Share

Bab 2

Author: Olin huy
last update Last Updated: 2023-07-17 00:22:31

Bu Meta mengerucutkan bibirnya sambil ngedumel.

"Lagaknya mau menyaingi aku. Sok-sokan mau beli emas 1kg," gerutu Bu Meta.

"Gila suaminya Mbak Karmila ini. Mau membelikan emas istrinya 1kg lho!" puji Bu Fatia. "Wah, Bu Meta bisa kesaing sama Mbak Karmila 'ni," ujar Bu Fatia lagi. Aku menjadi salah tingkah di tempat itu.

"Memang benar, ya. Jarak umur yang terlalu jauh tidak menghalangi untuk saling mengerti ya, Mas Darius!" Bu Fatia mengulang pujiannya lagi.

Ya Allah, aku dan suamiku tidak bermaksud sombong. Hanya mulut suami hamba saja yang sedikit dol.

"Ibu-ibu, kami pamit dulu!" Aku berpamitan dengan semua yang ada di tempat itu. "Ayo, Mas!" Giliranku yang menggandeng tangan Mas Darius.

"Ya ampun ... Seneng melihat pasangan itu," lantang suara Bu Fatia mengiringi langkah kami masuk ke dalam rumah.

***

Aku cemberut, merajuk saat sampai di rumah.

"Mas, jujur saja. Sebenarnya kamu nggak mau membelikanku emas 'kan?" tanyaku dengan bibir manyun di depan TV.

Dia dengan santai menjawab. "Zegarrr!"

"Kenapa 'sih, Mas. Harus memperlakukan aku seperti ini. Aku kamu anggap anak kecil?" tanyaku lagi.

"Mas, aku ini sudah melahirkan dua kali. Jadi jangan perlakukan aku seperti anak kecil lagi dong. Aku nggak suka. Seperti anak kecil yang minta mainan dan dibolehin. Kemudian dibohongi barangnya habis," gerutuku lagi. Aku terus saja nyerocos. Mungkin sampai berbusa juga bibir ini.

"Zegarr ... Ces!" jawab suamiku. Sungutku semakin ke luar dan ingin segera marah-marah di depan wajahnya.

"Mas ...! Istri ngomel-ngomel didengerin dong! Dari tadi jawabnya nggak jelas." Aku membalik badan dan hendak melepar bantal ke arahnya. Tapi, dia malah cengengesan menatapku.

"Hehe, minum dulu, Sayang! Es jeruknya Zegarr ..."

Mas Darius berkata sambil menenggak gelas yang ada di tangannya. Kemudian mengelus lehernya.

Aku pun tergoda hingga kerongkonganku tanpa sadar telah menelan salifa.

Ceguk.

"Kamu menyebalkan banget 'sih, Mas!" Ku lempar bantal kecil yang tadinya tertunda.

"Minum dulu, Sayang. Biar nggak naik darah," titahnya. Sebenarnya aku mau menolak karena omelanku nggak di dengar. Tapi melihat embun-embun es yang terbentuk di dinding gelas membuatku lupa diri. Segera ku ambil es jeruk di tangan Mas Darius. Kemudian ku tenggak hingga habis. "Apa ku bilang. Kamu itu kurang minum sayang. Bukannya kurang emas," katanya. Aku pun melotot mendengar ucapannya. Bisa-bisanya dia bercanda di saat hatiku gundah. "Makin cantik kalau matanya membelalak gitu. Seperti orang-orang india," ucapnya lagi.

"Auk ah, Mas!"

Dulu sebelum menikah, aku sering berdoa agar diberikan suami yang sabar. Alhamdulilah, Allah mengabulkannya. Tapi, dapatnya kelewat sabar. Sabaarrr ... Banget! Tapi kelewat sabar. Apa-apa harus sabar.

***

Marah dengan Mas Darius pun percuma hanya karena emas. Mau mogok makan aku yang rugi. Pernah sekali aku ngambek dan mogok makan. Sebenarnya aku pengen seperti yang di TV-TV gitu. Kalau ngambek dirayu-rayu disuruh makan. Ditawari dibelikan ini itu. Meski sebelum marah aku sudah stok makanan di bawah ranjang. Hehe, ini ceritanya ngambek terencana. Jadi, sudah persiapan dulu biar nggak kelaparan beneran.

