Januari, 2013.
"Aku menyukai Mirza. Bisa berikan hadiah ini untuknya?"
Arumi tersenyum getir, memandangi kotak kado yang diberikan sahabatnya, Bella. Pandangan keduanya terpatri pada teman sekelasnya yang sedang duduk di kursi sudut. Pemuda tampan yang mengisi jam istirahat sekolah dengan membaca sebuah buku pelajaran. Sesekali dinaikkannya kacamata yang membingkai netra hitamnya.
"Untukmu!" kata Arumi, tepat setelah dia tiba di hadapan Mirza.
Mirza belum bergeming, mendapati kado yang diyakini berisi buku-buku hanya dari bentuknya saja. Lekas dia membuka. Matanya memindai sampul dari buku berjudul Laa Tahzan yang sudah sejak lama dia cari. Juga buku agama yang lain.
"Ini..."
"Ini dariku. Sepertinya cocok untukmu," ujar Arumi, menyadari bahwa Mirza yang cukup alim ini, tentu tertarik pada buku pemberiannya.
Darinya, tak mengatakan bahwa itu dari Bella.
Awal di mana Mirza hanya mematri pandangan pada Arumi, setelah hari itu. Mengabaikan Bella yang diam-diam menaruh hati, tetapi dikhianati teman sendiri.
"Bel, tolong berikan pada Arumi."
Mata Mirza berbinar menatap Arumi di bangkunya, tak peduli pada Bella yang hanya bisa teriris saat menerima bucket bunga dari Mirza.
"Aku menyukai Arumi, katakan itu padanya. Nggak sekarang, suatu saat nanti, aku akan menyatakannya dengan lebih pantas." Mirza bicara dengan binar teduh penuh cinta.
Mirza yang Bella cintai, justru menaruh hati pada sahabatnya sendiri. Bukankah Arumi tahu bahwa dia menyukai Mirza?
"Tapi aku menyukaimu, Mir," ungkap Bella.
Memberanikan diri, menahan rasa gugup dan malu, Bella menyampaikan isi hatinya. Mirza bungkam seribu bahasa, hanya menarik mundur langkah. Sejak itu, semuanya berubah. Bella menyimpan rasa sakit seorang diri. Kehilangan cinta pertama dan kepercayaan pada seorang sahabat, Mirza dan Arumi seolah diciptakan bersama hingga dia memutuskan pergi. Kenangan putih abu-abu yang menyakitkan.
*
Januari, 2023.
"Bella?"
Arumi tersenyum congkak saat berpapasan dengan Bella di pintu mall. Walau tampilannya jauh lebih lusuh dibanding Bella yang terlihat menawan dan langsing bak model, sinar matanya justru menyiratkan kesombongan bak bangsawan.
"Aku nggak nyangka ketemu kamu di sini," lanjut Arumi lagi.
"Aku pikir kamu di Tangerang."
Senyum sinis Arumi membungkam Bella. Ketukan heelsnya menggaungi telinga teman lamanya itu. Sebentar dia terhenti sambil menatap mobil mewah yang terparkir tak jauh dari mereka. Sudah bisa dia pastikan bahwa mobil itu milik Bella.
"Tau dari mana kalau aku di Tangerang? Ah, sepertinya kamu masih memata-mataiku, ya? Atau lebih tepatnya, kamu masih mengintai suamiku?" ujar Arumi, mencemooh.
Bella bungkam seribu bahasa. Arumi pun mengajaknya duduk sebentar di cafe untuk berbagi cerita.
Keduanya adalah teman semasa SMU. Tidak, lebih tepatnya bertiga. Seorang lagi bernama Mirza, lelaki yang masih dicintai oleh Bella, tetapi akhirnya jatuh ke pelukan Arumi, sahabatnya sendiri.
"Aku undang kamu ke pernikahanku dengan Mirza, tapi kamu nggak datang. Kenapa, Bel? Nggak bisa move on dari suamiku?"
