SUAMIKU BUKAN SUAMIMUBab 12Aku mencoba menguatkan diriku sendiri. Jangan sampai ada semburat kesedihan yang dipancarkan mataku yang dapat dibaca oleh Ilham. "Kan ayah kerja, Sayang. Nanti, kalau ayahnya sudah gak sibuk, pasti nyusul Ilham sambil jemput kita. Oke. Tos dulu dong!" Aku mengulurkan telapak tangan ke arahnya untuk melakukan tos. Ilham pun langsung membalasnya dengan antusias. "Yuk!" Satu tanganku menuntun tangan Ilham. Sementara tangan yang lainnya menyeret koper. Langkah demi langkah yang dipijak, bagaikan duri-duri t4jam yang menancap ke telapak kaki. Perih. Tak pernah kusangka sedikit pun, aku akan meninggalkan rumah yang sudah kurawat dengan sepenuh cinta. Baru saja tanganku terulur untuk membuka hendel pintu, tiba-tiba aku mendengar suara dering ponsel milikku. Aku mengedarkan pandangan. Mencari-cari keberadaan ponsel yang belum sempat disentuh sejak semalam. Saking kalutnya, aku bahkan hampir melupakan barang pribadi itu dan tak membawanya. "Ilham tunggu seben
"Bunda, nanti di rumah nenek, Ilham mau mancing ikan sama kakek, ya. Mau ngasih makan ayam. Mau ikut kakek juga ke kebun. Ilham mau nangkap capung sama kodok," tutur Ilham dengan mata berbinar. "Emang Ilham gak takut sama kodok?" tanyaku sambil tersenyum kecil. "Enggak dong. Tapi kodoknya yang kecil. Keciiil banget," jawab Ilham menggemaskan. "Itu sih anak kodok," balasku. "Tapi kata kakek, tetep saja kodok namanya," sahut Ilham tak mau kalah. "Iya, deh. Tapi Ilham harus janji. Ilham gak boleh main panas-panasan apalagi lari-lari. Nanti asma Ilham kambuh. Oke?" Aku mengulurkan jari kelingking ke hadapannya. "Siap, Bunda." Ilham mengaitkan jari kelingkingnya di jariku tanda berjanji. "Anak pintar. Sini peluk dulu!" Aku meraih tubuh Ilham dan memeluknya erat. Tak lupa kucium ubun-ubun kepalanya sambil melangitkan doa. Semoga saja Ilham tetap bahagia dan ceria seperti ini meskipun harus terpisah dengan ayahnya. "Anaknya, ya, Mbak?" tanya sopir dengan kepala sedikit menoleh ke bel
Aku tersenyum miring setelah mengatakan hal demikian pada Mas Hilman. Rasakan. Biar dia tahu sendiri, sepenting apa peran seorang istri dalam kehidupan suami dibandingkan seseorang yang katanya sahabat. Aku baru saja akan meletakkan ponselku saat benda pipih itu kembali berdering. Saat dilihat, ternyata Mas hari Hilman yang lagi-lagi mengubungi. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum kembali mengangkat panggilan itu. "Ada apa lagi, Mas? Kurang jelas apa yang aku katakan tadi?" tanyaku sinis. "Kamu tahu sendiri, kan, hari ini aku akan keluar kota. Kamu belum siapin baju dan perlengkapan lainnya," jawab Mas Hilman terdengar kesal. "Mas bukan anak kecil. Siapin aja sendiri. Oh, iya. Kemejanya belum sempat aku setrika. Ada di keranjang setrikaan. Ambil saja. Dan ya, mulai hari ini, silakan biasakan untuk mengurus kebutuhan diri sendiri. Kecuali, mau minta tolong Anita buat nyiapin dan ngurus semuanya. Bye!" Aku mengakhiri panggilan itu tanpa menunggu jawaban darinya. Segera aku nonaktif
Namun, saat Anita kembali lagi ke sini, benar-benar merubah sikap Mas Hilman seutuhnya. Dia bukan lagi suami yang kukenal dulu. Panggilan sayang ataupun dek tak pernah lagi keluar dari mulutnya. Dia bahkan berubah menjadi sangat kasar dan temperamen. Bekas tamparan yang masih terasa panas di pipi, tak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun."Eh ... ada cucu yang kakek ganteng!" Terdengar suara bapak dari arah depan. Aku meraup wajah pelan dengan kedua tangan untuk menghapus bayangan kelam yang berkelebatan di ingatan. Aku bangkit dari bibir ranjang, menghirup napas dalam-dalam lalu keluar dari kamar dengan wajah ceria dan senyum mengembang. "Bapak sudah pulang?" tanyaku sambil mengulurkan tangan dan mencium punggung tangannya. "Iya. Baru saja datang. Kamu sudah lama?" tanya bapak balik. "Belum begitu lama, sih, Pak," jawabku sambil duduk di dekat Ilham. "Bapak ganti baju dulu kalau gitu," lanjut bapak sambil berjalan menuju kamarnya. "Ilham ikut, Kek!" Ilham mengejar langkah ka
