cepat duduk dan makan!” jawab Ibu.“Hari ini bapak lihat kamu sibuk sekali, War. Banyak pesanan?” tanya Bapak.“Iya, Pak. Alhamdulillah, banyak sekali pesanan yang masuk. Itu belum dikerjakan semua. Besok akan dilanjutkan lagi,” jawabku.“Alhamdulillah! Bapak senang melihat usaha kamu lancar. Semoga berkah untuk kehidupan k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status