Share

Bab 3

"Assalamu'alaikum!"

"Mas Darius pulang," gumamku. Segera ku sambut pujaan hatiku yang berjanji membawakan perhisan untukku.

"Mila, lihat yang Mas bawa!" ujarnya. Ia meletakkan sebuah tak kecil di meja. Dari gambarnya 'sih gambar berlian. Katanya aku disuruh berpikir positif. Ini saatnya. Apakah di dalamnya berlian?

"Apa ini, Mas?" tanyaku. Mataku mulai berbinar-binar. 

"Nanti saja bukanya. Mas buatkan kopi dulu, sudah haus dari tadi," katanya.

"Siap! Karena sudah membawakanku berlian, Mas Darius akan ku buatkan kopi spesial. Tapi nggak pake telur. Hehe .." Aku meluncur ke dapur secepat kilat. Kembali juga dengan secepat alap-alap. "Ini, Mas, kopinya! Susunya masih di sini," kataku. Sambil senyam-senyum tak jelas. "Ku buka boleh 'kan Mas?" tanyaku lagi.

"Apanya? Susunya? Jangan, jangan!" 

"Ish, itu ... Mas!" Ku gunakan bahasa isyarat mata. Ting, ting, ting.

"Jangan sekarang dong. Nanti malam. Nggak sabar amat!" katanya sambil menutup benda pusakanya dengan tangan. Karena aku semakin sebel. Dari tadi aku dikecohkannya, tanganku langsung saja nyrobot tas kecil itu. Ku kira Mas Darius akan marah. Ternyata, dia sibuk menikmati kopi buatanku.

Ku hela napas panjang biar nggak pingsan saat membukanya. Maklum, ini pertama kali aku akan menyaksikan kilauan berlian dengan mata kepalaku sendiri. "Ya Allah, pasti ini sangat silau," batinku.

Ku buka sedikit demi sedikit kantong itu. Mata sedikit merem melek seperti saat melakukan anu. 

"Mil, ini uangnya kamu pegang. Boleh kamu buat apa saja. Itu sudah menjadi hakmu," kata Mas Darius.

"Taruh saja di nakas kamar, Mas!" kataku. Mas Darius ganggu konsentrasiku saja 'sih.

TOK TOK TOK.

"Ada tamu bukain dulu sana!" titahnya.

Aku pun bangkit dari posisi dudukku. Lalu menuju ke pintu yang biasa ku tutup meski di rumah. Saat ku buka ternyata dia adalah wanita yang sangat cerewet banget. Dialah Septi--adiknya Mas Darius.

"Hallo, Mbak Karmila!" segera ku tutup pintu sebentar. 'JEDER', ku kunci dan aku berlari untuk menyembunyikan benda yang belum sempat aku lihat itu. Kemudian aku kembali menemui Septi.

"Kenapa di tutup lagi, Mbak?" tanya Septi.

"Emmm ... Itu, anu," 

Aku mencoba mencari alasan yang pas.

"Anu apa, Mbak? Kok aneh banget," kataya.

"Siapa yang datang, Mil?" tanya Mas Darius dari dalam.

"Aaa, itu. Mas Darius tadi sedang ganti baju," elakku.

"Oh, aku tahu. Kalian pasti sedang bereksperimen di ruang tamu, ya! Ihh, Cuit banget."

"Apa 'sih? Masuk yuk!" ajakku.

Septi dan suaminya akhirnya masuk kedalam.  

Ku ambilkan dua gelas air jeruk seperti yang ia minta ketika bertamu ke rumah kami.

"Ayo di minum dulu!" titahku. 

"Iya, Mbak. Terima kasih, jadi ngrepotin," katanya. Umurku dan Septi selisih sepuluh tahun lebih tua dariku. Tapi, penampilannya nggak kalah sama yang masih muda-muda. Awalnya aku canggung ketika di panggil Mbak. Tapi lama-lama juga terbiasa.

Saat kami asik ngobrol, aku melihat gelang Septi yang melingkar di tanganya. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin membuka tas kecil itu. Pasti di dalamnya kotak kecil dan terdapat cincin berlian yang berlapis emas. Nggak apa-apa mengkhayal dulu. Kata Mas Darius harus berpikir positif. Ku harap, Septi nggak lama-lama.

