"Assalamu'alaikum!"
"Mas Darius pulang," gumamku. Segera ku sambut pujaan hatiku yang berjanji membawakan perhisan untukku."Mila, lihat yang Mas bawa!" ujarnya. Ia meletakkan sebuah tak kecil di meja. Dari gambarnya 'sih gambar berlian. Katanya aku disuruh berpikir positif. Ini saatnya. Apakah di dalamnya berlian?"Apa ini, Mas?" tanyaku. Mataku mulai berbinar-binar. "Nanti saja bukanya. Mas buatkan kopi dulu, sudah haus dari tadi," katanya."Siap! Karena sudah membawakanku berlian, Mas Darius akan ku buatkan kopi spesial. Tapi nggak pake telur. Hehe .." Aku meluncur ke dapur secepat kilat. Kembali juga dengan secepat alap-alap. "Ini, Mas, kopinya! Susunya masih di sini," kataku. Sambil senyam-senyum tak jelas. "Ku buka boleh 'kan Mas?" tanyaku lagi."Apanya? Susunya? Jangan, jangan!" "Ish, itu ... Mas!" Ku gunakan bahasa isyarat mata. Ting, ting, ting."Jangan sekarang dong. Nanti malam. Nggak sabar amat!" katanya sambil menutup benda pusakanya dengan tangan. Karena aku semakin sebel. Dari tadi aku dikecohkannya, tanganku langsung saja nyrobot tas kecil itu. Ku kira Mas Darius akan marah. Ternyata, dia sibuk menikmati kopi buatanku.Ku hela napas panjang biar nggak pingsan saat membukanya. Maklum, ini pertama kali aku akan menyaksikan kilauan berlian dengan mata kepalaku sendiri. "Ya Allah, pasti ini sangat silau," batinku.Ku buka sedikit demi sedikit kantong itu. Mata sedikit merem melek seperti saat melakukan anu. "Mil, ini uangnya kamu pegang. Boleh kamu buat apa saja. Itu sudah menjadi hakmu," kata Mas Darius."Taruh saja di nakas kamar, Mas!" kataku. Mas Darius ganggu konsentrasiku saja 'sih.TOK TOK TOK."Ada tamu bukain dulu sana!" titahnya.Aku pun bangkit dari posisi dudukku. Lalu menuju ke pintu yang biasa ku tutup meski di rumah. Saat ku buka ternyata dia adalah wanita yang sangat cerewet banget. Dialah Septi--adiknya Mas Darius."Hallo, Mbak Karmila!" segera ku tutup pintu sebentar. 'JEDER', ku kunci dan aku berlari untuk menyembunyikan benda yang belum sempat aku lihat itu. Kemudian aku kembali menemui Septi."Kenapa di tutup lagi, Mbak?" tanya Septi."Emmm ... Itu, anu," Aku mencoba mencari alasan yang pas."Anu apa, Mbak? Kok aneh banget," kataya."Siapa yang datang, Mil?" tanya Mas Darius dari dalam."Aaa, itu. Mas Darius tadi sedang ganti baju," elakku."Oh, aku tahu. Kalian pasti sedang bereksperimen di ruang tamu, ya! Ihh, Cuit banget.""Apa 'sih? Masuk yuk!" ajakku.Septi dan suaminya akhirnya masuk kedalam. Ku ambilkan dua gelas air jeruk seperti yang ia minta ketika bertamu ke rumah kami."Ayo di minum dulu!" titahku. "Iya, Mbak. Terima kasih, jadi ngrepotin," katanya. Umurku dan Septi selisih sepuluh tahun lebih tua dariku. Tapi, penampilannya nggak kalah sama yang masih muda-muda. Awalnya aku canggung ketika di panggil Mbak. Tapi lama-lama juga terbiasa.Saat kami asik ngobrol, aku melihat gelang Septi yang melingkar di tanganya. