Share

Bab 4

Author: Devi Andriani
last update Last Updated: 2024-06-09 12:32:13

SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3

BAB 4

Penulis: Devi Adzra Aqila

PoV: Reno

Istriku memasang wajah sedih, mungkin ia berharap aku akan terharu mendengar kisah hidupnya yang pilu, tapi, kalau dipikir-pikir memang istriku sangat prihatin hidupnya. Dari kecil sudah hidup susah, ibunya pergi jadi TKW bapaknya kawin lagi, hidup dengan pamannya dan hanya sekolah cuma tamat SD.

Sebenarnya aku malu beristrikan dia. Keluarganya yang dari kalangan orang susah menikah denganku yang notabene sangat mementingkan pendidikan formal.

Alasanku sebenarnya aku mau menikahi Atik itu cuma karena Atik itu berwajah cantik, beda dengan yang lain. Cantiknya alami, tanpa polesan bedak, lipstik, juga bulu alis yang ditebal-tebalkan cara wanita lain. Wajahnya yang putih tidak perlu memakai skin care apalah-apalah karena sudah terlihat bercahaya. Itulah salah satu yang bisa aku banggakan darinya. Ya, jadi keuntungan juga untukku, jadi tidak ada yang namanya biaya perawatan muka dan tetek bengeknya.

Oleh sebab itulah, aku tidak mau jujur padanya tentang pendidikanku yang sebenarnya sudah sarjana, takutnya dia minder dan tak mau menikah denganku dulu, tapi, bisa juga kalau aku jujur lulusan S1 nanti dia jadi sombong dipersunting aku yang seorang sarjana. Bisa-bisa membuat hidupnya jadi tidak sederhana lagi dan menuntut banyak padaku yang kemarin itu masih menjadi guru honorer.

Sebenarnya Atik-istriku pernah melihat fotoku di dinding ruang tamu rumah ibuku saat baru-baru kami menikah, entah karena dia tidak mengerti baju apa yang aku kenakan, dia nampak bengong saat pertama kali melihat gambar aku memakai toga. Dengan terpaksa aku menjelaskan padanya bahwa aku pernah kuliah tiga tahun. Responnya, ya, bisa diperkirakan. Cuma mengangguk tanpa memberikan pertanyaan lainnya. Maklum, namanya orang kampung dan cuma lulusan SD.

Tapi, sayangnya setelah berapa bulan menikahi Atik, wajah cantiknya kok, ya, jadi biasa saja gitu, ya. Tidak bercahaya seperti waktu sebelum aku menikahinya, bahkan penampilannya sangat terlihat membosankan. Aku jadi agak minder dengan kedua adikku, pokonya jauh beda deh sama penampilan adikku yang modis dan harum setiap hari.

***

“Mas! Gimana? Boleh, ya, aku jualan di kantin sekolah tempat kamu ngajar? Kan lumayan bisa bantu beli kebutuhan dapur.” Atik kembali minta izin padaku. Tentu saja aku kebaratan. Jika sampai itu terjadi, bisa-bisa kebohonganku selama ini akan diketahui olehnya.

“Jangan, lah, Dek!”

“Alasannya apa, Mas? Kalau alasanya kamu nggak punya modal, aku kan sudah punya solusinya. Mau sampai kapan kita hidup begini, Mas.”

“Kamu ini, Dek. Tidak bersyukur sama apa yang Tuhan berikan.”

“Bukan tidak bersyukur, Mas. Aku cuma ingin berikhtiar, apa salahnya istri juga mencari uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga?”

“Loh, kan selama kamu jadi istriku juga cukup makan dan sandang kan. Baju tiap lebaran aku belikan buat kamu, kita juga tidak pernah kelaparan, nikmat mana lagi yang pantes kamu dustakan, Dek.”