Bella seolah dikuliti hidup-hidup. Arumi memesan minuman dan camilan demi menguras kantong wanita kaya ini. Bella yang sejak tadi bungkam, membiarkan Arumi terus berceloteh untuk menguarkan kesombongannya.
"Ceritakan tentangmu. Apa kamu udah nikah? Ayolah! Kita ini sudah berumur. Kamu juga sangat kaya dan terkenal. Aku melihat fotomu di majalah bisnis, kemarin."
"Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Rum?” tanya Bella dengan nada gusar. “Jika kamu mengajakku bicara hanya untuk merendahkanku, sebaiknya aku pergi."
Sebentar Arumi bungkam, menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Tangan lentiknya mengaduk latte hangat yang berada di tatakan.
"Kabar mamamu bagaimana? Dia masih sehat, kan? Terakhir kali aku dengar, dia terkena serangan jantung. Ah, kamu jadi satu-satunya ahli warisnya kalau dia meninggal, kan? Beruntung sekali suamimu, punya istri konglomerat," lanjut Arumi, lagi.
Bella menggeram. Jika saja tak harus menjaga wibawanya di depan orang lain, ingin rasanya menyiram air mineral ke wajah teman lamanya itu.
"Aku sibuk, maaf, kutinggal dulu."
Krik! Bella menyeret kursi untuk meninggalkan percakapan. Akan tetapi, jantungnya berdegup kencang saat mendengar ucapan konyol wanita itu. Dirinya berbalik, menatap tak percaya.
"Apa kamu mau menikahi Mirza?" tanya Arumi, tenang.
Pria itu, yang masih dicintai Bella. Walau tawaran Arumi tak masuk akal, dirinya hanya bisa mematri langkah hingga memilih untuk kembali duduk di bangkunya.
"Satu Milyar, bagaimana?" tawarnya, lagi.
Arumi menunggu jawaban Bella, wanita cantik nan elegan yang kini duduk di hadapannya. Foto seorang pria berada di atas meja saat Arumi mengeluarkan dari dompetnya. Pria tampan dengan senyumnya yang manis. Jantung Bella masih berdegup sama seperti dulu.
"Kamu gila?" Bella menggeram sambil mengeratkan jemarinya.
"Aku butuh uang, dan suamiku itu tak bisa membahagiakanku. Bagaimana? Kupikir orangtuamu pasti begitu mendambakan calon menantu," sahut Arumi sambil bermain dengan kuku cantiknya yang baru saja dirawatnya di salon.
Netra Bella masih memindai foto Mirza. Mengabaikan ketukan jari Arumi di atas meja untuk menunggu jawaban Bella.
"Kamu masih mencintainya, kan? Aku tau itu, meskipun kudengar kamu punya pacar. Ya. Bastian. Kamu pacaran dengannya hanya untuk melupakan penolakan Mirza padamu waktu sekolah dulu."
"Nggak!" Bella membentak kesal. "Aku sudah melupakan Mirza. Aku mencintai Bastian. Aku pacaran dengannya sejak SMU. Nggak ada lagi Mirza di dalam hatiku."
"Pikirkan saja dulu, Bel. Ini tawaran yang langka," rayu Arumi, lagi.
"Apa Mirza tau ini? Apa Mirza setuju?" Bella menuding dengan kasar. "Kamu segila ini, Rum. Dasar j*lang!"
Tawa Arumi tergelak sesaat, mengalihkan sebentar pandangannya pada ponsel yang berdering di atas meja. Panggilan dari Mirza.
"Kenapa aku butuh persetujuannya? Dia bahkan nggak bisa menghidupiku dengan uangnya selama dua tahun pernikahan kami. Kurang baik apa, aku? Kutawarkan dia memiliki istri lagi. Mana ada lelaki yang menolak dengan tawaran menggiurkan begini?" Arumi masih berceloteh dengan nada pongah.
"Kamu menjual ... suamimu padaku seharga 1 milyar?" tanya Bella, matanya membeliak seakan tak percaya pada tawaran teman lamanya ini.
