Bab 16 Ulfa membuka mata, merasa kalau dia sudah tidak perlu lagi pura-pura tidur. Sekarang dia penasaran dengan apa yang baru saja terjadi pada Sano, suami bajingannya. Dengan langkah pelan, dia mendekati pintu kamar, membukanya, lalu menuju ruang tamu. Dia jarak dua meter, dia tersenyum melihat Sano terkulai lemas di lantai sambil menitikkan air mata. Ada apa ini? Kenapa semesta seolah berpihak pada Ulfa? "Mas, kenapa nangis-nangis?" tanya Ulfa dengan nada suara selembut mungkin. Meskipun dia merasa risih, tetapi bisa menepis rasa itu demi rasa penasarannya. Dia akan menjadi orang pertama yang bahagia jika Sano mendapat musibah. Rasa dendam dalam hati terus tumbuh membuat wanita itu menunjukkan sisi gelapnya. "Dek? Sejak kapan kamu di situ?" Sano bangun, bersandar pada dinding ruang tamu itu masih dalam keadaan resah. Ulfa memasang raut wajah sedih, tepatnya pura-pura, lantas ikut duduk di sisi Sano ingin mengulik informasi. "Baru, kok, Mas. Aku kaget begitu dengar kamu teria
Bab 17 "Kamu pikir aku takut kehilangan kamu?!" teriak Sano pada pantulan dirinya di cermin. Dia sedang mengeluarkan unek-uneknya yang dipendam selama ini. Penampilannya acak-acakan, dia baru saja selesai main game untuk mengalihkan pikirannya. Membujuk Dita merupakan hal percuma, dia gadis yang keras kepala dan mau menang sendiri. Sano terlalu bodoh mau diperlakukan seperti itu. Akan tetapi, cintanya sudah terlalu dalam untuk Dita seorang. Dia bertahan dalam rumah tangganya demi sebuah tujuan. Alea? Sano tidak begitu peduli pada anak kecil yang mirip dengannya itu. Dia masih bisa punya anak dari Dita. Sejak kecil, Alea juga selalu merepotkan dirinya karena menghabiskan uang membeli popok dan susu formula. ASI Ulfa hanya sedikit, jadi dia harus membantu dengan susu formula. "Kamu ngomong sama siapa, Mas?" tanya Ulfa yang sejak tadi berdiri di ambang pintu kamar. Dia baru saja menunaikan hajatnya di kamar mandi belakang. Sano memutar badan menghadap dengan tampang angkuh. Sebelah
Bab 18 Setelah Sano kembali berangkat ke kantor, Ulfa bergegas ke rumah Kancana karena mereka sudah membuat janji pukul tiga dini hari tadi. Tidak lupa dia membawa Alea sekalian. Rupanya Kancana baru selesai menyapu halaman rumahnya, dia lalu mengajak Ulfa masuk. Mereka duduk di ruang tamu dengan banyak cemilan kesukaan Alea di sana. Gadis kecil itu tanpa sungkan meraihnya karena sudah akrab dengan pemilik rumah. "Mbak, aku tuh bingung, ya. Sebenarnya aku pengen banget pisah sama Mas Sano detik ini juga." "Lalu?" Kancana bertanya ketika melihat Ulfa diam seolah berat menyampaikan isi hatinya. "Aku senang juga ngerjain Mas Sano, Mbak. Selama dia nggak mukul aku, mungkin masih bisa bertahan dengan catatan tanpa melibatkan perasaan. Untuk cinta, sudah pudar, Mbak. Aku cuma mikirin Alea saat ini, dia keliatan banget masih butuh Mas Sano. Apa aku salah mengambil keputusan, Mbak? Apa aku ini wanita bodoh karena belum cerai setelah tahu suami selingkuh?" Kancana menghela napas panjang.
