Share

Bab 2

Bu Meta mengerucutkan bibirnya sambil ngedumel.

"Lagaknya mau menyaingi aku. Sok-sokan mau beli emas 1kg," gerutu Bu Meta.

"Gila suaminya Mbak Karmila ini. Mau membelikan emas istrinya 1kg lho!" puji Bu Fatia. "Wah, Bu Meta bisa kesaing sama Mbak Karmila 'ni," ujar Bu Fatia lagi. Aku menjadi salah tingkah di tempat itu.

"Memang benar, ya. Jarak umur yang terlalu jauh tidak menghalangi untuk saling mengerti ya, Mas Darius!" Bu Fatia mengulang pujiannya lagi.

Ya Allah, aku dan suamiku tidak bermaksud sombong. Hanya mulut suami hamba saja yang sedikit dol.

"Ibu-ibu, kami pamit dulu!" Aku berpamitan dengan semua yang ada di tempat itu. "Ayo, Mas!" Giliranku yang menggandeng tangan Mas Darius.

"Ya ampun ... Seneng melihat pasangan itu," lantang suara Bu Fatia mengiringi langkah kami masuk ke dalam rumah.

***

Aku cemberut, merajuk saat sampai di rumah.

"Mas, jujur saja. Sebenarnya kamu nggak mau membelikanku emas 'kan?" tanyaku dengan bibir manyun di depan TV.

Dia dengan santai menjawab. "Zegarrr!"

"Kenapa 'sih, Mas. Harus memperlakukan aku seperti ini. Aku kamu anggap anak kecil?" tanyaku lagi.

"Mas, aku ini sudah melahirkan dua kali. Jadi jangan perlakukan aku seperti anak kecil lagi dong. Aku nggak suka. Seperti anak kecil yang minta mainan dan dibolehin. Kemudian dibohongi barangnya habis," gerutuku lagi. Aku terus saja nyerocos. Mungkin sampai berbusa juga bibir ini.

"Zegarr ... Ces!" jawab suamiku. Sungutku semakin ke luar dan ingin segera marah-marah di depan wajahnya.

"Mas ...! Istri ngomel-ngomel didengerin dong! Dari tadi jawabnya nggak jelas." Aku membalik badan dan hendak melepar bantal ke arahnya. Tapi, dia malah cengengesan menatapku.

"Hehe, minum dulu, Sayang! Es jeruknya Zegarr ..."

Mas Darius berkata sambil menenggak gelas yang ada di tangannya. Kemudian mengelus lehernya.

Aku pun tergoda hingga kerongkonganku tanpa sadar telah menelan salifa.

Ceguk.

"Kamu menyebalkan banget 'sih, Mas!" Ku lempar bantal kecil yang tadinya tertunda.

"Minum dulu, Sayang. Biar nggak naik darah," titahnya. Sebenarnya aku mau menolak karena omelanku nggak di dengar. Tapi melihat embun-embun es yang terbentuk di dinding gelas membuatku lupa diri. Segera ku ambil es jeruk di tangan Mas Darius. Kemudian ku tenggak hingga habis. "Apa ku bilang. Kamu itu kurang minum sayang. Bukannya kurang emas," katanya. Aku pun melotot mendengar ucapannya. Bisa-bisanya dia bercanda di saat hatiku gundah. "Makin cantik kalau matanya membelalak gitu. Seperti orang-orang india," ucapnya lagi.

"Auk ah, Mas!"

Dulu sebelum menikah, aku sering berdoa agar diberikan suami yang sabar. Alhamdulilah, Allah mengabulkannya. Tapi, dapatnya kelewat sabar. Sabaarrr ... Banget! Tapi kelewat sabar. Apa-apa harus sabar.

***

Marah dengan Mas Darius pun percuma hanya karena emas. Mau mogok makan aku yang rugi. Pernah sekali aku ngambek dan mogok makan. Sebenarnya aku pengen seperti yang di TV-TV gitu. Kalau ngambek dirayu-rayu disuruh makan. Ditawari dibelikan ini itu. Meski sebelum marah aku sudah stok makanan di bawah ranjang. Hehe, ini ceritanya ngambek terencana. Jadi, sudah persiapan dulu biar nggak kelaparan beneran.

Saat itu mungkin karena aku yang ingin dimanja. Maklum waktu itu masih pengantin baru. Aku mengurung diri di kamar. Hatiku sudah bedebar saat Mas Darius mulai membuka pintu.

"Akhirnya, dia datang juga. Pasti mau ajak aku makan di luar biar romantis seperti film-film drakor," batinku saat itu.

Nggak tahunya, dia menjatuhkan badannya begitu saja di sampingku. Langsung ngorok pula.