Saat itu mungkin karena aku yang ingin dimanja. Maklum waktu itu masih pengantin baru. Aku mengurung diri di kamar. Hatiku sudah bedebar saat Mas Darius mulai membuka pintu.

"Akhirnya, dia datang juga. Pasti mau ajak aku makan di luar biar romantis seperti film-film drakor," batinku saat itu.

Nggak tahunya, dia menjatuhkan badannya begitu saja di sampingku. Langsung ngorok pula.

***

Agar aku tidak galau karena batal beli emas, ku putuskan untuk ke kamar dan main ponsel. Di dalam ponselku, aku mempunyai beberapa aplikasi jual beli online. Tapi saat ini aku hanya ingin melihat-lihat saja. Siapa tahu, Mas Darius menyusul ke kamar dan melihat apa yang kulihat saat ini.

Beberapa menit kemudian, benar saja. Suamiku yang gagah seperti Arjuna itu masuk ke kamar. Ia duduk di sampingku. Kemudian meletakkan kepalaku di pundaknya. Ini kesempatan bagus. Dia bisa ikut aku nonton gambar perhiasannya.

"Mas, ini bagus nggak?" tanyaku.

"Nggak!" jawabnya. Ih, sebel. Suami nggak peka banget 'sih.

"Kalau ini?" tanyaku lagi.

Suamiku bergeming dan hanya menggunakan isyarat saja dalam menjawab.

"Ya Sudah! Kalau tidak ada yang bagus," kataku. Ku matikan ponsel kemudian meletakkannya di nakas.

"Ngebet banget pengen perhiasan emas. Mas mau tanya. Memangnya buat apa?"

"Ya buat bersolek di depanmu lah, Mas. Untuk apa lagi?"

Mas Darius mengelus rambutku. Lelaki yang menghalalkanku ini menyanyikanku lagu romantis. Ya Allah, saat seperti ini, aku berasa menjadi Aisyah istri Rosullullah.

"Sudah, jangan pikirkan itu lagi. Besok Mas belikan perhiasan," ujarnya.

"Halah, pasti bohong lagi!"

"Nah ini, kamu itu selalu berpikir negatif sebelum saatnya tiba."

"Habisnya, seringnya gitu. Seperti yang sudah-sudah. Katanya mau ajak ke toko emas. Tapi pulang nggak dapat apa-apa."

"Eh, dengarkan! Aku 'kan cuma bilang. Besok ku ajak kamu ke toko emas. Dan sudah ku tepati. Jadi ... aku nggak bohong dong.

Capek berdebat dengan Mas Darius. Selalu aku yang kalah. Tanpa sadar mata pun mulai sepet. Entah sirep apa yang ia gunakan. Karena hanya dalam hitungan menit aku langsung tak sadarkankan diri.

***

Pagi ini Mas Darius janji mau pergi dan pulang membawakanku perhiasan. Dengan semangat aku menyiapkan menu kesukaannya. Untuk makanan sehari-hari kami tidak pernah pusing mikir untuk beli. Makanan yang kami konsumsi berdatangan begitu saja. Aku juga tidak tahu kenapa para petani selalu memberikan hasil panennya pada suamiku.

Pernah aku menolak seorang pria paruh baya datang membawa hasil panen terong sekarung ke rumah.

"Pak, kenapa Bapak berikan ini pada kami? Bukankah Bapak lebih butuh?" tanyaku. Orang itu malah tersenyum. Suamiku juga diam tanpa penjelasan. Kemudian ku tanya lagi, "Pak, jujur sama aku. Apa Bapak dipaksa Mas Darius agar menyerahkan hasil panennya?"

"Tidak, Bu Mila. Sama sekali Bapak tidak pernah memaksaku. Aku ikhas memberikan ini," ujarnya. Aku bingung sampai garuk-garuk kepala. Meski sebenarnya gatel beneran karena berkeringat saat memakai hijab.

"Memangnya aku kompeni, yang suka merebut hasil panen warga?" desis Mas Darius. Aku meliriknya. Ia bicara sambil melipat tangannya.

"Ya kali aja," bisikku.

"Tu 'kan, cobalah untuk berpikir yang positif Karmilaku sayang."

"Nggak bisa, Mas! Aku hanya bisa berpikir sebab akibat sesuai yang aku lihat dan aku alami."

Si Bapak di depanku bingung melihat ke arahku, lalu pindah ke arah Mas Darius.