Bab 19 Ulfa berusaha melepaskan diri, lantas mundur dengan tatapan tidak suka. "Kenapa Ibu ke sini?" "Aduh, kayak siapa aja. Ibu ke sini nyari kamu sama Alea. Ayo, kita ke rumah kamu, ada yang mau ibu omongin." "Mau bicara apa, Bu? Di sini saja." "Nggak enak sama tetangga. Udah ikut ibu aja!" Mahika menggendong Alea yang mendekat padanya, sambil menarik tangan Ulfa agar mau mengikutinya. Ulfa pasrah saja, melangkah malas setelah pamit pada Kancana. Untuk laptop tadi biar nanti saja diambil atau akan ketahuan Mahika. Begitu mereka sampai, Mahika menurunkan Alea dari gendongan, lalu memberinya banyak mainan. Gadis kecil itu bersorak senang, sekarang malah fokus dengan dunianya. "Ibu mau bicara sama kamu, Nak." Nak? Ulfa tersenyum kecut mendengar kata sapaan itu. Selama ini ibu mertuanya tidak pernah berkata selembut itu pada Ulfa, lantas kenapa sekarang berubah? Masih teringat bagaimana malam itu Mahika terang-terangan mendukung Sano untuk menikah dengan Dita seolah Ulfa tidak p
Bab 20 Karena rengekan Alea yang ingin bertemu dengan kakek kesayangannya sehingga Ulfa terpaksa setuju. Dia sudah tiba di rumah yang pada malam sebelumnya berhasil menunjukkan sesuatu di liar dugaan. Alea langsung berlari kegirangan, meskipun Mahatma tidak ada di sana. Dia bermain bersama Tantri yang saat ini tidak ada jadwal kuliah. Ulfa sendiri memilih duduk di kursi tamu seakan dirinya memanglah seorang tamu, malu untuk menerobos masuk rumah. Tas besarnya memang sudah dibawa Tantri masuk kamar Sano dulu, tetapi tetap saja dia berusaha untuk terlibat sungkan. Ulfa ingin ibu mertuanya paham kalau dia sedang marah, masih tentang perkara kemarin. Dia memperhatikan gerak-gerik Mahika yang kelihatan bingung. Tentu saja karena dia tidak berpihak pada Ulfa malam itu. Dia terang-terangan menolaknya dan menerima kehadiran Dita. "Kenapa berdiri saja, Bu? Kalau ada kesibukan, silakan dilanjutkan. Aku tidak apa-apa kalau harus duduk di sini sendirian." Ulfa tersenyum semanis mungkin. Seben
Bab 21 Selesai makan malam, Tantri langsung membereskan meja sekaligus mencuci peralatan makan. Sementara Alea menunggunya di kursi sambil menikmati susu ultra milk. Perhatian Ulfa kembali terusik ketika melihat ibu mertuanya menyeret Sano masuk kamar karena mengira Ulfa sedang bermain bersama Alea. Tanpa ragu, tanpa menutup rapat pintu kamar, dia berkata pada putra sulungnya. "Sano, ibu mau tanya sesuatu sama kamu." "Tanya apa, Bu?" "Selama ini, kamu ngasih uang belanja berapa ke Ulfa? Sebelum ketahuan kalau ada Dita dalam hidupmu." Ulfa semakin penasaran ketika mendengar namanya disebut. Dia tidak takut menguping karena ayah mertuanya belum pulang, sementara kamar Tantri berada di dekat dapur sehingga tidak akan melihat Ulfa di depan kamar Mahika. "Empat juta di luar kebutuhan jajannya dia, Bu. Itu dulu, tapi bulan kemarin lupa ngasih berapa. Intinya beda jauh sama dulu. Apalagi untuk bulan ini, mana bisa aku ngasih uang bulanan. Kalau pun ngasih paling lima ratus ribu karena h
Bab 22 Pagi ini, selesai menanak nasi, Ulfa langsung duduk santai di ruang tamu untuk bermain sosmed, paling menonton konten yang kadang aneh, kadang pula masuk akal. Tadi malam dia dan mertuanya sudah membuat kesepakatan bahwa mulai hari ini dan seterusnya, Ulfa tidak mau belanja ke pasar. Enak saja, setelah mengatakan 300 ribu itu cukup untuk satu bulan, lalu satu jam kemudian memutuskan memberi nafkah lima puluh ribu untuk sehari dengan catatan makanan yang dimasak harus beragam, enak, serta berganti menu setiap harinya. Mungkin saja mereka tidak memikirkan gas dan kebutuhan lain. Ah, biar saja, Ulfa tidak mau mengambil pusing. Kalau nanti mertuanya terus membandingkan dia dan Dita lagi, itu berarti sudah waktunya untuk berperang. Mungkin dulu Ulfa selalu memikirkan kebahagiaan keluarga suaminya, tetapi tidak untuk sekarang. Sano terlalu banyak berubah terutama hati dan perasaannya, jadi tidak ada salahnya kalau Ulfa juga ikut berubah. "Ulfa!" panggil Mahika yang baru saja kemb
Bab 23 Setelah mereka pergi, tentunya dalam satu mobil, Ulfa segera bersiap. Hanya ada dia di sana karena Mahatma sendiri ke luar untuk bekerja. Tidak ada libur bagi pekerja non kantoran. Ulfa menghela napas panjang. Mereka bertiga pergi bersamaan dalam satu mobil seolah menunjukkan kalau tujuannya sama. Ulfa semakin yakin begitu melihat tingkah Tantri yang mencurigakan. Gadis itu memang sudah menginjak usia 18 tahun, tetapi belum mahir bersandiwara. Beberapa kali dia tersedak saat Ulfa sengaja menanyainya tentang banyak hal termasuk saat dia terciduk pulang diantar oleh Dita. "Ma, aku cantik nggak?" tanya Alea memecah lamunan Ulfa yang sedang mematut diri di depan cermin. "Anak mama selalu cantik. Nanti Alea sama Tante Kancana lagi, ya?" Gadis itu mengangguk. Ulfa pun meraih tangan putrinya begitu mendengar suara klakson motor di depan rumah. Dia adalah Kancana, mereka sudah janjian sebelumnya. Ulfa mempercepat langkahnya sebelum dilihat sama tetangga lain yang mungkin saja bis