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin membuka tas kecil itu. Pasti di dalamnya kotak kecil dan terdapat cincin berlian yang berlapis emas. Nggak apa-apa mengkhayal dulu. Kata Mas Darius harus berpikir positif. Ku harap, Septi nggak lama-lama."Mil, segera siapkan makanan untuk saudara kita!" titah Mas Darius.Aku mengangguk dan segera menyiapkan makanan spesial yang sudah ku masak tadi. Ada nila bakar, ayam goreng, dan menu lainnya. Masak besar say. Tapi, sehari-harinya juga seperti ini. Kebiasaanku dan suami selalu makan sepiring berdua. Meski bukan pengantin baru lagi. Cukup secentong nasi dan nila bakar ditambah sambal dan lalapan sudah membuat kami kenyang."Mbak Mila dan Mas Darius serius cuma makan segitu?" tanya Septi."Iya, Mas Darius tidak suka makan banyak. Katanya tidak baik buat lambung jika makan terlalu banyak."Septi dan suminya saling bertatapan. Tampaknya mereka tidak percaya dengan omonganku."Lalu, ini?" Septi menunjuk makanan yang tersaji di hadapannya. "Kalian 'kan cuma tinggal berdua. Anak-anak juga mondok di pesantren. Terus yang menghabiskan makanan ini siapa? Apa nggak mubadzir?" Septi masih terlihat tidak percaya."Tidak 'kok, Sep. Sudah lama kami setiap hari selalu masak banyak. Kebetulan stok bahan di rumah juga banyak. Jika makanan ini tidak habis, akan kami bagikan ke panti asuhan di depan sana." Aku menjelaskan panjang lebar. Sedangkan Mas Darius cuma iya, iya, dan iya saja."Wah, bagus itu, Mbak!" ujar wanita bergamis di depanku.Di meja makan kami nggak kalah seru seperti saat di ruang tamu. Sesekali Septi julid padaku karena aku mau menikah dengan orang tua. Sama hal-nya denganku. Aku juga mengejek dirinya karena badanya empat kali lipat dari suaminya."Mas Darius, sebenarnya aku ke sini mau minta bantuan," kata Septi dengan hati-hati."Bantuan apa?" tanya Mas Darius."Rumahku bagian belakang pada bocor kalau hujan. Rencananya mau ku benahi. Tapi belum ada dana. Suamiku sedang di rumahkan, Mas!" kata Septi.Entah ini air mata buaya atau bukan. Karena sudah sering kali Septi ke sini meminjam uang dan belum balik. Anehnya, Mas Darius selalu memberikannya. Pernah sekali waktu Mas Darius marah karena hutang. Karena mau nagih yang ditagih orangnya pergi. Jadi, ngomong sama pintu. Hahaha.Padahal ia saat itu menagih dengan maksimal seperti video yang pernah viral. Menggunakan musik dan juga lagu. Sayangnya, momennya belum tepat. Untungnya suamiku orangnya mudah legowo, ikhas, dan pasrah. Bahkan saking pasrahnya, ia di manfaatkan saudaranya. Cuma anehnya, setiap kali ada yang mau berhutang, uangnya selalu ada. Entah dari mana uangnya. Perasaan uang di brangkas tidak pernah habis.Kadang aku berpikir, apakah Mas Darius pakai pesugihan, atau dia punya pekerjaan lain yang tidak kutahu."Berapa uang yang dibutuhkan?" tanya Mas Darius."Sepuluh juta saja, Mas!"Mas Darius masuk ke kamar, kemudian balik lagi dengan membawa uang segepok di tangannya."Ya Allah, Mas. Terima kasih. Semoga Allah melipat gandakan rezekimu, Mas!" ucapnya. "Kalau begitu kami pulang dulu," kata Septi lagi.Setelah Septi dan suaminya pulang, aku melirik lelaki yang saat ini hanya berdua denganku."Oh, Karmila, kenapa matamu seperti itu?" candanya."Mas, maksud kamu apa? Sama Septi, kamu tidak berpikir panjang untuk memberi uang. Giliran aku meminta sesuatu, lama banget belinya," protesku.Aku duduk membelakangi Mas Darius yang asik memainkan ponsel. Setelahnya aku mengingat barang yang tadi aku