Sampai sekarang teka-teki itu belum aku pecahkan. Yang aku tahu, Mas Darius bekerja sebagai guru di sebuah yayasan. Mungkin segala jenis makanan hasil panen pertanian maupun peternakan yang di kirim adalah tanda terima kasih.

***

"Assalamu'alaikum!"

"Mas Darius pulang," gumamku. Segera ku sambut pujaan hatiku yang berjanji membawakan perhisan untukku.

"Mila, lihat yang Mas bawa!" ujarnya. Ia meletakkan sebuah tak kecil di meja. Dari gambarnya 'sih gambar berlian. Katanya aku disuruh berpikir positif. Ini saatnya. Apakah di dalamnya berlian?

___

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI USIL   Bab 30

    "Mila, buka pintunya! Kalau pintu kamar di tutup, aku tidur di mana?""Terserah kamu saja, Mas. Salah sendiri pakai janjian sama, Ros." "Mila, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Buka dulu, Sayang. Biar kujelaskan."Mas Darius terus saja membujukku. Tapi biarkan saja. Dia sudah ketahuan main belakang dengan wanita lain. Mungkin akan lebih baik jika aku pergi dari rumah ini. Aaa, tidak, tidak. Kalau aku pergi dari rumah ini, Mas Darius keenakan dong. Dia bisa semaunya sendiri."Mila, buka dong pintunya. Aku cuma bercanda tadi," teriaknya dari luar. Tapi tak kuhiraukan.Setelah beberapa saat, tidak terdengar lagi suaranya. "Apa Mas Darius pergi? Jangan-jangan dia jadi jalan-jalan sama si Rosi itu," batinku. Ya sudahlah, aku tidak peduli. Lama-lama aku juga jenuh di kamar melulu. Aku pun memutuskan untuk ke luar.Saat aku membuka pintu, terlihat sebuah kaki menjulur di atas kursi sofa.Astaga, bandot tua. Mahluk aneh. Kukira sudah pergi jalan-jalan dengan si Ros yang ia telepon tadi

  • SUAMI USIL   Bab 29

    Saatnya ngetes istriku. Apakah dia sudah bisa memahami cara pikirku atau belum."Sayang, kamu hari ini ada acara nggak?" tanyaku sambil tiduran di pangkuannya. Ia sibuk dengan ponselnya."Kebetulan aku juga lagi kosong. Jalan-jalan, yuk!" ajakku."Kemana?" Mila bertanya tanpa melihatku. Aku nyengir dan menahan tawa. "Sepertinya istriku yang bawel ini akan kena jebakan," batinku"Sekitar sini saja," kataku."Sebenarnya aku sedang males 'sih, Mas. Tapi demi menemanimu, ayo!""Ya sudah, aku ganti baju dulu. Kamu juga ganti. Buruan!" titahku.Mila menaruh ponselnya di nakas kemudian berganti pakaian."Ayo, Mas. Aku sudah siap!""Iya, ayo! Mas juga sudah dari tadi nungguin kamu."Pagi ini cukup cerah. Tidak mendung juga tidak panas. Birunya langit menambah keindahan pagi ini. Sudah cukup lama juga tidak cari angin bersama istri.Biasanya berjalan sebentar saja Mila sudah mengeluh capek. Tapi kali ini kenapa diam saja? Aku jadi pusing kalau istriku seperti ini."Sayang, kamu capek nggak? Ka

  • SUAMI USIL   Bab 28

    Dua tahun kemudian usaha mi ayam Septi sukses. Ia bisa melunasi hutangnya pada Mas Darius. Kami pun diminta ke rumahnya sekalian silaturahmi dan makan mi ayam gratis.Sebenarnya Septi mau mengantarnya ke sini. Tapi, Mas Darius sekali-kali juga pengen berkunjung ke rumah adik perempuannya itu. Jadi nggak harus yang muda mengunjungi yang tua melulu."Mas, mau bawa oleh-oleh nggak?" tanyaku saat siap-siap mau ganti baju."Tenang, aku sudah siapkan," katanya. Lega banget dengarnya. Suamiku memang the best.***"Mas, katanya sudah menyiapkan oleh-oleh untuk Septi, mana?"Aku bertanya serius, dia malah cengengesan."Oleh-olehnya ya, kamu!""Hah! Ya Gusti, jangan bercanda, Mas! Kalau tahu begini, aku tadi siapkan. Kalau begitu kita mampir ke toko buah saja. Kita bawakan buah," kataku dengan kesal. Punya suami bawaannya bikin emosi. "Menepi dulu, Kang Arif!""Siap, Bu!"Kami turun dan memilih-milih buah di sana."Enaknya beli buah apa, Mas?" tanyaku meminta saran."Apa saja enak!" jawabnya."