"Mil, segera siapkan makanan untuk saudara kita!" titah Mas Darius.

Aku mengangguk dan segera menyiapkan makanan spesial yang sudah ku masak tadi. Ada nila bakar, ayam goreng, dan menu lainnya. Masak besar say. Tapi, sehari-harinya juga seperti ini. 

Kebiasaanku dan suami selalu makan sepiring berdua. Meski bukan pengantin baru lagi. Cukup secentong nasi dan nila bakar ditambah sambal dan lalapan sudah membuat kami kenyang.

"Mbak Mila dan Mas Darius serius cuma makan segitu?" tanya Septi.

"Iya, Mas Darius tidak suka makan banyak. Katanya tidak baik buat lambung jika makan terlalu banyak."

Septi dan suminya saling bertatapan. Tampaknya mereka tidak percaya dengan omonganku.

"Lalu, ini?" Septi menunjuk makanan yang tersaji di hadapannya. "Kalian 'kan cuma tinggal berdua. Anak-anak juga mondok di pesantren. Terus yang menghabiskan makanan ini siapa? Apa nggak mubadzir?" Septi masih terlihat tidak percaya.

"Tidak 'kok, Sep. Sudah lama kami setiap hari selalu masak banyak. Kebetulan stok bahan di rumah juga banyak. Jika makanan ini tidak habis, akan kami bagikan ke panti asuhan di depan sana." Aku menjelaskan panjang lebar. Sedangkan Mas Darius cuma iya, iya, dan iya saja.

"Wah, bagus itu, Mbak!" ujar wanita bergamis di depanku.

Di meja makan kami nggak kalah seru seperti saat di ruang tamu. Sesekali Septi julid padaku karena aku mau menikah dengan orang tua. Sama hal-nya denganku. Aku juga mengejek dirinya karena badanya empat kali lipat dari suaminya.

"Mas Darius, sebenarnya aku ke sini mau minta bantuan," kata Septi dengan hati-hati.

"Bantuan apa?" tanya Mas Darius.

"Rumahku bagian belakang pada bocor kalau hujan. Rencananya mau ku benahi. Tapi belum ada dana. Suamiku sedang di rumahkan, Mas!" kata Septi.

Entah ini air mata buaya atau bukan. Karena sudah sering kali Septi ke sini meminjam uang dan belum balik. Anehnya, Mas Darius selalu memberikannya. Pernah sekali waktu Mas Darius marah karena hutang. Karena mau nagih yang ditagih orangnya pergi. Jadi, ngomong sama pintu. Hahaha.

Padahal ia saat itu menagih dengan maksimal seperti video yang pernah viral. Menggunakan musik dan juga lagu. Sayangnya, momennya belum tepat. Untungnya suamiku orangnya mudah legowo, ikhas, dan pasrah. Bahkan saking pasrahnya, ia di manfaatkan saudaranya. Cuma anehnya, setiap kali ada yang mau berhutang, uangnya selalu ada. Entah dari mana uangnya. Perasaan uang di brangkas tidak pernah habis.

Kadang aku berpikir, apakah Mas Darius pakai pesugihan, atau dia punya pekerjaan lain yang tidak kutahu.

"Berapa uang yang dibutuhkan?" tanya Mas Darius.

"Sepuluh juta saja, Mas!"

Mas Darius masuk ke kamar, kemudian balik lagi dengan membawa uang segepok di tangannya.

"Ya Allah, Mas. Terima kasih. Semoga Allah melipat gandakan rezekimu, Mas!" ucapnya. "Kalau begitu kami pulang dulu," kata Septi lagi.

Setelah Septi dan suaminya pulang, aku melirik lelaki yang saat ini hanya berdua denganku.

"Oh, Karmila, kenapa matamu seperti itu?" candanya.

"Mas, maksud kamu apa? Sama Septi, kamu tidak berpikir panjang untuk memberi uang. Giliran aku meminta sesuatu, lama banget belinya," protesku.

Aku duduk membelakangi Mas Darius yang asik memainkan ponsel. Setelahnya aku mengingat barang yang tadi aku simpan. Segera ku ambil tas kecil itu di laci meja rias.

"Bismillahirrahmanirrakhim."

Dalam hitungan mundur, tiga, dua, satu!

Ku buka perlahan. Benar sekali. Di dalamnya adalah benda berbentuk kotak. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status