simpan. Segera ku ambil tas kecil itu di laci meja rias."Bismillahirrahmanirrakhim."Dalam hitungan mundur, tiga, dua, satu!Ku buka perlahan. Benar sekali. Di dalamnya adalah benda berbentuk kotak."Mila, buka pintunya! Kalau pintu kamar di tutup, aku tidur di mana?""Terserah kamu saja, Mas. Salah sendiri pakai janjian sama, Ros." "Mila, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Buka dulu, Sayang. Biar kujelaskan."Mas Darius terus saja membujukku. Tapi biarkan saja. Dia sudah ketahuan main belakang dengan wanita lain. Mungkin akan lebih baik jika aku pergi dari rumah ini. Aaa, tidak, tidak. Kalau aku pergi dari rumah ini, Mas Darius keenakan dong. Dia bisa semaunya sendiri."Mila, buka dong pintunya. Aku cuma bercanda tadi," teriaknya dari luar. Tapi tak kuhiraukan.Setelah beberapa saat, tidak terdengar lagi suaranya. "Apa Mas Darius pergi? Jangan-jangan dia jadi jalan-jalan sama si Rosi itu," batinku. Ya sudahlah, aku tidak peduli. Lama-lama aku juga jenuh di kamar melulu. Aku pun memutuskan untuk ke luar.Saat aku membuka pintu, terlihat sebuah kaki menjulur di atas kursi sofa.Astaga, bandot tua. Mahluk aneh. Kukira sudah pergi jalan-jalan dengan si Ros yang ia telepon tadi
Saatnya ngetes istriku. Apakah dia sudah bisa memahami cara pikirku atau belum."Sayang, kamu hari ini ada acara nggak?" tanyaku sambil tiduran di pangkuannya. Ia sibuk dengan ponselnya."Kebetulan aku juga lagi kosong. Jalan-jalan, yuk!" ajakku."Kemana?" Mila bertanya tanpa melihatku. Aku nyengir dan menahan tawa. "Sepertinya istriku yang bawel ini akan kena jebakan," batinku"Sekitar sini saja," kataku."Sebenarnya aku sedang males 'sih, Mas. Tapi demi menemanimu, ayo!""Ya sudah, aku ganti baju dulu. Kamu juga ganti. Buruan!" titahku.Mila menaruh ponselnya di nakas kemudian berganti pakaian."Ayo, Mas. Aku sudah siap!""Iya, ayo! Mas juga sudah dari tadi nungguin kamu."Pagi ini cukup cerah. Tidak mendung juga tidak panas. Birunya langit menambah keindahan pagi ini. Sudah cukup lama juga tidak cari angin bersama istri.Biasanya berjalan sebentar saja Mila sudah mengeluh capek. Tapi kali ini kenapa diam saja? Aku jadi pusing kalau istriku seperti ini."Sayang, kamu capek nggak? Ka
Dua tahun kemudian usaha mi ayam Septi sukses. Ia bisa melunasi hutangnya pada Mas Darius. Kami pun diminta ke rumahnya sekalian silaturahmi dan makan mi ayam gratis.Sebenarnya Septi mau mengantarnya ke sini. Tapi, Mas Darius sekali-kali juga pengen berkunjung ke rumah adik perempuannya itu. Jadi nggak harus yang muda mengunjungi yang tua melulu."Mas, mau bawa oleh-oleh nggak?" tanyaku saat siap-siap mau ganti baju."Tenang, aku sudah siapkan," katanya. Lega banget dengarnya. Suamiku memang the best.***"Mas, katanya sudah menyiapkan oleh-oleh untuk Septi, mana?"Aku bertanya serius, dia malah cengengesan."Oleh-olehnya ya, kamu!""Hah! Ya Gusti, jangan bercanda, Mas! Kalau tahu begini, aku tadi siapkan. Kalau begitu kita mampir ke toko buah saja. Kita bawakan buah," kataku dengan kesal. Punya suami bawaannya bikin emosi. "Menepi dulu, Kang Arif!""Siap, Bu!"Kami turun dan memilih-milih buah di sana."Enaknya beli buah apa, Mas?" tanyaku meminta saran."Apa saja enak!" jawabnya."