“Tapi, Mas. Hidup itu bukan cukup makan saja, gimana nanti kalau kita punya anak? Sedangkan kamu masih menjadi guru honorer yang gajinya cuma cukup untuk makan. Gimana nasib anak kita nanti, Mas? Kita harus pikirkan itu semua dari sekarang. Kita harus nabung untuk biaya pendidikannya nanti, biar jadi orang pinter, jadi sarjana dan berguna setelah dewasa, pendidikannya nanti akan jadi bekal dia di masa depan. Aku nggak mau lah anakku nasibnya sama kayak kita, siapa tahu hidupnya lebih baik dari ibu dan bapaknya, yang penting kita berusaha dari sekarang, nggak ada salahnya, kan?”

Deg! Aku kok merasa dia nyidir aku, ya? Mentang-mentang dia tahunya aku bukan sarjana dan hanya guru honor di sekolah menengah ke atas.

“Pokoknya kamu tidak Mas izinkan berdagang di sekolah, titik.” Aku segera beranjak. Khawatir dia akan tetap meminta izin padaku, aku meninggalkannya.

Ketika aku di kamar, sebenarnya hatiku ketar ketir memikirkan istriku yang sekarang sudah mulai berani protes dan berani bicara. Rupanya istriku itu tidak sebodoh yang aku kira. Gawat ini, aku harus cari cara supaya dia tidak banyak menuntut.

Sebenarnya, sih, ketika aku menjadi guru honorer, aku juga punya bisnis sampingan, nggak seperti yang istriku kira, menggangap aku cuma bergantung pada gaji di sekolah yang kudapat tiga atau empat bulan sekali, itu sengaja tidak aku ceritakan pada istriku, karena uang yang kudapatkan dari usaha sampingan dari selain mengajar aku berikan pada ibu dan adikku yang masih belum lulus kuliah. Bagaimana lagi, itu kan tanggung jawabku sebagai kakak tertua dari dua adik perempuanku.

Untungnya dulu aku punya ide untuk mengajak Atik pisah rumah dari ibuku. Dan akhirnya aku memberikan usul pada istriku mengajaknya tinggal di rumah peninggalan ibunya di desa sebelah. Dengan alasan takut dia nggak cocok dengan ibuku yang cerewet.

Rumah ini lumayan cukup nyaman dan tidak kumuh, sehingga membuatku ada tempat pulang dan melarikan diri dari keluargaku ketika adik-adik perempuanku dan ibu merengek meminta berlebihan ini dan itu. Bukannya pelit, cuma aku tidak mau mengajarkan mereka boros dan menghamburkan uang untuk hal yang tidak penting. Ya, walaupun aku sesekali menuruti keinginan mereka.

Sebenarnya ibu itu punya pensiunan almarhum bapakku sebagai PNS, tapi kami anak-anaknya tidak boleh mengganggu gugat, kami anak-anaknya telah sepakat, uang pensiunan almarhum bapakku wajib ditabung untuk biaya pernikahan kedua adik perempuanku nanti jika sudah mendapatkan jodoh, sebagai keluarga yang cukup disegani, mana mungkin nanti aku membiarkan adikku tidak merasakan pesta mewah ketika nanti ia dipersunting oleh seorang laki laki. Sebab itulah aku harus bekerja keras untuk membiayai kebutuhan sehari hari ibu dan kedua adikku sebagai supir pengiriman hasil bumi ke kota. Itu pun istriku juga tidak tahu dan tak pernah bertanya. Karena ia cuma tahu aku kadang suka menginap saja dirumah orangtuaku.

“Mas!” Atik mengagetkanku lagi ketika aku memikirkan ide supaya membatalkan idenya berjualan di sekolah. Aku yakin dia menyusulku ke kamar untuk membahas ini lagi.

“Apa lagi, sih, Dek? Bikin aku kaget saja,” ucapku kesal.

“Di depan ada yang bertamu? Memanganya kamu nggak dengar di luar kamar kita berisik?”

Tamu?! Ah, saking aku memikirkan cara menutupi kebohonganku, telingaku sampai nggak dengar ada suara orang bertamu.

“Siapa, Dek?” tanyaku.

“Keluargamu.”