***

Agar aku tidak galau karena batal beli emas, ku putuskan untuk ke kamar dan main ponsel. Di dalam ponselku, aku mempunyai beberapa aplikasi jual beli online. Tapi saat ini aku hanya ingin melihat-lihat saja. Siapa tahu, Mas Darius menyusul ke kamar dan melihat apa yang kulihat saat ini.

Beberapa menit kemudian, benar saja. Suamiku yang gagah seperti Arjuna itu masuk ke kamar. Ia duduk di sampingku. Kemudian meletakkan kepalaku di pundaknya. Ini kesempatan bagus. Dia bisa ikut aku nonton gambar perhiasannya.

"Mas, ini bagus nggak?" tanyaku.

"Nggak!" jawabnya. Ih, sebel. Suami nggak peka banget 'sih.

"Kalau ini?" tanyaku lagi.

Suamiku bergeming dan hanya menggunakan isyarat saja dalam menjawab.

"Ya Sudah! Kalau tidak ada yang bagus," kataku. Ku matikan ponsel kemudian meletakkannya di nakas.

"Ngebet banget pengen perhiasan emas. Mas mau tanya. Memangnya buat apa?"

"Ya buat bersolek di depanmu lah, Mas. Untuk apa lagi?"

Mas Darius mengelus rambutku. Lelaki yang menghalalkanku ini menyanyikanku lagu romantis. Ya Allah, saat seperti ini, aku berasa menjadi Aisyah istri Rosullullah.

"Sudah, jangan pikirkan itu lagi. Besok Mas belikan perhiasan," ujarnya.

"Halah, pasti bohong lagi!"

"Nah ini, kamu itu selalu berpikir negatif sebelum saatnya tiba."

"Habisnya, seringnya gitu. Seperti yang sudah-sudah. Katanya mau ajak ke toko emas. Tapi pulang nggak dapat apa-apa."

"Eh, dengarkan! Aku 'kan cuma bilang. Besok ku ajak kamu ke toko emas. Dan sudah ku tepati. Jadi ... aku nggak bohong dong.

Capek berdebat dengan Mas Darius. Selalu aku yang kalah. Tanpa sadar mata pun mulai sepet. Entah sirep apa yang ia gunakan. Karena hanya dalam hitungan menit aku langsung tak sadarkankan diri.

***

Pagi ini Mas Darius janji mau pergi dan pulang membawakanku perhiasan. Dengan semangat aku menyiapkan menu kesukaannya. Untuk makanan sehari-hari kami tidak pernah pusing mikir untuk beli. Makanan yang kami konsumsi berdatangan begitu saja. Aku juga tidak tahu kenapa para petani selalu memberikan hasil panennya pada suamiku.

Pernah aku menolak seorang pria paruh baya datang membawa hasil panen terong sekarung ke rumah.

"Pak, kenapa Bapak berikan ini pada kami? Bukankah Bapak lebih butuh?" tanyaku. Orang itu malah tersenyum. Suamiku juga diam tanpa penjelasan. Kemudian ku tanya lagi, "Pak, jujur sama aku. Apa Bapak dipaksa Mas Darius agar menyerahkan hasil panennya?"

"Tidak, Bu Mila. Sama sekali Bapak tidak pernah memaksaku. Aku ikhas memberikan ini," ujarnya. Aku bingung sampai garuk-garuk kepala. Meski sebenarnya gatel beneran karena berkeringat saat memakai hijab.

"Memangnya aku kompeni, yang suka merebut hasil panen warga?" desis Mas Darius. Aku meliriknya. Ia bicara sambil melipat tangannya.

"Ya kali aja," bisikku.

"Tu 'kan, cobalah untuk berpikir yang positif Karmilaku sayang."

"Nggak bisa, Mas! Aku hanya bisa berpikir sebab akibat sesuai yang aku lihat dan aku alami."

Si Bapak di depanku bingung melihat ke arahku, lalu pindah ke arah Mas Darius.

Sampai sekarang teka-teki itu belum aku pecahkan. Yang aku tahu, Mas Darius bekerja sebagai guru di sebuah yayasan. Mungkin segala jenis makanan hasil panen pertanian maupun peternakan yang di kirim adalah tanda terima kasih.

***

"Assalamu'alaikum!"

"Mas Darius pulang," gumamku. Segera ku sambut pujaan hatiku yang berjanji membawakan perhisan untukku.

"Mila, lihat yang Mas bawa!" ujarnya. Ia meletakkan sebuah tak kecil di meja. Dari gambarnya 'sih gambar berlian. Katanya aku disuruh berpikir positif. Ini saatnya. Apakah di dalamnya berlian?

___

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status