  • SUAMI USIL   Bab 27

    Hari ini adalah waktunya kami pulang dari berlibur. Ayah dan ibuku satu mobil dengan Fadil."Mas, bagaimana kalau nanti kita adu ketangguhan mobil? Jalanan berkelok, banyak jalan yang berlubang. Aku yakin mobilku yang menang," ujar Fadil pada Mas Darius."Mm, bagaimana Kang Arif, berani nggak?" Mas Darius menoleh pada supir."Siap, Pak Bos!" Kang Arif begitu bersemangat."Fadil, jangan begitu! Bahaya ugal-ugalan di jalan. Kamu tahu sendiri 'kan ibu takut kalau kebut-kebutan di jalan," Ibu menimpali."Tenang saja, Bu. Cuma uji ketangguhan saja. Bukan kebut-kebutan," balas Fadil.Kami pun naik ke mobil masing-masing. Memang ada sedikit jalan berkelok-kelok dan banyak lubang. Sebenarnya aku juga takut. Namun melihat semangat Mas Darius dan Kang Arif, aku cuma bisa diam."Bagaimana ini, Pak? Mas Fadil sepertinya yang lebih unggul," kata Kang Arif."Tenang saja, Kang. Kita santai saja. Berdoa saja mobil Fadil bannya kempes," kata suamiku."Ish, jangan begitu, Mas. Di sana ada ayah dan ibu.

  • SUAMI USIL   Bab 26

    "Ini bagaimana ceritanya kalian bisa sekongkol ngerjain aku?" tanyaku pada Fadil.Fadil menggaruk-garuk kepalanya sambil melirik kakak iparnya yang meringis kesakitan."Emm, anu-Mbak. Sebelum ke sini, kami sudah janjian. Dan sebenarnya, ayah dan ibu juga hadir, Mbak.""Ayah dan ibu?""Iya, Mbak.""Lalu mereka di mana sekarang?""Itu mereka ...!" Fadil menunjuk ke arah belakangku."Astaga, Ayah, Ibu! Ya Allah, aku kangen sama kalian." Ke peluk kedua orang tua itu. Kemudian Mas Darius mendekat dan menyalami orang tuaku."Em, hebat akting kalian, ya. Jadi, pemulung yang cuma makan nasi dan garam itu, Ibu!""Hmm, Mila, ini agar kamu bisa berubah. Masak umur sudah semakin matang masih saja emosian, nggak sabaran, gengsian juga. Buang sikap seperti itu, Mila.""Ini sudah watakku, Bu. Ibaratnya adalah pakaianku sehari-hari. Jadi, tetap akan seperti ini terus," kataku. Benar 'kan. Batuk gampang diobati, dan watak sulit untuk dirubah."Tentu saja aku bicara dengan ibu secara lemah lembut."Hih

  • SUAMI USIL   Bab 25

    "Gado-gadonya isinya lengkap ya, Mas! Ada karbohidrat dari lontong dan kentangnya. Ada protein dari telur dan kacang pannjangnya, termasuk sambalnya juga. Ada zat besi dari bayam. Komplit banget. Tinggal nanti kita beli buah dan susu," kataku. Bagaimanapun sebagai seorang ibu itu harus memperhatikan nilai gizi dari setiap apa yang dimakan anggota keluarga. Aku tidak mau suamiku kekurangan gizi. Apalagi di usianya yang tidak muda lagi. "Makan ya makan saja, Mila. Ngapain mikirin gizi. Karbohidratlah, proteinlah, vitaminlah, kalorilah. Kalau mikirin semua itu, yang ada kita justru sakit bukan karena kekurangan gizi. Tapi sakit memikirkan gizi."Ish, ngeyel banget kalau dibilangin. "Mas, gizi itu penting buat gubuh kita lho. Kalau kita kekurangan karbohidrat, yang ada kita lemes. Nggak bisa mikir.""Emm, kata siapa? Mas nggak percaya. Buktinya bayi cuma minum susu nggak makan nasi dan sayur juga sehat.""Itu beda, Mas. Susu sudah banyak kandungan vitamin dan lainnya. Termasuk lemak," k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status