“Apa? Keluargaku. Maksud kamu Ibu dan adik-adukku?”

“Iya, siapa lagi. Mereka katanya ingin merayakan sesuatu. Kamu diminta cepat menemui mereka. Ada kejutan spesial untuk kamu katanya.”

Bersambung ….

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3    BAB 42

    SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 42Cukup lama aku berada di kamar kecil, pura-pura tidak mendengar dan segera menghentikan merepetnya ibuku.Setelah tak terdengar lagi, barulah aku keluar untuk menyalakan mesin motor beberapa menit sebelum menggunakannya ke sekolah. Saat itulah aku melihat pemandangan yang cukup menyita perhatianku.Seorang Ibu kira-kira sepantaran ibuku. Sedang memeluk Atik dengan suara tangis yang terdengar pilu. Siapa beliau?Jiwa ingin tahuku meronta, maka aku berniat menghampiri mereka.Kudekati mereka kemudian bertanya, “Dek, ada apa?” tanyaku.Atik dan Ibu itu merenggangkan pelukan mereka. Keduanya menghapus jejak air mata di pipi masing-masing.“Ini, Mas, ini ibuku,” jelas Atik.Ibu itu tersenyum dan mengangguk.“Oh, ibu mertua.” Segera aku menarik dan mencium punggung telapak tangan wanita paruh baya di depanku.Ibu itu menatapku heran. “Dia siapa, Tik?” tanya ibunya Atik.“ini Mas Reno, Bu. Mantan suami Atik,” jelas Atik dengan terbata.“Oh, lelaki yang dicerit

  • SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3    BAB 41

    SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 41PoV: Reno“Nanti kau akan tahu artinya setelah Atik melalui masa iddahnya,” jelas Arlan sambil tersenyum dan sesekali melirik pada Atik.Dadaku rasanya terbakar melihat kemesraan lirikan mata mereka berdua.“Memangnya kapan masa Iddah Atik selesai?” tanyaku sambil menahan nyeri di hati.“Nanti, setelah empat bulan sepuluh hari,” jawab Arlan.Mataku membola mendengar jawaban Arlan, kurasakan darahku seperti berdesir. “Sembarangan kamu, Arlan! Memangnya Atik itu cerai mati. Aku menceraikannya dalam keadaan hidup.”Kulihat Bu Weni dan Atik tertawa sambil menunduk.“Sudah-sudah, ini sudah malam, lebih baik kita masuk ke rumah masing-masing!” Bu aWeni menarik tangan Atik, disusul oleh Arlan yang masih menertawakan aku.*Malam ini aku gelisah kembali. Apa lagi ucapan Arlan terngiang terus di telingaku. Memang benar kata orang. Penyesalan selalu datang di akhir. Aku yang kurang bersyukur mempunyai istri cantik dan sabar seperti Atik kini merasakan akibat peli

  • SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3    Bab 40

    SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 40“Nih!” Atik mengulurkan tangannya yang memegang smartphone ke arahku.Aku mengambilnya. Kulihat layar benda itu masih dalam mode terhubung dengan si pemanggil telepon.“Memang siapa yang nelpon?” tanyaku pada Atik, ada ragu dalam hati untuk berbicara dengan si penelpon.“Nggak tahu, nggak ada angin nggak ada hujan dia bilang aku sebagai komplotan penipu.”“Penipu?”“Lebih jelasnya lebih baik Mas yang berbicara!” titah Atik.Segera kutempelkan benda pipih dari tanganku ke telinga.“Hallo!”“Ya, Hallo! Ini pasti Pak Reno, kan?” Terdengar suara laki-laki.“Iya, betul. Ini siapa?” Ada firasat tidak enak menyelimuti hatiku mendengar suara pembicara dari seberang telepon.“Pak Reno. Cepat bayar hutang pacar Bapak. Katanya dia nunggu transferan dari Pak Reno. Saya sudah capek ini nungguin dari tadi, berbelit-belit dan banyak alasan. Kalau tidak bayar hutang sekarang juga, nanti pacar Bapak saya gelandang ke kantor polisi, mau?” Pria yang berbicara di seberang

  • SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3    Bab 39

    SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 39“Memangnya kamu sudah sampai mana dan di bengkel mana? Biar nanti aku jemput dan mengantarkanmu langsung pulang ke rumah.” Cemas juga hatiku mendengar kabar dari Melia.“Sudah setengah perjalanan menuju rumah kamu, Mas. Kamu nggak usah jemput, akan butuh waktu lama jika aku menunggumu. Aku cuma butuh uang saja sekarang,” jelasnya. Mungkin agar suaranya terdengar jelas olehku. Karena tadi aku bilang suaranya Melia berbicara berbarengan dengan deru mobil di pinggir jalan.“Bersabarlah, tunggu aku, ya! Aku juga ingin lihat kondisimu dan mobilmu.” “Mas! Aku bilang nggak usah ke sini. Aku cuma mau pinjam uang kamu, aja, kok. Nanti akan langsung aku kembalikan jika aku sampai rumah,” ucap Melia terdengar panik.“Akan aku beri, cuma aku pengen lihat keadaanmu dan mobilmu yang rusak. Itu aja kok susah amat.”“Kamu yang susah amat. Cuma mau minjem uang aja ribet banget urusannya, dasar pelit!” Melia mematikan sambungan teleponnya.Aku mengedikkan bahu. Memangny

  • SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3    Bab 38

    SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 38PoV: RenoWajah Melia seperti mayit, pucat, kontras dengan warna bibirnya yang merah.“Bayaran apa lagi, Pak, Bu? Memangnya uang yang saya berikan tadi kurang untuk menggantikan teh tubruk kalian? Ada-ada saja, sih. Asal kalian tahu, ya! Baru kali ini saya bertamu diminta ganti rugi untuk apa yang disuguhkan tuan rumah, mana cuma Reno yang minum, itu juga cuma dikit, palingan seteguk, saya dan kedua anak gadis saya malah nggak minum.” Ibu merepet pada orang tuanya Melia.Melia mulai terlihat salah tingkah. Aku tahu ia ingin berbicara pada kami, karena kemunculan orang tuanya, Melia sepertinya tak jadi berbicara, ia memilih berbicara sambil berbisik pada orang tuanya.“Duh, kenapa keluar, sih? Ayo, ayo, masuk ke dalam, yuk!” Melia menarik tangan ibu dan bapaknya. Sedangkan kami cepat-cepat masuk ke mobil untuk segera pergi dari sini sebelum Melia kembali mencoba menahan kami.Di sepanjang perjalanan pulang, di mobil, Ibu terus saja merepet, mengatakan ke

  • SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3    Bab 37

    SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 37PoV: Reno“Hah, seminggu lagi?” tanyaku kaget, saking kagetnya suaraku terdengar cukup tinggi.“Loh, kenapa, Mas? Nggak mau? Apa jangan-jangan kamu belum move on dari Atik terus masih mikir panjang untuk serius sama aku?”Mana bisa move on kalau lingkunganku terus saja mengingatkan aku dengan Atik, apalagi mereka selalu menyebut nama mantan istriku. Duh, jadi sedih rasanya mengganti nama Atik dengan sebutan mantan istri.“Mel, seminggu itu terlalu cepat, kalian pasti akan keteteran jika memaksa nikah seminggu lagi. Ngurusin administrasi, nyari MUA, sewa tenda dan catering, belum lagi nyari mahar dan seserahannya.” Ibu menasehati Melia.Aku percaya pada apa yang ibuku katakan, karena Ibu sudah makan asam garam kehidupan. Gimana rasanya tuh asam garam dimakan? Pasti nggak enak. Aku tertawa dalam hati membayangkan Ibu benar benar makan asam dan garam yang sebenarnya.“Nikahnya sederhana saja, Bu. Nggak usah mewah-mewah. Untuk masalah urusan surat menyurat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status