SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3
BAB 4 Penulis: Devi Adzra Aqila PoV: Reno Istriku memasang wajah sedih, mungkin ia berharap aku akan terharu mendengar kisah hidupnya yang pilu, tapi, kalau dipikir-pikir memang istriku sangat prihatin hidupnya. Dari kecil sudah hidup susah, ibunya pergi jadi TKW bapaknya kawin lagi, hidup dengan pamannya dan hanya sekolah cuma tamat SD. Sebenarnya aku malu beristrikan dia. Keluarganya yang dari kalangan orang susah menikah denganku yang notabene sangat mementingkan pendidikan formal. Alasanku sebenarnya aku mau menikahi Atik itu cuma karena Atik itu berwajah cantik, beda dengan yang lain. Cantiknya alami, tanpa polesan bedak, lipstik, juga bulu alis yang ditebal-tebalkan cara wanita lain. Wajahnya yang putih tidak perlu memakai skin care apalah-apalah karena sudah terlihat bercahaya. Itulah salah satu yang bisa aku banggakan darinya. Ya, jadi keuntungan juga untukku, jadi tidak ada yang namanya biaya perawatan muka dan tetek bengeknya. Oleh sebab itulah, aku tidak mau jujur padanya tentang pendidikanku yang sebenarnya sudah sarjana, takutnya dia minder dan tak mau menikah denganku dulu, tapi, bisa juga kalau aku jujur lulusan S1 nanti dia jadi sombong dipersunting aku yang seorang sarjana. Bisa-bisa membuat hidupnya jadi tidak sederhana lagi dan menuntut banyak padaku yang kemarin itu masih menjadi guru honorer. Sebenarnya Atik-istriku pernah melihat fotoku di dinding ruang tamu rumah ibuku saat baru-baru kami menikah, entah karena dia tidak mengerti baju apa yang aku kenakan, dia nampak bengong saat pertama kali melihat gambar aku memakai toga. Dengan terpaksa aku menjelaskan padanya bahwa aku pernah kuliah tiga tahun. Responnya, ya, bisa diperkirakan. Cuma mengangguk tanpa memberikan pertanyaan lainnya. Maklum, namanya orang kampung dan cuma lulusan SD. Tapi, sayangnya setelah berapa bulan menikahi Atik, wajah cantiknya kok, ya, jadi biasa saja gitu, ya. Tidak bercahaya seperti waktu sebelum aku menikahinya, bahkan penampilannya sangat terlihat membosankan. Aku jadi agak minder dengan kedua adikku, pokonya jauh beda deh sama penampilan adikku yang modis dan harum setiap hari. *** “Mas! Gimana? Boleh, ya, aku jualan di kantin sekolah tempat kamu ngajar? Kan lumayan bisa bantu beli kebutuhan dapur.” Atik kembali minta izin padaku. Tentu saja aku kebaratan. Jika sampai itu terjadi, bisa-bisa kebohonganku selama ini akan diketahui olehnya. “Jangan, lah, Dek!” “Alasannya apa, Mas? Kalau alasanya kamu nggak punya modal, aku kan sudah punya solusinya. Mau sampai kapan kita hidup begini, Mas.” “Kamu ini, Dek. Tidak bersyukur sama apa yang Tuhan berikan.” “Bukan tidak bersyukur, Mas. Aku cuma ingin berikhtiar, apa salahnya istri juga mencari uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga?” “Loh, kan selama kamu jadi istriku juga cukup makan dan sandang kan. Baju tiap lebaran aku belikan buat kamu, kita juga tidak pernah kelaparan, nikmat mana lagi yang pantes kamu dustakan, Dek.” “Tapi, Mas. Hidup itu bukan cukup makan saja, gimana nanti kalau kita punya anak? Sedangkan kamu masih menjadi guru honorer yang gajinya cuma cukup untuk makan. Gimana nasib anak kita nanti, Mas? Kita harus pikirkan itu semua dari sekarang. Kita harus nabung untuk biaya pendidikannya nanti, biar jadi orang pinter, jadi sarjana dan berguna setelah dewasa, pendidikannya nanti akan jadi bekal dia di masa depan. Aku nggak mau lah anakku nasibnya sama kayak kita, siapa tahu hidupnya lebih baik dari ibu dan bapaknya, yang penting kita berusaha dari sekarang, nggak ada salahnya, kan?” Deg! Aku kok merasa dia nyidir aku, ya? Mentang-mentang dia tahunya aku bukan sarjana dan hanya guru honor di sekolah menengah ke atas. “Pokoknya kamu tidak Mas izinkan berdagang di sekolah, titik.” Aku segera beranjak. Khawatir dia akan tetap meminta izin padaku, aku meninggalkannya. Ketika aku di kamar, sebenarnya hatiku ketar ketir memikirkan istriku yang sekarang sudah mulai berani protes dan berani bicara. Rupanya istriku itu tidak sebodoh yang aku kira. Gawat ini, aku harus cari cara supaya dia tidak banyak menuntut. Sebenarnya, sih, ketika aku menjadi guru honorer, aku juga