Hari ini adalah waktunya kami pulang dari berlibur. Ayah dan ibuku satu mobil dengan Fadil."Mas, bagaimana kalau nanti kita adu ketangguhan mobil? Jalanan berkelok, banyak jalan yang berlubang. Aku yakin mobilku yang menang," ujar Fadil pada Mas Darius."Mm, bagaimana Kang Arif, berani nggak?" Mas Darius menoleh pada supir."Siap, Pak Bos!" Kang Arif begitu bersemangat."Fadil, jangan begitu! Bahaya ugal-ugalan di jalan. Kamu tahu sendiri 'kan ibu takut kalau kebut-kebutan di jalan," Ibu menimpali."Tenang saja, Bu. Cuma uji ketangguhan saja. Bukan kebut-kebutan," balas Fadil.Kami pun naik ke mobil masing-masing. Memang ada sedikit jalan berkelok-kelok dan banyak lubang. Sebenarnya aku juga takut. Namun melihat semangat Mas Darius dan Kang Arif, aku cuma bisa diam."Bagaimana ini, Pak? Mas Fadil sepertinya yang lebih unggul," kata Kang Arif."Tenang saja, Kang. Kita santai saja. Berdoa saja mobil Fadil bannya kempes," kata suamiku."Ish, jangan begitu, Mas. Di sana ada ayah dan ibu.
"Ini bagaimana ceritanya kalian bisa sekongkol ngerjain aku?" tanyaku pada Fadil.Fadil menggaruk-garuk kepalanya sambil melirik kakak iparnya yang meringis kesakitan."Emm, anu-Mbak. Sebelum ke sini, kami sudah janjian. Dan sebenarnya, ayah dan ibu juga hadir, Mbak.""Ayah dan ibu?""Iya, Mbak.""Lalu mereka di mana sekarang?""Itu mereka ...!" Fadil menunjuk ke arah belakangku."Astaga, Ayah, Ibu! Ya Allah, aku kangen sama kalian." Ke peluk kedua orang tua itu. Kemudian Mas Darius mendekat dan menyalami orang tuaku."Em, hebat akting kalian, ya. Jadi, pemulung yang cuma makan nasi dan garam itu, Ibu!""Hmm, Mila, ini agar kamu bisa berubah. Masak umur sudah semakin matang masih saja emosian, nggak sabaran, gengsian juga. Buang sikap seperti itu, Mila.""Ini sudah watakku, Bu. Ibaratnya adalah pakaianku sehari-hari. Jadi, tetap akan seperti ini terus," kataku. Benar 'kan. Batuk gampang diobati, dan watak sulit untuk dirubah."Tentu saja aku bicara dengan ibu secara lemah lembut."Hih
"Gado-gadonya isinya lengkap ya, Mas! Ada karbohidrat dari lontong dan kentangnya. Ada protein dari telur dan kacang pannjangnya, termasuk sambalnya juga. Ada zat besi dari bayam. Komplit banget. Tinggal nanti kita beli buah dan susu," kataku. Bagaimanapun sebagai seorang ibu itu harus memperhatikan nilai gizi dari setiap apa yang dimakan anggota keluarga. Aku tidak mau suamiku kekurangan gizi. Apalagi di usianya yang tidak muda lagi. "Makan ya makan saja, Mila. Ngapain mikirin gizi. Karbohidratlah, proteinlah, vitaminlah, kalorilah. Kalau mikirin semua itu, yang ada kita justru sakit bukan karena kekurangan gizi. Tapi sakit memikirkan gizi."Ish, ngeyel banget kalau dibilangin. "Mas, gizi itu penting buat gubuh kita lho. Kalau kita kekurangan karbohidrat, yang ada kita lemes. Nggak bisa mikir.""Emm, kata siapa? Mas nggak percaya. Buktinya bayi cuma minum susu nggak makan nasi dan sayur juga sehat.""Itu beda, Mas. Susu sudah banyak kandungan vitamin dan lainnya. Termasuk lemak," k