"Menjual? Apa ini termasuk menjual? Aku mengizinkannya poligami dan nggak menceraikanku. Kupikir ini bukan menjual, namanya. Hanya berbagi suami. Aku rela Dimadu, yang penting hidupku nggak sengsara lagi. Suami miskin mau protes apa? Udah untung aku nggak nuntut lebih."
Bella belum menyahuti sejak tadi. Arumi yang dikenalnya memang seperti ini, materialistis. Namun dia tak menyangka, wanita ini rela menukar suaminya demi uang untuk memuaskan nafsu dunianya.
"Tutup mulutmu! Jangan sampai Mirza mendengar tentang ini!" kecam Bella.
"Kenapa, Bel? Apa pedulimu? Bukankah ini mimpimu sejak dulu, menikah dengan cinta pertamamu?"
Entah jika ini pertemuan terakhir. Arumi hanya mendecak geram saat Bella meninggalkannya tanpa kata. Dinikmatinya saja pesanan yang tersaji di atas meja. Tadinya Bella pergi dengan perasaan marah sambil meletakkan beberapa lembar uang seratus ribu di atas meja.
"Pikirkan saja dulu, Bel. Aku tetap menunggu sampai kamu berubah pikiran," monolognya.
Arumi menghirup udara sejuk di sekeliling, menatap cantiknya foto Bella yang terpampang di layar televisi sebagai model brand ambassador dari merk kosmetik ternama.
"Aku harus hidup enak, Mir. Aku sedang hamil, nggak boleh stress. Jadi, Bella akan menjadi ladang uangku selanjutnya!"
Arumi meninggalkan mall dengan dendang tipis. Tadinya dia meninggalkan Tangerang dengan bis untuk menikmati mall dan salon di Jakarta. Bosan sekali dengan kehidupan miskin yang disajikan Mirza untuknya. Pernikahan dua tahun yang membuatnya muak karena ekonomi sang suami sebagai buruh pabrik begitu memprihatinkan untuknya yang sudah gila dengan silaunya kemegahan kota. Bahkan rela menjual sang suami demi rupiah, meski belum mendapat jawaban dari Bella.
“Masih juga tanggal 15, udah gajian aja, Mas!”Mata Arumi berbinar saat Mirza, suaminya itu meletakkan amplop cokelat di atas meja. Cukup tebal hingga membuat wanita cantik berdaster batik itu meneguk ludah.Mirza menatap nanar pada sang istri. Bukannya membuatkan teh setelah menyambutnya pulang, peluh keringat yang menempel di kemejanya saja diabaikan Arumi. Uang terus yang dia tagih. Suaminya itu terlihat murung. Wajah tampannya terlihat kusam karena sering beradu dengan panasnya mesin di pabrik.“Banyak sekali, Mas Mirza? Tau aja kalau anak kita ini ngidam pizza sama burger yang sering kulihat di tivi-tivi itu, loh.”Lembar uang merah itu dia bagi menjadi beberapa bagian. Mengatur sedemikian rupa agar cukup dihabiskan dalam sebulan.“Aku lagi hamil enam minggu. Perlu minum susu dan makan yang bergizi lainnya. Kamu harus rajin kerja, Mas! Kalau nggak cukup duit kerja di pabrik, cari sambilan lain. Ngojek, misalnya. Masa depan kita masih panjang. Ini aja aku stop dulu untuk skin care
Lepas pembicaraan itu, Mirza masuk ke kamar dan melihat sang istri tidur memunggunginya. Dia menghela napas lega karena Arumi tak mengancam dengan mengemasi barangnya. Berniat pulang ke kampung meninggalkan Tangerang di mana Mirza mengadu peruntungan di kota ini.“Rum.”Mirza duduk di tepi kasur, mengusap sisi paha sang istri dengan lembut. “Jangan patah semangat, ya! Bantu aku dengan doa aja biar dapat kerjaan. Aku juga nggak mau anak kita menderita nantinya.”“Ya kalau gitu, cari kerja!” Arumi berbalik, tidur telentang sambil menyenter tajam wajah sendu Mirza. “Apa, kek! Mikir! Pokoknya bulan depan, aku harus dapat uang lagi,” keluh Arumi sambil menarik selimut sebatas kepala.Suara adzan menyela keresahan hati Mirza. Dia membuka kemeja sebab gerah dan lengket. Harus menyegarkan diri sebelum melaksanakan fardhu ashar.“Mas Mirza!”Suara Arumi mengejutkan. Tiba-tiba istrinya itu duduk dan bersemangat bicara. Lekas Mirza berbalik, mengambil handuk untuk digantungkan pada bahunya.“Ken