punya bisnis sampingan, nggak seperti yang istriku kira, menggangap aku cuma bergantung pada gaji di sekolah yang kudapat tiga atau empat bulan sekali, itu sengaja tidak aku ceritakan pada istriku, karena uang yang kudapatkan dari usaha sampingan dari selain mengajar aku berikan pada ibu dan adikku yang masih belum lulus kuliah. Bagaimana lagi, itu kan tanggung jawabku sebagai kakak tertua dari dua adik perempuanku. Untungnya dulu aku punya ide untuk mengajak Atik pisah rumah dari ibuku. Dan akhirnya aku memberikan usul pada istriku mengajaknya tinggal di rumah peninggalan ibunya di desa sebelah. Dengan alasan takut dia nggak cocok dengan ibuku yang cerewet. Rumah ini lumayan cukup nyaman dan tidak kumuh, sehingga membuatku ada tempat pulang dan melarikan diri dari keluargaku ketika adik-adik perempuanku dan ibu merengek meminta berlebihan ini dan itu. Bukannya pelit, cuma aku tidak mau mengajarkan mereka boros dan menghamburkan uang untuk hal yang tidak penting. Ya, walaupun aku sesekali menuruti keinginan mereka. Sebenarnya ibu itu punya pensiunan almarhum bapakku sebagai PNS, tapi kami anak-anaknya tidak boleh mengganggu gugat, kami anak-anaknya telah sepakat, uang pensiunan almarhum bapakku wajib ditabung untuk biaya pernikahan kedua adik perempuanku nanti jika sudah mendapatkan jodoh, sebagai keluarga yang cukup disegani, mana mungkin nanti aku membiarkan adikku tidak merasakan pesta mewah ketika nanti ia dipersunting oleh seorang laki laki. Sebab itulah aku harus bekerja keras untuk membiayai kebutuhan sehari hari ibu dan kedua adikku sebagai supir pengiriman hasil bumi ke kota. Itu pun istriku juga tidak tahu dan tak pernah bertanya. Karena ia cuma tahu aku kadang suka menginap saja dirumah orangtuaku. “Mas!” Atik mengagetkanku lagi ketika aku memikirkan ide supaya membatalkan idenya berjualan di sekolah. Aku yakin dia menyusulku ke kamar untuk membahas ini lagi. “Apa lagi, sih, Dek? Bikin aku kaget saja,” ucapku kesal. “Di depan ada yang bertamu? Memanganya kamu nggak dengar di luar kamar kita berisik?” Tamu?! Ah, saking aku memikirkan cara menutupi kebohonganku, telingaku sampai nggak dengar ada suara orang bertamu. “Siapa, Dek?” tanyaku. “Keluargamu.” “Apa? Keluargaku. Maksud kamu Ibu dan adik-adukku?” “Iya, siapa lagi. Mereka katanya ingin merayakan sesuatu. Kamu diminta cepat menemui mereka. Ada kejutan spesial untuk kamu katanya.” Bersambung ….SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 50PoV: Reno“Dek!” Aku memiringkan dudukku sedikit mengarah pada Atik.“Apa lagi, sih, Mas? Udah habisin sarapannya, nanti kamu kesiangan berangkat ngajarnya!” Atik berbicara tanpa mau menoleh padaku.Kulihat isi mangkuk yang disendoki Atik, ternyata bubur sudah tinggal setengah. Cepat sekali makan Atik, aku saja baru tiga sendok, aku menghitung dengan jari sambil mengingat-ingat.“Mas! Buruan habisin, punyaku sudah habis, nih!”“Hah!” Kulihat mangkuk Atik sekali lagi. Seakan tak percaya ucapannya. Tetapi, benar adanya. Aku menggeleng takjub.“Adek laper? Aku pesan satu mangkok lagi, ya?”Atik menatapku dengan membesarkan mata. “Memanganya boleh? Nggak rugi nawarin aku makan lagi? Nanti uangmu bisa habis, loh.” Kemudian ia mengambil tisu dan mengusut ujung bibirnya.“Mas mana berani pelit lagi sama kamu, Dek. Aku benar-benar menyesal atas sikap pelitku selama ini,
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 49PoV: RenoKulihat kedua alis Bu Weni bertautan, ia juga tersenyum dan mengangguk-angguk.“Kenapa saya nggak kepikiran dari dulu, ya. Wah, Bu Karsih.” Kemudian Bu Weni melirikku lalu pada anaknya. “Owalah. Piye, Arlan? Nggak usah jauh-jauh. Pilihan ada di depan mata.”Aku yang mendengar Bu Weni berkata, langsung bisa menerka kemana arah ucapannya. Suasana yang awalnya tadi tegang karena uacapan ibuku, kini telah berubah menjadi riuh tawa mereka. Sebab obrolan ibuku dan Bu Weni langsung terkoneksi alias nyambung. Aku saja yang lelaki mengerti, kok. Masa iya Arlan tidak paham?Belum lepas senyum di wajahku, aku melirik Arlan. Betapa terkejutnya aku ketika mendapati Arlan melihatku dengan tatapan sinisnya.“Aku tahu jalan pikiranmu,” ucap Arlan padaku.“Aku juga tahu pikiran orang tua kita,” jawabaku santai. Kemudian mengalihkan pandanganku ke l
