Share

SUAMI USIL
SUAMI USIL
Penulis: Olin huy

Bab 1

"Mbak, mau beli emas yang paling besar ada?" tanya suamiku. Aku sudah senyam-senyum mendengarnya.

"Ada, Pak!" jawab penjaga toko.

"Paling besar beratnya berapa?" tanya suamiku dengan PD banget. Padahal aku tahu, dia tidak membawa uang.

"Yang ready 100gr, Pak!" jawab wanita berkemeja merah.

"Aku mau emas yang beratnya 1kg," kata suamiku. Aku tepuk jidat. Malu dilihat banyak orang. Mau ditaruh mana mukaku ini.

Si Mbak penjaga toko pun bingung. Akhirnya dia memanggil pemilik toko yang diketahui wajahnya seperti orang cina. Dia memandang kami sangat aneh. Apa lagi aku cuma memakai gamis biasa. Suamiku mengenakan celana pendek dan kaos setelan olahraga.

"Bapak butuh apa?" tanya wanita Cina itu. Rambutnya berwarna pirang sebahu.

"Aku butuh emas yang beratnya 1kg, ada?"

"Ada Pak, tapi pesan dulu," katanya.

"Kalau sekarang bisa nggak?"

"Nggak bisa, Pak!"

"Ya sudah, nggak jadi!" ujar lelaki di sampingku ini. "Ayo pulang!" Ia menggandeng tanganku.

Sudah kuduga. Setiap aku menginginkan sesuatu ia selalu membuat hati lega dan tenang. Tapi ... cuma sesaat doang. Setelah sampai rumah amsyong. Nggak dapat apa-apa. Ini sudah menjadi kebiasaan. Anehnya, aku selalu telat dalam menganalisa ucapan Mas Darius.

~

Malam hari, sebelum kami datang ke toko emas, Kusampaikan keinginanku padanya, agar suamiku membelikan emas. Karena aku juga menginginkan perhiasan itu seperti wanita pada umumnya.

"Mas, aku ingin seperti wanita-wanita lain yang memakai perhiasan," kataku saat mau tidur.

"Karmila, Sayang! Tenang saja. Besok pagi kita akan langsung ke toko emas," sahutnya sembari mengusap rambutku.

"Benar, Mas? Kamu nggak bohong 'kan?" tanyaku sedikit ragu.

"Iya, sayang. Cuma ke toko emas kecil buat suamimu ini," ujarnya.

Malam itu aku merasa menjadi wanita yang paling beruntung. Hingga akhirnya aku bisa tidur dengan nyenyak. Sekali pun suamiku tidak pernah membentak atau berbicara kasar. Itu nilai plus darinya.

~

Aku dan Mas Darius umurnya selisih 15 tahun. Entahlah, mungkin karena aku menyukai orang yang umurnya lebih tua. Jadi merasa biasa saja dalam menjalani. Meski begitu, dia masih terlihat muda lho. Nggak kalah sama yang masih brondong. Mungkin, karena Mas Darius orangnya sangat santai dalam menjalani kehidupan. Sifatnya yang tidak mudah marah dan apa adanya itulah, yang membuatku nyaman berada didekatnya.

~

Pagi itu kami bersiap pergi jalan-jalan untuk melihat-lihat toko emas yang dekat dengan tempat tinggal. Tertujulah pada satu toko yang paling besar. Sejak awal perasaan ini sudah tidak enak, karena aku tidak melihat Mas Darius membawa dompet.

"Mas, yakin kita akan ke sana?"

"Yakinlah, itu kan tokoku?" katanya, sembari mengusap rambut.

"Ngawur kamu, Mas!"

"Eh, nggak percaya. Ngajinya kurang lama sih?"

"Ngomongin toko emas sampai ngaji. Gimana ceritanya. Nggak nyambung," batinku.

Sampai di toko itu, suamiku langsung bertanya pada penjaganya. Padahal sebagai wanita aku ingin melihat-lihat terlebih dahulu. Secara modelnya bagus-bagus. Ya ampiun ... ngiler rasanya, pengen kuborong semua. Tapi, ketika Mas Darius tiba-tiba saja bertanya emas 1kg, hatiku degdegan seperti genderang mau perang. Jangankan aku, orang di sekitar yang mendengar pun geleng kepala. Sudah gila mungkin suamiku ini. Dikira leherku kokoh seperti patung atau kerbau kali.

Ingin sekali aku mundur dan berlari lebih dulu, agar tidak ikut menanggung malu. Mataku memindai saku celana berwarna hitam putih itu begitu tipis. Tidak mungkin ada uang di sana. Kalau pun pakai ATM juga mustahil. Mas Darius bukan tipe orang yang suka menabung di Bank. Dia lebih suka menyimpan uangnya di brangkas.

"Mas, pulang saja, yuk! Perasaanku nggak enak," bisikku. Tapi dia tidak menghiraukan istrinya ini. Aduh ... rasanya muka ini mau kututup pakai kantong kresek hitam saja.