Seno mengikuti gerak langkah dari ketukan heels si cantik bertubuh langsing itu. Rambut pirangnya terurai menutupi punggung yang berbalut gaun merah darah. Heels setinggi tujuh senti begitu padu di kaki jenjang cantiknya.“Ada yang mau saya bicarakan, Mas. Duduk!” pinta Bella, mempersilakan Seno duduk di sofa seberangnya.Seno duduk sungkan sebab Bella selalu ramah pada setiap pegawai rumahnya. Senyumnya saja membuat para lelaki di rumah itu berdebar karenanya.“Saya dapat laporan, katanya Mas Seno minta setengah gaji di muka, benar?” tanya Bella.Seno mengangguk malu. Kalau bukan karena Arumi, dia enggan mengiba seperti ini. Uang gajinya tentu sudah untuk istri dan anaknya. Sebab kasihan pada Mirza, terpaksa dia meminjam uang ekstra pada majikannya ini.“Iya, Non. Untuk bapak saya di kampung.”“Baik, nanti saya transfer. Gaji bulan depan sisanya ya, Mas.”Seno mengangguk syukur. Saat Bella beranjak, tiba-tiba Seno teringat pada Mirza yang sedang menganggur di sana. Kali saja Mirza bi
Sukma mengangguk saja, kembali meneguk sirup jingga pada gelas kristal.“Memangnya kerja apa, sih? Sampai tampang jadi syarat utama? Memangnya mas-mu itu bakal diterima?” keluh Siti.“Iya, dong! Mas Mirza, suamiku itu ganteng,” ujar Arumi dengan penuh bangga. “Sukma bilang, kerjanya di permodelan gitu. Ya, kan? Padahal part time, tapi gajinya aja sampai lima juta.”Arumi bersikap jumawa di depan para temannya, sedangkan Sukma menyimpan tawa di balik senyum di bibir merah meronanya.“Iya, yang ganteng kayak Mirza itu jadi prioritas, sih! Badannya bagus, proporsional. Gantengnya alami. Agak kucel aja karena kerjanya nguli. Dipoles dikit juga kinclong kayak aktor Korea.” Sukma lanjut berkata.Begitu tenang para wanita ini bergosip di pagi hari. Entah jika tugas rumahnya sudah beres semua. Arumi pun puas menikmati hidupnya hasil dari tumpukan uang yang dia dapat belakangan ini.Sore harinya, Arumi duduk santai di ruang tengah sambil mengumpul uang arisan yang dia peroleh. Pesangon dari Mi
Mirza tiba di rumah sekitar pukul sepuluh malam. Arumi yang tadinya duduk santai di depan televisi, terkejut melihat tampilan lusuh suaminya itu. Pakaiannya kucel dengan bekas noda lumpur. Masih lembab setelah bermandikan hujan tadinya.“Kamu apa-apaan, sih, Mas? Kamu nyari kerja yang bener, ya! Aku nggak mau kamu jadi tukang gali gorong-gorong atau mungutin sampah jalanan!” Arumi memekik sambil menarik-narik krah sang suami. Mirza tak menyahuti. Sia-sia rasanya berdebat dengan Arumi. Masih terasa nyeri luka akibat sabetan belati tadi. Akan tetapi, pedulikah istrinya ini? Dirinya menepis tangan Arumi, masuk ke kamar karena harus membersihkan dirinya sebelum sholat isya.Arumi pun tak puas dengan sikap Mirza. Lekas ditariknya tangan sang suami ketika berhasil mencekalnya masuk ke dalam toilet kamar.“Mas! Udah mulai berani kamu nyuekin aku, ya! Jangan bikin aku malu sama temen-temen arisan dan tetangga kalau kamu kerja nguli dan keliatan gembel gini!” tukas Arumi, geram.Mirza sedikit