SUAMIKU BUKAN SUAMIMUBab 14Gawai yang masih berada dalam genggaman tanganku nyaris saja terlepas andai aku tak buru-buru terduduk di lantai. Jantungku berdegup dengan begitu kencangnya. Apa maksud Anita melakukan semua itu? Tak bisakah ia menghargai aku sedikit saja sebagai wanita yang masih berstatus istri Mas Hilman? Dan kini, lelaki yang masih bergelar suamiku itu diakuinya sebagai suami sendiri di hadapan umum. Atau mungkin, sudah sejauh itukah hubungan suamiku dengan Anita? Apa mungkin mereka telah menjalin hubungan yang lebih intens daripada persahabatan? Menikah diam-diam misalnya. Tanpa bisa dicegah, sepasang mataku langsung memanas dan mengeluarkan buliran bening yang membasahi kedua pipiku. Aku terisak sendirian di dalam kamar. Dengan kedua kaki di tekuk dan wajah yang ditenggelamkan di sela-selanya. Sakit. Hatiku perih bak diiris sembilu. Dadaku sesak luar biasa diikuti hawa panas yang menjalari seluruh tubuh. Meski sudah berusaha untuk selalu kuat, tetap saja aku menang
"Bapak gimana kabarnya? Sehat? Lama banget ya, kita gak ketemu." Hanan berganti menatap bapak. Dari dulu, Hanan memang terbiasa memanggil bapakku dengan panggilan bapak."Alhamdulillah sehat. Cuma ... makin tua," timpal bapak sambil terkekeh. "Nak Hanan kapan pulang? Betah banget kayaknya merantau.""Baru beberapa hari kemarin, Pak. Ini juga karena kangen kota kelahiran, makanya pulang," jawab Hanan. "Ilham, sini, Nak!" Hanan melambaikan tangannya pada Ilham. Seketika anak laki-laki berusia empat tahun itu berjalan menghampiri Om-nya. "Kita ngobrol-ngobrolnya di depan aja!" ajak bapak pada Hanan. "Ra, bikinin kopi buat Hanan," tambah bapak menoleh ke arahku. "Bapak lupa, ya. Aku, kan, gak suka kopi," timpal Hanan sambil tersenyum kecil. "Masih gak suka kopi? Kirain bapak sekarang sudah suka. Soalnya udah gagah gini. Sampai pangling lihatnya!" Bapak menepuk-nepuk pelan punggung Hanan yang lebar. Penampilan Hanan sekarang dan dulu memang jauh berbeda. Dulu tinggi dengan tubuh sediki
Aku masih menunggu Hanan untuk buka suara, tapi dia malah mengulum senyum sambil melemparkan pandangan. Padahal aku sudah sangat penasaran dengan wanita yang berhasil mencuri hati teman baikku itu."Nanti juga kalau sudah waktunya, kamu tahu sendiri," jawab Hanan akhirnya tanpa kepastian. Sepertinya dia memang belum siap untuk memperkenalkan calonnya itu. Okelah, tak masalah. Aku juga tak ingin memaksanya. Tak elok rasanya, apalagi kami baru bertemu lagi. Mungkin saja calonnya itu rekan kerjanya atau wanita yang ia temui di perantauan."Ilham, katanya mau mancing? Solat dulu, yuk. Habis itu baru mancing." Hanan berganti menatap keponakannya itu. Aku melirik jam dinding. Ternyata memang sudah pukul tiga lebih tiga puluh menit. Sudah waktunya untuk solat asar. "Ra, aku ajak Ilham solat dulu, ya. Mesjid yang dulu masih ada, kan? Belum pindah?" Hanan sudah berdiri dari duduknya. Pun dengan Ilham yang sudah siap di sampingnya. "Masih, kok," jawabku singkat. "Ilham, kalau mau ikut sama O
Raut wajahku mendadak murung. Bahkan kini, mataku tak lagi fokus pada ikan-ikan yang coba ditangkap oleh Hanan. Melainkan menatap langit senja yang bergelayut di atas sana. Rona jingga terlihat begitu indah. Sesekali diikuti awan yang berarak. Membuatku semakin larut dalam lamunan."Ye ... dapat ikan!" Lamunanku tiba-tiba buyar mendengar suara nyaring Ilham yang riang. Gegas aku menoleh. Benar saja, seekor ikan mas berukuran besar berhasil nyangkut di kail pancing Hanan. "Bener, kan, Om bilang. Kita pasti dapat ikan yang besar," tutur Hanan pada Ilham. "Iya. Om hebat. Sama seperti kakek. Tapi gak kayak ayah. Soalnya ayah gak pernah mau tiap kali Ilham ajak mancing," timpal Ilham dengan nada sendu di akhir ucapannya. Hatiku mencelos mendengarnya. Karena memang benar, Mas Hilman tak pernah mau jika diajak untuk memancing oleh putranya itu. "Buang-buang waktu saja. Mending beli daripada susah-susah harus mancing," tutur Mas Hilman setiap kali ditanya alasannya.Padahal bukan masalah