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 48PoV: Reno***Aku terbangun karena mendengar adzan yang aku setting di handphone-ku. Sebab aku tak mau meninggalkan sholat subuh lagi hari ini. Ya, setelah diceramahi sang adik bungsu, hatiku merasa tersirami oleh keimanan yang luar biasa.Sholat sebelum tidur membuat hati ini menjadi tenang, tidak lagi gelisah memikirkan permasalahan hidup, bahkan aku kini berserah jika nanti Atik benar-benar tak ingin kembali padaku lagi.Masya Allah, sungguh luar biasa dampak dari sholat yang dijalani dengan khusuk.***Setelah selesai menunaikan ibadah sholat subuh, tak lupa aku melakukan amalan dzikir dan sebagainya, sesudah itu barulah berdoa, salah satu nama yang kusebut dalam do’a adalah Atik. Doa yang sama seperti tadi malam selepas sholat isya.“Ya, Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, jika Atik benar jodohku, maka mudahkanlah jalan untukku kembali membina rumah tangga lagi dengannya, tetapi, jika tidak, berilah keikhlasan sedalam samudra dan seluas jagad r
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 47PoV: Reno“Ren, Atik kan sudah bilang, katanya dia lelah dan ingin segera beristirahat. Tunda dulu bicaranya. Lain kali saja, ya?” Kemudian ibu dan anak itu kembali membalikkan badan.Aku menghela nafas perlahan. Ya, sudahlah, aku tidak mungkin memaksa, lagipula aku juga melihat wajah Atik begitu lesu. Lebih baik aku menekan ego-ku.Walau kaki ini melangkah mendekati motor, tapi hati ini masih ingin disini, pulang dan tinggal bersama-sama lagi seperti dulu saat aku dan Atik menjadi suami istri. Tapi kini aku harus sadar diri bahwa Atik sudah berstatus mantan istriku. Aku menoleh kembali dan menatap punggung Atik yang hampir masuk setelah ibunya lebih dulu membuka pintu untuknya. Nasib! Aku masih berandai dalam anganku. Harusnya malam ini Atik mendengar apa yang aku katakan ketika di perjalanan mengantarnya pulang. Sayangnya tidak.Aku pikir ketika dia mengatakan, iya, iya, Atik juga menginginkan apa yang aku inginkan. Rupanya …., yah, sekali lagi, nasib
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3Bab 46PoV: Atik“Aku pulang diantar Mas Reno, Mas,” jawabku jujur. Kemudian ikut beranjak.“Jadi benar kamu masih mencintai Reno?” Suara Mas Arlan terdengar melemah. “Jujurlah, Tik! Agar aku bisa tau diri.”“Cinta? Justru aku nggak tahu arti cinta sebenarnya itu apa, Mas.”“Loh, kamu nikah atas dasar apa jika bukan karena cinta?” Kening Mas Arlan berkerut, matanya juga menatapku lekat.Aku menggeleng.“Tik, biasanya perempuan itu tidak mau disentuh oleh lelaki manapun kecuali sang wanita mencintai lelaki yang menyentuhnya. Kalian sudah pernah menjadi suami istri, pasti sering melakukan hubungan intim. Itu juga bisa diartikan cinta.”“Apa iya?” Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.“Iya, lah!” Mas Arlan mengambil tanganku lalu mencium punggung tanganku.Aku tersentak dan segera menarik tanganku. Kejadian itu begitu cepat dan tak pernah aku sangka. Kalau aku tahu dia akan melakukan itu pasti sebisa mungkin aku menghindari lelaki yang ada di hadapanku ini. Aku
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 45PoV: Atik“Tapi, Bu Weni, akan butuh waktu lama menunggu lagi kalau Mas Arlan yang jemput, sedangkan biaya administrasi sudah dibayarkan oleh Mas Reno.”“Jadi mantan suamimu itu minta kita pulang cepat supaya uangnya ingin segera diganti? Bilang padanya, saya akan ganti uangnya yang terpakai dua kali lipat. Dasar lelaki pelit perhitungan, takut sekali uangnya tidak diganti!” Bu Weni bersungut-sungut.Bu Weni sedang tidak sehat, baiknya aku tidak memaksanya untuk pulang bersama Mas Reno. Bu Weni juga sepertinya juga marah sekali mendengar nama Mas Reno. Jadi percuma jika aku memaksa.“Bukan Atik mau membela Mas Reno, Bu. Tapi aku tadi sudah mengatakan padanya bahwa setelah kita pulang dari sini akan mengganti uangnya. Tapi, ia tidak mau. Katanya anggap saja sebagai penebus dosanya pada Ibu.”Bu Weni hanya diam, sepetinya dia enggan menimpali ucapanku.Akhirnya aku memutuskan untuk menemui Mas Reno. Ketika aku sampai di depan lobi puskesmas, ternyata Mas