Mirza tersenyum miris melihat hidangan sarapan yang ada di atas meja. Hanya secangkir teh dan ubi rebus saja. Padahal dia harus pergi sepagi ini seharian untuk mencari lowongan pekerjaan lagi di kota."Makan yang ada aja!" sahut Arumi saat menyadari Mirza tak menarik kursi untuk duduk.Wanita itu meletakkan sepiring nasi lagi dengan telur mata sapi dan juga botol kecap sebagai tambahan."Selama masih belum dapat kerja, aku berhemat dulu. Kalau mau makan enak, buruan kasih aku uang lagi," kecam wanita berambut sebahu itu.Uang dan uang. Tiap hari Arumi selalu membuat kepalanya pusing dengan tuntutan materi itu. Padahal baru kemarin dia memberikan pesangon, belum lagi Arumi yang baru saja mendapatkan segepok uang hasil dari arisan yang diikutinya. Itu pun dari uang gaji Mirza yang diambilnya tiap bulan."Nggak mau duduk?" tanya Arumi lagi dengan senyum sinis.Mirza mengalah saja. Dia pun menyantap menu seadanya untuk mengisi perut. Istrinya itu hanya tersenyum sambil menikmati segelas s
Setelah tiba di mall, Bella menghabiskan waktu belanja berkeliling. Tak sabar rasanya menyambut kekasih yang sudah seminggu ini berjarak darinya. Hanya membeli seutas dasi, jam tangan, dan beberapa camilan lain yang bisa dihabiskan sambil bercengkrama."Udah, deh, ini aja dulu. Nanti beli cake aja. Dan sekalian juga, aku harus tanya Bastian tentang rencana pernikahan. Apa beneran dia nggak ada niat serius?"Bella terus mendengkus sebal. Jika bukan kedua orangtuanya yang terus merongrong mengakhiri masa lajang, dia lebih memilih untuk single dan berkarir saja. Sama seperti dirinya yang puas memandangi tampilannya di layar televisi di dalam mall."Udahlah, nikah itu ibadah, Bel. Harus diusahakan."Sambil menjinjing beberapa paper bag, Bella bersiap pulang. Ditunggunya beberapa menit sebab Seno tadinya hendak memperbaiki sedikit kerusakan mobil."Masih lama, Mas?" tanya Bella ketika panggilan telepon terhubung."Ini udah mau nyampe ke mall, Non. Ntar aja pulang dari apartemen Mas Bas, sa
Hancur. Cinta dan kesetiannya selama lebih dari sepuluh tahun dipatahkan oleh Bastian yang ternyata selingkuh di belakangnya. Bella menekan panggilan pada Bastian. Suara dering terdengar, pria bernama Bastian itu malas mengangkatnya karena dirasa gangguan saat bergumul mesra.“Mas, itu kenapa teleponnya nggak diangkat dari tadi? Kayaknya itu Bella.”Suara centil wanita itu terdengar memuakkan bagi Bella. Dia yang tak lain adalah Leona, sahabatnya yang kini mencuri kekasihnya sendiri. Bella belum beranjak, menikmati sejauh mana dua orang kepercayaannya itu tega menusuknya seperti ini.“Iya, nanti malam aku ada janji sama dia. Tapi sebelum itu, aku lebih kangen sama kamu, Leona,” sahut Bastian lagi.Bella menahan gemuruh di dadanya. Dua orang itu mengolok persahabatan dan kepercayaan yang ditanamkan. Seno tak sampai hati melihat ketegaran nona mudanya itu.“Bella belum ada bicara soal merit, Mas?” tanya Leona sambil mencium pipi Bastian. “Iya, dia ngeluh ke aku karena papa-mamanya des