Dan ternyata perasaanku benar. Kami pulang dengan tangan kosong. Dengan alasan emasnya tidak ada yang sesuai keinginan pria ajaibku.

"Mas, kenapa tidak jadi?" tanyaku sedikit merajuk.

"Toko emasnya nggak lengkap," ujarnya.

"Mas, aku 'kan cuma pengen perhiasan. Kalung kek, gelang kek, bukan emas 1kg. Masak iya, aku pakai kalung 1kg. Bisa putus ni leher, Mas. Ih, sebel!" Aku ngomel di sepanjang jalan. Tapi, Mas Darius dengan santainya melenggang berjalan dengan pandangan lurus ke depan tanpa menghiburku. Dia senyang-senyum sendiri. Ingin rasanya kugetok kepalanya pakai sandal, tapi takut kwalat.

***

Sampailah kami di komplek. Seperti biasa ibu-ibu sedang asyik ngegosip. Sebenarnya jiwaku juga meronta ingin bergabung bersama mereka. Tidak bisa dipungkiri, wanita memang bibirnya lemes, doyan banget ngrumpi. Sayangnya suamiku selalu melarang.

Sesekali aku pernah minta izin padanya.

"Mas, aku boleh nggak, ikut ngumpul ibu-ibu di situ, supaya lebih akrab dengan tetangga?" tanyaku. Tentunya dengan sedikit manja. Ternyata gaya yang kutiru melalui grup literasi tentang tips meluluhkan hati suami gagal.

"Nggak, boleh!" pungkasnya. Singkat, padat, dan jelas. Mulut langsung mingkem. Tidak ada toleransi lagi. Oalah, Mak ... sudah capek-capek merangkai kata, dapatnya kecewa.

Saat kami melewati kumpulan ibu-ibu itu, Bu Fatia menyapa.

"Mas Darius, Karmila, dari mana 'ni? Salut sama pasangan ini. Meski umurnya beda jauh, tetap saja mes_rah," katanya, sambil mendesah. Bu Fatiya adalah orang yang humoris. Meski suka menguliti hidup orang lain. "Dari mana kalian? Tumben, berdua saja."

Bu Fatia seperti mencari sesuatu yang mungkin kami bawa.

Mas Darius menoleh padaku dan memicingkan matanya. Itu pertanda, bahwa kami tidak boleh berlama-lama di tempat itu. Aku sedikit meliriknya. Saat aku mau menjawab pertanyaan Bu Fatiya, lelaki di sampingku sudah mendahului.

"Kami dari toko emas, Bu Fatiya!" jawab Mas Darius. Suamiku benar 'sih tapi, kami cuma jalan-jalan doang.

Ibu-ibu yang ada di situ saling menatap satu sama lain. Apa lagi Bu Meta yang seperti toko emas berjalan. Dia merasa akan tersaingi.

"Wah, wah ... Karmila dibelikan emas sama suaminya. Beli kalung atau gelang? Berapa gr?" tanya Bu Fatia lagi.

"Emmm..!"

Baru saja mau membuka mulut sudah di srobot lagi.

"Nggak jadi beli!"

"Lho, lho ... kenapa nggak jadi, Mas? Jangan-jangan nggak punya uang dan cuma lihat-lihat," cerca Bu Meta. Yaah ... Ketahuan dong. Benar sekali kata Bu Meta. Rasanya pengen banget kulipat wajah ini. Anehnya Mas Darius terlihat santai tanpa ada perubahan ekspresi dari wajahnya meski dikata orang seperti itu. Entah, hatinya terbuat dari apa.

"Jadi benar Mbak Karmila? Kalian cuma melihat-lihat saja?"

Ampun deh, malu banget aku.

"Tadinya mau beli. Tapi nggak ada. Kalau masalah uang sih kecil." Mas Darius menjentikkan jari. "Tinggal minta saja sama Allah," ujarnya kemudian.

"Sombong amat," gumam Bu Meta. Tidak lupa tangan kirinya diangkat agar gelang yang melingkar itu bisa saling bertabrakan dan menimbulkan suara gemerincing.

"Kok nggak ada, Mas?" ke dua alis Bu Fatiya saling tertaut, "bukannya di toko emas banyak pilihan dan model? Memangnya Mas Darius mau berapa gr?" Bu Fatiya menyilangkan tangan sejajar dada.

"Satu kilogram!" jawab suamiku.

"Haaaa ....!" Serentak mereka melongo. Tangan Bu Fatiya yang tadinya menyilang rapat, kini pun terurai.

"Huaow ... Amazing! Satu kilogram, Mas?!" Bu Fatiya memperjelas.

"Iya, tadinya mau beli. Karena nggak ada ya nggak jadi."

Ya Allah, aku mau pingsan saja. Biar nggak malu.

___

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status